Professional Documents
Culture Documents
CONTOH KASUS
Kasus 1:
Oligopoli, sifatnya Rule of reason
Analisa Kasus Dugaan Pelanggaran Pasal 27 Pada Industri Telekomunikasi
Isu yang sedang ramai diperdebatkan di publik saat ini tentang industri telekomunikasi adalah
dugaan adanya pemilikan silang oleh Singapore Technology Telemedia (STT) suatu
perusahaan investasi dari Singapura yang diduga melakukan kepemilikan silang di PT Indosat
PT Telkomsel sehingga berpotensi melanggar Pasal 27 Undang-Undang No 5 Tahun 1999.
Pengujian tentang hal itu mestinya dilakukan dengan analisa unsur-unsur sebagaimana
diuraikan di atas. Kesimpulan saya sementara dari berbagai informasi yang ada tampaknya
tidak akan dapat dibuktikan terjadinya pelanggaran Pasal 27 oleh STT.
Alasan pertama, karena STT adalah badan hukum yang didirikan di Singapura dan tidak
melakukan kegiatan usaha di Indonesia sehingga unsur pelaku usaha sebagaimana diminta
Pasal 1 huruf 5 tidak terpenuhi. Pasal 1 huruf 5 UU No 5 tahun 1999 menyatakan: Pelaku
usaha adalah setiap orang atau perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wialyah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Kedua bahwa STT bukan pemegang saham langsung di Indosat, dan terhadap Telkomsel, STT
sama sekali tidak ada hubungan dan keterkaitan kepemilikan saham. Dengan fakta yang
demikian ini tidak dapat dibuktikan bahwa STT melakukan kepemilikan silang di dua
perusahaan yaitu di Indosat dan Telkomsel.
Ketiga, pemegang saham PT Indosat adalah Indonesia Communication Limited (ICL) dan
Indonesia Communication Pte. sebesar sekitar 41%, sisanya pemerintah Indonesia dan publik.
Sehingga ICL dan IC Pte. kalaupun bersama-sama bukanlah pemegang saham mayoritas.
Disamping itu ICL maupun IC ltd. bukan pemegang saham dari PT Telkomsel, pembuktian
mengenai kepemilikan silang oleh ICL maupun IC Ltd. tampaknya juga sulit dilakukan.
Dengan demikian menurut pendapat penulis unsur pemegang saham mayoritas dan
kepemilikan silang tidak terpenuhi. Pengertian kepemilikan saham mayoritas adalah
pemilikan saham yang melebihi 50%.
Kasus serupa pernah diperiksa oleh KPPU pada bulan April 2003 tentang Cineplex Group 21,
pada waktu itu terdapat perusahaan diduga melanggar Pasal 27 karena memiliki saham
mayoritas diatas 50% di dua perusahaan, dan perusahaan-perusahaan tersebut menguasai
pangsa pasar diatas 50%. Perusahaan tersebut dinyatakan melanggar Pasal 27 dan
diperintahkan untuk mengurangi kepemilikan saham mayoritasnya. Kasus Cineplex memang
terbukti kepemilikan silang dan mayoritas di atas 50% bahkan sekitar 90%, tetapi dalam kasus
STT kondisinya berbeda, sebab unsur mayoritas kepemilikan saham tidak terpenuhi.
Alasan keempat, PT Telkomsel dimiliki oleh Singapore Telecom Mobile Pte Ltd (STM Pte Ltd)
sebesar 35%, dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. 65%. STM Pte Ltd. bukan pemegang
saham mayoritas di PT Telkomsel dan juga bukan pemegang saham di PT Indosat, karena itu
unsur mayoritas dan unsur kepemilikan silang tidak terpenuhi.
Dengan tidak terpenuhinya berbagai unsur tersebut, pembuktian tentang terjadinya
pelanggaran Pasal 27 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 kiranya akan sangat sulit untuk
dilakukan.
Kesimpulan
Dalam perdebatan sering orang mempertentangkan antara pendekatan perse illegal dan
pendekatan rule of reason. Menurut saya tidak perlu dipertentangkan keduanya justru
komplemen saling melengkapi. Perse illegal sangat penting khususnya untuk mencegah
perbuatan-perbuatan yang berbahaya yang dampaknya sangat luas, karena itu secara keras
dilarang tanpa pembuktian mengenai dampak. Sementara pendekatan rule of reason juga
sangat penting agar kita tidak semena-mena menghukum pelaku usaha secara serampangan.
Tindakan keras dan serampangan akan sangat distortif, mengganggu, dan bahkan mematikan
kreatifitas dan inovatisi yang diperlukan bagi kemajuan ekonomi. Sebaliknya kita juga harus
menghindarkan diri dari upaya untuk mempertukarkan antara pasal perse dan pasal rule of
reason, jika pasalnya perse harus diperlakukan secara perse, dan jika pasalnya rule of reason
harus diperlakukan secara rule of reason. Menkaburkan antara keduanya hanya menambah
ketidak pastian hukum di negeri ini.
Kita juga sejauh mungkin menghindarkan diri dari penafsiran yang serampangan terutama
pasal rule of reason yang bernuansa pasal karet. Keberadaan Undang-Undang No 5 Tahun
1999 dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dimaksudkan untuk meningkatkan
efisiensi dan demokrasi ekonomi dengan mendorong kegiatan usaha lebih maju melalui
praktek berusaha yang sehat. Jangan justru sebaliknya menjadi sumber distorsi baru dalam
kegiatan ekonomi.
Sumber: https://serambihukum.wordpress.com/2011/01/16/perse-illegal-dan-rule-of-
reason-dalam-hukum-persaingan-usaha/
Kasus 2
Pemboikotan, sifatnya per se dan rule of reason
Pemboikotan Disney Tekan Ekspor Kertas
Pemboikotan produk kertas Indonesia yang dilakukan oleh perusahaan penerbit dan animasi
terbesar dunia asal Amerika Sekitar, The Walt Disney Company, dikhawatirkan memengaruhi
kinerja ekspor komoditas tersebut.
Managing Director Corporate Affairs dan Communication Asia Pulp and Paper (APP) Hendra
Gunawan mengatakan, walaupun Walt Disney tidak banyak mengonsumsi kertas dari
Indonesia, tuduhan bahwa produk kertas dari Indonesia tidak ramah lingkungan akan
membuat harga kertas dari Indonesia semakin tertekan dan pada akhirnya akan mengurangi
kinerja ekspor.
Dampak pemboikotan produk kertas yang dilakukan Walt Disney memang tidak besar.
Namun, pandangan konsumen di luar negeri terhadap kertas dari Indonesia akan semakin
buruk,"kata Hendra, seusai bertemu dengan Menteri Perindustrian MS Hidayat di Jakarta,
Senin (29/10).
Tahun 2011, ekspor produk bubur kertas (pulp) dan kertas Indonesia mencapai US$ 5,8 miliar,
yang terdiri atas kertas US$ 4,2 miliar dan pulp US$ 1,6 miliar. Tahun 2012, ekspor komoditas
tersebut diperkirakan tumbuh 5-8% menjadi US$ 6,09-6,26 miliar.
Sementara itu, Hidayat menuturkan, pihaknya tengah mempelajari kasus pemboikotan
produk kertas asal Indonesia oleh perusahaan asal Amerika Serikat tersebut. Pemerintah
sedang berunding dengan Walt Disney mengenai tuduhan produk kertas dari Indonesia tidak
ramah lingkungan.
Dia menambahkan, pemerintah juga meminta Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) untuk
bertindak sesuai dengan peraturan agar terhindar dari kesalahan yang lebih fatal."Diharapkan
asosiasi kertas mengikuti prosedur yang berlaku dan pemerintah akan membantu
penyelesaian m Perlu Klarifikasi
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi sudah
meminta APKI untuk menjelaskan prosedur produksi kertas Indonesia yang sudah ramah
lingkungan. "Karena saya yakin, Disney itu tidak tahu banyak apa yang dilakukan pabrik-pabrik
kertas di Indonesia,"kata Sofjan di Jakarta, Kamis (25/10).
Menurut dia, seluruh bahan baku pabrik kertas di Indonesia tidak diambil dari hutan lindung,
melainkan dari hutan tanaman industri. Hal ini yang harus dijelaskan kepada perusahaan-
perusahaan asing yang menjadi konsumen kertas, seperti Walt Disney.
Sofjan juga menilai bahwa kasus pemboikotan kertas Indonesia oleh Walt Disney merupakan
bagian dari persaingan tidak sehat dari produsen kertas negara-negara lain. "NGO (LSM) luar
negeri selalu mengkorek-korek itu. untuk menghalangi kita,"katanya.
Apindo juga mendesak Kementerian Perdagangan agar membantu upaya lobi yang dilakukan
pengusaha kepada Walt Disney. Pemerintah harus tegas agar tidak menjadi preseden buruk
dan mencoreng bisnis dan industri Indonesia di mata luar negeri.
"Karena ini adalah pihak, swasta yang memberikan pernyataan, kami akan undang untuk
memberikan penjelasan seperti apa boikot yang dimaksud Walt Disney,"imbuh Wakil Menteri
Perdagangan Bayu Krisnamurthi.asalah yang mengganggu industri dalam negeri,"tandasnya,
seperti dikutip Antara.
Sumber: http://www.kemenperin.go.id/artikel/4850/Pemboikotan-Disney-Tekan-Ekspor-
Kertas