You are on page 1of 24

ADAB-ADAB SAFAR

Oleh

Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani

A. Adab-Adab Sebelum Safar

1. Melakukan shalat Istikharah sebelum bepergian, yaitu shalat sunnah dua raka’at kemudian berdo’a
dengan do’a Istikharah.

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan kepada kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan al-Qur-an. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah
melakukan shalat sunnat (Istikharah) dua raka’at kemudian membaca do’a:

“ ‫َ كاللمههمم‬،‫ب‬‫ت كعلمهم ايلهغيهيو إ‬ ‫َ كوأكين ك‬،‫َ كوتكيعلكهم كولك أكيعلكهم‬،‫ك تكيقإدهر كولك أكيقإدهر‬
‫َ فكإ إنم ك‬،‫ك ايلكعإظييإم‬ ‫ك إمين فك ي‬
‫ضل إ ك‬ ‫َ كوأكيسأ كله ك‬،‫ك‬ ‫َ كوأكيستكيقإدهر ك‬،‫ك‬
‫ك بإقهيدكرتإ ك‬ ‫ك بإإعيلإم ك‬‫اللمههمم إإننيي أكيستكإخييهر ك‬
‫ه‬ ‫ي‬ ‫ك‬
‫َ كعاَإجلإإه كوآَإجلإإه كفاَقهديرهه لإيي كويكنسيرهه لإيي ثمم كباَإريك لإيي‬:‫أيو كقاَكل‬- ‫ي‬ ‫ كخييرْر لإيي فإيي إدييإني كوكمكعاَإشيي كوكعاَقإبكإة أيمإر ي‬-‫كويهكسنمىِّ كحاَكجتكهه‬- ‫ت تكيعلكهم أكمن هككذا اليمكر‬
‫ك‬ ‫ك‬ ‫ي‬ ‫إإين هكين ك‬
‫صإريفنإيي كعينهه كوايقهدير لإكي‬‫صإريفهه كعننيي كوا ي‬ ‫ كفاَ ي‬-‫َ كعاَإجلإإه كوآَإجلإإه‬:‫أكيو كقاَكل‬- ‫ي‬ ‫ت تكيعلكهم أكمن هككذا يالكيمكر كشرَر لإيي فإيي إديينإيي كوكمكعاَإشيي كوكعاَقإبكإة أكيمإر ي‬ ‫َ كوإإين هكين ك‬،‫فإييإه‬
‫ضنإيي بإإه‬‫ث ككاَكن ثهمم أكير إ‬ ‫ايلكخييكر كحيي ه‬.”

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon
kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku memohon
kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu Yang Mahaagung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku
tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahui dan Engkau-lah Yang Mahamengetahui
hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat
hendak-nya menyebutkan persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya ter-
hadap diriku -atau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia atau Akhirat’- sukseskanlah
untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui
bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap
diriku, atau -Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia atau akhirat,’- maka singkirkanlah
persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku dari padanya, takdirkan kebaikan untukku dimana saja kebaikan
itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.” [HR. Al-Bukhari no. 1162, 6382 dan 7390]
2. Hendaknya bertaubat kepada Allah dari segala macam kemaksiatan yang telah diperbuatnya dan
beristighfar dari setiap dosa yang dilakukannya, karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi
setelah ia melakukan safar dan tidak mengetahui pula takdir yang menimpanya.

Bagi seorang yang hendak safar hendaknya mengembalikan barang-barang yang pernah dirampasnya
kepada pemiliknya, membayar hutang-hutang, menyiapkan nafkah (uang belanja) kepada yang wajib
diberikan nafkah, segera menyelesaikan perjanjian-perjanjian yang diulur-ulur dan menulis wasiat
kepada ahli warisnya dengan dihadiri para saksi, dan meninggalkan uang belanja kepada keluarganya
(isteri, anak dan orang tua) dan meninggalkan kebutuhan pokok yang dapat mencukupinya.[1]

Hendaknya seorang yang hendak safar tidak membawa perbekalan kecuali dari sumber yang halal lagi
baik.

3. Hendaknya melakukan safar (perjalanan) bersama dengan dua orang atau lebih. Sebagaimana hadits:

ْ‫طاَكناَإن كوالثملكثكةه كريك ر‬


‫ب‬ ‫طاَرْن كوالمراإككباَإن كشيي ك‬
‫ب كشيي ك‬
‫كالمراإك ه‬.

“Satu pengendara (musafir) adalah syaitan, dua pengendara (musafir) adalah dua syaitan, dan tiga
pengendara (musafir) ialah rombongan musafir.”[2]

4. Seorang musafir hendaknya memilih teman perjalanan yang shalih, yaitu orang yang dapat membantu
menjaga agamanya, menegurnya apabila lupa, membantunya jika dibutuhkan dan mengajarinya apabila
ia tidak tahu.

5. Mengangkat pemimpin, yaitu hendaknya menunjuk seorang ketua rombongan dalam safar,
sebagaimana hadits:

‫إإكذا ككاَكن ثكلكثكةرْ فإيي كسفكرر فكيليهكؤنمهريوا أككحكدهكيم‬.


“Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari
mereka sebagai ketua rombongan.”[3]

Dan yang dipilih sebagai ketua rombongan adalah orang yang mempunyai akhlak yang paling baik, paling
dekat dengan teman-temannya, paling dapat mengutamakan kepentingan orang lain (tidak egois) dan
senantiasa mencari kesepakatan rombongan (ketika ada perbedaan pendapat)

6. Disunnahkan untuk melakukan safar (perjalanan) pada hari Kamis dan berangkat pagi-pagi ketika akan
melakukan perjalanan. Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu :

‫ب أكين يكيخهركج يكيوكم ايلكخإميي إ‬


‫س‬ ‫صملىِّ اه كعلكييإه كوكسلمكم كخكركج يكيوكم ايلكخإميي إ‬
‫س فإيي كغيزكوإة تكبهيو ك‬
ِ‫َ كوككاَكن يهإح ب‬،‫ك‬ ‫أكمن النمبإ م‬.
‫ي ك‬

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis dan telah
menjadi kebiasaan beliau untuk keluar (bepergian) pada hari Kamis.”[4]

Di dalam riwayat yang lain,

‫صملىِّ اه كعلكييإه كوكسلمكم يكيخهرهج إإكذا كخكركج فإيي كسفكرر إلم يكيوكم ايلكخإميي إ‬
‫س‬ ‫لكقكلمكماَ ككاَكن كرهسيوهل اإ ك‬.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bepergian senantiasa melakukannya pada hari Kamis.”
[HR. Al-Bukhari no. 2949][5]

Sedangkan dalil tentang disunnahkannya untuk berangkat pagi-pagi ketika hendak melakukan perjalanan
adalah:

َ‫كاللمههمم كباَإريك إلهممتإيي فإيي بههكيوإركها‬

“Ya Allah, berkahilah ummatku pada pagi harinya.” [HR. Abu Dawud no. 2606, at-Tirmidzi no. 1212, ia
berkata: “Hadits ini hasan.”]
Dan sangat disukai untuk memulai bepergian pada waktu ad-Dulajah, yaitu awal malam atau sepanjang
malam, sebagaimana hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :

‫ض ته ي‬
“‫طكوىَ إباَللمييإل‬ ‫كعلكييهكيم إباَلبِديلكجإة فكإ إمن الكير ك‬.”

“Hendaklah kalian bepergian pada waktu malam, karena seolah-olah bumi itu terlipat pada waktu
malam.” [HR. Abu Dawud no. 2571, al-Hakim II/114, I/445, hasan]

7.Berpamitan kepada keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpamitan kepada para Sahabatnya ketika akan safar
(bepergian), beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan do’a kepada salah seorang di antara
mereka, dengan do’a:

‫ك كوأككماَنكتك ك‬
‫ك كوكخكواتإييكم كعكملإ ك‬
‫ك‬ ‫أكيستكيوإد ه‬.
‫ع اك إديينك ك‬

“Aku menitipkan agamamu, amanahmu dan perbuatanmu yang terakhir kepada Allah.” [HR. Ahmad II/7,
25, 38, at-Tirmidzi no. 3443, Ibnu Hibban no. 2376, al-Hakim II/97, dishahihkan dan disepakati oleh Imam
adz-Dzahabi. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 14]

Makna ‫ك‬ ‫( أكيستكيوإد ه‬aku titipkan agamamu), yaitu aku memohon kepada Allah agar berkenan menjaga
‫ع اك إديينك ك‬
agamamu (agar istiqamah dalam ketaatan kepada Allah). Sedangkan yang dimaksud dengan amanah
adalah keluarga dan orang-orang yang selainnya serta harta yang dititipkan, dijaga dan dikuasakan
kepada orang kepercayaan atau wakilnya atau yang semakna dengan itu.

Makna ‫ك‬ ‫( كخكواتإييكم كعكملإ ك‬perbuatanmu yang terakhir), yaitu do’a untuknya agar akhir perbuatannya baik
(husnul khatimah). Hal ini karena, amalan terakhir merupakan amalan yang paling menentukan baginya
di Akhirat kelak dan sebagai penghapus perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan.[6]
B. Adab-Adab Ketika Safar

1. Menaiki kendaraan dan mengucapkan do’a safar (bepergian).

Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraannya, beliau mengucapkan takbir
sebanyak tiga kali: “‫ُ اه أكيكبكهر‬,‫ُ اه أكيكبكهر‬,‫اه أكيكبكهر‬,” kemudian berdo’a:

‫َ الكلمههمم إإمناَ نكيسأ كله ك‬،‫َ كوإإمناَ إإكلىِّ كربنكناَ لكهمينقكلإبهيوكن‬،‫ي كسمخكر لككناَ هككذا كوكماَ هكمناَ لكهه هميقإرنإييكن‬
“‫ك إفي‬ ‫هسيبكحاَكن المإذ ي‬

َ،‫ب إفي المسفكإر كوايلكخلإييفكةه فإيي يالكيهإل‬ ‫صاَإح ه‬


‫ت ال م‬ ‫َ الكلمههمم هكنوين كعلكييكناَ كسفككركناَ هككذا كوا ي‬،ِّ‫ضى‬
‫َ الكلمههمم أكين ك‬،‫طإو كعمناَ بهيعكدهه‬ ‫َ كوإمكن ايلكعكمإل كماَ تكير ك‬،َ‫كسفكإركناَ هككذا ايلبإمر كوالتميقكوى‬
‫ب إفي ايلكماَإل كويالكيهإل‬ ‫ك إمين كويعكثاَإء المسفكإر كوككآَبكإة ايلكمينظكإر كوهسيوإء ايلهمينقكلك إ‬ ‫الكلمههمم إإننيي أكهعيوهذبإ ك‬.”

“Mahasuci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak
mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Ya Allah,
sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam perjalanan ini, kami memohon perbuatan
yang membuat-Mu ridha. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah jaraknya bagi
kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan yang mengurus keluarga(ku). Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang
menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.”[7]

Dalam hadits yang lain:

‫َ كوكديعكوإة ايلكم ي‬،‫ب كوايلكحيوإر بكيعكد ايلككيوإر‬


‫َ كوهسيوإء ايلكمينظكإر إفي‬،‫ظلهيوإم‬ ‫صملىِّ اه كعلكييإه كوكسلمكم إإكذا كساَفككر يكتككعموهذ إمين كويعكثاَإء المسفكإر كوككآَبكإة ايلهمينقكلك إ‬
‫ككاَكن كرهسيوهل اإ ك‬
‫ي‬ ‫ك‬
‫الهإل كوالكماَإل‬.
‫ي‬ ‫ي‬

“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjalanan jauh, beliau berlindung kepada
Allah dari kelelahan perjalanan, perubahan yang menyedihkan, kekurangan setelah kelebihan, do’a
orang-orang yang teraniaya serta pemandangan yang buruk dalam keluarga dan hartanya.” [HR. Muslim
no. 1343 (426)]

2. Bertakbir (mengucapkan ‫( اه أكيكبكهر‬Allahu Akbar)) ketika sedang jalan mendaki dan bertasbih
(mengucapakan ‫( هسيبكحاَكن ا‬Subhanallaah) ketika jalan menurun.

Sebagaimana hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata:


َ‫صإعيدكناَ ككبميركناَ كو إإكذا نككزيلكناَ كسبميحكنا‬
‫هكناَ م إإكذا ك‬.

“Kami apabila berjalan menanjak mengucapkan takbir (Allahu Akbar) dan apabila jalan menurun
membaca tasbih (Subhanallaah).” [HR. Al-Bukhari no. 2993-2994, Ahmad III/333, ad-Da-rimi no. 2677,
an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 541 dan Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 516]

3. Memperbanyak mengucapkan do’a, berdasarkan hadits:

‫ك فإييإهمن كديعكوةه ايلكم ي‬


‫َ كوكديعكوةه ايلكوالإإد‬،‫َ كوكديعكوةه ايلهمكساَفإإر‬،‫ظلهيوإم‬ ْ‫ت هميستككجاَكباَ ر‬
‫ت لك كش م‬ ‫َ كقاَكل كرهسيوهل اإ ك‬:‫كعين أكبإيي ههكرييكرةك كقاَكل‬
‫َ ثكلك ه‬:‫صملىِّ اه كعلكييإه كوكسلمكم‬
‫ث كدكعكوا ر‬
‫كعكلىِّ كولكإدإه‬.

Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tiga
do’a yang pasti dikabulkan (mustajab) dan tidak ada keraguan lagi tentang-nya, do’anya seorang yang
dizhalimi, do’anya musafir (orang yang melakukan perjalanan), do’a buruk orang tua terhadap anaknya.’”
[HR. Ah-mad II/434, Abu Dawud no. 1536, At-Tirmidzi no. 2741. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah
oleh Imam al-Albani no. 596]

4. Melantunkan sya’ir dan puisi, sebagaimana hadits Salamah bin al-Akwa’ Radhiyallahu anhu, beliau
berkata: “Kami bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Khaibar, kemudian
kami terus bergerak ketika malam, lalu berkatalah seseorang kepada Amir bin Akwa’, ‘Tidakkah engkau
perdengarkan kepada kami sya’ir-sya’ir kegembiraanmu?’ Hal ini dikarenakan Amir adalah seorang
penyair, kemudian beliau (Amir) turun dari tunggangannya dan memberikan semangat kepada orang-
orang, seraya berkata: ‘Ya Allah, jika tidak karena Engkau pasti kami tidak akan pernah mendapatkan
petunjuk, tidak pula kami bershadaqah dan tidak pula kami shalat (hingga akhir do’a).’ Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Siapakah yang bersenandung itu?’ Mereka menjawab:
‘Amir bin al-Akwa’.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Semoga Allah
memberikan rahmat kepadanya…’” [HR. Al-Bukhari no. 2477 dan Muslim no. 1802 (124)]

5. Beristirahat ketika sedang melakukan perjalanan.

Hal tersebut merupakan belas kasih kita kepada hewan tunggangan, di samping memanfaatkannya untuk
tidur dan beristirahat. Namun demikian, perlu memperhatikan keadaan tempat pemberhentian dan
sebaiknya menjauhkan diri dari jalanan, terutama pada waktu malam hari, karena banyak serangga-
serangga dan hewan melata yang berbisa, juga binatang buas berkeliaran pada malam hari di jalan-jalan
untuk memudahkan gerak mereka, di samping mereka memunguti makanan yang berjatuhan (dari para
musafir) atau yang lainnya di jalanan tersebut boleh jadi akan didatangi oleh mereka dan terganggu.
Apabila seseorang membuat tenda, maka sudah seharusnya ia menjauhkan diri dari jalanan (saat malam
hari).

C. Adab-Adab Setelah Safar (Bepergian)

1. Mengucapkan do’a Safar (bepergian), sebagaimana telah disebutkan pada halaman 67.

Kemudian menambahkannya dengan lafazh do’a:

‫آَيإبهيوكن كتاَئإبهيوكن كعاَبإهديوكن لإكربنكناَ كحاَإمهديوكن‬.

“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.” [HR. Muslim
no. 1345, Ahmad III/187;189, an-Nasa-i no. 551 dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Sunni no. 526
dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahua anhu]

Apabila kembali dari bepergian dan melalui bukit atau melalui tempat yang luas lagi tinggi, bertakbir tiga
kali kemudian berdo’a:

‫ق اه‬ ‫صكد ك‬‫َ ك‬،‫َ لإكربنكناَ كحاَإمهديوكن‬،‫َ كساَإجهديوكن‬،‫َ كعاَبإهديوكن‬،‫َ كتاَئإبهيوكن‬،‫ك كولكهه ايلكحيمهد كوههكو كعكلىِّ هكنل كشييرء قكإدييرْر آَيإبهيوكن‬
‫َ لكهه ايلهميل ه‬،‫ك لكهه‬
‫لك إإلهك إإلم اه كويحكدهه لك كشإريي ك‬
‫ب كويحكدهه‬ ‫صكر كعيبكدهه كوهككزكم الكيحكزا ك‬ ‫كويعكدهه كونك ك‬.

“Tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah Yang Mahaesa tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya
kerajaan dan segala pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, kami kembali dengan
bertaubat, tetap beribadah dan bersujud, serta selalu memuji Rabb kami. Dialah Yang membenarkan
janji-Nya, menolong hamba-Nya dan menghancurkan segala musuh dengan ke-Maha-esaan-Nya.” [HR.
Al-Bukhari no. 1797, Muslim no. 1344 (428)]

Dan sangat disukai (dianjurkan) untuk mengulang do’a tersebut:


‫آَيإبهيوكن كتاَئإبهيوكن كعاَبإهديوكن لإكربنكناَ كحاَإمهديوكن‬.

“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.” [HR. Muslim
no. 1345, Ahmad III/187;189, an-Nasa-i no. 551 dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Sunni no. 526
dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu]

Hal ini berdasarkan perkataan Anas Radhiyallahu anhu bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus
mengucapkan hal tersebut hingga kami tiba di Madinah. [HR. Muslim no. 1345 (429)]

2. Memberitahukan terlebih dahulu kedatangannya kepada keluarganya dan tidak disukai untuk datang
kembali dari bepergian pada malam hari tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarganya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang mengetuk pintu rumah keluarganya di
waktu malam. Hal ini berdasarkan hadits berikut,

‫ق أكيهلكهه لكييلل‬ ‫صملىِّ اه كعلكييإه كوكسلمكم أكين يك ي‬


‫طهر ك‬ ‫نككهىِّ النمبإبِي ك‬.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang untuk mengetuk (pintu rumah)
keluarganya pada waktu malam hari.” [HR. Al-Bukhari no. 1801, Muslim no. 715 (184), dan lafazh ini
berdasarkan riwayat al-Bukhari]-penj.

Dan di dalam hadits lainnya disebutkan:

‫َ ككاَكن لكيكيدهخهل إإلم هغيدكوةل أكيو كعإشيمةل‬،‫ق أكيهلكهه‬ ‫صملىِّ اه كعلكييإه كوكسلمكم لكيك ي‬
‫طهر ه‬ ‫ككاَكن النمبإبِي ك‬.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengetuk pintu (rumah keluarganya), tidak pula
masuk (ke rumah, setelah pulang dari bepergian) kecuali pada pagi hari atau sore hari.” [HR. Al-Bukhari
no. 1800 dan Muslim no. 1928 (180), lafazh hadits ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan hikmah, di balik dari pelarangan tersebut, dimana
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ككيي تكيمتكإشطك المشإعثكةه كوتكيستكإحمد ايلهمإغييبكةه‬.

“Agar keluarganya mempunyai waktu terlebih dahulu untuk merapikan diri, berhias, menyisir rambut
yang kusut dan dapat bersolek setelah ditinggal pergi.” [HR. Muslim no. 715 (181)]

3. Shalat dua raka’at di masjid ketika tiba dari safar (perjalanan), sebagaimana hadits berikut:

‫صملىِّ كريككعتكييإن قكيبكل أكين يكيجلإ ك‬


‫س‬ ‫ضلحىِّ كدكخكل ايلكميسإجكد فك ك‬
‫صملىِّ اه كعلكييإه كوكسلمكم ككاَكن إإكذا قكإدكم إمين كسفكرر ه‬ ‫إإمن النمبإ م‬.
‫ي ك‬

“Sesungguhnya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tiba dari bepergian pada saat Dhuha,
beliau masuk ke dalam masjid dan kemudian shalat dua raka’at sebelum duduk.” [HR. Al-Bukhari no.
3088 dan Muslim no. 2769, lafazh hadits ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]

Sedangkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata: “Aku pernah bepergian
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika kami telah tiba di kota Madinah, beliau berkata
kepadaku:

‫اهيدهخإل ايلكميسإجكد فك ك‬.


‫صنل كريككعتكييإن‬

“Masuklah masjid dan shalatlah dua raka’at.” [HR. Al-Bukhari no. 3087]

[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam
Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H – Maret 2006M]

_______

Footnote
[1]. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫صيمتههه كميكتهيوبكةرْ إعينكدهه‬


‫ت لكييلكتكييإن إإلم كوكو إ‬ ‫ئ هميسلإرم لكهه كشيرْء يهيو إ‬
‫صيي فإييإه يكبإيي ه‬ ِ‫كماَ كح ب‬.
‫ق ايمإر ر‬

“Tiada hak bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang di dalamnya (harus) diwasiatkan, lantas ia
bermalam sampai dua malam melainkan wasiat itu harus (sudah) ditulis olehnya.” ]HR. Al-Bukhari no.
2738, Muslim no. 1627, Abu Dawud no. 2862, Ibnu Majah no. 2702, lihat Irwaa-ul Ghaliil no. 1652]-penj.

[2]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/186), Abu Dawud (no. 2607), Imam Malik dalam al-Muwaththa’
(II/978) dan at-Tirmidzi (no. 1674), ia berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Hadits ini dihasankan oleh
Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Sil-silah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 62) dan Shahiih Sunan Abi
Dawud (II/494).

[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2609). Disha-hihkan oleh Syaikh al-Albani t dalam
Shahiihul Jaami’ (no. 763) dan Shahiih Sunan Abi Dawud (II/495).

[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2950) dan Abu Dawud (no. 2605). Lihat Silsilah al-Ahaadiits
ash-Shahiihah (V/162) karya Syaikh al-Albani rahimahullah.

[5]. Dalam teks aslinya tertulis muttafaqun ‘alahi namun kami tidak mendapatkannya di Shahih Muslim.-
penj.

[6]. Lihat Adabus Safar, oleh Ummu ‘Abdillah.

[7]. HR. Muslim no. 1342 dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, at-Tirmidzi no. 3444, Abu
Dawud no. 2599, Ahmad II/144 dan 150 dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 548

Sumber: https://almanhaj.or.id/4007-adab-adab-safar.html

ADAB MAJELIS ILMU

Oleh

Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

‫ت كعلكييإههم المسإكينكةه كوكغإشيكيتهههم المريحكمةه كوكحفميتهههم ايلكملكئإككةه كوكذكككرهههم‬ ‫ب م‬


‫اإ كويكتككداكرهسونكهه بكيينكههيم إإلم نككزلك ي‬ ‫ت م‬
‫اإ يكيتهلوكن إككتاَ ك‬ ‫كوكماَ ايجتككمكع قكيورْم إفي بكيي ر‬
‫ت إمين بههيو إ‬
‫ك‬ ‫ه‬ ‫ك‬ ‫م‬ ‫ي‬
‫اه إفيكمين إعنكدهه كوكمين بكطأ بإإه كعكملهه ليم يهيسإريع بإإه نككسبههه‬ ‫م‬

Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan
mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para
malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya.
Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya.

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah oleh :

• Muslim, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala
Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi).

• Abu Daud dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah Lil Muslim nomor 4946.

• Ibnu Majah dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hatsu ‘Ala Thalabul Ilmi nomor
225.

BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS

Abu Hurairah. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nama
lengkapnya Abdurrahman bin Shahr [1] Diberi gelar Abu Hurairah karena beliau menyukai seekor kucing
yang dimilikinya. Meskipun baru masuk Islam pada tahun ke tujuh hijriah, akan tetapi keilmuannya diakui
oleh banyak sahabat.

Selama tiga atau empat tahun bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam betul-betul dimanfaatkan
oleh beliau Radhiyallahu ‘anhu. Senantiasa bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat
banyak para shahabat sibuk di pasar atau di tempat yang lain.
Lelaki yang berperangai lembut dengan kulit putih serta jenggot agak kemerahan ini, sangat gigih
menggali ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa memperdulikan rasa lapar yang di
alaminya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim secara
bersama sebanyak 326 hadits. Sedangkan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tanpa Imam Muslim
sebanyak 93 hadits dan diriwayatkan oleh Imam Muslim tanpa Imam Bukhari 98 hadits.

MAKNA KOSA KATA HADITS

‫ا‬‫ت م‬ ‫( – كوكماَ ايجتككمكع قكيورْم إفي بكيي ر‬tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah), yaitu masjid.
‫ت إمين بههيو إ‬
Sedangkan madrasah dan tempat-tempat lain yang mendapatkan keutamaan ini, juga dengan dasar
hadits yang diriwayatkan Muslim dengan lafadz.

‫اك كعمز كوكجمل إإلم كحفميتههيم ايلكمكلئإككةه كوكغإشيكيتههيم المريحكمةه كونككزلك ي‬


‫ت كعلكييإهيم المسإكينكةه كوكذكككرههيم م‬
‫اه إفيكمين إعينكدهه‬ ‫لك يكيقهعهد قكيورْم يكيذهكهروكن م‬

Tidaklah duduk suatu kaum berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat mengelilinginya, rahmat
menyelimutinya dan turun kepada mereka ketenangan, serta Allah memujinya di hadapan makhluk yang
berada di sisinya. [Riwayat Muslim, no. 6795 dan Ahmad]

‫ – المسإكيكنة‬, ketenangan.

‫ – كوكغإشيكيتهههم المريحكمة‬, diselimuti rahmat Allah.

‫ – كوكحفميتهههم ايلكملكئإككة‬, dikelilingi malaikat rahmah.

‫ – كوكذكككرهههم م‬, Allah memuji dan memberikan pahala di hadapan para malaikatNya.
‫اه إفيكمين إعينكده‬
‫ – كوكمين بكطمأ ك بإإه كعكملههه لكيم يهيسإريع بإإه نككسهبه‬, siapa yang kurang amalannya tidak akan mencapai martabat orang yang
beramal sempurna, walaupun memiliki nasab ulama.

FAIDAH HADITS

Pertama : Arti Penting Majelis Ilmu

Majelis ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari para ulama rabbani. Bahkan mengadakan
majelis ilmu merupakan perkara penting yang harus dilakukan oleh seorang ‘alim. Karena hal itu
merupakan martabat tertinggi para ulama rabbani, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫س هكوهنوا إعكباَلدا نلي إمن هدوإن اإ كولكإكن هكوهنوا كرمباَنإنييكن بإكماَ هكنتهيم تهكعلنهموكن ايلإككتاَ ك‬
َ‫ب كوبإكما‬ ‫ب كوايلهحيككم كوالبِنبهموةك ثهمم يكهقوكل إللمناَ إ‬
‫كماَككاَكن لإبككشرر كأن يهيؤتإيكهه اه ايلإككتاَ ك‬
‫هكنتهيم تكيدهرهسوكن‬

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu
dia berkata kepada manusia:”Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah
Allah”. Akan tetapi (dia berkata):”Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. [Ali Imran : 79].

Hal inipun dilakukan Rasulullah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk menghadiri
majelis ilmu. Dengan sabdanya,

‫ض ايلكجنمإة كقاَكل إحلك ه‬


‫ق النذيكإر‬ ‫ض ايلكجنمإة كفاَيرتكهعوا كقاَهلوا كوكماَ إركياَ ه‬
‫إإكذا كمكريرتهيم بإإركياَ إ‬

Jika kalian melewati taman syurga maka berhentilah. Mereka bertanya,”Apakah taman syurga itu?”
Beliau menjawab,”Halaqoh dzikir (majlis Ilmu). [Riwayat At Tirmidzi dan dishahihkan Syeikh Salim bin Ied
Al Hilali dalam Shahih Kitabul Adzkar 4/4].

Demikian juga para salafus shalih sangat bersemangat mengadakan dan menghadirinya. Oleh karena itu
kita dapatkan riwayat tentang majelis ilmu mereka. Di antaranya majelis Abdillah bin Mas’ud di Kufah,
Abu Hurairah di Madinah, Imam Malik di masjid Nabawi, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yazid bin Harun, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad di Baghdad, Imam Bukhari dan yang lainnya.
Kedua : Faidah dan Keutamaan Majelis Ilmu.

Di antara faidah majelis ilmu ialah :

• Mengamalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
mencontoh jalan hidup para salaf shalih.

• Mendapatkan ketenangan.

• Mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala

• Dipuji Allah di hadapan para malaikat.

• Mengambil satu jalan mendapatkan warisan para Rasul.

• Mendapatkan ilmu dan adab dari seorang alim.

Ketiga : Adab Majelis Ilmu.

Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu ialah :

• Ikhlas.

Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allah semata.
Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah
dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan
niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,“Saya tidak merasa susah dalam
meluruskan sesuatu melebihi niat.”[2]

•Bersemangat Menghadiri Majelis Ilmu.

Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan
kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan
tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak,
sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.

Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsa’lab,
seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi,“Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim Al
Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun”.
Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu
tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran.

Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal,“Ilmu adalah karunia yang diberikan Allah
kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan.
Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam ”. Demikian juga Imam Malik, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari
rumahnya bermain,“Alhamdulillah, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris”.

Abul Hasan Al Karkhi berkata,“Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jum’at walaupun tidak ada
pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya”.

Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai akhirnya mereka
mendapatkan hasil yang menakjubkan.

• Bersegera Datang Ke Majelis Ilmu Dan Tidak Terlambat, Bahkan Harus Mendahuluinya Dari Selainnya.

Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang
sangat banyak. Sehingga Asysya’bi ketika ditanya,“Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua?”, ia
menjawab,“Tidak bergantung kepada orang lain. Bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya
keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang”.[3]

• Mencari Dan Berusaha Mendapatkan Pelajaran Yang Ada Di Majelis Ilmu Yang Tidak Dapat Dihadirinya.

Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu. Seperti : sakit dan
yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam
keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu.
Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu
yang lainnya.

• Mencatat Fidah-Faidah Yang Didapatkan Dari Kitab.


Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan
bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan
menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku,
agar tidak memasukkannya ke perpustakaan. Kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya
dengan mengenal penulis. Pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi dan
membuku-buka sesuai dengan kecukupan waktu sebagian pokok bahasan kitab.

• Tenang Dan Tidak Sibuk Sendiri Dalam Majelis Ilmu.

Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabi menyampaikan kisah Ahmad bin
Sinan, ketika beliau berkata,“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin
Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau
seakan-akan mereka berada dalam shalat” [4]. Dan dalam riwayat yang lain,“Jika beliau melihat
seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar”.[5]

• Tidak Boleh Berputus Asa.

Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak
dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau
lagi duduk disana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan
kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena
dibiasakan. Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik
kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari
jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqiti, “Ada
satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti.
Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum
the hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu”. Kemudian beliau berkata,“Lalu terpecahlah
problem tersebut”.

Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas
baginya.

• Jangan Memotong Pembicaraan Guru Atau Penceramah.

Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru
atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Rasulullah n mengajarkan kepada kita
dengan sabdanya.
‫ليس مناَ من لم يجل كبيرناَ و يرحم صغيرناَ و يعرف لعاَلمناَ حقه‬

Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih
muda serta yang tidak mengerti hak ulama. [Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al
Jami’].

Imam Bukhari menulis di Shahihnya, bab Orang yang ditanya satu ilmu dalam keadaan sibuk berbicara,
hendaknya menyempurnakan pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadits.

‫صملىِّ م‬
‫اه كعلكييإه‬ ‫اإ ك‬ ‫ضىِّ كرهسوهل م‬ ‫ث ايلقكيوكم كجاَكءهه أكيعكرابإرَي فككقاَكل كمكتىِّ المساَكعةه فككم ك‬ ‫اه كعلكييإه كوكسلمكم إفي كميجلإ ر‬
‫س يهكحند ه‬ ‫صملىِّ م‬ ‫كعين أكإبي ههكرييكرةك كقاَكل بكيينككماَ النمبإبِي ك‬
‫ف‬‫ت ايلككماَنكةه كفاَينتكإظير المساَكعةك كقاَكل ككيي ك‬‫ضينكع ي‬
‫اإ كقاَكل فكإ إكذا ه‬ ‫ضىِّ كحإديثكهه كقاَكل أكييكن أهكراهه المساَئإهل كعين المساَكعإة كقاَكل كهاَ أككناَ كياَ كرهسوكل م‬
‫ث كحمتىِّ إإكذا قك ك‬ ‫كوكسلمكم يهكحند ه‬
‫ضاَكعتهكهاَ كقاَكل إإكذا هونسكد ايلكيمهر إإكلىِّ كغييإر أكيهلإإه كفاَينتكإظير المساَكعةك‬
‫إإ ك‬

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di majelis
menasihati kaum, datanglah seorang A’rabi dan bertanya,”Kapan hari kiamat?” (Tetapi) beliau terus saja
berbicara sampai selesai. Lalu (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bertanya,“Mana tampakkan kepadaku
yang bertanya tentang hari kiamat?” Dia menjawab,”Saya, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” Lalu beliau berkata, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”. Dia bertanya lagi,
“Bagaimana menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab, “Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya,
maka tunggulah hari kiamat”. [Riwayat Bukhari].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini berpaling dan tidak memperhatikan penanya
untuk mendidiknya.

• Beradab Dalam Bertanya.

Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya,

‫فكيسئكهلوا أكيهكل النذيكإر إإن هكنتهيم لكتكيعلكهموكن‬


Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [An Nahl :
43].

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu
dengan bertanya, sebagaimana sabdanya,

‫أككل كسأ كهلوا إإيذ لكيم يكيعلكهموا فكإ إنمكماَ إشكفاَهء ايلإعني البِسكؤاهل‬

Seandainya mereka bertanya! Sesungguhnya obatnya kebodohan adalah bertanya. [Riwayat Abu Daud,
Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa
Min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174].

Imam Ibnul Qayim berkata,”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya …… Ada di
antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena
tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti
bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.”[6]

Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi memberikan pernyataan,”Sepatutnyalah rasa malu tidak


menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.”[7]

Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, diantaranya:

1. Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji.

Hal ini dijadikan syarat pertanyaan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya.

‫فكيسئكهلوا أكيهكل النذيكإر إإن هكنتهيم لكتكيعلكهموكن‬

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. [An Nahl :
43].
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan syarat pertanyaan adalah tidak tahu. Sehingga
seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Tetapi seseorang yang telah mengetahui suatu
perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, untuk memberikan pengajaran kepada orang
yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits Jibril yang mashur.

2. Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan
penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin.

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang dalam firmanNya,

‫كياَأكبِيكهاَ المإذيكن كءاكمهنوا لكتكيسئكهلوا كعين أكيشكيآَكء إإن تهيبكد لكهكيم تكهسيؤهكيم كوإإن تكيسئكهلوا كعينكهاَ إحيكن يهنكمزهل ايلقهيركءاهن تهيبكد لكهكيم كعكفاَ اه كعينكهاَ كواه كغهفورْر كحإلي ههم‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu
sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema’afkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [Al Maidah : 101].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

‫ظكم ايلهميسلإإميكن هجيرلماَ كمين كسأ ككل كعين كشييرء لكيم يهكحمريم فكهحنركم إمين أكيجإل كميسأ كلكتإإه‬
‫إإمن أكيع ك‬

Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan,
lalu diharamkan karena pertanyaannya. [Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad].

Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum
terjadi. Rabi’ bin Khaitsam berkata,“Wahai Abdullah, apa yang Allah berikan kepadamu dalam kitabnya
dari ilmu maka syukurilah, dan yang Allah tidak berikan kepadmu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim
dan jangan mengada-ada. Karena Allah l berfirman kepada NabiNya,
‫قهيل كمآَأكيسئكلههكيم كعلكييإه إمين أكيجرر كوكمآَأككناَ إمكن ايلهمتكككلنإفيكن إإين ههكو إإلم إذيكرْر لإيلكعاَلكإميكن كولكتكيعلكهممن نكبكأ كهه بكيعكد إحيرن‬

Katakanlah (hai Muhammad),”Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan
bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur’an ini, tidak lain hanyalah peringatan
bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur’an setelah
beberapa waktu lagi. [Shad : 86-88].[8]

3. Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan pendapatnya.

Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Faqih Wal Mutafaqih 2/148 ,“Jika seorang ‘alim
menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah
pendapatnya semata”.

4. Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas. Berdasarkan dalil hadits Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

‫ت أكين أكيقهعكد كوأككدكعهه‬ ‫ت بإأ كيمإر كسيورء قهيلكناَ كوكماَ هككميم ك‬


‫ت كقاَكل هككميم ه‬ ‫اه كعلكييإه كوكسلمكم لكييلكةل فكلكيم يككزيل كقاَئإلماَ كحمتىِّ هككميم ه‬
‫صملىِّ م‬ ‫صلميي ه‬
‫ت كمكع النمبإني ك‬ ‫ك‬

Saya shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya
berniat satu kejelekan? Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud,“Apa yang engkau niatkan?” Beliau
menjawab, “Saya ingin duduk dan meninggalkannya”. [Riwayat Bukhari dan Muslim].

5. Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannnya, untuk menunjukkan
kehebatanmu dan melecehkan orang lain.

• Mengambil Akhlak Dan Budi Pekerti Gurunya.

Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga
harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru. Demikianlah para ulama
terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang
‘alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia.
Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya
lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab
beliau.[9]

Abu Bakar Al Muthaawi’i berkata,“Saya menghadiri majelis Abu Abdillah – beliau sedang mengimla’
musnad kepada anak-anaknya- duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat
kepada adab dan akhlaknya”. [10]

Demikianlah perihal kehadiran kita dalam majelis ilmu. Hendaklah bukan semata-mata mengambil faidah
ilmu saja, akan tetapi juga mengambil semua faidah yang ada.

Demikian sebagian faidah yang dapat diambil dari hadits ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647,
08157579296]

_______

Footnote

[1]. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai nama asli beliau. Pendapat terkuat, beliau bernama
Abdurrahman bin Shahr

[2]. Lihat Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim, hal.68.

[3]. Lihat Rihlah Fi Thalabil Hadits, hal.196.

[4]. Tadzkiratul Hufadz 1/331

[5]. Siyar A’lam Nubala 4/1470.

[6]. Miftah Daris Sa’adah 1/169.

[7]. Al Faqiih Wal Mutafaaqih 1/143.

[8]. Jami’ Bayanil Filmi Wa Fadhlihi 2/136.

[9]. Siyar A’lam Nubala 11/316.

[10]. Ibid. 11/316


Sumber: https://almanhaj.or.id/3060-adab-majelis-ilmu.html

Adab-Adab Silaturahmi

Makna silaturahmi berasal dari kata silat dan rahim. Dalam bahasa Arab, silat artinya menyambung,
sedangkan rahim artinya kasih sayang.

Jadi, silaturahmi artinya menyambung afeksi nan biasa dilakukan dengan saling berkunjung.

Dalam Islam sendiri, silaturahmi menjadi ajaran nan tertuang dalam kitab kudus Al-Quran surat An-Nisa’
ayat 1:

“... Dan bertakwalah kepada Allah nan dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) interaksi silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu .”

Keutamaan silaturahmi

Ada banyak keutamaan dan kegunaan silaturahmi nan dijanjikan Allah kepada setiap muslim nan
melakukannya. Berikut beberapa diantaranya:
Diberi berkah umur dan rezeki. Orang nan bahagia bersilaturahmi, rezekinya akan ditambah dan
umurnya akan dihabiskan buat melakukan amal kebaikan.

Mendapat pahala. Bagi orang Islam, tentu saja silaturahmi merupakan bagian dari ibadah juga. Sehingga
aktivitas ini dapat mendatangkan pahala dari Allah.

Mendatangkan kebahagiaan. Dengan silaturahim, akan memperbanyak teman dekat nan tentunya juga
akan banyak menularkan kebaikan. Kebahagiaan akan terasa jika kita banyak berbagi dengan sesama.

Memperkuat persatuan umat Islam. Dengan silaturami, akan timbul rasa cinta dan persaudaraan,
sehingga tak akan mudah tercerai-berai.

Masih banyak keutamaan silaturahmi selain nan disebutkan di atas berdasarkan hadis-hadis nan shahih.
Orang getol bersilaturahmi kelak akan mendapatkan mimbar dari cahaya di akhirat, serta akan
dibangkitkan bersama orang-orang nan dicintai dan sering ia kunjungi pada saat hari kebangkitan.

Adab-Adab Silaturahmi

Namun demikian, dalam silaturahmi perlu diperhatikan adab dan tata caranya. Makna silaturahmi
sendiri ialah menyambung kasih sayang, maka diperlukan adab sebagai pedoman bagi kita agar
menambah rasa cinta dan persaudaraan.

Membawa hadiah saat berkunjung. Hadiah ini tak harus berupa barang, tapi mungkin kita juga dapat
menyampaikan informasi krusial dan berharga bagi orang nan kita kunjungi.

Memperhatikan hari dan waktu nan tepat buat bersilaturami. Jangan berkunjung di waktu biasanya
orang sedang istirahat.

Berpakaian nan rapi, sopan, dan bersih.

Mengucapkan salam saat berada di depan rumah orang nan kita kunjungi.

Menanyakan kabar sebagai pembuka percakapan.

Berbincang sesuatu nan baik, tak menggunjing, dan berdusta.

Saling menasehati dan mendoakan.


Tidak makan hidangan secara berlebihan.

Semoga hari-hari semakin bercahaya dengan banyak silaturahmi.

https://www.binasyifa.com/099/07/26/adab-adab-silaturahmi.htm

You might also like