You are on page 1of 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Apendisitis

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan


merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Sampai saat ini belum diketahui
secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Apendisitis dapat disebabkan karena infeksi atau
obstruksi pada apendiks. Obstruksi menyebabkan apendiks menjadi bengkak , perubahan
flora normal dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat terjadi
perforasi pada apendiks. Sehingga akibatnya terjadi Peritonitis atau terbentuknya abses
disekitar apendiks ( Schwartz, 2006 )

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh terjadinya proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith,
tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal
dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
radang apendiks, diantaranya : ( Sabiston , 2008 )
1. Faktor sumbatan (obstruksi)
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringanlymphoid sub
mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya
sumbatan oleh parasit dan cacing

2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi,
karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan
terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu
Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang
menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob < 10%.

3. Faktor ras dan diet


Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang

Universitas Sumatera Utara


pola makannya banyak serat. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola
makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

2.1.1. Anatomi

Apendiks vermikularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran kurang lebih 6 –


10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung dengan lumen yang sempit pada
bagian proksimal dan melebar pada bagian distal , kapasitas apendiks sendiri kurang lebih 0,1
ml. Organ ini tersusun dari jaringan limfoid dan merupakan bagian integral dari GALT ( Gut
Associated Lymphoid Tissue ). Lokasi apendiks t erbanyak berasal dari bagian
posteromedial caecum, di bawah ileocaecal junction. Apendiks sendiri memiliki mesenterium
yang mengelilinginya, yang disebut mesoapendiks yang berasal dari bagian posterior
mesenterium yang mengelilingi ileum terminalis.

Posisi terbanyak dari apendiks adalah retrocaecal, namun demikian ada variasi dari
lokasi apendiks ini. 65 % dari posisi apendiks terletak intraperitoneal sementara sisanya
retroperitoneal. Disini variasi posisi apendiks menentukan gejala yang akan muncul saat
terjadi peradangan, Beberapa variasi posisi apendiks terhadap caecum adalah sebagai berikut
: ( Aschraff, 2000 )

1. Retrocaecal(65%)
2 . P e l v i c
3 . Ant e c a e c a l
4 . P r e i l e a l
5 . P o st i le a l

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Variasi Posisi Appendix

Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi apendiks dapat ditemukan
dengan menelusuri ket iga t aenia yang t erdapat pada caecum (dan colon), yait u
taenia co lica, taenia libra dan taenia omentalis.

Vaskularisasi appendik berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang dari
arteri mesent erika superior. Cabang arteri ileokolika ini disebut art eri
appendicularis, dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali ke vena mesenterika
superior. Art eri appendicular is ini t idak memiliki kolateral sehingga ket ika
terjadi oklusi a p a p u n p e n y e b a b n y a , m a k a m u d a h t e r j a d i i s k e m i a d a n
g a n g r e n , h i n g g a a k h i r n y a perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang
n . v a g u s yang mengikut i a.mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilicus.

2.1.2. Fisiologi

Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Apendiks adalah suatu struktur kecil,
berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya
terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis

Universitas Sumatera Utara


(Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang
antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum
dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia
omentum) .

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke


dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Dinding apendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem
imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah
jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan di seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.
Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang
mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan
terjadi
obliterasi lumen apendiks komplit.
Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus besar.
Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian
luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa
yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di
mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh
tunika serosa.
Histologis :
- Tunika mukosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.
- Tunika submukosa : banyak folikel lymphoid.
- Tunika muskularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale
( gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.
- Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum viscerale.

Universitas Sumatera Utara


2.1.3. Etiologi
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetus. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi
ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hyperplasia
jaringan limfoid, tumor apendiks, benda asing dalam tubuh dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah
disebutkan di atas, fekalit dan hyperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi
yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah
ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin
atau cairan mucosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini akan semakin
meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan tekanan intra mucosa juga
semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada dinding
apendiks. Selain infeksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ
lain yang kemudian menyebar secara Hematogen ke apendiks.

2.1.4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya
dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi
tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama
mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60
cmH20 .

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,


menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan
pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi Apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36
jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.

Universitas Sumatera Utara


Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan Apendisitis supuratif akut.
Apendisitis supuratif akut sebagian besar berhubungan dengan obstruksi lumen
apendiks oleh fekalith atau hiperplasia. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan terbentuknya gangren. Stadium ini disebut
dengan apendisitis ganggrenosa. Bila dinding yang telah rapuh tersebut pecah,
akan terjadi apendisitis perforasi, pengeluaran pusnya ke dalam rongga peritoneum yang
mengakibatkan peritonitis dan dapat berkembang menjadi septikemia dan menyebabkan
kematian.
Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh
lapisan dinding abdomen dalam waktu 24-48 jam pertama. Bila semua proses tersebut
berjalan lambat maka usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan
menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat. ( Hermanto, 2011 )

2.1.5. Klasifikasi Histopatologi


Klasifikasi apendisitis pada anak secara umum yang sampai saat ini banyak dianut
adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Robbins Cotran ,
klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :
Apendisitis Simpel / Apendistis akut fokal (grade I):
Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemis
ringan dan edema, belum tampak adanya eksudat serosa.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa

Apendisitis Supurativa (grade Il):


Sering didapatkan adanya obstruksi,apendiks dan mesoapendiks tampak edema,
kongesti pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat
fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada
stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan
mesenterium didekatnya.

Gambar 3. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa, submukosa dan muskularis

Universitas Sumatera Utara


Apendisitis Gangrenosa (grade III):
Selain didapatkan tanda-tanda supurasididapatkan juga adanya dinding apendiks yang
berwarna keunguan,kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium
ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen
dengan bau busuk.

Gambar 4. Sel –sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan daerah nekrotik

Apendisitis Ruptur (grade IV):


Sudah tampak dengan jelas adanya rupture apendiks, umumnya sepanjang
antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan
berbau busuk.

Gambar 5. Sel –sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai
disertai diskontinuitas jaringan

Universitas Sumatera Utara


Apendisitis Abses (grade V):
Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar apendiks yang
rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau
seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Gambar 6. Sel –sel radang akut menginfiltrasi sampai lapisan serosa

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme,


daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum
parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan
melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi
masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh
karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. (
Santacrose, 2006 )

Universitas Sumatera Utara


2.2. Gejala Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar
( nyeri tumpul ) di daerah epigastrium di sekitar umbilicus atau periumbilikus. Keluhan ini
biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu
makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah,
ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di
daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi. Apendisitis kadang juga disertai dengan
demam derajat rendah sekitar 37,5 – 38,5 derajat celcius

Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain6


1. Nyeri abdominal

Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar
umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah
(titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa
nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan
mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh
belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C

Gejala apendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel
dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang
tidak spesifik ini sering diagnosis apendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. ( Aiken et all ,
2007 )

Universitas Sumatera Utara


2.3. Pemeriksaan Penunjang
2.3.1. Pemeriksaan Darah ( Penanda Inflamasi )
1. Neutrofil
Disebut juga leukosit polimorfonuklear ( PMN ) karena gumpalan-gumpalan inti yang
berikat secara fleksibel dapat mengambil sekian banyak (poly) bentuk (morf) , merupakan
jenis granulosit sel darah putih dan yang paling banyak dalam leukosit 45 -75 % . Neutrofil
berperan di dalam garis depan pertahanan seluler terhadap invasi kuman –kuman.
Fungsi utama neutrofil adalah sebagai fagositosis dan pembersihan debris , partikel
dan bakteri serta pemusnahan organisme mikroba , dan hal ini mungkin disebabkan
spesialisasi membrannya untuk proses ini. Peran bermanfaat neutrofil yang telah terbukti
adalah mencegah invasi oleh mikroorganisme patogen , serta melokalisasi dan mematikan
patogen tersebut apabila telah terjadi invasi . ( Ronald A, 2004 )
Neutrofil ditemukan dalam aliran darah , selama fase akut peradangan , terutama
sebagai akibat infeksi bakteri , paparan lingkungan dan beberapa jenis kanker , neutrofil
adalah salah satu yang pertama merespon sel-sel inflamasi untuk bermigrasi ke arah sumber
peradangan. Bermigrasi melalui pembuluh darah , kemudian melalui jaringan interstitial ,
ditargetkan oleh sinyal kimia seperti interleukin -8 , interferon gamma , dalam proses yang
disebut kemotaksis.
Neutrofil berpindah dari plasma menuju daerah radang melalui diapedesis sel karena
adanya sinyal-sinyal kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Perpindahan tersebut
dikenal dengan kemotaksis atau perpindahan yang dirangsang oleh zat kimia. Kepekaan
neutrofil terhadap rangsangan kimia tersebut menyebabkan neutrofil yang paling dahulu
sampai di daerah inflamasi.
Adapun urutan yang dialami oleh sel neutrofil adalah neutrofil bergerak ke tepi pembuluh
darah → melekat pada dinding pembuluh darah → keluar dari pembuluh d arah→ neutrofil
menelan bakteri dan debris jaringan (fagositosis). ( Dalal I , 2005 )

2. C – Reaktif Protein
C -Reaktif Protein merupakan protein darah yang terikat dengan C-polisakarida,
pentamer 120 kDa. Kadarnya dapat meningkat 100 . 200 kali atau lebih tinggi pada inflamasi
sistemik yang menyebabkan kerusakan endotel. CRP merupakan penanda inflamasi yang
paling stabil. Suatu pemeriksaan C –reaktif protein adalah pemeriksaan darah yang

Universitas Sumatera Utara


mengukur jumlah protein C –reaktif di dalam tubuh. CRP yang meningkat sebagai respon
terhadap peradangan (alat ukur beratnya peradangan dalam tubuh). ( Ronald A, 2004 )
C-reactive protein (CRP) adalah protein yang mengikat fraksi C polisakarida dari
dinding sel pneumokokus. Protein ini adalah protein fase akut klasik yang dapat disintesis di
hati.Protein ini dibentuk akibat proses infeksi,peradangan, luka bakar dan keganasan.Respon
fase akut diikuti dengan peningkatan aktifitas koagulasi,fibrinolitik, leukositosis, efek
sistemik dan perubahan kadar beberapa jenisprotein plasma seperti CRP atau hsCRP.
Kadar CRP biasanya meningkat 6 – 8 jam setelah demam dan mencapai puncak 24 –48 jam.
Pada orang normal kadar CRP < 5 mg/L dan dapat meningkat 30x dari nilai normal pada
respon fase akut. ( Lorentz, 2000 )
C – Reaktif Protein dipakai untuk :
• memberikan informasi seberapa akut dan seriusnya suatu penyakit.
• deteksi proses peradangan sistemik di dalam tubuh.
• membedakan antara infeksi aktifdan inaktif.
• mengikuti hasil pengobatan infeksibakterial setelah pemberian antibiotika.
• mendeteksi infeksi dalam kandungankarena robeknya amnion.
• untuk mengetahui adanya infeksi pasca operasi.
• membedakan antara infeksi dan reaksi penolakan pada transplantasisumsum tulang.
• mempunyai korelasi yang baik dengan laju endap darah (LED).
Sebagaimana disebutkan diatas, dikenal 2 macam protein fase akut reaktif yaitu
1. C-reactive protein (CRP)
2. high sensitive C-reactive protein (hsCRP).

hsCRP dipakai untuk deteksi dini infeksi pada anak dan menilai resiko penyakit
jantung koroner. Hasil beberapa penelitian menyimpulkan bahwa hsCRP dipakai untuk
memprediksi resiko penyakit jantung koroner pada orang yang tampak sehat dan dapat
dipakai sebagai indikator prognosis. Oleh karena itu peningkatan kadar hsCRP tidak spesifik
dan tidak dapat dinilai tanpa ada pendapat klinis (keluhan). ( Bangert SK, 2004 )

Universitas Sumatera Utara


Gambar 7. Induction and synthesis of CRP in hepatocytes

Universitas Sumatera Utara

You might also like