You are on page 1of 21

Industri Properti

Khawatirkan Pelemahan
Rupiah
Anton Chrisbiyanto
Rabu, 9 Mei 2018 - 20:03 WIB
loading...

Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata. Foto/SINDOnews
A+ A-
JAKARTA - Industri properti di Tanah Air mulai khawatir atas gejolak nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS. Jika melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
berlangsung lama, dikhawatirkan banyak pengembang properti kolaps.

"Nilai tukar yang semakin tinggi memberikan dampak serius terhadap industri
properti. Terutama segmen properti kelas atas akan menghadapi masalah serius,"
tegas Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata di
Jakarta, Rabu (9/5/2018).

Dia mengungkapkan, REI khawatir sektor riil tidak bergerak karena banyak dana
yang mengendap di instrumen keuangan, seperti obligasi, valas, deposito dan
tabungan.

"Saat ini saja uang yang ditabung di bank, tidak masuk sektor riil. Kita khawatir
orang tidak akan mau membeli properti, karena masuk tabungan dan deposito,"
ungkapnya.

Soelaeman mengungkapkan dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana baru
yang masuk ke instrumen keuangan mencapai Rp1.400 triliun.

REI, lanjut dia, meminta kepada pengembang untuk melakukan hedging. Meski hal
tersebut diyakini tak mampu membendung gejolak industri properti jika pelemahan
ripiah terhadap dolar AS berlangsung dalam jangka panjang. "Apartemen atau
perumahan dengan unsur impor tinggi ini yang paling mengkhawatirkan,"
ungkapnya.

Hanya segmen perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang


tidak terpengaruh gejolak nilai tukar karena ada subsidi dari pemerintah. "Kami terus
memberikan semangat kepada pengembang untuk terus berproduksi meski dengan
margin terbatas," papar Soelaeman.

Industri properti, lanjut dia, sudah mematok harga produknya saat pre sales
sehingga tidak mungkin menaikkan harga jual sepihak karena nilai tukar rupiah yang
melemah.

"Yang juga harus diperhatikan yakni para pengembang melakukan proteksi terhadap
kenaikan harga material dan bunga bank. Jika tidak mampu mengantisipasi, industri
properti akan berguguran. Apalagi tidak semua pengembang memiliki dana besar
untuk hedging," tegasnya.
ADVERTISEMENT

REI, kata Soelaeman juga meminta perbankan untuk mendukung pertumbuhan


sektor riil. Tidak hanya peduli dengan sektor internal perbankan saja.

"Perbankan jangan peduli dengan dirinya sendiri. Kalau SBI naik maka suku bunga
perbankan naik. Tapi saat SBI turun, perbankan tidak mau turun. Itu tentu tidak baik
untuk pertumbuhan sektor riil," tegasnya.

Yang paling riskan, lanjut dia, apabila pada kondisi saat ini, suku bunga dinaikkan,
maka akan banyak kredit perumahan macet. "Semua developer akan tumbang,"
urainya.
https://ekbis.sindonews.com/read/1304386/179/industri-properti-khawatirkan-pelemahan-rupiah-
1525870280

Rupiah melemah, industri properti dan


konstruksi diprediksi melempem
Pelaku usaha properti dan konstruksi mulai mengkhawatirkan dampak negatif
depresiasi nilai tukar rupiah.
Author : Laila
Selasa, 22 Mei 2018 15:55 WIB

Tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat berdampak pada
berbagai sektor termasuk properti dan konstruksi. Berdasarkan data Bloomberg,
sepanjang tahun ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah mengalami
pelemahan lebih dari 4%.
Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata
mengatakan pelemahan rupiah berdampak pada penjualan properti. Penjualan
hunian yang paling terpapar depresiasi rupiah berada di segmen menengah ke atas
sampai segmen mewah. Harga bahan baku untuk membangun hunian itu
bergantung pada nilai dollar AS. REI baru bisa menghitung berapa besar
dampaknya pada tiga bulan ke depan.
BACA JUGA

 Rupiah melemah terpapar sentimen dalam negeri


 Pertukaran mata uang Indonesia dan China capai Rp435 triliun
 BI: Rupiah masih di bawah fundamental

Pelemahan industri properti sebenarnya sudah mulai terjadi pada dua tahun terakhir.
Saat itu, pemerintah menaikkan suku bunga acuan menjadi hingga 12% hingga
13%. Kondisi ini mengakibatkan pengembang sulit mendapatkan kredit konstruksi.
Selain itu, masyarakat yang membeli properti dengan kredit pemilikan rumah (KPR)
juga keberatan dengan kondisi tersebut.

“Kalau kredit konstruksi naik dan bunga KPR (kredit pemilikan rumah) naik,
pengaruhnya ke sektor riil seperti properti, kami semakin susah jualan,” kata
Soelaeman saat ditemui di Jakarta, Senin (21/5).

Kondisi ini, akan semakin parah jika rupiah melemah. Sektor ini secara psikologis
terdampak terhadap depresiasi rupiah. Jika nilai tukar rupiah belum menguat hingga
akhir tahun, pengembang akan semakin sulit melakukan penjualan.

Sementara itu, Direktur Utama PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL) Janti
Komadjaja mengatakan perubahan nilai mata uang dapat mempengaruhi kontrak
proyek yang sedang berjalan.

Meskipun setiap kontrak proyek sudah memperhitungkan fluktuasi rupiah terhadap


dollar AS, namun jika terjadi depresiasi berlebihan, akan terjadi renegosiasi yang
berdampak besar terhadap keberlangsungan proyek.

“Kami memang tidak bisa langsung menentukan presentase kenaikan nilai proyek.
Karena harus melihat kenaikan harga bahan bangunan dan sebagainya,” kata dia.

Negosiasi proyek bisa membuka kemungkinan untuk menunda pengerjaan proyek


bahkan mengulur waktu penyelesaian proyek yang ada. Hal ini, tergantung hasil
negosiasi kedua belah pihak.

Sementara dalam laporan kinerja di hadapan Komisi XI DPR RI, Gubernur Bank
Indonesia Agus Martowardojo mengatakan pelemahan mata uang rupiah terhadap
dollar AS disebabkan karena banyak faktor. Di antaranya, neraca perdagangan yang
tidak seimbang, ekspor lebih rendah dibanding impor, produksi manufaktur dan
sektor riil lainnya yang rendah, serta perubahan global.

Sejak 2012, penurunan nilai mata uang tidak bisa dihindari dikarenakan transaksi
berjalan terus mengalami defisit. Defisit yang besar terjadi pada 2013 sampai 2014
mencapai US$ 27 miliar. Saat ini, defisit sudah turun menjadi US$ 17 miliar. “Defisit
ini akan terus menyebabkan pelemahan rupiah,” kata Agus di Ruang Rapat Komisi
XI DPR RI, Jakarta, Selasa (22/5).

Untuk mengembalikan kejayaan rupiah, perlu dilakukan berbagai strategi. Hal ini
membutuhkan campur tangan berbagai pihak. “Reformasi harus diteruskan terutama
di sektor riil dan moneter. Selain itu, kita harus menambah ekspor, dan jangan
tergantung pada bahan mentah hasil impor,” kata dia.

Pemerintah telah berupaya melakukan perbaikan di berbagai sektor untuk


mendongkrak kinerja rupiah, yakni pembangunan infrastruktur yang masif, perbaikan
sumber daya manusia, reformasi kelembagaan, sampai inovasi kebijakan di
berbagai sektor.

Kendati begitu, perlu ada perbaikan di sektor pasar modal dan keuangan. Jika
berkaca pada negara maju, pasar saham sudah menjadi sumber pendanaan untuk
pembangunan infrastruktur. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan pembiayaan dari
perbankan,” ujarnya.
https://www.alinea.id/bisnis/rupiah-melemah-industri-properti-dan-konstruksi-diprediksi-
melempem-b1Uzo9b8F

PELEMAHAN RUPIAH GOYANG INDUSTRI PROPERTI

Mata uang rupiah terus mengalami tekanan terhadap dolar Amerika Serikat
(US$) beserta mata uang dunia lainnya sejak bulan Agustus 2013. Sejumlah sektor ekonomi Indonesia pun
mengalami goncangan. Apakah sektor properti termasuk yang terkena dampaknya?

Otoritas moneter (Bank Indonesia) mencatat, penurunan rupiah terhadap US$ sudah terasa sejak 14 Agustus
2013. Pada periode 14 Agustus 2013 hingga 20 Agustus 2013, rupiah melemah dari Rp10.797 per US$ menjadi
Rp11.004 per US$.

Jika dirunut tiga tahun ke belakang, rupiah sempat anjlok hingga menyentuh Rp12.000 per US$ pada 21
November 2008. Rupiah sempat anjlok lagi hingga Rp11.975 per US$ pada? Februari 2009. Kondisi terburuk
terjadi pada 1998 silam di mana nilai tukar rupiah menukik tajam hingga menyentuh angka Rp17.000 per US$.

Salah satu penyebab menurunnya nilai tukar rupiah tersebut adalah neraca perdagangan Indonesia yang terus
mengalami defisit belakangan ini. Faktor domestik lainnya, yakni reaksi atas asumsi makro pada APBN 2014
yang dinilai kurang pro terhadap pasar turut memberikan tekanan terhadap rupiah.

Sementara faktor dari luar negeri, yaitu kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang akan
menghentikan paket Quantitative Easing (QE) tahap III membuat panik pasar sehingga turut memberikan
tekanan terhadap rupiah dan mata uang global lainnya. Pasalnya, kebijakan tersebut dipercaya mampu
menjadi penyelamat kondisi ekonomi dunia yang masih belum kuat.

Goyang Industri Properti?

Terkaparnya rupiah atas dolar Amerika Serikat menggoyang stabilitas perekonomian Indonesia. Sejumlah
sektor ekonomi Indonesia pun terpukul. Terutama sektor yang berbasis impor, seperti sektor farmasi, kimia
dan automotif. Namun, ada pula yang diuntungkan dengan melemahnya rupiah, seperti sektor yang berbasis
ekspor karena adanya keuntungan selisih kurs. Industri perkebunan dan perdagangan, misalnya, diuntungkan
dengan kondisi melemahnya rupiah terhadap US$.

Sektor lain yang diprediksi akan terpengaruh kinerja pertumbuhan akibat pelemahan rupiah adalah properti.
Ada yang memperkirakan bahwa harga rumah akan terdongkrak seiring dengan menguatnya dollar Negeri
Paman Sam terhadap rupiah. Penguatan dolar terhadap rupiah memang mau tidak mau akan harga bahan
bangunan, misalnya besi konstruksi yang kebanyakan masih diimpor. Namun, komponen utama yang
berpengaruh besar terhadap harga jual rumah adalah harga lahan yang naik setiap tahun.

Menurut Ciputra, Ketua Umum REI periode 1972-1974, kondisi perekonomian Indonesia sedang tidak menentu
karena masih terpengaruh oleh lesunya perekonomian global dan pelemahan rupiah terhadap US$. Oleh
karena itu, Pak Ci, demikian ia akrab disapa, mengingatkan kepada para pelaku properti untuk waspada
terhadap kondisi tersebut.

Waspada. Sebab begini, kalau hanya keadaan ekonomi sekarang masih baik. Tapi kalau keadaan ekonomi
lebih jelek, jadi kita waspada,? ucapnya sebagaimana dikutip finance.detik.com. pertumbuhan sektor properti,
lanjutnya, sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian.

Di tengah depresiasi rupiah terhadap dolar, sektor properti dinilai masih kuat untuk menghadapinya. Pasalnya,
empat paket stimulus yang ditelurkan pemerintah untuk menjaga perekonomian Indonesia akan meyakinkan
pasar bahwa depresiasi tersebut tidak akan menuju ke krisis ekonomi seperti yang terjadi pada 1998 silam.?

Bahkan Grup properti asal Australia, Crown Group, berencana menanamkan modalnya di Indonesia meski
sedang ada gonjang-ganjing nilai tukar rupiah. Optimisme Crown Goup tersebut ditunjukkan dengan rencana
mengembangkan sebuah proyek di Jakarta yang ground breakingnya akan dilangsungkan akhir tahun ini.

Crown tidak akan mundur. Sudah ada business plan dan konsep pengembangan di Indonesia yang jelas. Kami
sudah berpengalaman 17 tahun juga," ujar Michael Ginarto, Kepala Divisi Penjualan dan Pemasaran Crown
Group di Indonesia.

Iwan Sunito, CEO Crown Group menambahkan, alasan perusahan yang digawanginya melebarkan sayap
bisnisnya di Indonesia adalah melihat pesatnya pertumbuhan ekonomi sehingga menjadi pasar yang menarik
dan menantang. ?Rencana tersebut juga dapat dilihat sebagai salah satu impian terbesar saya untuk
memberikan kontribusi terhadap tanah kelahiran saya, atau dengan kata lain, kita dapat menyebutnya sebagai
proyek Pulang Kampung,? urainya.

Bersifat Sementara

Menurut Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz, nilai tukar rupiah yang melemah hingga menembus level
Rp11.000 per US$ tidak akan memengaruhi harga perumahan di Indonesia. pasarlnya, pelemahan rupiah
bersifat sementara dan akan berangsur-angsur kembali normal. Kenaikan harga rumah sebenarnya lebih
dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM.

Kalau dolar ini kan sifatnya sementara. Sedikit lagi kan juga kembali normal, yang berpengaruh itu BBM
sebetulnya. Kenaikan harga BBM itu mendongkrak bahan-bahan bangunan, nah itu yang harus disesuaikan.
Tapi tidak semua tempat perlu penyesuaian,? jelasnya seperti dikutip finance.detik.com.

Tanda-tanda tidak terpengaruhnya harga rumah karena pelemahan rupiah, lanjut Djan, adalah pameran
perumahan yang dihelat Kemenpera di 10 kota belum lama ini menunjukkan tingkat penjualan yang tinggi
sehingga masih memberikan keuntungan bagi pengembang. ?Kemarin saya bikin pameran perumahan, di
sepuluh kota itu dengan harga yang sama tidak ada masalah penjualan tetap tinggi, jadi pengembang masih
mau menjual dengan harga lama. Tapi kalau dari dolar nggak, ini kan cuma efek sementara, dan ini bisa segera
diatasi oleh pemerintah,? ucapnya.

2014 Melambat

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, pasar properti Indonesia terus
mengalami pertumbuhan signifikan sejak 2009 dan diprediksi melambat di 2014 ini. Dalam dua tahun terakhir
pasar properti memang telah menjadi primadona dengan pertumbuhan pembangunan dan peningkatan harga
yang signifikan khususnya di Jabodetabek. Peningkatan ini juga kemudian mulai terjadi di kota-kota lain.
Hal ini telah membuat pasar menjadi jenuh dan terdapat beberapa titik lokasi yang memasuki tahap over value.
Kondisi ini membuat pasar properti relatif mengalami perlambatan. Seiring dengan hal tersebut indikator
perekonomian nasional tengah diuji dengan menurunnya defisit transaksi, merosotnya nilai Rupiah, dan
anjloknya pasar modal. Meskipun hal ini terkait juga dengan kondisi ekonomi dunia, khususnya Amerika,
namun dampak yang akan terjadi akan turut memukul sektor properti,? papar Ali.

Siklus properti yang tengah melambat, lanjutnya, juga terkena dampak perekonomian yang melemah. Kondisi
ini yang seharusnya diwaspadai oleh para pelaku bisnis properti saat ini. Dalam jangka menengah bila kondisi
ini tidak bisa teratasi dengan baik oleh pemerintah maka pasar properti diperkirakan akan lebih terpukul dan
relatif akan terjadi perlambatan yang lebih dalam lagi.

Lebih jauh Ali menuturkan, pelaku pasar properti segmen menengah atas seharusnya telah mulai berpikir untuk
mengkalkulasi ulang bisnis propertinya khususnya untuk proyek-proyek yang menggunakan material luar
negeri karena merosotnya nilai Rupiah. Kehati-hatian pelaku pasar turut dipertaruhkan agar jangan sampai
terjadi proyek macet dan berimbas pada kredit macet perbankan.

Di sisi lain pasar properti segmen menengah pun relatif akan melambat dengan menurunnya daya beli akibat
meningkatnya BI Rate. Dimana diperkirakan Bank Indonesia pun akan kembali menaikkan BI Ratenya dalam
semester kedua tahun 2013 ini dan secara langsung akan menaikan suku bunga KPR sehingga pasar pun
relatif akan semakin terbatas,? tuturnya.

Menurut Sekretaris Jenderal DPP REI, Eddy Hussy, kenaikan suku bunga KPR ditentukan oleh kebijakan bank
yang bersangkutan. Jika kenaikan suku bunga KPR terlampau tinggi, dikhawatirkan akan berpengaruh
terhadap daya beli masyarakat untuk memiliki rumah. ?Tapi kami berharap supaya bunga itu bisa rendah agar
masyarakat tetap mampu untuk membeli rumah.? Tapi pemerintah punya pertimbangan ekonomi Negara, jadi
kami pengembang akan menyesuaikan,? ucapnya sebagaimana dikutip bisnis.com.

Adapun pasar properti kelas menengah sampai atas juga akan dihadapkan terhadap batasan aturan baru Loan
to Value dari Bank Indonesia. Hal ini juga akan turut berdampak terhadap penundaan atau pembatalan rencana
pembelian properti oleh konsumen khususnya di kelas menengah sampai atas.

Indonesia Property Watch memperkirakan bila kondisi perekonomian berkelanjuran sampai triwulan keempat
tahun 2013, maka pasar properti diperkirakan akan anjlok lebih dari perkiraan semula, minimal terjadi
penurunan pertumbuhan 25% di tahun 2014 dan merupakan tahun Waspada Pasar Properti,? ucapnya.

Kondisi politik tahun 2014, kata Ali, saat ini relatif agak berbeda dengan iklim pemilu yang lalu dan diperkirakan
lebih bergejolak dibandingkan pemilu yang lalu. Hal ini turut mempengaruhi pertumbuhan pasar properti
nasional yang relatif akan berdampak merosotnya pasar properti lebih besar lagi. Namun demikian diperkirakan
pasar properti menengah bawah relatif masih bisa bertumbuh di tahun 2014 karena banyak pembelanjaan
partai-partai yang dapat mendongkrak daya beli masyarakat meskipun dalam jangka waktu tertentu.

Dengan kondisi ini artinya melambatnya pasar properti saat ini juga dibarengi dengan kondisi-kondisi yang bisa
memungkinkan pasar properti akan jatuh lebih rendah lagi. Namun demikian hal ini bukan semata-mata karena
pasar properti itu sendiri melainkan karena dampak yang bersamaan antara siklus properti yang sedang
melambat dan perekonomian nasional yang sedang terpuruk. Perekonomian nasional diharapkan dapat segera
diatasi dengan baik sehingga siklus properti yang telah mengalami perlambatan tidak jatuh terlalu dalam lagi.

Pukul Industri Konstruksi

Pelemahan rupiah terhadap US$ akhir-akhir ini tidak dapat terhindarkan lagi akan menyebabkan naiknya biaya-
biaya material utama konstruksi baik yang datangnya dari luar negeri (impor) maupun material industri lokal.
Dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan barang konstruksi nasional yang masih minim, pilihan untuk
mengimpor material konstruksi ketika apresiasi US$ terhadap rupiah demikian tinggi jelas akan menjadi
tambahan beban bagi penyelesaian proyek-proyek yang sedang atau akan di laksanakan oleh kontraktor.

Padahal, sektor konstruksi di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam PDB tahun 2011 terjadi
peningkatan sekitar sebesar 8%, tahun 2012 sebesar 10% dan pada tahun 2013 diperkirakan mengalami
peningkatan sebesar 11-12%. Secara nilai juga mengalami peningkatan, pada tahun 2011 sebesar Rp 250
triliun, pada tahun 2012 sebesar Rp 330 Triliun dan diprediksi pada tahun 2013 nilai belanja konstruksi nasional
meningkat sekitar 20%.
Sekarang baru kita akan bekerja dengan baik, tiba-tiba mengalami dua hal. Yang pertama adalah, mengalami
kenaikan harga BBM. Kita bertahan dengan kenaikan BBM. Kita berusaha tidak ada kenaikan harga dan kita
coba bertahan dengan efesiensi. Kita juga himbau kepada para suplier kita supaya kenaikan harga BBM ini
juga tidak memberikan dampak yang signifikan,? jelas Sudarto, Ketua Umum Asosiasi Kontraktor Indonesia
(AKI).

Penyelesaian proyek-proyek baik infrastruktur maupun komersial sangat sangat dibutuhkan dan perlu didukung
penyelesaiannya untuk memperkuat perekonomian nasional. ?Menyikapi berbagai permasalahan tersebut
maka para pelaku jasa konstruksi nasional yang tergabung dalam AKI sepakat untuk menyatakan sikap yang
pertama, mendukung pemerintah dalam melakukan langkah-langkah penguatan ekonomi, khususnya melalui
penyelesaian semua proyek infrastruktur yang sedang atau akan dilaksanakan dengan tepat waktu dan sesuai
mutu seperti yang dipersyaratkan,? katanya.
http://www.rei.or.id/liputan-3-Pelemahan%20Rupiah%20Goyang%20Industri%20Properti.php

Rupiah Anjlok Rp14.084/USD,


Sektor Properti Kena
Imbasnya
Giri Hartomo, Jurnalis · Rabu 09 Mei 2018 20:24 WIB
 Share on Facebook
 Share on Twitter
 Share on Google
 Share on linkedin
 Share on Pinterest
 whatsapp
 Share on mail
 copy link
 Toggle
Foto: Antara
 Share on Facebook
 Share on Twitter
 Share on Google
 whatsapp
 Toggle
 3TOTAL SHARE
 Share on Pinterest
 Share on linkedin
 Share on mail
 copy link

AAA
0 Komentar

JAKARTA - Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih
belum bisa bangkit dari keterpurukan. Pada penutupan perdagangan hari ini,
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh Rp14.084 per USD.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI)
Soelaeman Soemawinata mengatakan, pelemahan rupiah tentunya akan
berdampak buruk bagi sektor properti. Pasalnya semakin melemahnya nilai
tukar rupiah, maka daya beli masyarakat akan turun.

BERITA TERKAIT+
 Tarik Investasi, Izin Harus Dipermudah
 Mau Sukses Bisnis Properti? Belajar dari Pengusaha Ini
 Pengusaha Ini Pernah Bangkrut di Bisnis Properti tapi Lihat Hasil Akhirnya
"Rupiah melemah memang menjadi situasi yang sulit ya sebenarnya buat kita
(REI). Karena semakin orang enggak mau beli properti kan," ujarnya saat
ditemui di Kantor Pusat DPP REI, Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Menurutnya, ada beberapa hal yang membuat daya beli masyarakat untuk
membeli properti semakin lesuu ditengah pelemahan nilai tukar rupiah.
Pertama adalah harga properti yang semakin melambung.
Bagaimana tidak, harga properti juga otomatis akan terpengaruh. Khususnya
properti dengan kelas atas atau high end. Karena mayoritas barang yang
digunakan untuk pembangunan tersebut berasal dari impor.
ADVERTISEMENT

"Kalau dolar semakin tinggi industri properti di sektor sektor tertentu yang
kontennya impornya cukup tinggi menjadi sangat kesulitan. Lift misalnya itu
yang pertama," jelasnya.
Sementara untuk rumah MBR, dirinya menyebut, tidak akan naik secara
signifikan. Karena kebanyakan bahan baku yang digunakan merupakan
konten lokal.
"Tapi secara logika seperti itu kecuali di sektor rumah rakyat enggak banyak
pengaruh. Karena treatment pemerintahnya cukup kuat dan konten lokalnya
banyak sekali," jelasnya.
Menurutnya daya beli properti juga disebabkan karena banyak masyarakat
yang lebih memilih untuk menaruh uangnya di sektor keuangan. Karena
sektor keuangan lebih menarik ditengah penguatan nilai dolar.
"Yang kedua kalau misalnya properti dolar ini naik yang saat ini saja uang itu
ditabung di bank dan di sektor riil didunia Maya itu masuknya ketabungan.
Tetep di main kurs. Nah itu memang kita khawatir," ucapnya.
https://economy.okezone.com/read/2018/05/09/470/1896465/rupiah-
anjlok-rp14-084-usd-sektor-properti-kena-imbasnya
Rupiah Terus Melemah, Sektor Usaha Apa yang Rentan? Kompas.com - 13/05/2018, 15:10 WIB
ilustrasi rupiah(thikstockphotos) Nilai Tukar Rupiah terus tertekan. Pekan ini nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS masuk ke zona Rp 14.000. Bidang usaha apa yang paling terkena dampak
jika kurs rupiah terus melemah terhadap dollar AS? Mulai Selasa (8/5/2018) pekan kemarin, nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS berada di zona Rp 14.000. Berdasarkan kurs referensi di Bank
Indonesia, rupiah diperdagangkan di level Rp 14.036 per dollar AS. Sehari sebelumnya masih di
level Rp 13.956 per dollar AS. Di Bank BCA, rupiah juga ditransaksikan di level Rp 14.000. Kurs
jual rupiah di BCA masing-masing sebesar Rp 14.046 (e-rate) dan Rp 14.200 di konter. Kurs e-
rate digunakan untuk transaksi secara online melalui e-banking. Di konter valuta asing, nilai tukar
rupiah bahkan telah mencapai Rp 14.000 per 1 dollar AS sejak sepekan lalu. Maklum konter
valas biasanya lebih cepat bergerak naik dibandingkan konter bank. Rupiah melemah terhadap
dollar karena para investor di bursa saham dan pasar utang pemerintah menjual kepemilikan
mereka. Saat itu mereka melepas rupiah dan mengoleksi dollar AS. Sebab itulah dollar AS
menguat, dan sebaliknya Rupiah melemah. Para investor tersebut, umumnya asing, mencari
peruntungan baru di AS yang dinilai lebih menarik karena suku bunga acuan akan dinaikkan
sebanyak tiga kali dalam tahun ini. Namanya saja negara dengan peraturan devisa bebas,
Indonesia tidak bisa berbuat banyak menghalangi investor asing yang berbondong-bondong
memindahkan aset keuangannya. Belum lagi permintaan perusahaan terhadap dollar AS untuk
membayar utang kepada lembaga keuangan di luar negeri. Perusahaan tersebut tentu akan
mengoleksi dollar AS dan melepas rupiahnya. Mata uang Burung Garuda pun semakin melemah
di hadapan Paman Sam (dollar AS). Nilai Tukar Rupiah Tahun 1998 Pelemahan nilai tukar
rupiah ke zona Rp 14.000 per dollar AS sebenarnya tidak terjadi kali ini saja. Sebelumnya, tiga
tahun lalu, tepatnya pada 29 September 2015, nilai tukar rupiah tersungkur hingga Rp 14.728
per dollar AS, melemah dari Januari 2015 yang masih Rp 12.474 per dollar. Tidak heran jika
pelaku ekonomi saat ini dibayang-bayangi masa-masa krisis 1998. Maklum, saat ini, nilai tukar
rupiah hanya selisih Rp 2.000 dibanding nilai tukar saat krisis 1998. Pada Juni 1998, rupiah
berada di posisi Rp 16.800 per dollar AS, atau terburuk sepanjang catatan sejarah republik ini.
Padahal setahun sebelum krisis terjadi, tepatnya 1997, rupiah aman di angka Rp 2.400 per dollar
AS. Saat itu, pergerakan keterpurukan rupiah berlangsung cepat. Dari Rp 2.400 menjadi Rp
3.200 lalu bergerak ke level Rp 5.500 per dollar AS. Ketika tanda-tanda krisis muncul, rupiah
langsung ambruk ke posisi Rp 15.400 per dollar AS pada Januari 1998. Rupiah sempat mereda
ke angka Rp 8.000 per dollar AS pada Februari-Mei 1998. Namun kondisi itu ternyata hanya
sementara. Badai lebih besar datang dan menghantam Rupiah ke level paling buruk yakni Rp
16.800 per dollar AS pada Juni 1998. Perbedaannya dengan pelemahan rupiah sekarang,
pelemahan rupiah terhadap dollar AS terjadi cukup lambat. Pelemahan rupiah tidak terjadi
secara ekstrem sehingga para pelaku pasar dan sektor usaha masih bisa menyesuaikan.
Pelemahan kali ini lebih banyak disebabkan oleh pengaruh Amerika Serikat. Para investor asing
pun mencari negara tempat beternak atas dana mereka sebagai safe haven baru. Sektor Usaha
Paling Rentan Saat nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS, kamu yang berprofesi
sebagai karyawan mungkin tenang-tenang saja. Berbeda halnya dengan pimpinan perusahaan:
mereka akan sulit tidur karena pelemahan rupiah akan berdampak kepada keuangan
perusahaan. Jika dibiarkan terus melemah, bisa-bisa perusahaan akan gulung tikar.
Pertanyaannya, sektor usaha apa yang paling terkena dampak dari pelemahan rupiah? Saat ini
prosesnya masih berlangsung sehingga dampaknya belum begitu jelas diketahui. Cuma kita bisa
melihat dampak pelemahan dari pelemahan rupiah yang terjadi dua puluh tahun silam. Dari riset
yang dilakukan peneliti Bank Indonesia pada 1998, secara umum disebutkan, perusahaan yang
memiliki sumber daya di dalam negeri yang kuat, berorientasi ekspor, memiliki sumber
pembiayaan non-rupiah yang rendah, mereka mampu bertahan jika nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS sedang tertekan. Bahkan perusahaan itu tetap bisa tumbuh positif. Berikut ini hasil riset
yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia pada Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan tahun
1998. Riset yang dilakukan oleh Noor Yudanto dan M. Setyawan Santoso terasa masih relevan
hingga saat ini: 1. Industri pengolahan Sektor ini memiliki kandungan impor yang tinggi sehingga
sangat terpengaruh dengan pelemahan rupiah terhadap dollar AS. Kegiatan produksi sektor ini
menjadi sangat mahal dengan kondisi rupiah yang sedang melemah. Saat bank menaikkan suku
bunga kredit, sektor ini juga akan mengalami tekanan baru. 2. Sektor bangunan/properti
Pelamahan nilai tukar rupiah diperkirakan cukup memukul sektor properti ini, bersama sektor
industri pengolahan. Maklum di sektor bangunan ini banyak menggunakan bahan baku impor,
terutama perlengkapan pembangunan properti, dan pinjaman non-rupiah. Tekanan dari sisi suku
bunga juga cukup besar. Sebab konsumen mengerem membeli bangunan jika suku bunga bank
naik. 3. Sektor perdagangan Pelemahan rupiah cukup berpengaruh terutama pada sektor
perdagangan konsumer goods, barang-barang mewah, peralatan elektronik, dan barang
kebutuhan lain yang puna kandungan impor tinggi. Dari sisi kenaikan suku bunga, sektor ini juga
cukup rentan karena memiliki kredit perbankan untuk kegiatan usaha maupun kredit konsumsi
oleh konsumen.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rupiah Terus Melemah, Sektor Usaha Apa
yang Rentan?", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/13/151042626/rupiah-terus-
melemah-sektor-usaha-apa-yang-rentan.

Editor : Bambang Priyo Jatmiko

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/13/151042626/rupiah-terus-
melemah-sektor-usaha-apa-yang-rentan

Rupiah Melemah, Pengembang


Properti Tertekan
Maret

12
/ 2015
19:28 WIB

Oleh :Adi Ginanjar Maulana/Ria Indhryani

Share this post :



Ilustrasi - Bisnis
Bisnis.com, BANDUNG -- Asosiasi Pengembang Perumahan Rakyat Seluruh Indonesia
atau AP2ERSI menilai pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diprediksi
bakal mempengaruhi pada kenaikan harga komponen rumah.

Ketua AP2ERSI Fery Sandiyana mengatakan pengaruh pelemahan rupiah terhadap


dolar Amerika itu terjadi pada kebutuhan bahan baku seperti besi dan batu beton pada
beberapa bulan ke depan.

"Jika rupiah ini tidak fluktuatif atau terus melemah, biasanya harga bahan bangunan
akan naik. Tetapi tidak langsung, karena yang mereka gunakan untuk membangun saat
ini kan barang-barang yang sudah dipatok dengan harga lama sebelum rupiah tersebut
anjlok," katanya kepada Bisnis, Kamis (12/3).

Fery mengaku tidak akan langsung menaikkan harga jual rumah karena saat ini daya
beli masyarakat dalam kondisi yang rendah.

Menururnya, daya beli masyarakat saat ini sedikit lebih mengesampingkan kebutuhan
properti karena masih lebih mementingkan kebutuhan sehari-hari yang juga beberapa
ikut merangkak naik.

Mengenai suku bunga kredit usaha dari bank yang kemungkinan naik, Fery menilai
tidak semua pengembang tergantung pada pinjaman bank dan daya belipun menjadi
pertimbangan bank pada saat ini.

"Perkiraan saya masih akan tetap karena bank juga pasti mempertimbangkan daya beli
yang saat ini sedang rendah. Apalagi jika suku bunga kredit usaha dinaikan dan harga
properti juga mengikuti, hal ini bisa semakin menekan daya beli masyarakat," ujarnya.

Sementara itu, Realestat Indonesia (REI) Jabar mengungkapkan pelemahan rupiah tidak
akan berpengaruh secara langsung pada bisnis sektor properti mengingat tertekannya
nilai tukar rupiah ini juga berlangsung secara fluktuatif.

Ketua REI Jabar Irfan Firmansyah mengatakan biasanya masalah fluktuasi harga ini
berpengaruh pada kenaikan harga bahan baku pabrikan yang diimpor seperti
kebutuhan lighting atau batu marmer yang biasa digunakan oleh rumah-rumah atau
properti kelas atas.

"Tidak langsung karena ini kan fluktuasinya jalan terus, nanti harga bahan baku bisa
naik dan turun menyesuaikan. Sehingga tidak terlalu berpengaruh lebih luas ke harga
jual propertinya," katanya.
Harga bahan baku menurut Irfan merupakan salah satu faktor yang tidak berpengaruh
besar karena pengaruh besar properti biasa justru terjadi karena harga tanah yang
tinggi.

Hal lain yang dapat mempengaruhi menurutnya suku bunga baik KPR bagi konsumen
dan suku bunga modal usaha bagi pengembang yang hingga saat ini belum turun.

"Yang jadi masalah memang BI Rate yang sudah turun tetapi landing rate atau bunga
KPR untuk konsumen dan bunga modal usaha untuk pengembangnya yang masih kita
tunggu, kapan turunny

http://properti.bisnis.com/read/20150312/107/411231/rupiah-melemah-
pengembang-properti-tertekan

Rupiah Bergejolak, Sektor Properti Tak


Tumbuh Maksimal
NEWS - Gita Rossiana, CNBC Indonesia

16 August 2018 10:45

SHARE
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) sudah mengeluarkan obat kuat untuk memajukan industri properti. BI
dengan relaksasi loan to value (LTV) yang bisa 100% atau uang muka (down
payment) 0% dan OJK dengan dihapuskannya larangan pemberian kredit
tanah.

Serangkaian relaksasi dari dua regulator ini diharapkan bisa mendorong


tumbuhnya kembali sektor properti. Namun, masalah baru sektor properti saat
ini adalah pelemahan nilai tukar rupiah.

PILIHAN REDAKSI Sekretaris Jenderal Real Estate Indonesia


 Ketua Umum Kadin: Rupiah (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan,
Turun Terus, Yang Repot Kita
Juga industri properti belum bisa bangkit secara
 Pengusaha Minta RI Tegas
Batasi Impor Barang Konsumtif keseluruhan apabila nilai tukar rupiah masih
 BI dan OJK Beri Relaksasi belum stabil.
Aturan, Industri Properti
Bangkit?
"Kami tidak penting nilai tukar rupiah bisa di
angka berapa, namun yang terpenting, nilai
tukar rupiah stabilnya di angka berapa," ujarnya kepada CNBC Indonesia,
Kamis (15/8/2018).

Pasalnya, apabila kurs tidak stabil, maka minat masyarakat untuk membeli
properti bisa berkurang. "Masyarakat akan cenderung berinvestasi di
instrumen valas daripada ke sektor riil," ucap dia.

Ditambah pula, fluktuasi nilai tukar rupiah ini bisa memengaruhi harga properti
karena pengembang harus memperhitungkan kembali sumber dana yang
diterimanya."Saat ini, harga properti memang belum naik, namun kami terus
menghitung nilai modal kami," kata dia.

Paulus menambahkan setelah BI merelaksasi LTV beberapa waktu lalu, pasar


properti memang mulai bangkit. Meski, Totok belum bisa menghitung
seberapa besar peningkatannya.

"Kami harus mengevaluasi data statistiknya dengan BI mengenai dampak


LTV," ujar dia.

Begitu juga aturan kredit tanah, Totok juga menaruh keoptimisan dengan
adanya aturan tersebut. Pasalnya, kredit tanah sebelumnya hanya
diberlakukan untuk rumah bersubsidi. "Sedikit banyak bisa membantu," papar
dia.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180816103353-4-28884/rupiah-
bergejolak-sektor-properti-tak-tumbuh-maksimal

Pelemahan Rupiah Seret Perusahaan Properti


Giras Pasopati, CNN Indonesia | Selasa, 04/08/2015 11:44 WIB

Bagikan :

Pengunjung melihat pameran properti di Jakarta, Selasa, 5 Mei 2015. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat menilai pengembang properti membukukan kinerja yang
agak lemah sepanjang semester I 2015, dengan tidak adanya kejutan positif. Banyaknya
hambatan mulai dari pelemahan nilai tukar rupiah hingga penurunan daya beli membuat kinerja
properti tersendat.
Analis Mandiri Sekuritas Rizky Hidayat mengatakan terkait masalah valuta asing, PT Alam
Sutera Realty Tbk (ASRI) dan PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) terkena dampak penurunan nilai
tukar rupiah terhadap valas.

Seperti diketahui, Alam Sutera mengalami penurunan kinerja selama paruh pertama tahun 2015.
Laba bersih perseroan melorot hingga 11,8 persen secara tahunan menjadi Rp 454,3 miliar dari
periode yang sama tahun sebelumnya yakni Rp 515,3 miliar.

Penurunan laba bersih seiring dengan melorotnya pendapatan usaha emiten properti ini 12,1
persen dari Rp 1,94 triliun menjadi Rp 1,73 triliun. Hal itu ditambah lagi karena perseroan juga
mengalami rugi akibat tekanan kurs sebesar Rp 325,3 miliar. Padahal pada paruh pertama 2014,
tercatat laba selisih kurs sebesar Rp 25,9 miliar.

Sementara itu, Pakuwon Jati membukukan laba bersih pada semester I 2015 sebesar Rp 755,28
miliar atau merosot 16,61 persen bila dibandingakan dengan laba bersih pada periode yang
sama 2014 senilai Rp 905,73 miliar.

Penurunan kinerja Pakuwon Jati terutama disebabkan kerugian kurs yang sangat besar yaitu
senilai Rp 162,69 miliar pada semester I 2015, berbalik dari periode yang sama tahun 2014 di
mana perseroan mencetak keuntungan kurs sebesar Rp 9,27 miliar.

“PT Agung Podomoroland Tbk (APLN) dan PT Ciputra Development Tbk (CTRA) menghadapi
permasalahan pengakuan pendapatan (revenue recognition) pada semester I 2015, berlanjut
dari kuartal I/2015. Di sisi lain, penjualan lahan yang lambat kepada ASRI melanda PT
Modernland Realty Tbk (MDLN),” imbuh Rizky dalam riset, dikutip Selasa (4/8).

Sampai saat ini, Rizky menilai hanya PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Ciputra Surya
Tbk (CTRS), PT Jaya Real Property Tbk (JRPT), dan PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) yang
memiliki kinerja yang sejalan dengan prediksi.

Untuk diketahui, Bumi Serpong Damai membukukan pra-penjualan sebesar Rp 3,5 triliun
sepanjang paruh pertama tahun ini. Nilai itu setara 46 persen dari target akhir tahun senilai Rp
7,5 triliun.

“Kami percaya target pra-penjualan tahun 2015 sebesar Rp 7,5 triliun akan tercapai.
Pertumbuhan penjualan kami masih berada pada jalur yang tepat. Pada semester I-2015 pra-
penjualan kami tumbuh sebesar 28 persen secara year-on-year,” ujar Hermawan Wijaya Direktur
BSDE, belum lama ini.

Proyek residensial merupakan kontributor terbesar untuk pra-penjualan pada enam bulan
pertama 2015 dengan membukukan angka pra-penjualan sebesar Rp 2,49 triliun, disusul
kemudian oleh unit shophouse atau rumah toko sebesar Rp 520,69 miliar atau setara 15 persen
dari total pra-penjualan BSD.

“Kami masih berhati-hati pada sektor ini karena pelemahan ekonomi dan penjualan properti yang
melambat. Saat ini, emiten sektor properti ditransaksikan pada valuasi diskon 65 persen
terhadap nilai aset bersih (NAV) dan valuasi rasio harga saham per laba (PE ratio) sepanjang
2015 sebesar 12,5x,” jelas Rizky.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150804114414-92-
69935/semester-i-pelemahan-rupiah-seret-perusahaan-properti

You might also like