Professional Documents
Culture Documents
COMPARTEMEN SYNDROM
A. DEFINISI
Kompartemen merupakan suatu area di dalam tubuh dimana otot, syaraf, dan
pembuluh darah dibungkus oleh jaringan seperti tulang dan fasia (jaringan
pembungkus organ). Kompartemen sindrom merupakan suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen
osteofasial yang tertutup. Hal ini dapat mengawali terjadinya kekurangan oksigen
akibat penekanan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi
jaringan dan diikuti dengan kematian jaringan.
Menurut Salter, kompartemen sindrom adalah peningkatan tekanan dari suatu edema
progresif di dalam kompartemen osteofasial yang kaku pada lengan bawah maupun
tungkai bawah (di antara lutut dan pergelangan kaki) yang secara anatomis
menggangu sirkulasi otot-otot dan saraf-saraf intrakompartemen sehingga dapat
menyebabkan kerusakkan jaringan intrakompartemen.
Ruangan tersebut (Kompartemen osteofasial) berisi otot, saraf dan pembuluh darah
yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus oleh
epimisium. Kompartemen sindrom ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi,
paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar
kompartemen terletak di anggota gerak. Paling sering disebabkan oleh trauma,
terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.
B. ETIOLOGI
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang
kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
c. Gips
d. Luka bakar
e. Operasi
f. Gigitan ular
g. Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana
45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari compartment syndrome terdiri dari dua kemungkinan mekanisme,
yaitu: berkurangnya ukuran kompartemen dan/atau bertambahnya isi dari
kompartemen tersebut. Kedua mekanisme tersebut sering terjadi bersamaan, ini adalah
suatu keadaan yang menyulitkan untuk mencari mekanisme awal atau etiologi yang
sebenanya. Edema jaringan yang parah atau hematom yang berkembang dapat
menyebabkan bertambahnya isi kompartemen yang dapat menyebabkan atau memberi
kontribusi pada compartment syndrome.
Tidak seperti balon, fasia tidak dapat mengembang, sehingga pembengkakan pada
sebuah kompartemen akan meningkatkan tekanan dalam kompartemen tersebut.
Ketika tekanan di dalam kompartemen melebihi tekanan darah di kapiler, pembuluh
kapiler akan kolaps. Hal ini menghambat aliran darah ke otot dan sel saraf. Tanpa
suplai oksigen dan nutrisi, sel-sel saraf dan otot akan mengalami iskemia dan mulai
mati dalam waktu beberapa jam. Iskemia jaringan akan menyebabkan edema jaringan.
Edema jaringan di dalam kompertemen semakin meningkatkan tekanan
intrakompartemen yang menggangu aliran balik vena dan limfatik pada daerah yang
cedera. Jika tekanan terus meningkat dalam suatu lingkaran setan yang semakin
menguat maka perfusi arteriol dapat terganggu sehingga menyebabkan iskemia
jaringan yang lebih parah.
TRAUMA/EXCERCISE
Edema/
Peningkatan
hematom
tekanan
lokal
intrakompar
(semakin temen
bertambah)
Ganguan aliran
Iskemia
pembuluh darah
jaringan (dapat
terjadi (pembuluh
kematian sel) darah kolaps)
D. MANIFESTASI KLINIS
Pada kompartemen sindrom, didapatkan tanda dan gejala yang dikenal dengan 7P,
yaitu:
1. Pain (nyeri) sering dilaporkan dan hampir selalu ada. Biasanya digambarkan
sebagai nyeri yang berat, dalam, terus-menerus, dan tidak terlokalisir, serta kadang
digambarakan lebih parah dari cedera yang ada. Nyeri ini diperparah dengan
meregangkan otot di dalam kompartemen dan dapat tidak hilang dengan analgesik
bahkan morfin. Penggunaan analgesia kuat yang tidak beralasan dapat
menyebabkan masking pada iskemia kompartemental.
2. Paresthesia (kesemutan) biasanya terjadi ketika diawal terjadinya kompartemen
sindrom karena penekanan pada saraf dan pembuluh darah di dalam kompartemen.
3. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
4. Pulselessness: catatan bahwa hilangya pulsasi jarang terjadi pada pasien, hal ini
disebabkan tekanan pada kompartemen syndrome jarang melebihi tekanan arteri.
5. Pallor (pucat) dikarenakan terjadinya penurunan perfusi ke dalam daerah
kompartemen.
6. Puffiness atau kulit yang tegang, bengkak, dan terlihat mengkilat
7. Poikilotermia (kulit terasa dingin)
E. DIAGNOSIS
Pada umumnya diagnosis dibuat dengan melihat tanda dan gejala sindrom
kompartemen dan pengukuran tekanan secara langsung. Gejala terpenting pada pasien
yang sadar dan koheren adalah nyeri yang proporsinya tidak sesuai dengan beratnya
trauma. Nyeri pada regangan pasif juga merupakan gejala yang mengarah pada
compartment syndrome. Paresthesi berkenaan dengan saraf yang melintang pada
kompartemen yang bermasalah merupakan tanda lanjutan dari compartment
syndrome. Palpasi dapat menunjukkan ekstremitas yang tegang dan keras. Pallor dan
pulselessness adalah tanda yang jarang jika tidak disertai cedera vaskuler. Paralysis
dan kelemahan motorik adalah tanda yang amat lanjut yang mengarah pada
compartment syndrome.
Jika diagnosis compartment syndrome belum dapat ditegakkan atau jika data objektif
diperlukan, maka tekanan kompartemen harus diukur. Cara ini paling berguna jika
diagnosis belum dapat disimpulkan dari gejala klinis, pada pasien politrauma, dan
pasien dengan cedera kepala.
Pengukuran tekanan kompartemen adalah salah satu tambahan dalam membantu
menegakkan diagnosis. Biasanya pengukuran tekanan kompartemen dilakukan pada
pasien dengan penurunan kesadaran, pasien yang tidak kooperatif, seperti anak-anak,
pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-pasien dengan multiple trauma seperti
trauma kepala, medulla spinalis atau trauma saraf perifer. Pengukuran tekanan
kompartemen dapat dilakukan dengan menggunakan teknik injeksi atau wick kateter.
Prosedur pengukuran tekanan kompartemen antara lain :
F. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
a. Comprehensive Metabolic Panel (CMP)
Sekelompok tes darah yang memberikan gambaran keseluruhan keseimbangan
kimia tubuh dan metabolisme. Metabolisme mengacu pada semua proses fisik
dan kimia dalam tubuh yang menggunakan energi.
b. Complete Blood Cell Count (CBC)
Pemeriksaan komponen darah secara lengkap yakni kadar : Hemoglobin,
Hematokrit, Leukosit (White Blood Cell / WBC), Trombosit (platelet), Eritrosit
(Red Blood Cell / RBC), Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC), Laju Endap
Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR), Hitung Jenis Leukosit (Diff
Count), Platelet Disribution Width (PDW), Red Cell Distribution Width (RDW).
c. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien
diberi heparin
d. Cardiac marker test (tes penanda jantung)
e. Urinalisis and urine drug screen
f. Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat
g. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
2. Imaging
a. Rontgen pada ekstrimitas yang terkena
b. USG, membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi Deep
Vein Thrombosis (DVT)
c. MRI
G. Penanganan
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun
beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa
adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi.
1. Terapi medikal/ non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan
sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran
darah dan akan lebih memperberat iskemi.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut
kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan
memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang
nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg.
Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki
perfusi otot. Jika tekanannya < 30 mmHg maka tungkai cukup diobservasi dengan
cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai
membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika
memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk
perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda.
Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan
lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan
resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah fasciotomi dapat
berarti membuka keempat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu
segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot dapat
dilakukan debridemen jika jaringan sehat luka dapat dijahit ( tanpa regangan ) atau
dilakukan pencangkokan kulit.
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi, antara lain :
a. Adanya tanda - tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat.
b. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi ( pasien koma, pasien
dengan masalah psikiatrik dan dibawah pengaruh narkoba ), dengan tekanan
jaringan > 30 mmHg pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan jaringan
yang normal.
Bila ada indikasi operasi dekompresi harus segera dilakukan karena penundaan
akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan intrakompartemen
sebagaimana terjadinya komplikasi. Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi
sindrom kompartemen. Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya
hipertensi intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen,
pengukuran dan konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan secepatnya.
Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua sindrom
kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket untuk mencegah
terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator juga dapat
memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi. Setiap yang
berpotensi mambatasi ruang termasuk kulit dibuka di sepanjang daerah
kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah prosedur
selesai. Debridemen otot harus seminimal mungkin selama operasi dekompresi
kecuali terdapat otot yang telah nekrosis.
Kompartemen sindrom dengan operasi fasciotomi
H. Komplikasi
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera akan
menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :
1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
2. Kontraktur volkam, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya
penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada tanga, jari
dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawah
3. Trauma vascular
4. Gagal ginjal akut
5. Sepsis
6. Acture respiratory distress syndrome (ARDS)
J. Masalah Keperawatan
1. Nyeri
2. Hambatan mobilitas fisik
3. Gangguan pola tidur
4. Gangguan citra tubuh
5. Kurang Pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan perawatan dan
pengobatan
Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Kompartemen Sindrom
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Meliputi jenis kelamin, umur, demografi, agama, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, dll
2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasusini merupakan rasa nyeri yang dialami oleh
klien. Pengkajian mengenai nyeri dilakukan dengan
a. Provoking, merupakan peristiwa apa yang bisa mencetuskan nyeri yang dirasakan
oleh klien
b. Quality, seperti apa nyeri yang sedang dirasakan oleh klien saat ini
c. Region, tempat dimana rasa nyeri itu terjadi
d. Severity, skala nyeri yang dirasakan oleh klien
e. Time, berapa lama nyeri yang dirasakan oleh klien biasanya berlangsung
3. Status kesehatan
a. Riwayat penyakit dahulu
Terdapat riwayat penyakit mengenai kelainan tulang, tuberkulosis, riwayat jatuh, dan
lain – lain
b. Riwayat penyakit sekarang
Terjadinya fraktur tertutup yang menyebabkan terjadinya penigkatan tekanan
kompartemen, pemasangan gips aatau elastic bandage yang terlalu ketat, terkena
sengatan hewan berbisa, cedera ketika olah raga
c. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit yang dialami oleh klien saat
ini seperti kelainan tulang, tuberkulosis
4. Pengkajian keperawatan
a. Aktivitas dan latihan
Lari, mengangkat beban yang terlalu berat, sering beraktivitas dengan mengandalkan
kekuatan fisik, kurang istirahat
5. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: terdapat edema di bagian kompartemen ekstrimitas atas dan bawah,
klien terlihat lemah, tekanan darah >140/90 mmHg, peningkatan nadi, peningkatan RR
Pengkajian fisik
a. Ekstrimitas
Ekstrimitas terlihat membiru atau sianosis, terdapat edema pada kompartemen di
ekstrimitas, terdapat nyeri tekan, tonus otot buruk, warna kulit mengkilap di
ekstrimitas yang terkena, tidak ditemukan denyut nadi atau pulsasi pada ekstrimitas
yang terkena.
b. Kulit dan kuku
Terlihat sianosis, tidak ada clubbing finger, akral teraba dingin
6. Terapi
Terapi atau pengobatan yang dijalani oleh klien
7. Pemeriksaan penunjang
Rontgen
MRI
B. Diagnosa keperawatam
a. Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan dalam kompartemen
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, ketidaknyamanan, penurunan
kekuatan otot
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurangnya kontrol tidur dan reaksi
ketidaknyamanan.
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk melakukan
tugas-tugas umum, peningkatan penggunaan energi, ketidakseimbangan mobilitas.
e. Kurang Pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan perawatan dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemahaman/mengingat kesalahan
interpretasi informasi.
C. Rencana tindakan keperawatan