You are on page 1of 28

Nama: Nisa Nabiilah (1102014195)

SK 1 Blok Medikolegal
1. MM Malpraktek
Definisi malpraktek
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti“ pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang
lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.

Definisi Menurut Kedokteran


Kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan terhadap pasien atau
adanya kekurangan keterampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan yang
menimbulkan cedera pasien. Namun,tidak semua kegagalan medis disebabkan oleh malpraktek
kedokteran. Contohnya adalah perjalanan penyakir seorang pasien yang semakin berat, reaksi
tubuh yang tidak dapat diramalkan, komplikasi penyakit yang terjadi secara bersamaan. (World
Medical Association, 1992)
Sesuatu perbuatan atau sikap medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur 4D, yaitu:
a. Duty. Ada kewajiban medis untuk melakukan tindakan medis tertentu terhadap pasien pada
situasi kondisi tertentu
b. Derelection of that duty. Adanya penyimpangan kewajiban tersebut
c. Damage. Segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan kedokteran yang diberikan
d. Direct causal relationship. Dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang nyata antara
penyimpangan kewajiban dengan kerugian

Definisi Menurut Hukum


Istilah malpraktek hanya digunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam
pelaksanaan suatu profesi; baik dibidang kedokteran maupun bidan hukum. Tindakan yang salah
secara yuridis penal diartikan setelah melalui putusan pengadilan. Tindakan yang salah dimaksud
sebagai tindakan yang dapat menumbuhkan kerugian baik nyawa, maupun harta benda
Jenis-jenis Malpraktek
a. Criminal Malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana, yakni:
 Perbuatan tersebut (positive/negative act) merupakan perbuatan tercela
 Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence)
o Intensional: melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan
(pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan
aborsi tanpa indikasi medis (pasal 299 KUHP)
o Recklessness: melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent
o Negligence: kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien,
ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi

Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat


individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit / sarana kesehatan

b. Civil Malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
 Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat
pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini
maka RS / sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan
karyawannya (tenaga kesehatan) tersebut dalam rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua
cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolak ukur adanya 4 D yakni
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak
berdasarkan:
 Adanya indikasi medis
 Bertindak secara hati-hati dan teliti
 Bekerja sesuai standar profesi
 Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat
dipersalahkan.
c. Direct Cause (hubungan sebab akibat yang nyata)
d. Damage (kerugian)
yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan
/ kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.

2. Cara tidak langsung


Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa
loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.

c. Administrative Malpractice
Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga
tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menertibkan berbagai
ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk
menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta
kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan
yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance:
• Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat /
layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang
memadai.
• Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan
dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan
medisdengan menyalahi prosedur
• Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.

Adapun jenis- jenis lainnya

1) Intenttional
 Professional misconducts fraud/ misrepresentasi
 Pelanggaran standar secara sengaja (deliberate violation)
 Pidana umum : keterangan palsu, buka rahasia kedokteran tanpa hak, aborsi legal,
euthanasia
2) Negligence (kelalaian medik)
 Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa
indikasi yang memadai.
 Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan
dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis
dengan menyalahi prosedur
 Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-
bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi
keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan
error tidak selalu mengakibatkan kerugian.

3) Lack of skill
Penyebab eror tersering, berkaitan dengan kompetensi intitusi

4) Erors
Berkaitan dengan masalah informasi.Misalnya : lupa, kurang pengetahuan

5) Violation
Berkaitan dengan motivasi.Misalnya : Rendahnya moral, kurang supervise, tidak serius, tidak
patuh, tidak disiplin.

Pasal-pasal yang Mengatur Malpraktek

Peraturan Non Hukum


Diatur oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI semula merupakan
peraturan non hukum karena peraturan ini telah menjadi petunjuk perilaku atau etika seorang
dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam KODEKI diatur tentang kewajiban dokter
terhadap pasien yang dicantumkan di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 14, yaitu:

Pasal 10 KODEKI: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya


melindungi makhluk insani”
Pasal 11 KODEKI: “Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan keterampilannya untu kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang
mempunyai keahlian dalam bidang penyakit tersebut”
Pasal 13 KODEKI: “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia”
Pasal 14 KODEKI: “ Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan
pertolongan darurat terhadap pasien yang membutuhkannya, padahal ia mampu dapat terkena
sasaran tuntutan malpraktek juga”
Peraturan Hukum
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal-pasal didalam KUHP yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu:
a. Pasal 263 dan 267 KUHP (Membuat Surat Keterangan Palsu)
b. Pasal 290 KUHP (Melakukan Pelanggaran Kesopanan)
c. Pasal 299 KUHP (Mengobati seorang wanita dengan memberitahukan atau
menimbulkan harapan bahwa kandungannya dapat digugurkan)
d. Pasal 322 KUHP (Membuka Rahasia)
e. Pasal 304 KUHP (Pembiaran / Penelantaran)
f. Pasal 306 KUHP (Apabila tindakan penelantaran tersebut mengakibatkan kematian)
g. Pasal 322 KUHP (Membocorkan rahasia profesi)
h. Pasal 333 KUHP (Dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas kemerdekaan
seseorang)
i. Pasal 344 KUHP (Euthanasia)
j. Pasal 347 KUHP (Sengaja melakukan abortus tanpa persetujuan wanita yang
bersangkutan)
k. Pasal 348 KUHP (Sengaja melakukan abortus dengan persetujuan)
l. Pasal 349 KUHP (Membantu atau melakukan tindakan abortus provocatus criminalis)
m. Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan kematian)
n. Pasal 360 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan luka / cacat)
o. Pasal 386 KUHP (Memberi atau menjual obat palsu)
p. Pasal 531 KUHP (Tidak memberi pertolongan pada orang yang berada dalam keadaan
bahaya)

Pemberlakukan hukum pidana dalam kasus-kasus kelalaian medis yang terjadi di dalam
penyelenggaraan praktek kedokteran haruslah sebagai ultimatum remidium artinya hukum
pidana sebagai alternatif terakhir apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa lagi berhasil
untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Selain iitu juga karena praktek kedokteran
merupakan profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh banyak orang dan praktek
kedokteran dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Pasal-pasal didalam KUHPerdata yang terkait dengan malpraktek medik, yaitu:
a. Pasal 1239 KUH Perdata (Melakukan wanprestasi atau cidera janji)
b. Pasal 1365 KUH Perdata(Melakukan perbuatan melawan hukum)
c. Pasal 1366 KUH Perdata (Melakukan kelalaian sehingga menimbulkan kerugian)
d. Pasal 1367 KUH Perdata (Bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh
bawahannya)

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan


a. Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan)
b. Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan tindakan
medis tidak sesuai dengan Standart Operational Procedure pada ibu hamil)
c. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan
transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersil)
d. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Tanpa keahlian sengaja
melakukan transplantasi, implan alat kesehatan, bedah plastik)
e. Pasal 81 ayat 2a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja mengambil organ
tanpa memperhatikan kesehatan dan persetujuan pendonor / ahli waris)

4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran


a. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Pengaturan praktek kedokteran
bertujuan untuk, Pertama memberikan perlindungan kepada pasien, Kedua
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter
dan dokter gigi, dan Ketiga memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter
dan dokter gigi)
b. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan kepada setiap dokter
dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan haruslah mempunyai standar pelayanan.
Standar pelayanan disini adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi
dalam menyelenggarakan praktek kedokteran)
c. Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan setiap dokter
harus mempunyai surat registrasi yang ditandatangani oleh konsil kedokteran.
Sedangkan surat izin praktek kedokteran ditandatangani oleh pejabat kesehatan yang
berwenang di kabupaten/kota tempat praktek kedokteran atau dokter gigi dilaksanakan.
Kedua persyaratan tersebut menjadi suatu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang dokter.
Apabila dokter tidak mempunyai surat registrasi dan surat izin praktek, maka selain
dokter tersebut tidak sah, masyarakat juga tidak berani di diagnosa oleh dokter tersebut
karena takut terjadi malpraktek)

5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan


a. Pasal 32 (Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan
terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesehatan atau
kelalaian
Dalam perikatan sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata dikenal adanya dua macam
perjanjian, yaitu:
 Inspanningverbintenis: perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang berjanji
berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan
 Resultaatbintennis: perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan result, yaitu
sesuatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

Sanksi Hukum

Sanksi Pidana
1) KUHP 359
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama- lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.

2) KUHP 360
1. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum denganhukuman
penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selam-lamanya satu tahun.
2. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehinggaorang
itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya
sementara, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan bulan atau hukuman
kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4500,-
3) KUHP 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau
pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan bersitersalah dapat dipecat
daripekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan
supayakeputusannya itu diumumkan.
4) UU RI No. 23 Tahun 1992
1. Pasal 80
Barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1 dan ayat 2, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
2. Pasal 81
Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a. Melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat 1.
b. Melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
c. Melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37ayat 1.
d. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah).
1. Pasal 82
Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a. Melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat 4.
b. Melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 1.
c. Melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
d. Melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat 1.
e. Melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat 2.
f. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
5) UU RI No. 29 Tahun 2004
1. Pasal 75
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah)
3. Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi
yang:
a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat 1.
b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat 1.
c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Sanksi Perdata

1) KUH Perdata 1366


Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya,
tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
2) KUH Perdata 1367
Mengatur tentang kewajiban pemimpin atau majikan untuk mengganti kerugian yang disebabkan
oleh kelalaian yang dilakukan oleh anak buah atau bawahannya.
3) KUH Perdata 1370
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-
hatinya seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua korban yang
biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi,
yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.
4) KUH Perdata 1371
Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati,
memberikan hak kepada korban, selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, juga menuntut
penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut.
5) UU RI No. 23 Tahun 1992
1. Pasal 55
a. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan.
b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Sanksi Administratif

1) UU RI No. 29 Tahun 2004


1. Pasal 66
a. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter
gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
1. Identitas pengadu
2. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan.
b. Alasan pengaduan.
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghilangkan hak setiap orang
untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan atau menggugat
kerugian perdata ke pengadilan.
2. Pasal 67
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan
terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.
3. Pasal 69
a. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi
dan Konsil Kedokteran Indonesia.
b. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau
pemberian sanksi disiplin.
c. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat berupa:
a) Pemberian peringatan tertulis.
b) Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
c) Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi.
2) PERMENKES RI No.1419/MENKES/PER/X/2005
1. Pasal 24
a. Menteri, Konsil Kedokteran Indonesia,Pemerintah Daerah, dan organisasi
profesimelakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini sesuai dengan
fungsi, tugas dan wewenang masing-masing.
b. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diarahkan padapemerataan
dan peningkatan mutu pelayanan yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi.
2. Pasal 25
a. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dapat
mengambil tindakan administratip terhadap pelanggaran peraturan ini.
b. Sanksi administratip sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat berupa peringatan lisan, tertulis
sampai pencabutan SIP.
c. Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dalam memberikan sanksi administrative sebagaimana
dimaksud ayat 2 terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan organisasi profesi.
3. Pasal 26
Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dapat mencabut SIP dokter dan dokter gigi:
a. Atas dasar keputusan MKDKI
b. STR dokter atau dokter dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
c. Melakukan tindak pidana.
4. Pasal 27
a. Pencabutan SIP yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota wajib disampaikan
kepada dokter dan dokter gigi yang bersangkutan dalam waktu selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal keputusan ditetapkan.
b. Dalam hal keputusan dimaksud pada ayat 1 tidak dapat diterima, yang bersangkutan dapat
mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk diteruskan kepada
Menteri Kesehatan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah keputusan diterima.
c. Menteri setelah menerima keputusan sebagaimana dimaksud ayat 2 meneruskan kepada
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari.
5. Pasal 28
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota melaporkan setiap pencabutan SIP dokter dan dokter
gigi kepada Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia dan Dinas Kesehatan Provinsi,
serta tembusannya disampaikan kepada organisasi profesi setempat.

Menjelaskan upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan


Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
 Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
 Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
 Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
 Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
 Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
 Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

Menjelaskan upaya menghadapi tuntutan hukum


Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.

Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat
melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya
perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko
medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin
(men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.

b.Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti
rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam
peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan
lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat
(perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya
fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan
tenaga perawatan.

Menjelaskan penanganan malpraktek

Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan
kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik medis
yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau kalalaian berat dan pula
berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 359 KUHP, pasal
360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter atau dokter gigi.
Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur :
1) Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2) Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3) Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360, KUHP.

Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
1) Adanya unsur kelalaian (culpa).
2) Adanya wujud perbuatan tertentu .
3) Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.

Tiga tingkatan culpa:


a. Culpa lata: sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (grossfault or
neglect)
b. Culpa levis: kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
c. Culpa levissima: kesalahan ringan (slight fault or neglect)(Black 1979 hal. 241).
Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengajukan bukti-
buktinya.
Dalam hal ini dapat dipanggil saksi untuk diminta pendapatnya. Jika kesalahan yang dilakukan
sudah demikian jelasnya (res ipsa loquitur, thething speaks for itself) sehingga tidak diperlukan saksi
ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan pada dokternya.

Memahami dan menjelaskan alur hukum pada dugaan malpraktek


Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering
tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia
kedokteran, profesionalisme.
Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya,
oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma
hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Dalam kenyataan pasien yang kecewa terhadap pelayanan dokter akan menghadapi gugatan. Masalah :
Pelanggaran ini sulit dipilah-pilah apakah pelanggaran hukum atau pelanggaran etika atau bahkan hanya
pelanggaran pribadi. Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi
menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional.
Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus
pelanggaran hukum.
Pelanggaran serius :

 Berkaitan dengan kompetensi dan kemampuan


 Mengabaikan tanggung jawab profesional
 Peresepan tak bertanggung jawab
 Perilaku sexual menyimpang
 Kecurangan akademik
 Pengiklanan diri

Pelanggaran Etik

 Suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi  bentuk peringatan hingga ke
bentuk yang lebih berat : kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang
kompeten), pencabutan haknya berpraktik profesi.
 Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter
tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.

MKEK
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar
norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK
bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi.
Persidangan MKEK
 Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap
aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut.
 Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya
di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan
pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim

Wewenang MKEK :
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :

 Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu,
teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan
 Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan
pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis,
Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws,
SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.

Putusan MKEK

 Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan  tidak dapat dipergunakan sebagai
bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli.
 Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan
ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi,
hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK

Eksekusi
 Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus
Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan.
 Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila
eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan

Penanganan sengekta medik

 Identifikasi seluruh masalah keluhan utama pasein


 Dokter teradu diminta untuk membuat kronologi lengkap mengenai kasus itu
 Menganalisa secara ilmiah dengan pertimbangan dari ahli terkait
 Lakukan konfrontasi dengan pengaduupayakan damai

Bila sampai di pengadilan

 Tidak jarang kasus sudah disidik polisi


 Dan dilimpahkan kejaksaan
 Terus sampai pengadilan
 IDI dalam hal ini MKEK akan diminmta menjadi saksi ahli
 Keputusan di majelis hakim
 Vonis sesuai undang-2 yang berlaku
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
Lembaga yang yang berwenang untuk menentukan ada dan tidaknya kesalahan yang dilakukan
oleh dokter dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan menetapkan sanksi. Dibentuk ditingkat Pusat
dan provinsi
Tugas MKDI

 Menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter yang
diajukan
 Menyusun pedoman dan tatacara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter
 MKDP bekerja sebagai MKDI ditingkat provinsi

MKDKI-MKEK
Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai
akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa
yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang
rata-rata.
Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan
meneruskan kasus tersebut kepada MKEK

Proses Pengaduan Pelanggaran


TAHAP PENEGAKAN DISIPLIN OLEH MKDKI
TAHAP 1: INVESTIGATIONAL STAGE (TAHAP INVESTIGASI)
 PENGADUAN (ADMISSION)
 VERIFIKASI
 PEMERIKSAAN AWAL OLEH MPA
 INVESTIGASI (INQUIRY)

TAHAP 2: ADJUDICATORY STAGE (PEMERIKSAAN DAN KEPUTUSAN)


 PEMERIKSAAN DISIPLIN OLEH MPD
 PEMBUKTIAN
 PENGAMBILAN KEPUTUSAN

TAHAP 3: DISPOSITIONAL STAGE (PENYAMPAIANKEPUTUSAN)


 PEMBACAAN KEPUTUSAN
 PENGAJUAN KEBERATAN TERADU (JIKA ADA)
 PENYAMPAIAN KEPUTUSAN KEPADA PIHAK TERKAIT

Pelanggaran disiplin kedokteran adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan


dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi. Dokter/dokter gigi dianggap melanggar
disiplin kedokteran bila :
1. Melakukan praktik dengan tidak kompeten
2. Tidak melakukan tugas dan tanggung jawab profesionalnya dengan baik (dalam hal ini tidak
mencapai standar-standar dalam praktik kedokteran)
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesinya

Yang termasuk pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi antara lain ketidakjujuran dalam
berpraktik, berpraktik dengan ketidakmampuan fisik dan mental, membuat laporan medis yang tidak
benar, memberikan "jaminan kesembuhan" kepada pasien, menolak menangani pasien tanpa alasan
yang layak, memberikan tindakan medis tanpa persetujuan pasien/keluarga, melakukan pelecehan
seksual, menelantarkan pasien pada saat membutuhkan penanganan segera, mengistruksikan atau
melakukan pemeriksaan tambahan/pengobatan yang berlebihan, bekerja tidak sesuai standar asuhan
medis, dsb

Suatu pengaduan diputuskan menjadi kewenangan MKDKI apabila :


1. Dokter/dokter gigi yang diadukan telah terregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia.
2. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi yang diadukan terjadi setelah tanggal
6 Oktober 2004 (setelah diundangkannya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran)
3. Terdapat hubungan profesional dokter-pasien dalam kejadian tersebut
4. Terdapat dugaan kuat adanya pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi

Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, akan dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa
Disiplin (MPD)

Dalam formulir pengaduan, terdapat beberapa informasi yang harus diberikan, antara lain :
1. Identitas pengadu/pelapor;
2. Identitas pasien (jika pengadu bukan pasien);
3. Nama dan tempat praktik dokter/dokter gigi yang diadukan;
4. Waktu tindakan dilakukan;
5. Alasan pengaduan dan kronologis;
6. Pernyataan tentang kebenaran pengaduan, dsb
Setelah semua kelengkapan data pengaduan diterima, Anda akan mendapatkan tanda terima
pengaduan (berisi nomor register pengaduan). Setelah dilakukan verifikasi, pengaduan akan ditangani
oleh Majelis Pemeriksa Awal ataupun Majelis Pemeriksa Disiplin.
Sesuai UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI dapat berupa:
1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP); dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi

MKDKI dapat menangani permintaan ganti rugi/kompensasi yang diajukan terhadap dokter teradu:
1. MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin oleh dokter/dokter gigi
2. MKDKI berwenang menetapkan sanksi disiplin kepada dokter/dokter gigi yang dinyatakan
melanggar disiplin kedokteran/kedokteran gigi
3. MKDKI tidak menangani sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya
4. MKDKI tidak menangani permasalahan ganti rugi yang diajukan pasien/keluarganya

Keputusan MKDKI bersifat final dan mengikat dokter/dokter gigi yang diadukan, KKI,
Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta instansi terkait. Dokter/dokter gigi
yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI kepada Ketua MKDKI dalam
waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau diterimanya keputusan tersebut dengan
mengajukan bukti baru yang mendukung keberatannya

2. MM Informed consent
Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan, seperti operasi
atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap tentang risiko, manfaat, alternatif,
dan akibat penolakan. Informed consent merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan
kesehatan untuk memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat
membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat
seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas informasi yang
diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat , dalam praktek
dan penelitian medis, pengertian “informed consent” memuat dua unsur pokok, yakni:
1) Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaan medis) untuk dimintai
persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan kegiatan medis pada pasien
tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan ditanggung oleh
pasien.
2) Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan untuk memberikan
informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan kapada pasien.
Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk menerima atau
menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian informasi seperlunya oleh
tenaga medis.
Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh pasien maka, seperti
yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, dalam pengertian informed
consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian informasi yang perlu diberikan dan
dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang perlu diminta. Empat unsur itu adalah:
pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan kompetensi untuk membuat
perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan pokok yang biasanya muncul adalah seberapa
jauh pembeberan informasi itu perlu dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter
atau tenaga kesehatan lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau subyek riset medis dapat disebut suatu persetujuan informed. Dalam
menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa standar pembeberan, yakni:
a. Standar praktek profesional (the professional practice standard)
b. Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)
c. Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)
Menurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuanyang diberikan pasien
atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut”. Dari pengertian diatas PTM adalah persetujuan yang diperoleh sebelum
melakukan pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun yang akan dilakukan.
Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent hakikatnya adalah
hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung
jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata
Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal
1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:
a. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
b. Para pihak cakap untuk membuat perikatan
c. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang
undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.

Fungsi informed consent

Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :


a. Promosi hak otonomi individu.
b. Proteksi terhadap pasien dan subjek.
c. Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.
d. Rangsanagn kepada profesi medis introspeksi terhadap diri sendiri
e. Mendorong adanya penelitian yang cermat.
f. Promosi keputusan yang rasional
g. Menyertakan public sebagai :
a) Nilai social
b) pengawasan
Semua tindakan medik/keperawatan yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Persetujuan :
a. Persetujuan ; Tertulis maupun lisan.
b. Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat.
c. Cara penyampaian informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi
pasien.
d. Setiap tindakan yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan, selain itu dengan lisan.

Tujuan Informed Consent

a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak diketahui/disadari
pasien/keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang merugikan/membahayakan diri
pasien.
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta dianggap
meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga malah merugikan
pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa tersebut bisa ”risk of
treatment” ataupun ”error judgement”.
Hakikat Informed Consent

a. Merupakan sarana legimitasi bagi dokter untuk melakukan intervensi medik yang mengandung
resiko serta akibat yang tidak menyenangkan
b. Merupakan pernyataan sepihak; maka yang menyatakan secara tertulis (written consent) hanya
yang bersangkutan saja yang seharusnya menandatangani
c. Merupakan dokumen walau tidak pakai materai tetap syah.

Dasar Hukum dan Informed Consent

1) Pasal 1320 KUHPerdata syarat syahnya persetujuan


a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
b. Kecakapan untuk berbuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
2) Pasal 1321
Tiada sepakat yang syah apabila sepakat itu diberikan karena kehilafan atau diperlukan dengan
paksaan atau penipuan
3) KUHP Pidana pasal 351
a. Penganiayaan dihukum dengan hukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.
b. Menjadikan luka berat hukum selama-lamanya 5 tahun (KUHP 20)
c. Membuat orang mati hukum selam-lamanya 7 tahun (KUHP 338)
4) UU No. 23/1992 tentang kesehatan pasal 53
a. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya
b. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien
c. Hak pasien antara lain ; hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia
kedokteran dan hak atas pendapat kedua (second opinion).
5) UU No. 29/2004
Ttentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), (5,) (6)
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan
6) Permenkes No. 585/1989 tentang persetujuan tindakan medis
Dokter melakukan tindakan medis tanpa informed consent dari pasien atau keluarganya saksi
administratif berupa pencabutan surat ijin prakteknya.
7) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
8) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Tentang tenaga Kesehatan
9) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS
10) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam medis/ Medical
record
11) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan
Medis
12) Kep Menkes RI No. 436/Menkes/SK/VI/1993 dan standar Pelayanan Medis di RS
13) Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang Informed
Consent
14) Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang Bedah Mayat
Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia.
Adapun pernyataan IDI tentang informed consent tersebut adalah:
a. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan
dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
b. Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara
lisan maupun tertulis.
c. Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat
tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risikonya.
d. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap
diam.
e. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak
diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi
tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan
informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada keluarga terdekat
dengan pasien, kehadiran seorang perawat / paramedik lain sebagai saksi adalah penting.
f. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik
diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula
secara tertulis.

Sedangkan tatacara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilaksanakan oleh dokter pada pasienlebih
lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran yang menegaskan
sebagai berikut :
(1) Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien diberikan penjelasan
lengkap
(3) Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan resikonya
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.

Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas peluang bagi pasien untuk
mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang penyakitnya dan sekaligus mempertegas
kewajiban dokter untuk memberikan informasi medis yang benar, akurat dan berimbang tentang
rencana sebuah tindakan medik yang akan dilakukan, pengobatan mapun perawatan yang akan di terima
oleh pasien. Karena pasien yang paling berkepentingan terhadap apa yang akan dilakukan terhadap
dirinya dengan segala resikonya, maka Informed Consent merupakan syarat subjektif terjadinya
transaksi terapeutik dan merupakan hak pasien yang harus dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu
upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya .

Bentuk Informed Consent


Ada dua bentuk informed consent
a. Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga
tidak perlu lagi di buat tertulis misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau
hecting luka terbuka.
b. Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada
pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk, yaitu :
a) Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar,
sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung
resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang
berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent)
b) Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak
mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien
c) Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik
atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui
tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Tujuan Informed Consent:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada
melekat suatu resiko

Isi Inform Consent


Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa
dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga diminta atau tidak
diminta, jadi informasi harus disampaikan.Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu
yang berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang
akan dijalani pasien baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat
memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan
alternative terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien yang
harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien dapat berbagai macam
bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk diketahui adalah bagaimana izin
tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila
timbul perselisihan. Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus
menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1) Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang akan
diberikan / diterapkan.
2) Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3) Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4) Alternative metode perawatan / pengobatan.
5) Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6) Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan Dokter juga perlu menyampaikan
(meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya dalam melakukan tindakan
medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:
1) Diagnosa yang telah ditegakkan.
2) Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3) Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4) Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5) Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang
lain.
6) Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
1) Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2) Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan
tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III
/ 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1
merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran adalah:
1) Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
2) Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.Ini
tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

Persetujuan
Bentuk persetujuan atau penolakan
Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat. Istilah
untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu ”fraudulent concealment”. Pasien yang akan menjalani
operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah namun dioperasi oleh dokter lain dapat saja
menuntut malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed consent dan dapat
menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.
Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa
persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari informed consent
yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.
Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang merangkum semua
informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis pasien. Format tersebut bervariasi
sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan. Saksi tidak dibutuhkan, namun saksi merupakan
bukti bahwa telah dilakukan informed consent. Informed consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi
naratif yang akurat oleh dokter yang bersangkutan.

Otoritas untuk memberikan persetujuan


Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang
direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu
mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan
diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan
bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap
pasien.
Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang terhadap
persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak perawatan tersebut.
Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak rasional. Pada
kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan kasus sebagai keadaan gawat
darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan yang diperlukan. Jika tidak cukup
waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi dengan satu atau beberapa
sejawatnya.
Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika pasien, meskipun
inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga, maka dokter perlu berhati-hati.
Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun
pasien tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya
segera dilakukan (1) jika keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara medis perlu penatalaksanaan
segera, (3) jika tidak ada dilarang undang-undang.
Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien dewasa
inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.

Kemampuan memberi perijinan


Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami informasi
yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat keputusan terkait dengan terapi
yang akan diberikan. Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana tidak menggambarkan
kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha persuasif. Pasien seperti
itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau yang ditunjuk pengadilan untuk
memberikan persetujuan pengganti.
Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk bertindak
atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi pasien inkompeten
yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk memperoleh informed consent
diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari keluarga atau dari pihak yang ditunjuk
pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat
diantara anggota keluarga terhadap perawatan pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional
atau bertempat tinggal jauh, maka dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan
siapa yang dapat memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.

Pihak Yang Berhak Menyatakan Persetujuan:


1) Pasien sendiri (bila telah berumur 21 tahun atau telah menikah)
2) Bagi pasien di bawah umur 21 tahun diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut: (1)
Ayah/ibu kandung, (2) Saudara-saudara kandung.
3) Bagi yang di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya berhalangan
hadir diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: (l) Ayah/ibu adopsi, (2) Saudara-
saudara kandung, (3) Induk semang.
4) Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai
berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Wali yang sah, (3) Saudara-saudara kandung.
5) Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), diberikan menurut urutan hak
sebagai berikut: (1) Wali, (2) Curator.
6) Bagi pasien dewasa yang telah menikah/orang tua, diberikan oleh mereka menurut urutan hak
sebagai berikut: a. Suami/istri, b. Ayah/ibu kandung, c. Anak-anak kandung, d. Saudara-saudara
kandung.
7) Wali: yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk mewakilinya dalam
melakukan perbuatan hukum atau yang menurut hukum menggantikan kedudukan orang tua. Induk
semang : orang yang berkewajiban untuk mengawasi serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi
orang lain seperti pimpinan asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang
pembantu rumah tangga yang belum dewasa.

Perlindungan Pasien

Perlindungan pasien tentang hak memperoleh Informed Consent dan Rekam Medis dapat dijabarkan
seperti dibawah ini: UU N0 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang
akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengkap
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang
lebih luas
b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. Gangguan mental berat

Akibat Yang Ditimbulkan Dari Adanya Informed Consent


Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di dalam Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata,
sebagai berikut :
Pasal 1338 : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Pasal 1339 : Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang- undang.
Dari kedua pasal tersebut dapat diambil pengertian sebagai berikut :
1. Perjanjian terapeutik berlaku sebagai undang-undang baik bagi pihak pasien maupun pihak dokter,
dimana undang-undang mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya.
2. Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak lain.
3. Kedua belah pihak, baik dokter maupun pasien harus sama-sama beritikad 
baik dalam
melaksanakan perjanjian terapeutik.
4. Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian yaitu kesembuhan
pasien, dengan mengacu pada kebiasaan dan kepatutan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis
maupun dari pihak kepatutan pasien.

Kapan Dibutuhkan Persetujuan Tertulis

Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh
dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya
Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan
tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter),
sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir Informed
Consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.
Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis pasien
yang bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi kontrak terapeutik antara dokter dengan
pasien. Pembuktian tentang adanya kontrak terapeutik dapat dilakukan pasien dengan mengajukan arsip
rekam medis atau dengan persetujuan tindakan medis (informed consent) yang diberikan oleh pasien.
Bahkan dalam kontrak terapeutik adanya kartu berobat atau dengan kedatangan pasien menemui dokter
untuk meminta pertolongannya, dapat dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik.Persetujuan tertulis
dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat :
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek samping yang
bermakna.
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi 
kedudukan kepegawaian
atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

Saat Timbul dan Berakhirnya Hubungan Pasien-Dokter

Saat timbulnya perjanjian antara dokter dan pasien adalah pada saat pasien meminta seorang dokter
untuk mengobatinya dan dokter menerimanya.Berakhirnya hubungan dokter-pasien dapat dilakukan
dengan cara :
1) Sembuhnya pasien dari keadaan sakitnya dan sang dokter menganggap tidak diperlukan lagi
pengobatan. Penyembuhan tidak usah sampai total namun melihat keadaan pasien tidak usah
memerlukan lagi pelayanan medik.
2) Dokter mengundurkan diri, dengan syarat :
a. Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut.
b. Kepada pasien diberikan waktu cukup dan pemberitahuan sehingga ia bisa 
memperoleh
pengobatan dari dokter yang lain.
c. Jika dokter merokemendasikan kepada dokter lain yang sama 
kompetensinya untuk
menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan 
pasiennya.
3) Pengakhiran oleh pasien. Seorang pasien bebas untuk mengakhiri 
pengobatannya
dengandokternya. Apabila diakhiri maka sang dokter berkewajiban untuk memberikan nasihat
apakah masih diperlukan pengobatan lanjutan dan memberikan informasi yang cukup kepada
penggantinya sehingga pengobatan dapat diteruskan oleh penggantinya. Apabila dokter memakai
seorang dokter lain maka dianggap bahwa dokter yang pertama telah diakhiri hubungannya, kecuali
diperjanjikan bahwa mereka akan mengobati bersama atau dokter kedua hanya dipanggil untuk
konsultasi tujuan khusus.
4) Meninggalnya si pasien.
5) Meninggalnya si dokter atau ia sudah tidak mampu lagi menjalani profesinya 
sebagai dokter.
6) Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan dalam kontrak.
7) Dalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan 
pasien sudah
datang atau terdapat penghentian keadaan kegawat-daruratannya.
8) Lewatnya jangka waktu, apabila kontrak medik itu ditentukan dalam jangka waktu tertentu.
9) Persetujuan kedua belah pihak bahwa hubungan dokter-pasien itu sudah diakhiri.

Konsep Baku Persetujuan Tindakan Medis

Istilah perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah yang dikenal dari bahasa Belanda, yaitu standaart
contract atau standaart voorwarden. Hukum Inggris menyebut perjanjian baku sebagai standa dized
contrac, standaart form of contract. Adapun definisi yang diberikan oleh Darus Mariam Badrulzaman
mengenai perjanjian baku adalah : “Perjanjian yang isinya baku dan diberikan dalam bentuk formulir”
Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian baku mengandung pengertian yang
lebih sempit dari perjanjian pada umumnya atau merupakan bentuk perjanjian tertulis yang isinya telah
dibakukan atau distandarisasi dan umumnya telah dituangkan dalam bentuk formulir atau bentuk
perjanjian lain yang sifatnya tertentu.
Pada prakteknya, perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian tertulis dalam bentuk formulir. Pembuatan
perjanjian sejenis yang selalu terjadi berulang-ulang dan teratur serta melibatkan banyak orang,
menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian terlebih dahulu dan kemudian dibakukan
lalu dicetak dalam jumlah banyak sehingga setiap saat mudah didapat jika dibutuhkan
Perjanjian baku isinya dibuat secara sepihak, dalam arti salah satu pihak telah menentukan isi dan
bentuk perjanjian pada satu bentuk pembuatannya, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian
baku ada ketidakseimbangan kedudukan para pihak, karena pihak yang tidak membuat perjanjian baku
ini biasanya hanya bisa bersikap menerima atau menolak keseluruhan isi perjanjian dan tidak
dimungkinkan untuk merubah isi perjanjian tersebut.
Perjanjian baku mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dengan bentuk-bentuk perjanjian bernama
lainnya, yakni :
1. Isinya ditetapkan oleh pihak yang lebih kuat.
2. Pihak lain yang biasanya adalah masyarakat, sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian.
3. Terdorong kebutuhannya, pihak lain terpaksa menerima isi perjanjian.
4. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif.
Bentuk persetujuan tindakan medis pada umumnya telah disusun sedemikian rupa sehingga pihak
dokter dan Rumah Sakit tinggal mengisi kolom yang disediakan untuk itu setelah menjelaskan kepada
pasien dan keluarga pasien. Sebelum ditandatangani, sebaiknya surat tersebut dibaca sendiri atau
dibacakan oleh yang hadir terlebih dahulu. Pasien seharusnya diberikan waktu yang cukup untuk
menandatangani persetujuan dimaksud.

Ketentuan Informed Consent

Ketentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik No.HR.00.06.3.5.1866


Tanggal 21 April 1999, diantaranya :
1) Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur (SOP) dan
ditetapkan tertulis oleh pimpinan RS.
2) Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter.
3) Informed Consent dianggap benar :
a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang
dinyatakan secara spesifik.
b. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)
c. Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang
sehat mental dan memang berhak memberikan dari segi hukum
d. Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan.
4) Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :
a. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate
of medical procedure)
b. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical
procedure)
c. Tentang risiko
d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko –risikonya (alternative
medical procedure and risk)
f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
g. Diagnosis
5) Kewajiban memberi informasi dan penjelasan
a. Dokter yang melakukan tindakan medis tanggung jawab
b. Berhalangan diwakilkan kepada dokter lain, dengan diketahui dokter yang
bersangkutan
6) Cara menyampaikan informasi
a. Lisan
b. Tulisan
7) Pihak yang menyatakan persetujuan
a. Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikah
b. Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak :
a) Ayah/ibu kandung
b) Saudara saudara kandung
c. Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :
a) Ayah/ibu adopsi
b) Saudara-saudara kandung
c) Induk semang
d. Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak :
a) Ayah/ibu kandung
b) Wali yang sah
c) Saudara-saudara kandung
e. Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle) :
a) Wali
b) Kurator
f. Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua
a) Suami/istri
b) Ayah/ibu kandung
c) Anak-anak kandung
d) Saudara-saudara kandung
8) Cara menyatakan persetujuan
a. Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi
b. Lisan; tindakan tidak beresiko
9) Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan pimpinan
RS.
10) Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga pasien.
11) Format isian informed consent persetujuan atau penolakan
a. Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai salah
satu saksi
b. Materai tidak diperlukan
c. Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien
d. Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan
e. Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan informasi
f. Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanannya
Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam medisnya.

3. MM Pandangan Islam Mengenai Malpraktek


Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa digolongkan sebagai
berikut:
1) Tidak Punya Keahlian (Jahil)
Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian,
baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian
tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di bidang kedokteran
kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
sabda beliau:
‫َّب َمن‬
َ ‫طب‬َ َ ‫ذَلِكَ قَب َل طِ ب مِ نهُ يُعلَم َولَم ت‬، ‫ضامِن فَ ُه َو‬
َ
"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki keahlian,
maka ia bertanggung-jawab"
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang,
sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib (pelakunya) harus bertanggung-jawab, jika
timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain.

2) Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhâlafatul Ushûl Al-'Ilmiyyah)


Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku dan
biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh dokter
saat menjalani profesi kedokteran.
Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dan tidak
boleh menyalahinya. Imam Syâfi'i rahimahullah –misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh
seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian semua
meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang seharusnya dan biasa
dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi tersebut, maka ia tidak
bertanggung-jawab. Sebaliknya, jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia bertanggung-jawab."[6]
Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim
rahimahullah.
Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi pelanggaran
prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk permasalahan yang pelik.

3) Ketidaksengajaan (Khatha')
Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud di dalamnya.
Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk
malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab terhadap akibat
yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk
jinayat khatha' (tidak sengaja).

4) Sengaja Menimbulkan Bahaya (I'tidâ')


Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek yang
paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang melakukan hal ini,
sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi dengan profesi ini. Kasus
seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan dengan isi hati orang.
Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga factor
kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya
malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan
pasien atau keluarganya.

Pembuktian Malpraktek
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malparaktek
harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah
salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti,
dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga
akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas
tindakan malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.
Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai
berikut:

Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrâr ).


Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih
mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini
menunjukkan kejujuran.

Kesaksian (Syahâdah).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zîr, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika
kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu
pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh
wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan
jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah
(kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya).

Catatan Medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi
referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.

Bentuk tanggung jawab Malpraktek


Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul pelakunya.
Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:

Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk
menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan
memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika memberi
contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya
dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja.
Dhamân (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari pasien,
wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.

Ta'zîr
Berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain. Ta'zîr berlaku untuk dua bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.

Pihak yang bertanggung jawab


Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan kesalahan langsung,
dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung. Misalnya, seorang
dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk
kepada dokter bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah
adalah adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek
secara tidak langsung.
Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-jawab. Kadang juga
ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya. Karenanya, rumah sakit atau klinik juga
bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara
tidak langsung menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan
tidak ahli.

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Panduan HAM bagi Pasien dan Dokter untuk Mencegah Malpraktek, Diakses dari:
http://www.balitbangham.go.id/index/images/judul_pdf/sipol/pengembangan/2008/malpraktek.p
df
2. Etika Kedokteran, Diakses dari: http://www.scribd.com/doc/96601676/etika-kedokteran
3. Malpraktek Dalam Kajian Hukum Pidana, Diakses dari:http://eprints.undip.ac.id/20768/1/2380-
ki-fh-98.pdf
4. Malpraktek Medik, Diakses
dari:http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Forensik/MALPRAKTEK%20MEDIK.pdf
5. Malpraktek Menurut Syariat Islam, Diakses dari:
http://almanhaj.or.id/content/2836/slash/0/malpraktek-menurut-syariat-islam/
6. Rekam Medis, Diakses dari:http://medicalrecord.webs.com/kegunaanrekammedis.htm

You might also like