Professional Documents
Culture Documents
SK 1 Blok Medikolegal
1. MM Malpraktek
Definisi malpraktek
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti“ pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang
lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
b. Civil Malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat
pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini
maka RS / sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan
karyawannya (tenaga kesehatan) tersebut dalam rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua
cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolak ukur adanya 4 D yakni
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak
berdasarkan:
Adanya indikasi medis
Bertindak secara hati-hati dan teliti
Bekerja sesuai standar profesi
Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat
dipersalahkan.
c. Direct Cause (hubungan sebab akibat yang nyata)
d. Damage (kerugian)
yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan
/ kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.
c. Administrative Malpractice
Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga
tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menertibkan berbagai
ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk
menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta
kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan
yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance:
• Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat /
layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang
memadai.
• Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan
dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan
medisdengan menyalahi prosedur
• Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.
1) Intenttional
Professional misconducts fraud/ misrepresentasi
Pelanggaran standar secara sengaja (deliberate violation)
Pidana umum : keterangan palsu, buka rahasia kedokteran tanpa hak, aborsi legal,
euthanasia
2) Negligence (kelalaian medik)
Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa
indikasi yang memadai.
Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan
dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis
dengan menyalahi prosedur
Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-
bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi
keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan
error tidak selalu mengakibatkan kerugian.
3) Lack of skill
Penyebab eror tersering, berkaitan dengan kompetensi intitusi
4) Erors
Berkaitan dengan masalah informasi.Misalnya : lupa, kurang pengetahuan
5) Violation
Berkaitan dengan motivasi.Misalnya : Rendahnya moral, kurang supervise, tidak serius, tidak
patuh, tidak disiplin.
Pemberlakukan hukum pidana dalam kasus-kasus kelalaian medis yang terjadi di dalam
penyelenggaraan praktek kedokteran haruslah sebagai ultimatum remidium artinya hukum
pidana sebagai alternatif terakhir apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa lagi berhasil
untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Selain iitu juga karena praktek kedokteran
merupakan profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh banyak orang dan praktek
kedokteran dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.
Sanksi Hukum
Sanksi Pidana
1) KUHP 359
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama- lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
2) KUHP 360
1. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum denganhukuman
penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selam-lamanya satu tahun.
2. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehinggaorang
itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya
sementara, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan bulan atau hukuman
kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4500,-
3) KUHP 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau
pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan bersitersalah dapat dipecat
daripekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan
supayakeputusannya itu diumumkan.
4) UU RI No. 23 Tahun 1992
1. Pasal 80
Barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1 dan ayat 2, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
2. Pasal 81
Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a. Melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat 1.
b. Melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
c. Melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37ayat 1.
d. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah).
1. Pasal 82
Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a. Melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat 4.
b. Melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 1.
c. Melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
d. Melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat 1.
e. Melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat 2.
f. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
5) UU RI No. 29 Tahun 2004
1. Pasal 75
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah)
3. Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi
yang:
a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat 1.
b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat 1.
c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Sanksi Perdata
Sanksi Administratif
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat
melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya
perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko
medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin
(men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b.Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti
rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam
peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan
lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat
(perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya
fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan
tenaga perawatan.
Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan
kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik medis
yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau kalalaian berat dan pula
berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 359 KUHP, pasal
360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter atau dokter gigi.
Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur :
1) Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2) Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3) Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360, KUHP.
Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
1) Adanya unsur kelalaian (culpa).
2) Adanya wujud perbuatan tertentu .
3) Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.
Pelanggaran Etik
Suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi bentuk peringatan hingga ke
bentuk yang lebih berat : kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang
kompeten), pencabutan haknya berpraktik profesi.
Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter
tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.
MKEK
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar
norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK
bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi.
Persidangan MKEK
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap
aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut.
Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya
di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan
pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim
Wewenang MKEK :
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu,
teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan
Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan
pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis,
Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws,
SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Putusan MKEK
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan tidak dapat dipergunakan sebagai
bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli.
Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan
ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi,
hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK
Eksekusi
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus
Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan.
Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila
eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan
Menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter yang
diajukan
Menyusun pedoman dan tatacara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter
MKDP bekerja sebagai MKDI ditingkat provinsi
MKDKI-MKEK
Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai
akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa
yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang
rata-rata.
Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan
meneruskan kasus tersebut kepada MKEK
Yang termasuk pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi antara lain ketidakjujuran dalam
berpraktik, berpraktik dengan ketidakmampuan fisik dan mental, membuat laporan medis yang tidak
benar, memberikan "jaminan kesembuhan" kepada pasien, menolak menangani pasien tanpa alasan
yang layak, memberikan tindakan medis tanpa persetujuan pasien/keluarga, melakukan pelecehan
seksual, menelantarkan pasien pada saat membutuhkan penanganan segera, mengistruksikan atau
melakukan pemeriksaan tambahan/pengobatan yang berlebihan, bekerja tidak sesuai standar asuhan
medis, dsb
Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, akan dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa
Disiplin (MPD)
Dalam formulir pengaduan, terdapat beberapa informasi yang harus diberikan, antara lain :
1. Identitas pengadu/pelapor;
2. Identitas pasien (jika pengadu bukan pasien);
3. Nama dan tempat praktik dokter/dokter gigi yang diadukan;
4. Waktu tindakan dilakukan;
5. Alasan pengaduan dan kronologis;
6. Pernyataan tentang kebenaran pengaduan, dsb
Setelah semua kelengkapan data pengaduan diterima, Anda akan mendapatkan tanda terima
pengaduan (berisi nomor register pengaduan). Setelah dilakukan verifikasi, pengaduan akan ditangani
oleh Majelis Pemeriksa Awal ataupun Majelis Pemeriksa Disiplin.
Sesuai UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI dapat berupa:
1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP); dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi
MKDKI dapat menangani permintaan ganti rugi/kompensasi yang diajukan terhadap dokter teradu:
1. MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin oleh dokter/dokter gigi
2. MKDKI berwenang menetapkan sanksi disiplin kepada dokter/dokter gigi yang dinyatakan
melanggar disiplin kedokteran/kedokteran gigi
3. MKDKI tidak menangani sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya
4. MKDKI tidak menangani permasalahan ganti rugi yang diajukan pasien/keluarganya
Keputusan MKDKI bersifat final dan mengikat dokter/dokter gigi yang diadukan, KKI,
Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta instansi terkait. Dokter/dokter gigi
yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI kepada Ketua MKDKI dalam
waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau diterimanya keputusan tersebut dengan
mengajukan bukti baru yang mendukung keberatannya
2. MM Informed consent
Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan, seperti operasi
atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap tentang risiko, manfaat, alternatif,
dan akibat penolakan. Informed consent merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan
kesehatan untuk memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat
membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat
seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas informasi yang
diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat , dalam praktek
dan penelitian medis, pengertian “informed consent” memuat dua unsur pokok, yakni:
1) Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaan medis) untuk dimintai
persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan kegiatan medis pada pasien
tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan ditanggung oleh
pasien.
2) Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan untuk memberikan
informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan kapada pasien.
Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk menerima atau
menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian informasi seperlunya oleh
tenaga medis.
Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh pasien maka, seperti
yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, dalam pengertian informed
consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian informasi yang perlu diberikan dan
dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang perlu diminta. Empat unsur itu adalah:
pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan kompetensi untuk membuat
perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan pokok yang biasanya muncul adalah seberapa
jauh pembeberan informasi itu perlu dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter
atau tenaga kesehatan lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau subyek riset medis dapat disebut suatu persetujuan informed. Dalam
menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa standar pembeberan, yakni:
a. Standar praktek profesional (the professional practice standard)
b. Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)
c. Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)
Menurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuanyang diberikan pasien
atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut”. Dari pengertian diatas PTM adalah persetujuan yang diperoleh sebelum
melakukan pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun yang akan dilakukan.
Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent hakikatnya adalah
hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung
jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata
Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal
1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:
a. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
b. Para pihak cakap untuk membuat perikatan
c. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang
undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak diketahui/disadari
pasien/keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang merugikan/membahayakan diri
pasien.
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta dianggap
meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga malah merugikan
pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa tersebut bisa ”risk of
treatment” ataupun ”error judgement”.
Hakikat Informed Consent
a. Merupakan sarana legimitasi bagi dokter untuk melakukan intervensi medik yang mengandung
resiko serta akibat yang tidak menyenangkan
b. Merupakan pernyataan sepihak; maka yang menyatakan secara tertulis (written consent) hanya
yang bersangkutan saja yang seharusnya menandatangani
c. Merupakan dokumen walau tidak pakai materai tetap syah.
Sedangkan tatacara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilaksanakan oleh dokter pada pasienlebih
lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran yang menegaskan
sebagai berikut :
(1) Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien diberikan penjelasan
lengkap
(3) Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan resikonya
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas peluang bagi pasien untuk
mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang penyakitnya dan sekaligus mempertegas
kewajiban dokter untuk memberikan informasi medis yang benar, akurat dan berimbang tentang
rencana sebuah tindakan medik yang akan dilakukan, pengobatan mapun perawatan yang akan di terima
oleh pasien. Karena pasien yang paling berkepentingan terhadap apa yang akan dilakukan terhadap
dirinya dengan segala resikonya, maka Informed Consent merupakan syarat subjektif terjadinya
transaksi terapeutik dan merupakan hak pasien yang harus dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu
upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya .
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
1) Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2) Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan
tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III
/ 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1
merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran adalah:
1) Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
2) Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.Ini
tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.
Persetujuan
Bentuk persetujuan atau penolakan
Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat. Istilah
untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu ”fraudulent concealment”. Pasien yang akan menjalani
operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah namun dioperasi oleh dokter lain dapat saja
menuntut malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed consent dan dapat
menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.
Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa
persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari informed consent
yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.
Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang merangkum semua
informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis pasien. Format tersebut bervariasi
sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan. Saksi tidak dibutuhkan, namun saksi merupakan
bukti bahwa telah dilakukan informed consent. Informed consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi
naratif yang akurat oleh dokter yang bersangkutan.
Perlindungan Pasien
Perlindungan pasien tentang hak memperoleh Informed Consent dan Rekam Medis dapat dijabarkan
seperti dibawah ini: UU N0 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang
akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengkap
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang
lebih luas
b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. Gangguan mental berat
Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh
dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya
Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan
tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter),
sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir Informed
Consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.
Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis pasien
yang bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi kontrak terapeutik antara dokter dengan
pasien. Pembuktian tentang adanya kontrak terapeutik dapat dilakukan pasien dengan mengajukan arsip
rekam medis atau dengan persetujuan tindakan medis (informed consent) yang diberikan oleh pasien.
Bahkan dalam kontrak terapeutik adanya kartu berobat atau dengan kedatangan pasien menemui dokter
untuk meminta pertolongannya, dapat dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik.Persetujuan tertulis
dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat :
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek samping yang
bermakna.
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi
kedudukan kepegawaian
atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.
Saat timbulnya perjanjian antara dokter dan pasien adalah pada saat pasien meminta seorang dokter
untuk mengobatinya dan dokter menerimanya.Berakhirnya hubungan dokter-pasien dapat dilakukan
dengan cara :
1) Sembuhnya pasien dari keadaan sakitnya dan sang dokter menganggap tidak diperlukan lagi
pengobatan. Penyembuhan tidak usah sampai total namun melihat keadaan pasien tidak usah
memerlukan lagi pelayanan medik.
2) Dokter mengundurkan diri, dengan syarat :
a. Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut.
b. Kepada pasien diberikan waktu cukup dan pemberitahuan sehingga ia bisa
memperoleh
pengobatan dari dokter yang lain.
c. Jika dokter merokemendasikan kepada dokter lain yang sama
kompetensinya untuk
menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan
pasiennya.
3) Pengakhiran oleh pasien. Seorang pasien bebas untuk mengakhiri
pengobatannya
dengandokternya. Apabila diakhiri maka sang dokter berkewajiban untuk memberikan nasihat
apakah masih diperlukan pengobatan lanjutan dan memberikan informasi yang cukup kepada
penggantinya sehingga pengobatan dapat diteruskan oleh penggantinya. Apabila dokter memakai
seorang dokter lain maka dianggap bahwa dokter yang pertama telah diakhiri hubungannya, kecuali
diperjanjikan bahwa mereka akan mengobati bersama atau dokter kedua hanya dipanggil untuk
konsultasi tujuan khusus.
4) Meninggalnya si pasien.
5) Meninggalnya si dokter atau ia sudah tidak mampu lagi menjalani profesinya
sebagai dokter.
6) Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan dalam kontrak.
7) Dalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan
pasien sudah
datang atau terdapat penghentian keadaan kegawat-daruratannya.
8) Lewatnya jangka waktu, apabila kontrak medik itu ditentukan dalam jangka waktu tertentu.
9) Persetujuan kedua belah pihak bahwa hubungan dokter-pasien itu sudah diakhiri.
Istilah perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah yang dikenal dari bahasa Belanda, yaitu standaart
contract atau standaart voorwarden. Hukum Inggris menyebut perjanjian baku sebagai standa dized
contrac, standaart form of contract. Adapun definisi yang diberikan oleh Darus Mariam Badrulzaman
mengenai perjanjian baku adalah : “Perjanjian yang isinya baku dan diberikan dalam bentuk formulir”
Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian baku mengandung pengertian yang
lebih sempit dari perjanjian pada umumnya atau merupakan bentuk perjanjian tertulis yang isinya telah
dibakukan atau distandarisasi dan umumnya telah dituangkan dalam bentuk formulir atau bentuk
perjanjian lain yang sifatnya tertentu.
Pada prakteknya, perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian tertulis dalam bentuk formulir. Pembuatan
perjanjian sejenis yang selalu terjadi berulang-ulang dan teratur serta melibatkan banyak orang,
menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian terlebih dahulu dan kemudian dibakukan
lalu dicetak dalam jumlah banyak sehingga setiap saat mudah didapat jika dibutuhkan
Perjanjian baku isinya dibuat secara sepihak, dalam arti salah satu pihak telah menentukan isi dan
bentuk perjanjian pada satu bentuk pembuatannya, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian
baku ada ketidakseimbangan kedudukan para pihak, karena pihak yang tidak membuat perjanjian baku
ini biasanya hanya bisa bersikap menerima atau menolak keseluruhan isi perjanjian dan tidak
dimungkinkan untuk merubah isi perjanjian tersebut.
Perjanjian baku mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dengan bentuk-bentuk perjanjian bernama
lainnya, yakni :
1. Isinya ditetapkan oleh pihak yang lebih kuat.
2. Pihak lain yang biasanya adalah masyarakat, sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian.
3. Terdorong kebutuhannya, pihak lain terpaksa menerima isi perjanjian.
4. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif.
Bentuk persetujuan tindakan medis pada umumnya telah disusun sedemikian rupa sehingga pihak
dokter dan Rumah Sakit tinggal mengisi kolom yang disediakan untuk itu setelah menjelaskan kepada
pasien dan keluarga pasien. Sebelum ditandatangani, sebaiknya surat tersebut dibaca sendiri atau
dibacakan oleh yang hadir terlebih dahulu. Pasien seharusnya diberikan waktu yang cukup untuk
menandatangani persetujuan dimaksud.
3) Ketidaksengajaan (Khatha')
Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud di dalamnya.
Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk
malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab terhadap akibat
yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk
jinayat khatha' (tidak sengaja).
Pembuktian Malpraktek
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malparaktek
harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah
salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti,
dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga
akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas
tindakan malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.
Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai
berikut:
Kesaksian (Syahâdah).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zîr, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika
kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu
pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh
wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan
jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah
(kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya).
Catatan Medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi
referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.
Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk
menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan
memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika memberi
contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya
dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja.
Dhamân (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari pasien,
wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.
Ta'zîr
Berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain. Ta'zîr berlaku untuk dua bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Panduan HAM bagi Pasien dan Dokter untuk Mencegah Malpraktek, Diakses dari:
http://www.balitbangham.go.id/index/images/judul_pdf/sipol/pengembangan/2008/malpraktek.p
df
2. Etika Kedokteran, Diakses dari: http://www.scribd.com/doc/96601676/etika-kedokteran
3. Malpraktek Dalam Kajian Hukum Pidana, Diakses dari:http://eprints.undip.ac.id/20768/1/2380-
ki-fh-98.pdf
4. Malpraktek Medik, Diakses
dari:http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Forensik/MALPRAKTEK%20MEDIK.pdf
5. Malpraktek Menurut Syariat Islam, Diakses dari:
http://almanhaj.or.id/content/2836/slash/0/malpraktek-menurut-syariat-islam/
6. Rekam Medis, Diakses dari:http://medicalrecord.webs.com/kegunaanrekammedis.htm