You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ilmu Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang spesialistik dari Ilmu
Kedokteran, yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan
penegakan hukum serta keadilan.
Di masyarakat, kerap terajdi peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh
dan nyawa manusia. Dalam hal terdapat korban, baik yang masih hidup maupun yang
meninggal akibat peristiwa tersebut. Dalam tugas sehari-hari, selain melakukan
pemeriksaan diagnostik, memebrikan pengobatan dan perawatan kepada pasien,dokter
juga mempunyai tugas melakukan pemeriksaan medik untuk tujuan membantu
penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati.
Pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegakan hukum antara lain adalah
pembuatan visum et repertum terhadap seseorang yang dikirim oleh polisi (penyidik)
karena diduga sebagai korban suatu tindak pidana, baik dalam peristiwa kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan kerja, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, maupun korban
meninggal yang pada pemeriksaan pertama polisi, terdapat kecurigaan akan
kemungkinan adanya tindak pidana.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Skenario

LBM 1

ANAKKU TAK DI ANGGAP


dr. Dudut Tustyadi, Sp.F., S.H.

Seorang suami memukul istrinya sehingga jatuh membentur meja. Pemukulan ini
dilatarbelakangi suami mencurigai anak mereka yang sudah berumur 2 tahun bukan hasil
perkawinan mereka. Sang istri dibawa ke RS dan diperiksa oleh dokter A. Pada
pemeriksaan didapatkan luka memar pada dahi kanan dan luka terbuka yang memerlukan
perawatan pada pelipis kiri.

Sang istri diantar ke Rumah Sakit oleh plisi dan meminta kepada dokter pemeriksa
dibuatkan Visum et Repertum perlukaan. Karena korban bekerja di sebuah perusahaan
swasta, krban meminta dibuatkan Surat Keterangan Sakit untuk tidak masuk kerja
beberapa waktu. Beberapa hari kemudian, pihak perusahaan tempat korban bekerja
meminta Surat Keterangan Medis agar dana asuransi kesehatan korban dapat dicairkan.

Di lain pihak, suami ingin melakukan tes paternitas untuk anaknya dengan
pemeriksaan DNA agar jelas siapa sesungguhnya ayah anaknya tersebut dan setelah ada
hasil dia meminta dibuatkan Surat Keterangan Keayahan bagi anak tersebut. Beberapa
saat setelah diperiksa sang istri tiba-tiba meninggal atau Death On Arrival (DOA).
Jenazah kemudian dievakuasi ke RSUD untuk dilakukan pemeriksaan forensik. Dan
dalam waktu yang bersamaan telah ditemukan pula jenazah tanpa identitas.

2
2.2. Terminologi
1. Luka Memar  suatu kadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan,
karena pecahnya pembuluh darah kapiler akibat kekerasan benda tumpul.2
2. Luka Terbuka  cedera jaringan lunak disertai kerusakan atau terputusnya
jaringan kulit, keadaan dimana kulit rbek dan dapat terkontaminasi. Luka terbuka
biasanya diakibatkan kekerasan benda tajam.
3. Visum et Repertum  keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan
tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik
hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan
interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.1
4. Surat Keterangan Sakit  surat keterangan yang dibuat oleh dokter yang isinya
menerangkan tetang keadaan tubuh yang kurang sehat atau dalam keadaan sakit dan
membutuhkan istirahat.
5. Surat Keterangan Medis  keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter untuk
tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pasien, atas permintaan pasien atau
atas permintaan pihak ketiga dengan persetujuan pasien atau atas perintah undang-
undang.3
6. Tes Paternitas  tes DNA untuk menentukan apakah seorang pria adalah ayah
biologis dari seorang anak.
7. Death On Arrival (DOA)  merupakan keadaan dimana pasien atau korban
ditemukan dalam keadaan sudah meninggal ditempat pelayanan. Biasanya kasus
DOA masuk ke IGD suatu rumah sakit.3

2.3. Permasalahan
1. Jelaskan tenang VeR!
2. Aspek hukum yang mendasari VeR?
3. Bagaimana cara menentukan pasien meninggal?
4. Perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada jenazah?
5. Bila keluarga meminta surat keterangan kematian, apa boleh langsung diterbitkan?
6. Jelaskan pengertian dan jenis-jenis cara, sebab, dan mekanisme kematian!
7. Jelaskan data apa saja yang dibutuhkan agar identitas jenazah dapat diketahui?

3
2.4. Pembahsan masalah
1. Jelaskan tentang VeR!
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas
permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang
manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan
dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.
Prosedur pengadaan VeR berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati,
prosedur permintaan VeR korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP.
Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan
boleh dilakukan oleh dokter. Hal tersebut berarti bahwa pemilihan jenis
pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan
mengandalkan tanggung jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak memuat
ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan korban sebagai barang bukti.
Hal-hal yang merupakan barang bukti pada tubuh korban hidup adalah perlukaannya
beserta akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya.
Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subjek hukum dengan
segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, karena barang bukti tersebut tidak
dapat dipisahkan dari orangnya maka tidak dapat disegel maupun disita, melainkan
menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk VeR.
KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh petugas
kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya dimaksudkan
untuk memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan diperiksa dengan
identitas korban yang dimintakan VeR- nya, seperti yang tertulis di dalam surat
permintaan VeR. Situasi tersebut membawa dokter turut bertanggung jawab atas
pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum
et repertum dengan identitas korban yang diperiksa.
Dalam praktik sehari-hari, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru
kemudian dilaporkan ke penyidik. Hal tersebut membawa kemungkinan bahwa surat
permintaan visum et repertum korban luka akan datang terlambat dibandingkan
dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan tersebut masih cukup
beralasan dan dapat diterima maka keterlambatan itu tidak boleh dianggap sebagai
hambatan pembuatan VeR. Sebagai contoh, adanya kesulitan komunikasi dan sarana
perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (darurat).
4
Adanya keharusan membuat VeR perlukaan tidak berarti bahwa korban tersebut,
dalam hal ini adalah pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Korban
hidup adalah pasien juga sehingga mempunyai hak sebagai pasien. Apabila
pemeriksaan tersebut sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien
menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat
penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin
dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis.
Hal penting yang harus diingat adalah bahwa surat permintaan VeR harus
mengacu kepada perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan
tempat tertentu. Surat permintaan VeR pada korban hidup bukanlah surat yang
meminta pemeriksaan, melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil
pemeriksaan medis.

Struktur Visum et Repertum


Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai berikut:
1) Pro Justitia
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu
bermeterai.
2) Pendahuluan
Pendahuluan memuat: identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan
pukul diterimanya permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan
pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa,
alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan.
3) Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati,
terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan
dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.
Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis
adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka
dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristik
serta ukurannya. Rincian tersebut terutama penting pada pemeriksaan korban mati
yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.

5
Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari:
a. ‘Pemeriksaan anamnesis atau wawancara’ mengenai apa yang dikeluhkan dan
apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang ‘penyakit’ yang diderita
korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga kekerasan.
b. ‘Hasil pemeriksaan’ yang memuat seluruh hasil peme- riksaan, baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada
korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-
hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
c. ‘Tindakan dan perawatan berikut indikasinya’, atau pada keadaan sebaliknya,
‘alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan’. Uraian
meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan
tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman
tentang tepat/ tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan
yang diambil.
d. ‘Keadaan akhir korban’, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan
merupakan hal penting untuk pem- buatan kesimpulan sehingga harus diuraikan
dengan jelas.

Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi
luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau
perawatan yang diberikan.

4) Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggung- jawabkan secara ilmiah
dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan
maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus memuat
minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil
pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya,
sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan
hasil anamnesis hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati.
Kesimpulan VeR adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat
oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga
6
terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi,
standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat
menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung
penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah hanya resume hasil peme- riksaan,
melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku.

5) Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan
mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan
mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta
dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VeR.

2. Aspek hukum yang mendasari VeR?


Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis
dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian
suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR menguraikan segala
sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan,
yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai
hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan
demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan
ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan
jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat
menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan
jiwa manusia.
Apabila VeR belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan,
maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang
tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau
penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari
terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal itu sesuai
dengan pasal 180 KUHAP.

7
Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VeR berguna untuk mengungkapkan
perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan
pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi hakim sebagai alat bukti formal untuk
menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu
perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional (SPO) di suatu Rumah Sakit
tentang tatalaksana pengadaan VeR.

Menurut Budiyanto et al, dasar hukum VeR adalah sebagai berikut:

Pasal 133 KUHAP menyebutkan:


(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli
lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah
mayat.

Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik


pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai
dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik
tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan
dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena VeR adalah keterangan ahli
mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik
pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta VeR, karena mereka hanya
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP. Sanksi hukum bila dokter
menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana:

8
Pasal 216 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu,
atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk
mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan
sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna
menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan
dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah

3. Bagaimana cara menentukan pasien meninggal?


Kematian adalah berakhirnya proses kehidupan seluruh tubuh, proses yang
dapat dikenal secara klinis dengan tanda kematian berupa perubahan pada tubuh
mayat.

Ada beberapa jenis kematian, yaitu:


Mati Somatis
Terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu
susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem pernafasan secara menetap
(ireversibel). Secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi
tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerakan pernafasan dan suara
pernafasan tidak terdengar pada auskultasi.

Mati Suri
Mati suri (suspend animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem
penunjang kehidupan yang ditentukan oleh alat kedokteran sederhana. Mati suri
sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan
tenggelam.

Mati Seluler
Adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah
kematian somatis. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat
mengalami mati seluler dalam 4 menit, otot masih dapat dirangsang (listrik) sampai
± 2 jam pasca kematian dan mengalami mati seluler setelah 4 jam, dilatasi pupil

9
masih dapat terjadi pada pemberian adrenalin 0,1% atau penyuntikan sulfas atropine
1% kedalam kamera okuli anterior, pemberian pilokarpin 1% atau sampai lebih dari
8 jam pasca mati dengan cara menyuntikkan secara subkutan pilokarpin 2% atau
asetil kolin 20%, spermatozoa masih dapat bertahan hidup beberapa hari dalam
epididimis, kornea masih dapat ditransplantasikan dan darah masih dapat dipakai
untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati.

Mati Serebral
Adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel, kecuali batang otak
dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya, yaitu sistem pernafasan dan
kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat. Untuk dapat memastikan
bahwa aktifitas otak telah berhenti secara tepat dan cepat, yaitu bila dikatkan dengan
kepentingan transplantasi, ialah dengan melakukan pemeriksaan dengan elektro
ensefalografi, dimana akan terlihat mendatar selama 5 menit.

Mati Otak (batang otak)


Adalah bila terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang
ireversibel, termasuk batang otak dan serebellum. Dengan diketahuinya mati otak
maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat hidup lagi.5
Untuk dapat menentukan pasien meninggal atau tidak, dapat dilakukan
beberapa tes dan pemeriksaan pada sistem organ fital yaitu sistem saraf,
kardiovaskular, dan pernapasan.
Pada sistem saraf, ada lima hal yang perlu perhatikan yaitu tanda areflex,
relaksasi, tidak ada pegerakan, tidak ada tonus, dan elektro ensefalografi (EEG)
mendatar/ flat.
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler ada enam hal
yang perlu perhatikan yaitu denyut nadi berhenti pada palpasi, denyut jantung
berhenti selama 5-10 menit pada auskultasi, elektro kardiografi (EKG) mendatar/
flat, tidak ada tanda sianotik pada ujung jari tangan setelah jari tangan korban di ikat
(tes magnus), daerah sekitar tempat penyuntikan icard subkutan tidak berwarna
kuning kehijauan (tes icard), dan tidak keluarnya darah dengan pulsasi pada insisi
arteri radialis.

10
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sisteim pernapasan juga ada beberapa
hal yang perlu perhatikan, antara lain tidak ada gerak napas pada inspeksi dan
palpasi, tidak ada bising napas pada auskultasi, tidak ada gerakan permukaan air
dalam gelas yang ditaruh diatas perut korban pada tes, tidak ada uap air pada cermin
yang diletakkan di depan lubang hidung atau mulut korban.2

4. Perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada jenazah?


Perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada korban yang sudah meninggal,
yaitu:4

Perubahan dini:
 Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, dan
auskultasi).
 Sirkulasi berhenti, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
 Perubahan pada kulit (pucat)
 Relaksasi otot dan tonus menghilang. Relaksasi dari otot-otot wajah
menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi
lebih awet muda. Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi
primer, hal ini menyebabkan pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya
daerah bokong dan belikat pada mayat terlentang.
 Segmentasi pembuluh darah retina beberapa menit sebelum kematian. Segmen-
segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina kemudian menetap
 Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih
dapat dihilangkan dengan meneteskan air.

Perubahan lanjutan:
1) Lebam mayat (Livor mortis)
Nama lain ligor mortis adalah lebam mayat, post mortem lividity, post
mortem hypostatic, post mortem sugillation, atau vibices. Setelah kematian
klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah karena gaya tarik bumi
(gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak berwarna merah ungu
(livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang terkena
alas keras. Darah tetap cair karena adanya pembuluh darah.

11
Livor mortis biasanya muncul antara 30 menit sampai 2 jam setelah
kematian. Lebam mayat muncul bertahap, biasanya mencapai perubahan warna
yang maksimal dalam 8-12 jam. Sebelum menetap, lebam mayat akan berpindah
bila tubuh mayat dipindahkan. Lebam mayat menetap tidak lama setelah
perpindahan atau turunnya darah, atau ketika darah keluar dari pembuluh darah
ke sekeliling jaringan lunak yang dikarenakan hemolisis dan pecahnya
pembuluh darah. Fiksasi dapat terjadi setelah 8-12 jam jika dekomposisi terjadi
cepat, atau pada 24-36 jam jika diperlambat dengan suhu dingin. Untuk
mengetahui bahwa lebam mayat belum menetap dapat didemostrasikan dengan
melakukan penekanan ke daerah yang mengalami perubahan warna dan tidak
ada kepucatan pada titik dimana dilakukan penekanan.
Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh tertimbunnya sel-sel darah dalam
jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot-
otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut. Lebam
mayat yang belum menetap atau masih hilang pada penekanan menunjukkan
saat kematian kurang dari 8-12 jam saat pemeriksaan.

Ada 3 faktor yang mempengaruhi lebam mayat, yaitu:


a. Volume darah yang beredar
Volume darah yang banyak menyebabkan lebam mayat lebih cepat
terbentuk dan lebih luas, sebaliknya volume darah sedikit menyebabkan
lebam mayat lebih lambat terbentuk dan terbatas.
b. Lamanya darah dalam keadaan cepat cair
Lamanya darah dalam keadaan cepat cair tergantung dari fibrinolisin
dan kecepatan koagulasi post-mortem.
c. Warna lebam
Ada 5 warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk
memperkirakan penyebab kematian, yaitu:

 Merah kebiruan merupakan warna lebam normal.

 Merah terang menandakan keracunan CO, keracunan CN, atau suhu


dingin.

12
 Merah gelap menunjukkan asfiksia

 Biru menunjukkan keracunan nitrit.

 Coklat menandakan keracunan aniline.

Walaupun lebam mayat mungkin membingungkan dengan memar, memar


sangat jarang dibingungkan dengan lebam mayat. Penekanan pada daerah yang
memar tidak akan menyebabkan kepucatan. Insisi pada daerah yang mengalami
kontusio atau memar menunjukkan perdarahan yang menyebar ke jaringan
lunak. Perbedaannya, insisi pada daerah dengan lebam mayat menampakkan
darah sebatas di pembuluh darah, tanpa darah di jaringan lunak. Lebam mayat
dapat kita temukan dalam organ tubuh dalam mayat. Masing-masing sesuai
dengan posisi mayat:

 Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat terlentang dapat kita
lihat pada belakang kepala, daun telinga, ekstensor lengan, fleksor tungkai,
ujung jari di bawah kuku, dan kadang-kadang di samping leher. Tidak ada
lebam yang dapat kita lihat pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat
dasi.

 Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap dapat kita
lihat pada dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor tungkai.

 Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat tergantung dapat kita
lihat pada ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.

 Lebam mayat pada organ dalam mayat dengan posisi mayat terlentang dapat
kita temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal paru-
paru, dorsal hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung, dan usus bawah
(dalam rongga panggul).

Medikolegal lebam mayat:


 Merupakan tanda kematian.
 Menentukan posisi mayat dan penyebab kematian.
 Memperkirakan saat kematian.

13
Livor mortis tidak terlalu penting dalam menentukan waktu kematian.
Bagaimanapun, itu penting dalam menentukan apakah tubuh mayat telah
dipindahkan.

2) Kaku mayat (Rigor mortis)


Rigor mortis atau kekakuan dari tubuh mayat setelah kematian dikarenakan
menghilangnya adenosine trifosfat (ATP) dari otot. ATP adalah sumber utama
dari energi untuk kontraksi otot. Otot memerlukan pemasukan yang
berkelanjutan dari ATP untuk berkontraksi karena jumlah yang ada hanya cukup
untuk menyokong kontraksi otot selama beberapa detik. Pada ketiadaan dari
ATP, filament aktin dan myosin menjadi kompleks yang menetap dan terbentuk
rigor mortis. Kompleks ini menetap sampai terjadi dekomposisi.
Penggunaan yang banyak dari otot sebelum kematian akan menimbulkan
penurunan pada ATP dan mempercepat onset terjadinya rigor mortis, hingga
tidak ada ATP yang diproduksi setelah kematian. Beberapa faktor yang
menyebabkan penurunan yang bermakna pada ATP menjelang kematian adalah
olahraga yang keras atau berat, konvulsi yang parah, dan suhu tubuh yang tinggi.
Kejadian yang seketika dari rigor mortis diketahui sebagai kadaverik
spasme. Rigor mortis menghilang dengan timbulnya dekomposisi.
Pendinginan atau pembekuan akan menghambat onset dari rigor mortis
selama dibutuhkan. Rigor mortis dapat “broken” dengan peregangan yang pasif
dari otot-otot. Setelah rigor mortis “broken”, itu tidak akan kembali. Jika hanya
sebagian rigor mortis yang dilakukan peregangan, maka masih akan ada sisa
rigor mortis yang “unbroken”.
Rigor mortis biasanya muncul 2-4 jam setelah kematian, dan muncul
keseluruhan dalam 6-12 jam. Ini dapat berubah-rubah. Ketika rigor mortis
terjadi, menyerang semua otot-otot pada saat yang bersamaan dan kecepatan
yang sama. Namun tampak lebih jelas pada otot-otot yang lebih kecil, hal ini
disebabkan otot kecil memiliki lebih sedikit cadangan glikogen. Jadi rigor
mortis dikatakan muncul pertama kali pada otot-otot yang lebih kecil seperti
rahang, dan berurutan menyebar ke kelompok otot besar. Penampakan awal dari
rigor mortis adalah pada rahang, ektremitas atas dan ekstremitas bawah. Kira-
kira 0-4 jam pasca mati klinis, mayat masih dalam keadaan lemas, ini yang

14
disebut relaksasi primer. Kemudian terbentuk rigor mortis. Setelah 36 jam pasca
mati klinis, tubuh mayat akan lemas kembali sesuai urutan terbentuknya
kekakuan, ini disebut relaksasi sekunder.
Keadaan-keadaan yang mempercepat terjadinya rigor mortis, antara lain
aktivitas fisik sebelum kematian, suhu tubuh tinggi, suhu lingkungan tinggi, usia
anak-anak dan orang tua, dan gizi yang buruk.

Ada 4 kegunaan rigor mortis:


1. Menentukan lama kematian.
2. Menentukan posisi mayat setelah terjadi mortis.
3. Merupakan tanda pasti kematian.
4. Menentukan saat kematian.

3) Penurunan suhu tubuh (algor mortis)


Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat terhentinya
produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas secara terus-menerus.
Pengeluaran panas tersebut disebabkan perbedaan suhu antara mayatdengan
lingkungannya. Suhu tubuh pada orang meninggal secara bertahap akan sama
dengan lingkungan atau media sekitarnya karena metabolisme yang
menghasilkan panas terhenti setelah orang meninggal. Pada jam pertama setelah
kematian, penurunan suhu berjalan lambat karena masih ada produksi panas dari
proses gilkogenolisis dan sesudah itu penurunan akan cepat terjadi dan menjadi
lambat kembali. Gambaran kurva penurunan suhu ini seperti huruf ‘S’ terbalik
(sigmoid).

Penurunan suhu tubuh dipengaruhi:


a. Faktor lingkungan (media).
Penurunan suhu tubuh cepat bila ada perbedaan besar suhu lingkungan
dengan tubuh mayat. Semakin rendah suhu media tempat mayat terletak
semakin cepat penurunan suhu tubuh mayat. Penurunan suhu akan cepat bila
intensitas aliran udara besar, udara yang mengalir, dan udara lembab.

15
b. Keadaan fisik tubuh.
Penurunan suhu tubuh makin lambat bila jaringan lemak dan otot makin
tebal. Pada mayat dengan tubuh kurus akan lebih cepat dibanding yang
gemuk.
c. Usia.
Penurunan suhu akan cepat pada anak dan orang tua. Pada bayi akan
lebih cepat karena luas tubuh permukaan bayi lebih besar.
d. Pakaian yang menutupi.
Makin berlapis pakaian menutupi tubuh, penurunan suhu makin lambat.
e. Suhu tubuh sebelum kematian.
Penyakit dengan suhu tubuh tinggi pada saat meninggal seperti
kerusakan jaringan otak, perdarahan otak, infeksi, asfiksia, penjeratan akan
didahului peningkatan suhu tubuh, hal ini menyebabkan penurunan suhu
tubuh lebih cepat.
Beberapa dokter mencoba untuk menentukan berapa lama eseorang
telah meninggal dari suhu tubuhnya. Penentuan waktu kematian dari suhu
tubuh biasanya ditegakkan dengan menggunakan rumus.

98,6o F – suhu rektal


1,5

Masalah pada semua rumus-rumus yang menggunakan suhu tubuh


untuk menetukan waktu kematian adalah bahwa mereka berdasarkan dari
asumsi bahwa suhu tubuh pada saat waktu kematian adalah “normal”.
Masalah yang kedua: Walaupun jika kita tahu berapa suhu normal itu,
apakah pada waktu kematian, suhu dalam keadaan normal? Olahraga berat
dapat meningkatkan suhu rektal sampai 104oF. Infeksi secara nyata dapat
meningkatkan suhu tubuh. Perdarahan intraserebral atau perlukaan otak
dapat membuat sistem termoregulasi dari batang otak tidak berfungsi,
yang menyebabkan peningkatan dari suhu tubuh. Paparan oleh dingin
dapat menyebabkan hipotermia, yaitu penurunan suhu tubuh.

16
4) Pembusukan (dekomposisi)
Dekomposisi terbentuk oleh dua proses: autolisis
dan putrefaction. Autolisis menghancurkan sel-sel dan organ-organ melalui
proses kimia aseptik yang disebabkan oleh enzim intraselular. Proses kimia ini,
dipercepat oleh panas, diperlambat oleh dingin, dan dihentikan oleh pembekuan
atau penginaktifasi enzim oleh pemanasan. Organ-organ yang kaya dengan
enzim akan mengalami autolisis lebih cepat daripada organ-organ dengan
jumlah enzim yang lebih sedikit. Jadi, pankreas mengalami autolisis lebih
dahulu daripada jantung.
Bentuk kedua dari dekomposisi, yang mana pada setiap individu berbeda-
beda adalah putrefaction. Ini disebabkan oleh bakteri dan fermentasi. Setelah
kematian, bakteri flora dari traktus gastrointestinal meluas keluar dari tubuh,
menghasilkan putrefaction. Ini mempercepat terjadinya sepsis seseorang karena
bakteri telah meluas keseluruh tubuh sebelum kematian.
Onset dari putrefaction tergantung pada dua faktor utama: lingkungan dan
tubuh. Pada iklim panas, yang lebih penting dari dua faktor tersebut adalah
lingkungan. Banyak penulis akan memberikan rangkaian dari kejadian-kejadian
dari proses dekomposisi dari tubuh mayat. Yang pertama adalah perubahan
warna menjadi hijau pada kuadran bawah abdomen, sisi kanan lebih daripada
sisi kiri, biasanya pada 24-36 jam pertama. Ini diikuti oleh perubahan warna
menjadi hijau pada kepala, leher, dan pundak; pembengkakan dari wajah
disebabkan oleh perubahan gas pada bakteri; dan menjadi seperti pualam.
Seperti pualam ini dihasilkan oleh hemolisis dari darah dalam pembuluh darah
dengan reaksi dari hemoglobin dan sulfida hydrogen dan membentuk warna
hijau kehitaman sepanjang pembuluh darah. Lama kelamaan tubuh mayat akan
menggembung secara keseluruhan (60-72 jam) diikuti oleh formasi vesikel,
kulit menjadi licin, dan rambut menjadi licin. Pada saat itu, tubuh mayat yang
pucat kehijauan menjadi warna hijau kehitaman.
Kegembungan pada tubuh mayat sering terlihat pertama kali pada wajah,
dimana bagian-bagian dari wajah membengkak, mata menjadi menonjol dan
lidah menjulur keluar antara gigi dan bibir. Wajah berwarna pucat kehijauan,
berubah menjadi hijau kehitaman, kemudian menjadi hitam. Cairan

17
dekomposisi (cairan purge) akan keluar dari mulut dan hidung. Dekomposisi
berlanjut, darah yang terhemolisis merembes keluar ke jaringan.
Dekomposisi terjadi cepat pada obesitas, pakaian yang tebal, dan sepsis,
semua yang mempertahankan tubuh tetap hangat. Dekomposisi diperlambat
oleh pakaian yang tipis atau oleh tubuh yang berbaring pada permukaan yang
terbuat dari besi atau batu yang mana lebih cepat menjadi dingin karena terjadi
konduksi. Tubuh mayat yang membeku tidak akan mengalami dekomposisi
sampai di keluarkan dari lemari es.
5) Mumifikasi
Pada lingkungan panas, iklim kering, tubuh mayat akan mengalami
dehidrasi secara cepat dan akan lebih mengalami mumifikasi daripada
dekomposisi. Pada saat kulit mengalami perubahan dari coklat menjadi hitam,
organ-organ interna akan berlanjut memburuk, seringkali konsistensinya
menurun menjadi berwarna seperti dempul hitam kecoklatan. Mumifikasi
terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang
dehidrasi, dan waktu yang lama (12 – 14 minggu). Mumifikasi jarang dijumpai
pada cuaca yang normal.
6) Adiposera
Adakalanya, tubuh mayat yang terdekomposisi akan bertransformasi ke arah
adiposera. Adiposera adalah suatu bentuk tetap, berwarna putih keabu-abuan
sampai coklat lilin seperti bahan yang membusuk dan berminyak, asam stearat.
Ini dihasilkan oleh konversi dari lemak yang netral selama perbusukan ke asam
yang tidak dapat dijelaskan. Hal tersebut lebih nyata pada jaringan subkutan,
tetapi dapat terjadi dimana saja bila terdapat lemak. Adiposera adalah benar-
benar suatu variasi dari putrefaction.
Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang dibenamkan dalam air atau
dalam keadaan lembab, lingkungan yang hangat. Pada adiposera, lemak
mengalami hidrolisis untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari
lipase endogen dan enzim bacterial. Enzim bakterial, umumnya berasal
dariClostridium perfringens, yang mengubah asam lemak jenuh ini menjadi
asam lemak hidroksi. Adiposera dikatakan memakan waktu beberapa bulan
untuk berkembang, walaupun perkembangannya juga dapat terjadi singkat

18
hanya selama beberapa minggu. Hal ini bergantung pada tingkat perlawanan
dari bakteriologik dan degradasi dari kimia.

Perkiraan saat kematian


Selain perubahan pada mayat tersebut di atas, beberapa perubahan lain dapat
digunakan untuk memperkirakan saat mati.
1) Perubahan pada mata.
Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-kanan kornea
akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar
di tepi kornea (traches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi
lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan dengan
meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak
dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak
kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka,
kornea menjadi keruh kira-kira 10 – 12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam
saja fundus tidak tampak jelas.
Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi
pupil pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil
dengan lamanya mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian
hingga 15 jam pasca mati. Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan
makula dan mulai memucatnya diskus optikus. Kemudian hingga 1 jam pasca
mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak tajam lagi. Selama 2 jam pertama
pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning. Warna
kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih gelap. Pada saat itu
pola vaskular koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar belakang
merah dengan pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pasca mati
menjadi kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat. Pada kira-
kira 6 jam pasca mati, batas diskus kabur dan hanya pembuluh-pembuluh besar
yang mengalami segmentasi yang dapat dilihat dengan latar belakang kuning
kelabu. Dalam waktu 7 – 10 jam pasca mati akan mencapai tepi retina dan batas
diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus hanya dapat dikenali
dengan adanya konvergensi beberapa segmen pembuluh darah yang tersisa.

19
Pada 15 jam pasca mati tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina
dan diskus, hanya makula saja yang tampak berwarna coklat gelap.
2) Perubahan dalam lambung.
Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak
dapat digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir
dan saat mati. Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam
membuat keputusan. Ditemukannya makanan tertentu dalam isi lambung dapat
digunakan untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah makan
makanan tersebut.
3) Perubahan rambut.
Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0,4
mm/hari, panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk
memperkirakan saat kematian. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang
mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat
terakhir ia mencukur.
4) Pertumbuhan kuku.
Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang
diperkirakan sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat
kematian bila dapat diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku.
5) Perubahan dalam cairan serebrospinal.
Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian
belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg%
menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10
mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30
jam.
6) Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup akurat untuk
memperkirakan saat kematian antara 24 – 100 jam pasca mati.

7) Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis


darah pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut
semasa hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan
bakteri, serta gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu
gangguan fungsi tubuh selama proses kematian dapat menimbulkan perubahan

20
dalam darah bahkan sebelum kematian itu terjadi. Hingga saat ini belum
ditemukan perubahan dalam darah yang dapat digunakan untuk memperkirakan
saat mati dengan lebih tepat.

8) Reaksi supravital, yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang
masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa
uji dapat dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya rangsang listrik
masih dapat menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90 – 120 menit pasca
mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60 – 90 menit pasca
mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit
sampai 1 jam pasca mati.

5. Bila keluarga meminta surat keterangan kematian, apa boleh langsung


diterbitkan?
Surat keterangan kematian adalah surat yang menyatakan bahwa seseorang sudah
meninggal. Surat keterangan kematian dibuat atas dasar pemeriksaan jenazah,
minimal pemerik- saan luar. Dalam hal kematian berkaitan dengan tindak pidana
tertentu, pastikan bahwa prosedur hukum telah dilakukan sebelum dikeluarkan surat
keterangan kematian. Surat keterangan kematian tidak boleh atas seseorang yang
mati diduga akibat suatu peristiwa pidana tanpa pemeriksaan kedokteran forenik
terlebih dahulu. Pembuatan surat keterangan kematian harus dibuat secara hati-hati,
mengingat aspek hukum yang luas, mulai dari urusan pensiun, administrasi sipil,
warisan, santunan asuransi, hingga adanya kemugkinan pidana sebagai penyebab
kematian.
Surat keterangan kematian minimal berisi, identitas korban, tanggal kematian,
jenis pemeriksaan, sebab kematian. Pada rumah sakit yang sudah ada dokter spesialis
forensik dan sistem pengeluaran jenazah satu pintu ke bagian forensik, maka
surat keterangan kematian untuk seluruh mayat yang meninggal di rumah sakit
dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik. Jika kematian korban akibat suatu tindak
pidana, maka surat keterangan kematian boleh dikeluarkan setelah dilakukan
pemeriksaan forensik terhadap jenazah.3

21
6. Jelaskan pengertian dan jenis-jenis cara, sebab, dan mekanisme kematian!
Penyebab kematian adalah adanya perlukaan atau penyakit yang
menimbulkan kekacauan fisik pada tubuh yang menghasilkan kematian pada
seseorang. Berikut ini adalah penyebab kematian: luka tembak pada kepala, luka
tusuk pada dada, adenokarsinoma pada paru-paru, dan aterosklerosis koronaria.
Mekanisme kematian adalah kekacauan fisik yang dihasilkan oleh penyebab
kematian yang menghasilkan kematian. Contoh dari mekanisme kematian dapat
berupa perdarahan, septikemia, dan aritmia jantung. Ada yang dipikirkan adalah
bahwa suatu keterangan tentang mekanime kematian dapat diperoleh dari beberapa
penyebab kematian dan sebaliknya. Jadi, jika seseorang meninggal karena
perdarahan masif, itu dapat dihasilkan dari luka tembak, luka tusuk, tumor ganas dari
paru yang masuk ke pembuluh darah dan seterusnya. Kebalikannya adalah bahwa
penyebab kematian, sebagai contoh, luka tembak pada abdomen, dapat
menghasilkan banyak kemungkinan mekanisme kematian yang terjadi, contohnya
perdarahan atau peritonitis.
Cara kematian menjelaskan bagaimana penyebab kematian itu datang. Cara
kematian secara umum dapat dikategorikan sebagai wajar, pembunuhan, bunuh diri,
kecelakaan, dan yang tidak dapat dijelaskan (pada mekanisme kematian yang dapat
memiliki banyak penyebab dan penyebab yang memiliki banyak mekanisme,
penyebab kematian dapat memiliki banyak cara). Seseorang dapat meninggal karena
perdarahan masif (mekanisme kematian) dikarenakan luka tembak pada jantung
(penyebab kematian), dengan cara kematian secara pembunuhan (seseorang
menembaknya), bunuh diri (menembak dirinya sendiri), kecelakaan (senjata jatuh),
atau tidak dapat dijelaskan (tidak dapat diketahui apa yang terjadi).4

7. Jelaskan data apa saja yang dibutuhkan agar identitas jenazah dapat
diketahui?
Untuk mengetahui identitas jenazah yang tidak diketahui dengan cara dilakukan
identifikasi. Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas pada jenazah
yang tidak diketahui identitasnya, berdasarkan ciri khas yang terdapat pada jenazah
tersebut.

22
Pemeriksaan identifikasi jenazah biasanya dilakukan pada keadaan:

 Kasus peledakan.

 Kasus kebakaran.

 Kecelakaan kereta api atau pesawat terbang.

 Banjir.

 Kasus kematian yang dicurigai melanggar hukum

Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan
memberikan hasil positip (tidak meragukan). Secara garis besar ada dua metode
pemeriksaan, yaitu:

a. Identifikasi primer
Merupakan identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibantu oleh
kriteria identifikasi lain. Teknik identifikasi primer yaitu :
 Pemeriksaan DNA
 Pemeriksaan sidik jari
 Pemeriksaan gigi
Pada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan dua
sampai tiga metode pemeriksaan dengan hasil positif.

b. Identifikasi sekunder
 Visual
 Fotografi
 Properti (pakaian, perhiasan, dokumen, dll)
 Medik – antropologi (pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk
tubuh, tinggi badan, berat badan, ciri khas khusus dan bekas luka yang ada
di tubuh korban)

Pemeriksaan dengan menggunakan data identifikasi sekunder tidak dapat berdiri


sendiri dan perlu didukung kriteria identifikasi yang lain. Identifikasi sekunder
terdiri atas cara sederhana dan cara ilmiah. Cara sederhana yaitu melihat langsung
ciri seseorang dengan memperhatikan perhiasan, pakaian dan kartu identitas yang

23
ditemukan. Cara ilmiah yaitu melalui teknik keilmuan tertentu seperti pemeriksaan
medis.

Ada beberapa cara identifikasi yang biasa dilakukan, yaitu:


1) Pemeriksaan sidik jari
Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan data sidik jari
antemortem. Pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling
tinggi akurasinya dalam penentuan identitas seseorang, oleh karena tidak ada dua
orang yang memiliki sidik jari yang sama.
2) Metode visual
Metode ini dilakukan dengan cara keluarga/rekan memperhatikan korban (terutama
wajah). Oleh karena metode ini hanya efektif pada jenazah yang masih utuh (belum
membusuk), maka tingkat akurasi dari pemeriksaan ini kurang baik.
3) Pemeriksaan dokumen
Metode ini dilakukan dengan dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, kartu
golongan darah, paspor dan lain-lain) yang kebetulan dijumpai dalam saku pakaian
yang dikenakan. Namun perlu diingat bahwa dalam kecelakaan massal, dokumen
yang terdapat dalam saku, tas atau dompet pada jenazah belum tentu milik jenazah
yang bersangkutan.
4) Pengamatan pakaian dan perhiasan
Metode ini dilakukan dengan memeriksa pakaian dan perhiasan yang dikenakan
jenzah. Dari pemeriksaan ini dapat diketahui merek, ukuran, inisial nama pemilik,
badge, yang semuanya dapat membantu identifikasi walaupun telah terjadi
pembusukan pada jenazah. Untuk kepentingan lebih lanjut, pakaian atau perhiasan
yang telah diperiksa, sebaiknya disimpan dan didokumentsikan dalam bentuk foto.
5) Identifikasi medik
Metode ini dilakukan dengan menggunakan data pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, meliputi tinggi dan berat badan, jenis kelamin, warna rambut, warna
tirai mata, adanya luka bekas operasi, tato, cacat atau kelainan khusus dan
sebagainya. Metode ini memiliki akurasi yang tinggi, oleh karena dilakukan oleh
seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi.
6) Pemeriksaan Gigi

24
Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi yang dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan manual, sinar x, cetakan gigi serta rahang. Odontogram
memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi dan
sebagainya. Bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus dari seseorang,
sedemikian khususnya sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang
identik pada dua orang yang berbeda, bahkan kembar identik sekalipun.
7) Serologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan golongan darah yang diambil baik dari
tubuh korban atau pelaku, maupun bercak darah yang terdapat di tempat kejadian
perkara. Ada dua tipe orang dalam menentukan golongan darah, yaitu:
 Sekretor : golongan darah dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air
mani dan cairan tubuh.
 Non-sekretor : golongan darah hanya dari dapat ditentukan dari pemeriksaan
darah.
8) Metode ekslusi
Metode ini digunakan pada identifikasi kecelakaan massal yang melibatkan
sejumlah orang yang dapat diketahui identitasnya. Bila sebagian besar korban telah
dipastikan identitasnya dengan menggunakan metode identifikasi lain, sedangkan
identitas sisa korban tidak dapat ditentukan dengan metode tersebut di atas, maka
sisa diidentifikasi menurut daftar penumpang.
9) Identifikasi kasus mutilasi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan apakah potongan berasal dari manusia
atau binatang. Bila berasal dari manusia ditentukan apakah potongan tersebut
berasal dari satu tubuh. Untuk memastikan apakah potongan tubuh berasal dari
manusia dilakukan beberapa pemeriksaan seperti pengamatan jaringan secara
makroskopik, mikroskopik dan pemeriksaan serologik berupa reaksi antigen-
antibodi.
10) Identifikasi kerangka
Identifikasi ini bertujuan untuk membuktikan bahwa kerangka tersebut adalah
kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri khusus,
deformitas dan bila memungkinkan dapat dilakukan rekonstruksi wajah. Kemudian
dicari pula tanda kekerasan pada tulang serta keadaan kekeringan tulang untuk
memperkirakan saat kematian.
25
11) Forensik molekuler
Pemeriksaan ini memanfaatkan pengetahuan kedokteran dan biologi pada tingkatan
molekul dan DNA. Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk melengkapi dan
menyempurnakan berbagai pemeriksaan identifikasi personal pada kasus mayat tak
dikenal, kasus pembunuhan, perkosaan serta berbagai kasus ragu ayah (paternitas).6

26
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

27
DAFTAR PUSTAKA

Afendi, Dedi. 2010. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Mediklegal dan Penentuan Derajat

Luka. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 60, Nomor: 4.

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian

Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

http://www.medicinestuffs.com/2010/06/tanatologi.htm diakses pada 26 September 2016 pada

pukul 19.50 wita.

Idries AM. 1997. Pedoman ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta:

Binarupa Aksara.

Kusuma, Soekry Erfan. 2007. Identitas Medikolegal dan Disaster Victim Identification (DVI),

dalam Hoediyant, Hariadi A.: Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Edisi Ketiga.

Surabaya: Fakultas Kedokteran Airlangga.

Susanti, Rika. 2012. Paradigma Baru Peran Dokter Dalam Pelayanan Kedokteran Forensik.

Majalah Kedokteran Andalas, Volume: 36, Nomor: 2.

28

You might also like