Professional Documents
Culture Documents
Tindakan pembedahan merupakan pengalaman yang sulit bagi hampir semua pasien.
Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi yang akan bisa membahayakan bagi pasien. Maka
tidak heran jika seringkali pasien dan keluarganya menunjukan sikap yang sedikit berlebihan
dengan kecemasan yang mereka alami.
Sebagian besar keluarga pasien yang sedang menjalani operasi juga mengalami
kecemasan dan stress saat menunggu di ruang tunggu kamar operasi dengan penuh ketidak
pastian tentang apa yang sedang terjadi pada keluarganya di dalam kamar operasi (Kathol DK,
1984 dikutip dari Park etal, 2006).
Kecemasan adalah suatu perasaan subjektif yang dialami seseorang terutama oleh adanya
pengalaman baru, termasuk pada pasien yang akan mengalami tindakan invasif seperti operasi.
Kecemasan yang berhubungan dengan tindakan operasi adalah suatu respon yang normal pada
pasien preoperasi (Taylor-Loughran et al 1989, Calvin &Lane 1999, Leach et al 2000, Lee & Gin
2005, Mitchell 2008).
Nevid (2003) juga menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Menurut Zakiyah Darajat (2001)
bahwa kecemasan adalah“Manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang
terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan dan pertentangan batin (konflik).
Kecemasan tidak hanya dialami oleh pasien, tetapi juga dirasakan oleh keluarga pasien
yang akan menjalani operasi. Apabila keluarga tidak dapat mengatasi kecemasan tersebut, maka
proses pengobatan (operasi) tidak akan berlangsung kondusif. Salah satu cara yang dapat
dilakukan oleh petugas kesehatan untuk mengatasi kecemasan yang berlebihan pada keluarga
adalah dengan cara melakukan komunikasi yang tepat dan baik.
Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada
orang lain dengan menggunakan lambang-lambang yang bermakna bagi kedua pihak, dalam
situasi yang tertentu komunikasi menggunakan media tertentu untuk merubah sikap atau tingkah
laku seorang atau sejumlah orang sehingga ada efek tertentu yang diharapkan (Effendy, 2000 :
13).
Seorang penolong atau perawat dapat membantu klien mengatasi masalah yang
dihadapinya melalui komunikasi, (Suryani 2005). Susuai dengan tujuan keperawatan yaitu untuk
membantu individu dan untuk mendorong keluarga demi mengembangkan koping pasien
terhadap penyakit yang dideritanya, mendapatkan kembali kesehatan, menemukan arti dari
penyakit atau mempertahankan status kesehatan maksimal (Petter dan Perry, 1997).
Hal demikian tidak akan terwujud apabila perawat tidak mampu memberikan pengertian
dan pendekatan yang terapeutik kepada keluarganya yang diwujudkan dengan pelaksanaan
komunikasi yang efektif antara perawat dengan pasien dan keluarganya berupa komunikasi
terapeutik. Komunikasi terapeutik berbeda dari komunikasi sosial, yaitu pada komunikasi
terapeutik selalu terdapat tujuan atau arah yang spesifik untuk komunikasi; oleh karena itu,
komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang terencana. Komunikasi paling terapeutik
berlangsung ketika pasien dan perawat keduanya menunjukkan sikap hormat akan individualitas
dan harga diri (Kathleen,2007).
Menurut Purwanto yang dikutip oleh Mundakir (2006), komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan pasien. Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional
yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien (Siti Fatmawati 2010).
Menurut Indrawati (2008) tujuan komunikasi terapeutik adalah membantu klien untuk
memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk
mengubah situasi yang ada bila klien percaya pada suatu hal yang diperlukan, mengurangi
keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif serta memengaruhi orang lain,
lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Peneliti Rusmini tahun 2006 pada RSU Doris Sylivanus Palangkaraya didapatkan bahwa
perilaku perawat khususnya dalam berkomunikasi kurang baik. Juga penelitian yang dilakukan
Hj. Indirawaty di RSU Haji Sukolilo Surabaya bahwa kepuasan pasien terhadap komunikasi
perawat 54,2% tidak puas, 16,7% cukup puas dan 29,2% sangat puas.
Hasil penelitian Saelan (1998), ditemukan bahwa komunikasi antara perawat dan pasien
masih relatif kurang, karena kurang disadari pentingnya komunikasi oleh perawat dan rendahnya
pengalaman perawat akan teori, konsep dan arti penting komunikasi terapeutik dalam pemberian
asuhan keperawatan.
Dari hasil penelitian Saelan tersebut tidak menutup kemungkinan kondisi yang sama
terjadi pula di rumah sakit lain. Menurut SK Menkes No. 660/Menkes/SK/IX/1987 yang
dilengkapi surat Edaran Dirjen Pelayanan Medik Nomor 105/yan.med/RS.Umdik/Raw/I/88
tentang standart Praktek Keperawatan kesehatan di rumah sakit memenuhi kebutuhan dari
komunikasi pasien adalah merupakan salah satu standart intervensi keperawatan.
Berdasarkan observasi peneliti ketika tugas praktek KDM II di RSD Balung empat dari
lima keluarga pasien terlihat sangat cemas saat mendampingi pasien menuju ruang operasi
karena kurangnya pengetahuan pasien maupun keluarga tentang operasi itu sendiri. Hal tersebut
terjadi karena kurangnya komunikasi perawat dalam memberi informasi sehingga pasien maupun
keluarga tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik dan dapat mengganggu berjalannya
operasi yang akan dijalani oleh pasien.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian
mengenai “Hubungan Komunikasi Perawat Dengan Tingkat Kecemasan Keluarga Pasien Yang
Akan Menjalani Operasi Penyakit Dalam di Ruang Operasi Rumah Sakit Daerah Balung”.
a. Variabel Independen :
b. Variabel Dependen :