Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Banyak pengertian atau definisi tentang “bencana” yang pada umumnya merefleksikan
katarestik tentang gangguan terhadap pola hidup manusia,dampak bencana bagi
manusia,dampak terhadap struktur sosial,kerusakan pada aspek system pemerintahan
bangunan dan lain-lain serta kebutuhan masyarakat yang diakibatkan oleh bencana.dapat
disebut “bencana”harus dipenuhi beberapa kriteria /kondisi sebagai berikut :
1. Ada peristiwa.
2. Terjadi karena faktor alam atau karena ulah manusia.
3. Terjadi secara tiba-tiba (Sudden) akan tetapi dapat terjadi secara perlahan-
lahan /bertahap (slow).
4. Menimbulkan hilangnya jiwa manusia,harta benda ,kerugian sosial-
ekonomi,kerusakan lingkungan dan lain-lain.
5. Berada diluar kemampuan masyarakat untuk menanggulanginya.
Untuk membedakan antara “bencana” dan “bukan bencana” dapat diberikan contoh
“letusan gunung api” yang terjadi di tengah laut. Apakah letusan gunung api tersebut
dapat disebut bencana?
Marilah kita urai apakah memenuhi unsur-unsur atau kriteria sebagaimana
dikemukakan di atas. Setelah diurai, ternyata letusan gunung api tersebut tidak
memenuhi unsur dampak korban jiwa manusia maupun keruskan/kerugian. Juga tidak
diperlukan kemampuan masyarakat untuk menanggapinya”. Dengan demikian letusan
gunung api di tengah laut yang dimaksud adalah bukan bencana melainkan hanya
fenomena alam biasa.
b. Tujuan
Meng-Analisis pelayan kespro pada kejadian bencana di Indonesia
II. PEMBAHASAN
Aliran awan panas yang dimuntahkan lava/material Merapi pada hari Jumat malam 5
Nopember 2010 dengan kecepatan mencapai 100 km per jam, dan panas mencapai kisaran
450-600 derajat celsius, membakar pepohonan dan rumah-rumah sehingga dilakukan
evakuasi penduduk secara besar-besaran. Kondisi tersebut memaksa pemerintah memperlebar
zona bahaya hingga berjarak 20 km dari puncak Merapi, yang sebelumnya ditetapkan dengan
radius 15 km. Letusan Merapi memicu evakuasi massa di wilayah DI Yogyakarta (Sleman,
Yogyakarta, Bantul) dan Jawa Tengah (Magelang, Klaten, Boyolali). Tempat-tempat
pengungsian dipenuhi lebih dari 370.000 jiwa. Korban Merapi.
Korban bencana alam menghadapi situasi dan kondisi yang sangat kompleks,baik secara
fisik,psikis maupun social Problema paling mendasar adalah persoalan fisik seperti
pemenuhan kebutuhan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan,dan pendidikan. Hal ini
berawal dari, tidak tersedia atau terbatasnya fasilitas umum, social dan sanitasi lingkungan
yang buruk sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bahkan dapat menjadi sumber penyakit.
Kebutuhan dasar manusia tersebut di atas dalam kondisi yang normal dapat dengan mudah
terpenuhi apabila alam dan lingkungan manusia mendukung, dalam arti sedang tidak terjadi
bencana. Sebaliknya apabila alam dan lingkungan tidak mendukung karena sedang terjadi
bencana maka kebutuhan dasar manusia itu kadang-kadang sulit terpenuhi, maka untuk dapat
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup, manusia tersebut memerlukan intervensi dari pihak lain.
Dalam hal ini manusia sebagai pengungsi memerlukan bantuan orang lain agar tetap dapat
bertahan hidup di tempat pengungsian. Dalam panduan pengungsi internal yang dikeluarkan
oleh PBB Koordinator Urusan Kemanusiaan (OCHA), kebutuhan perlindungan bagi
pengungsi meliputi lima prinsip yaitu salah satunya:
“Perlindungan selama masa pengungsian internal dari tindak genoside, pembunuhan,
penculikan, penahanan, kekerasan, perampokan, penyanderaan, pemerkosaan, penghukuman
kerja, penyiksaan, pencacatan, perbudakan, eksploitasi, pelecehan seksual, pengekangan
gerak, pefmaksaan ikut bertikai, penurunan martabat, moral dan mental”.
Belum lagi para suami yang terpisah dengan keluarga saat bencana melanda sehingga harus
menahan kebutuhan biologis yang tak tahu sampai kapan dan bencana kapan berakhir.Karena
tingginya kebutuhan biologis menyebabkan seorang suami ataupun seseorang tidak tahan
melampiaskannya.Bahkan jika harus melampaiskan pada anak dibawah umurpun dia sanggup
asal pemenuhan kebutuhannya terpenuhi,hingga terjadilah pelecehan seksual dan hubungan seksual
bebas tanpa pasangan tetap.Kondisi yang seperti inilah menjadi penyebab meningkatnya masalah
kesehatan reproduksi khusunya penyakit menular seksual.
c. Penanganan Korban Bencana
Kondisi ini seharusnya diatasi dengan kerjasama berbagai pihak khususnya Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk memberikan
dukungan pelayanan kesehatan dan gizi, kesehatan reproduksi, promosi kesehatan dan
penanggulangan penyakit akibat kerja.Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor :
066/MENKES/SK/II/2006
Diperlukan juga upaya dalam peningkatan SDM tiap masyarakat. Dalam upaya
meningkatkan kompetensi SDM Kesehatan dalam penanggulangan krisis akibat bencana
dibutuhkan pelatihan-pelatihan Kesehatan reproduksi, antara lain:
1. PONED untuk dokter, bidan dan perawat
2. Pelatihan Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak untuk dokter,
perawat dan bidan
Langkah yang dilakukan dalam upaya penanganan dampak sosial psikologis korban
bencana Merapi antara lain:
a. Advokasi
yaitu melindungi dan mengupayakan kepastian mengenai pemenuhan kebutuhan
dasar pengungsi secara layak dan memadai.
b. Intervensi keluarga.
Keluarga-keluarga pengungsi yang kehilangan kepala keluarganya perlu
mendapatkan pelayanan khusus karena (barangkali) seorang istri atau ibu harus
mengambil alih tanggung jawab sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah.
Pengertian, dukungan dan partisipasi semua anggota keluarga sangat dibutuhkan.
Agar masa transisi peran tersebut dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan
dukungan dari berbagai pihak sehingga fungsi keluarga dapat pulih kembali dan
stabilisasi peran keluarga dapat dicapai.
c. Terapi kritis.
Tidak sedikit masyarakat yang menolak untuk direlokasi, tidak puas dan merasa
tidak berdaya dengan situasi dan kondisi baru yang berbeda dengan keseharian
mereka sebelumnya. Perasaan-perasaan tersebut seringkali menimbulkan
gangguan psikis, seperti kecemasan dan insomnia, stres, frustrasi dan selalu ada
kemungkinan ini diberikan kepada individu-individu yang mengalami stress atau
trauma karena kejadian bencana itu sendiri, karena kehilangan harta benda atau
karena kehilangan anggota keluarganya. Terapi yang dilakukan antara lain
pengungkapan perasaan-perasaan negatif yang dilanjutkan dengan pembelajaran
sederhana mengenai cara membangun perasaan-perasaan yang positif dan bekerja
bersama-sama dengan kelompok untuk menginventarisasi hal-hal positif yang
dapat dilakukan di daerah yang baru dan menyusun rencana kegiatannya.
d. Membangun partisipasi
Pengungsi perlu dilibatkan dalam berbagai kegiatan di barak-barak pengungsian
(dapur umum, latihan keterampilan dan kegiatan lain) untuk mengalihkan
perasaan-perasaan kontra produktif, dan dalam menyusun rencana recovery.
e. Mediasi dan fasilitasi relokasi dengan penyuluhan terhadap masyarakat di daerah
tujuan yang baru agar dapat menerima kehadiran para pengungsi yang direlokasi
ke daerah mereka.
III. PENUTUP
a. Kesimpulan
Perempuan dan anak perempuan belum menjadi prioritas dalam penanganan
kebencanaan. “Kenyataannya, saat ini masih banyak perempuan dan anak perempuan
belum mendapat kesetaraan dengan laki-laki. Apalagi pada situasi kritis, misalnya
saat bencana. Mereka rentan didiskriminasikan.
b. Saran
Peningkatan koordinasi antar lembaga terkait dan keterpaduan program
dalam satu komando supaya efektif dan efisien
Selanjutnya untuk menghilangkan trauma sosial psikologis dan kejenuhan
di tempat pengungsian telah dilakukan berbagai aktivitas seperti hiburan,
konseling,advokasi,tracing,dan reunifikasi
Pemisahan tenda wanita dan pria untuk meminimalisir terjadinya
pelecehan seksual
Melibatkan para ibu dan remaja putrid pada kegiatan dapur agar selalu
melakukan hal bersama dan mengisi waktu jenuh.
DAFTAR PUSTAKA
http://regional.kompas.com/read/2015/09/29/17532801/4.Pengungsi.Rohingya.Mengaku.Ala
mi.Pelecehan.Seksual.di.Penampungan
https://www.scribd.com/doc/50493988/Pengelolaan-SDM-Kesehatan-pada-bencana
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/1d9dd7c11ce880b889bbc6397c241ab1.pdf
https://atmonobudi.wordpress.com/2013/10/12/penanganan-bencana-perempuan-dan-anak-
belum-jadi-prioritas/
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik
dan hidayat-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Analisis
pelayan kespro pada penganan bencanana alam” sebagai ketuntasan tugas mata kuliah
Kesehatan Reproduksi.
Dalam penyusuna Makalah ini, Penulis dibantu oleh berbagai pihak yang selalu memberikan
dorongan dan semangat pada penulis, sehingga penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada :
kekurangan, oleh sebab itu saran dan kritik membangun sangat diharapkan penulis dari
semua pihak.
Besar harapan penulis semoga Makalah ini berguna baik untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kesehatan Reproduksi maupun pembaca dengan harapan Makalah ini dapat memberikan
manfaat yang lebih bagi semua pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
-Kata Pengantar……………………………………………………………….
I. Pendahuluan
a. Latar Belakang………………………………………………………
b. Tujuan………………………………………………………………..
II. Pembahasan
a. Analisis Pelayan Kesehatan Reproduksi Pada Kejadian Letusan
Gunung Merapi……………………………………………………...
b. Permasalahan yang Dihadapi………………………………………
c. Penanganan Korban Bencana………………………………………
III. Penutup
a. Kesimpulan…………………………………………………………..
b. Saran………………………………………………………………….
-Daftar Pustaka…………………………………………………………………
-Lampiran Jurnal (Data Sekunder)………………………………………….
ANALISIS DAMPAK PESTISIDA
Disusun
T.A 2016/2017