Professional Documents
Culture Documents
Ol 5625
Ol 5625
Ol 5625
November 2018
BY :
Primitha Yulianti
C014172107
SUPERVISOR :
dr. Pendrik Tandean, Sp.PD-KKV, FINASIM
Has completed clinical clerk duties in the Department of Cardiology and Vascular Medicine,
Faculty of Medicine, Hasanuddin University
.
Supervisor
A. Patient Identity
Patient Name : Mr. A
Gender :♂
Birthdate (age) : 31/12/1962 (56 years old)
Medical record : 862303
Occupation : PNS
Unit care : Emergency room
Date of admission : November,8th 2018/ 20.18
B. History Taking
Chief complaint : Chest pain
Present Illness History :
The patient presents in the emergency room with chest pain since 19 hours ago,
duration > 20 minutes, the pain is felt on the epigastric region,like heavy
pressure,and then radiate to the left chest, this complaint accompanied by diaphoresis
and nausea. There was no shortness of breath and vomiting. Patient already
hospitalized for 8 days at Pinrang hospital with chief complaint of epigastric pain.
VITAL SIGNS
Blood Pressure : 110/80 mmHg
Heart Rate : 109 beat/min, regular
Respiratory rate : 24 times/min
Temperature : 37,3 ⁰C
Pain Scale : VAS 4
O2 Saturation : 98 %
Head
• Shape : Normosephal
• Face : Symmetrical
• Deformity : No deformity
• Hair : Normal
Eyes
• Exoptalmus/Enoptalmus : (-)
• Movement : Within normal limit
• Palpebra : Edema palpebra (-)
• Konjungtiva : Pale (-)
• Sklera : Icteric (-)
• Cornea : Clear
• Pupil : Bulat, isocor
Φ2,5 mm/2,5 mm
Ears
• Hearing: Within normal limit
• Bleeding (-), Otore (-)
Nose
• Epistaxis : (-)
• Rinore : (-)
Mouth
• Lip : Pale (-), Dry (-), Sianosis (-)
• Teeth : Caries dentis (-)
• Gum : Bleeding gums(-)
• Tonsil : T1 – T1, hiperemic (-)
• Pharynx : Hiperemis (-)
• Tongue : Dirty (-), Tremor (-), Hiperemic (-)
Neck
• Lymph nodes : No enlargement
• Thyroid : No enlargement
• JVP : R+2 cm H2O
• Blood vessel : Normal
• Stiff neck : (-)
• Tumor : (-)
• Trachea : Deviation (-)
Thorax
• Inspection : Symmetrical movement at static and dinamic
• Palpation : Vocal fremitus normal at both hemithorax
• Percussion : Sonor both hemithorax
• Auscultation : Breath sound vesicular, additional sounds ronkhi -/- ,
wheezing -/-
Heart
• Inspection : Ictus cordis does not seem
• Palpation : Thrill not palpable
• Percussion :
Right upper border at ICS II linea parasternalis dextra
Left upper border at ICS II linea parasternalis sinistra
Right lower border at ICS IV linea parasternalis dextra
Left lower border at ICS V linea midclavicularis sinistra
• Auscultation : S I/II regular, murmurs (-)
Abdomen
• Inspection : Flat, distended (-), meteorismus (-)
• Auscultationi : Peristaltic (+), normal
• Palpation : Pain(-), tumor (-), liver and spleen not palpable
• Percussion : Timpani (+), undulation, (-)Ascites (-)
Extremities
Edema (-), clubbing finger (-), warm extremities
D. Pemeriksaan Penunjang
1. ELECTROCARDIOGRAPHY
Rhythm : Sinus
Heart rate : 109 beat/min
Regularity : Regular
Axis : Normo Axis
Morphology
• P wave : Normal, 0.08 s
• Interval PR : 0.16 s
• QRSComplex : Normal, 0.08 s
• ST Segment : ST elevation at lead V1-V3
• T wave : normal, not inverted
Conclusion: Sinus tachycardia, HR 109 bpm regular, normoaxis, acute
anteroseptal wall myocard infarction
2. LABORATORY FINDINGS
PT 9.8 s 10 - 14
INR 0.92 -
Ureum 33 mg/dl 10 – 50
E. Diagnosis
ST SEGMENT ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION
ANTEROSEPTAL WALL ONSET > 12 HOURS KILLIP I
DIABETES MELLITUS TYPE 2
F. Terapi
Nacl 0,9% 500 cc/24 hours/intravena
Antiplatelet Cox-1 inhibitor -> Loading Aspilet 160 mg/oral
Antiplatelet ADP reseptor inhibitor -> Loading Clopidogrel 300 mg/oral
Nitrate : Nitrogliserin 10 mcg/minute/syringepump
Anticoagulant: Enoxaparin 0,6 cc/12 hours/subcutan
Sedative: Alprazolam 0,5 mg/24 hours/oral
Statin: Atorvastatin 40 mg/24 hours/oral
ACEI : Captopril 6,25 mg/ 8 hours/oral
Diuretics: Furosemide 40 mg/8 hours/oral
G. Education
Avoid risk factors
Reduces trigger factors from chest pain
Routinely taking medicine and going to the cardiac clinic
Reduce sweet foods and foods with a high glycemic index
Diet and exercise regularly
Moral support for patients and families
H. Resume
A 56-year-old male patient presents in the emergency room with chest pain since 19
hours ago, duration > 20 minutes, the pain is felt on the epigastric region,like heavy
pressure,and then radiate to the left chest, this complaint accompanied by diaphoresis
and nausea. There was no shortness of breath and vomiting. Patient already
hospitalized for 8 days at Pinrang hospital with chief complaint of epigastric pain.
There is history of diabetes mellitus and get medication of novorapid 8-8-6 unit/sc
and levemir 10 unit/sc, smoking history was 30 years ago with approximately 24
cigarettes per day, history of dyslipidemia is known since 1 year ago. History of
previous chest pain was absent, history of heart disease was not present, history of
hypertension was denied, family history with the same complaints and heart disease
does not exist. From the physical examination, it was found: the general condition of
the patient was moderately ill, underweight, compos mentis GCS: 15 E4M6V5. Vital
signs obtained blood pressure 110/80 mmHg, breathing 24 times per minute, pulse
109 times per minute, and temperature 37,3 ° C. Jugular venous pressure R + 2 cm
H2O at 30 ° position. On examination of the thorax of vesicular breathing sounds,
there is no ronkhi in both pulmonary basalts, the heart limit is within normal limits,
S1 heart sounds and regular S2, no murmurs. From ECG examination, sinus
tachycardia results, HR 109 x / min, normoaxis, ST elevation in lead V1-V3, acute
anteroseptal myocardial infarction. Laboratory results found leukocytosis, increased
liver function,increase total cholestrol, increased blood sugar, and increased activity
of cardiac enzymes CK, CK-MB and Troponin I.
TINJAUAN PUSTAKA
STEMI
1. DEFINISI
STEMI adalah suatu kondisi medis yang emergensi dimana pasien menunjukkan gejala
iskemi miokarium dengan gambaran elektrokardiografi (EKG) ST elevasi diikuti oleh
pelepasan biomarker nekrosis miokardial. Adanya ST elevasi yang baru pada J point dengan
tinggi minimal 2 mm dalam setidaknya 2 sadapan yang berdekatan untuk laki-laki atau 1.5
mm pada perempuan dalam sadapan V2-V3 atau 1mm pada sadapan ekstremitas atau pada
sadapan perikardial yang lain tanpa adanya pembesaran ventrikel kiri atau LBBB merupakan
definisi umum STEMI dari European Society of Cardiology/ American Collage of
Cardiology Foundation (ACCF)/ American Heart Associatin (AHA)/ World Heart
Federation Task Force. Adanya LBBB, pembesaran ventrikel kiri, tempo irama, dan sindrom
Brugada adalah beberapa contoh dimana diagnosis STEMI sulit untuk ditegakkan. ST depresi
pada V1 – V4 adalah indikasi adanya infark miokardium posterior, sedangkan ST elevasi
pada aVR dapat terjadi pada oklusi arteri koroner kiri atau paroksimal LAD. Kelainan
gerakan dinding regional (RWMA) pada EKG dan troponin jantung dapat membantu
penegakan diagnosis bila ada keraguan. Angiografi koroner dapat pula dilakukan jika
keraguan dan.kecurigaan tetap ada.1
Jika arteri desending anterior kiri mengalami okusi, dinding anterior ventrikel, septum
interventrikular, cabang bundle kanan, fasikulus anterior kiri dari cabang bundle kiri
akan menjadi iskemik, cedera atau infark.
Jika arteri koroner kanan tersumbat, maka atrium kanan, ventrikel kanan, dan
sebagian dari ventrikel kiri akan menjadi iskemik, cedera atau infark.
Jika arteri sirkumfleksus mengalami oklusi, dinding lateral ventrikel kiri, atrium kiri,
dan fasikulus posterior dari cabang bundle kiri akan menjadi iskemik, cedera atau
infark.2
3. PATOFISIOLOGI STEMI
Sindrom koroner akut terdiri dari angina tidak stabil, non-ST elevasi infark miokardium,
dan ST elevasi infark miokardium (STEMI). Semua kondisi ini ditandai dengan patofisiologi
umum dari plak aterosklerotik. Pada sebagian besar kasus, sindrom ini terjadiketika plak
aterosklerotik pecah dan mempercepat pembentukan trombus, sehingga terjadi oklusi arteri
total atau sebagian.
Setelah adesi, platelet diaktifkan untuk mensekresi berbagai molekul pro-agregasi, seperti
trombin, serotonin, adenosin difosfat (ADP), dan tromboksan A (TXA2).
/
Molekul ini selanjutnya akan meningkatkan proses aktivasi trombosit terkait dengan
reseptor spesifik pada trombosit untuk mengaktifkan kompleks reseptor GP IIb/ IIIa yang
merupakan jalur akhir untuk agregasi trombosit. Setelah diaktifkan, reseptorGP IIb/ IIIa
mengalami perubahan konformasi yang memungkinkannya untuk berikatan dengan
fibrinogen. Plateletakan berubah bentuk dari diskoid menjadi sperikal dalam hitungan detik
setelah konsentrasi ADP mendekati 2- 5 µM. ADP berikatan dengan reseptor ADP spesifik
yang terletak pada membran platelet meliputi P2Y1, P2Y12, dan P2X1. Oleh karena itu, ADP
dianggap sebagai agonis alami agregasi trombosit, karena molekul ini terlibat dalam
mekanisme umpan balik positif yang mendukung proses aktivasi trombosit dan pembentukan
trombus. Peran reseptor ADP dan ADP memiliki implikasi terapi yang luar biasa dan telah
diteliti dalam tiga dekade terakhir.
Reimer dan Jennings pada tahun 1970, melakukan sebuah studi eksperimental pada anjing
setelah oklusi koroner akut, dimana mereka meneliti hubungan antara durasi iskemi, area
yang beresiko, aliran darah kolateral, dan ukuran infark akhir. Hasil penelitian mereka
memperkenalkan konsep “wave front phenomenon of myocardial death”. Konsep ini
menyatakan bahwa, peningkatan ukuran infark dalam gelombang trasmural yang memanjang
dan endokardium ke epikardium dengan meningkatnya durasi oklusi koroner dan dengan
meningkatnya tingkat keparahan iskemik. Oklusi koroner yang berlangsung <6 jam
mengakibatkan infark subendokardial, dimana ukuran infark lebih kecil daripada daerah yang
beresiko iskemik. Ketika oklusi koroner >6 jam, infark menjadi transmural dengan ukuan
infark mencakup seluruh area yang beresiko. Konsep ini sangat mendasari terapi
revaskularisasi saat STEMI terjadi. Perkembangan patologi paska infark miokardial dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi yang dapat diprediksi setelah kejadian awal.meskipun
secara nyata tidak ada perubahan morfologi dari jaringan infark selama sekitar 6 jam setelah
onset kematian sel, namun perubahan biokimia sel dan ultrastruktur mulai menunjukkan
kelainan pada 20 menit kejadian iskemi. Iskemi miokardial dapat menyebabkan kehilangan
kontraktilitas pada miokardium yang terkena, yang menyebabkan hipokinesis. 3
Berdasarkan penelitian berskala luas dalam Interheart Study menunjukkan kadar lipid
yang abnormal, riwayat merokok, hipertensi, DM, obesitas abdominal, faktor psikososial,
pola diet, konsumsi alkohol serta aktivitas fisik secara signifikan berhubungan dengan infark
miokard akut baik pada STEMI maupun NSTEMI. Secara garis besar, faktor risiko tersebut
terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan dapat atau tidaknya dimodifikasi:5
Non modifiable :
1. Usia
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit
yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih
dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik.
Seluruh jenis penyakit jantung koroner termasuk STEMI yang terjadi pada
usia lanjut mempunyai risiko tinggi kematian6,7
2. Jenis kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan
Kejadiannya lebih awal dari pada wanita. Morbiditas penyakit ini pada laki-
laki lebih besar daripada wanita dan kondisi ini terjadi dan kondisi ini terjadi
hampir 10 tahun lebih dini pada wanita. Studi lain menyebutkan wanita
mengalami kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun lebih lama daripada
laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan dari
berbagai faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki
ketika berusia muda. Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini
sampai menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal
diduga karena adanya efek perlindungan esterogen6, 8
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner yaitu keluarga
langsung yang berhubungan darah pada pasien berusia kurang dari 70 tahun
merupakan factor risiko independen. Agregasi PJK keluarga menandakan
adanya predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa
riwayat keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK pada
keluarga dekat. Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna
dalam patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan
penting dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK6, 8
- Modifiable
1. Hipertensi
Risiko serangan jantung secara langsung berhubungan dengan tekanan darah,
setiap penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg risikonya berkurang
sekitar 16 %. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya
140 mmHg dan atau tekanan diastolic sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan
tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan
darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga
ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses
aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang.
Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan
rendahnya kadar oksigen yang tersedia. Secara sederhana dikatakan
peningkatan tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis,
sehingga rupture dan oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada
orang normotensi6, 8, 9, 10
2. Diabetes mellitus
Diabetes Melitus akan menyebabkan proses penebalan membrane basalis dari
kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria, sehingga terjadi penyempitan
aliran darah ke jantung. Insiden serangan jantung meningkat 2 hingga 4 kali
lebih besar pada pasien yang dengan diabetes melitus. Orang dengan diabetes
cenderung lebih cepat mengalami degenerasi dan disfungsi endotel. Diabetes
mellitus berhubungan dengan perubahan fisik - pathologi pada system
kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan gangguan
pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya coronary
artery diseases (CAD) 6, 8, 9, 10
3. Dislipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia merupakan peningkatan kadar kolesterol atau
trigliserida serum di atas batas normal. The National Cholesterol Education
Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab
penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT)
memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan
mortalitas akibat infark miokard.Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko
mayor yang dapat dimodifikasiuntuk perkembangan dan perubahan secara
progresif atas terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk
lipoprotein, 75 % merupakanlipoprotein densitas rendah (low density)
liproprotein/LDL) dan 20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi (high
density liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL lahyang rendah memiliki
peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara kadar HDL
dan insiden PJK6, 8, 9, 10
4. Overweight dan obesitas
Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung
koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di Negara berkembang
berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Overweight
didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30
kg/m2 . Obesitas sentral atau obesitas abdominal adalah obesitas dengan
kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan
dengan kelainan metabolic seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan
HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan
diabetes mellitus tipe II. Data dari Framingham menunjukkan bahwa
apabilasetiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi
penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident
(CVA) sebanya 3,5 %. Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan
tekanan darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan
menurunkan dislipidemia. Hal tersebut dapat ditempuh dengan cara
mengurangi asupan kalori dan menambah aktifitas fisik6, 8, 9, 10
5. Riwayat merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung coroner sebesar 50%.
Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok pasif)
memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan dengan orang
yang tinggal dengan bukan perokok. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian
karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok. Penggunaan
tembakau berhubungan dengan kejadian miokard infark akut prematur di
daerah Asia Selatan. Merokok sigaret menaikkan risiko serangan jantung
sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24 % kematian akibat PJK pada laki-laki
dan 11 % padaperempuan disebabkan kebiasaan merokok. Pemeriksaan yang
dilakukan pada usia dewasa muda dibawah usia 34 tahun, dapat diketahui
terjadinya atherosklerosis pada lapisan pembuluh darah (tunika intima) sebesar
50 %. Berdasarkan literatur yang ada hal tersebut banyak disebabkan karena
kebiasaan merokok dan penggunaan kokain6, 8, 9, 10
6. Faktor psikososial
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial,
personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten
meningkatkan resiko terkena aterosklerosis. Stres merangsang sistem
kardiovaskuler dengan dilepasnya catecholamine yang meningkatkan
kecepatan denyut jantung dan pada akhirnya dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah koronaria. Beberapa ilmuwan mempercayai
bahwa stress menghasilkan suatu percepatan dari prosesatherosklerosis pada
arteri koroner. Perilaku yang rentan terhadap terjadinya penyakit coroner
(kepribadian tipeA) antara lain sifat agresif, kompetitif, kasar, sinis, keinginan
untuk dipandang,keinginan untuk mencapai sesuatu, gangguan tidur,
kemarahan di jalan, dan lain-lain.Baik ansietas maupun depresi merupakan
predictor penting bagi PJK6, 8, 9, 10
7. Aktivitas fisik
Olah raga secara teratur akan menurunkantekanan darah sistolik, menurunkan
kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadarkolesterol dan lemak darah,
meningkatkan kadar HDL lipoprotein, memperbaikisirkulasi koroner dan
meningkatkan percaya diri. Diperkirakan sepertiga laki-laki dan dua per tiga
perempuan tidak dapatmempertahankan irama langkah yang normal pada
kemiringan gradual (3 mph padagradient 5 %). Olah raga yang teratur
berkaitan dengan penurunan insiden PJK sebesar 20 – 40 %. Olah raga secara
teratur sangat bermanfaat untukmenurunkan faktor risiko seperti kenaikan
HDL-kolesterol dan sensitivitas insulin sertamenurunkan berat badan dan
kadar LDL-kolesterol.Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada
sistem kardiovaskuler,yaitu peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran
darah dari organ yang kurangaktif ke organ yang aktif6, 8, 9, 10
8. Gaya hidup
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi
diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan
polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari
ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun tidak
semua literatur mendukung konsep ini, apabila mengkonsumsi alkohol
berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki
peningkatan resiko terkena penyakit. Studi Epidemiologi yang dilakukan
terhadap beberapa orang telah diketahui bahwa konsumsi alkohol dosis sedang
berhubungan dengan penurunan mortalitas penyakit kardiovaskuler pada usia
pertengahan dan pada individu yang lebih tua, tetapi konsumsi alkohol dosis
tinggi berhubungan dengan peningkatan mortalitas penyakit
kardiovaskuler.Peningkatan dosis alkohol dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas kardivaskuler karena aritmia, hipertensi sistemik, dan kardiomiopati
dilatasi6, 8, 9, 10
5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala utama penyakit jantung koroner adalah angina pektoris (AP). AP
didefinisikan sebagai perasaan tidak enak di dada (chest discomfort) akibat iskemik
miokard. Perasaan tidak enak di dada ini dapat berupa nyeri, rasa terbakar atau rasa
tertekanan. Kadang-kadang tidak dirasakan di dada melainkan di lengan, rahang
bawah, bahu atau di ulu hati. Serangannya tidak berhubungan dengan perubahan
posisi badan atau tarik napas. AP harus dibedakan dengan atypical chest pain
misalnya gangguan pencernaan, nyeri otot dada, pleuritis dan perikarditis5.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin
dan lemas. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa
dingin. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi
menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah
menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu,
tekanan darah kembali normal.
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.
Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik
abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung
tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting
suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung.
Gejala klinis menurut buku Ilmu Penyakit Dalam :
1. STEMI
Gejalanya yang ditimbulkan yaitu :
- Plak arteriosklerosis mengalami fisur
- Ruptur atau ulserasi
- Jika kondisi local atau sistemik akan memicu trombogenesis, sehingga
terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi
arteri koroner.
2. NSTEMI
Gejala yang ditimbulkan yaitu :
Nyeri dada dengan lokasi khas atau kadang kala di epigastrium dengan ciri
seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa
penuh, berat atau tertekan.
Karakteristik utama Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi adalah angina tipikal dan
perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI. Sebagian besar
pasien STEMI akan mengalami peningkatan marka jantung, sehingga berlanjut menjadi
infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction, STEMI).
Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.11
6. DIAGNOSIS STEMI
Semua pasien yang datang dengan nyeri dada yang mengarah pada penyakit jantung
koroner harus dilakukan pemeriksaan EKG tidak lebih dari 10 menit sejak pasien masuk
kemudian dilanjutkan dengan evaluasi keluhan pasien. Tidak seperti pasien dengan kondisi
medis lainnya, STEMI dapat didiagnosis dengan satu tes sebelum evaluasi pasien selesai.
Kriteria diagnosis untuk STEMI menurut ACC/ AHA, yaitu: Adanya ST elevasi yang baru
pada J point dengan tinggi minimal 2 mm dalam setidaknya 2 sadapan yang berdekatan
untuk laki-laki atau 1.5 mm pada perempuan dalam sadapan V2-V3 atau 1 mm pada sadapan
ekstremitas atau pada sadapan perikardial yang lain tanpa adanya pembesaran ventrikel kiri
atau LBBB.
- Anamnesis
Anamnesis dapat dimulai saat EKG sedang dilakukan dan terapi awal sedang
diberikan.
Apabila hasil EKG pasien menunjukkan STEMI, segera tanyakan kontraindikasi untuk
pemberian fibrinolitik, karena informasi ini akan membantu keputusan terapi reperfusi yang
tepat.12
- Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat
(gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal
>30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI.
Tekanan darah bisa tinggi, normal, atau rendah. Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang
pecah paradoksal,irama gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak
atau teraba di dinding dada pada IMA inferior.Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung
tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral
akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap SKA. Pericardial friction rubkarena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas
yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA
- Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai
landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara
kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG
sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan
infark ventrikel kanan.12
ST- Elevasi Arteri Koroner yang Area jantung yang Kmplikasi
Terkena Dampak Rusak
V1 - V4 Arteri koroner kiri: Dinding anterolateral, Disfungsi ventrikel
Left anterior septum, ventrikel kiri, kiri: penurunan
descending bundle his, karbon dioksida,
gagal jantung
kongestif, LBBB,
RBBB, LPFB, Blok
infranodal (2o atau 3o)
V5 - V6, I, aVL Arteri koroner kiri: Dinding lateral kiri Disfungsi ventrikel
Left circumflex jantung kiri: penurunan
branch karbon dioksida,
gagal jantung
kongestif, Blok
infranodal (2o atau 3o)
II, III, aVF, V4R Arteri koroner kiri: Dinding inferior Hipotensi, blok
Posterior Descending ventrikel kanan jantung supranodal
Branch 1o, fibrilasi/ flutter
atrium, kontraksi
atrium premature,
Blok infranodal (2o
atau 3o), rupture
muskulus papillaris
V8 dan V9 atau ST- 90% Arteri koroner Dinding posterior Hipotensi
depresi pada V1 dan kanan: posterior jantung Blok supranodal
V2 descending branch jantung 1o, Blok
10% arteri koroner infranodal (2o atau
kiri: left circumflex 3o), fibrilasi/ flutter
branch (elevasi pada atrium, kontraksi
V5 – V6) atrium premature,
rupture muskulus
papillaris.
Semua pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada atau gejala lain yang dicurigai
sindrom koroner akut harus dilakukan pemeriksaan biomarker jantung. Pemeriksaan troponin
T dan I memungkinkan penentuan adanya nekrosis atau iskemik pada miokardium secara
akurat, sensitif, dan spesifik. Troponin dapat menggantikan CK-MB sebagai penanda untuk
mendeteksi nekrosis miokardium. Namun, pengukuran troponin memiliki berbagai
kekurangan, yaitu: kadar troponin biasanya tidak meningkat sampai setidaknya 6 jam setelah
timbulnya gejala. Oleh kaena itu, hasil negatif yang diperoleh harus diulang 8 – 12 jam
setelah onset gejala. Karena kadar troponin tetap tinggi untuk periode yang lama (5 – 14 hari)
setelah nekrosis miokardium, kegunaannya dalam mendeteksi nekrosis miokardium rekuren
sangat terbatas. Namun, pengukuran kadar troponin sangat membantu dalam mendeteksi
kerusakan miokardium pada pasien yang datang beberapa hari setelah timbulnya gejala.
Adapun biomarker CK-MB memiliki waktu paruh yang terbilang cukup singkat, sehingga
dapat digunakan untuk mendiagnosis reinfark dan infak miokardium periprosedural.
Gambar diatas menunjukkan waktu pelepasan biomarker jantung setelah terjadinya infark
miokardium akut. Garis putus –putus horizontal menunjukkan batas normal (ULN).
Biomarker pertama yang mengalami kenaikan yaitu myoglobin dan kreatinin kinase (kurva
paling kiri). Kreatinin kinase naik ke titik puncak 2-5 kali ULN dan kembali ke kisaran
normal dalam waktu 2 – 3 hari setelah infark miokardium akut. Troponin spesifik jantung
menunjukkan elasi kecil di atas ULN pada infark yang kecil (NSTEMI), tetapi meningkat
menjadi 20 hingga 50 kali dari ULN pada infark yang besar (STEMI). Tingkat troponin dapat
tetap tinggi di atas ULN selama 7 hari setelah infark miokardium akut.13
Pemeriksaan Lainnya
Pemeriksaan Radiografi dada diakukan untuk menyingkirkan penyebab lain nyeri dada
dan menyingkirkan diagnosis kongesti paru yang memiliki prognosis yang buruk.
Pemeliksaan profil lipid harus dilakukan 24 jam setelah onset sindrom koroner akut
sebagaimana yang direkmendasikan oleh National Chlesterol Education Program Adult
Treatmet Panel III dan ACC 2007/ AHA.13
7. TATALAKSANA
Kelas Rekomendasi
Tingkat Bukti
A. PENANGANAN EMERGENSI
Keterangan:
Hubungi nomor darurat nasional. Ketika pasien didiagnosis STEMI di luar rumah sakit atau
di pusat non- PCI, Keputusan untuk memilih strategi reperfusi didasarkan pada perkiraan
waktu dari diagnosis STEMI ke perfusi yang dimediasi oleh PCI. Pasien dengan fibrinolisis
harus segera dirujuk ke pusat PCI setelah pemberian bolus lytic.
B. TERAPI REPERFUSI
Istilah Definisi
FMC (First Medical Contact) Penilaian pertama saat pasien tiba di rumah
sakit
STEMI diagnosis Waktu dimana EKG pasien diinterpretasikan
adanya segmen ST elevasi
PCI Primer PCI dengan balon, stent atau perangkat lain
yang disetujui, dilakukan pada IRA (Infarct
Related Artery) tanpa terapi fibrinolitik
sebelumnya
Strategi PCI Primer Angiografi koroner dan PCI dari IRA jika
diindikasikan
PCI rescue PCI dilakukan sesegera mungkin jika terapi
fibrinolitik gagal
Strategi PCI dini rutin setelah fibrinolisis Angiografi koroner dan PCI dari IRA jika
diindikasikan, dilakukan antara 2 hingga 24
jam setelah fibrinolisis beerhasil dilakukan
Strategi Farmakoinvasif Kombinasi fibrinolisis dengan PCI rescue
(pada kasus dimana terapi fibrinolitik gagal)
atau strategi PCI dini (pada kasusu dimana
terapi fibrinolitik berhasil dilakukan)
Target waktu maksimum untuk memilih strategi reperfusi pada pasien yang datang melalui
EMS di rumah sakit non-PCI.
Rekomendasi Terapi Reperfusi
Keterangan:
Terapi Antitrombotik Pra-prosedur dan Paska-prosedur pada Pasien dengan PCI Primer
Dosis Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan pada Pasien PCI Primer atau Reperfusi
Terapi Antiplatelet
Aspirin Loading dose 150-30 mg oral atau 75-250 mg i.v jika
jalur oral tidak bisa, diikuti oleh dosis lanjutan 75-100
mg/ hari
Clopidogrel Loading dose 600 mg oral, iikuti dosis lanjutan 75 mg/
hari
Prasugrel Loading dose 60 mg oral, diikuti oleh dosis lanjutan 10
mg/ hari pada pasien dengan BB ≤ 60 kg, dosis
lanjutan 5 mg/hari dianjurkan.
Prasugrel memiliki kontraindikasi pada pasien dengan
riwayat strok. Pada pasien ≥ 75 tahun, prasugrel secara
umum tidak direkomendasikan, tapi dosis 5 mg/ hari
harus diberikan jika terapi sangat dibutuhkan
Ticagrelor Loading dose 180 mg oral, diikuti dosis lanjutan 90 mg
2x1
Abciximab Bolus 0.25 mg/ kg i.v dan 0.125 µg/kg/menit
(maksimal 10 µg/ menit) dalam 12 jam
Eptifibatide Double bolus 180 µg/ kg i.v (diberikan 10 dalam 10
menit) diikuti oleh infuse 2.0 µg/ kg/ menit untuk 18
jam
Tirofiban 25 µg/ kg selama 3 menit i.v diikuti oleh dosis
lanjutan infuse 0.15 µg/ kg/ menit untuk 18 jam
Terapi Antikoagulan Parenteral
UFH 70 -100 IU/ kg/ i.v bolus ketika tidak ada inhibitor GP
IIb/ IIa
50- 70 IU/ kg/ i.v bolus dengan inhibitor GP IIb/ IIa
Enoxaparin 0.5 mg/ kg i.v bolus
Bivalirudin 0.75 mg/ kg i.v bolus diikuti infuse i.v 1.75 mg/kg/ jam
untuk 4 jam setelah prosedur
Dosis antiplatelet dan antikoagulan parenteral pada pasien yang Tidak Menerima Terapi
reperfusi
Terapi Antiplatelet
Aspirin Loading dose 150 – 300 mg oral diikuti oleh dosis
lanjutan 75 – 100 mg/ hari
Clopidogrel Loading dose 300 mg oral, diikuti oleh dosis lanjutan
75 mg/hari oral
Terapi Antikoagulan Parenteral
UFH Dosis sama dengan terapi fibrinolitik
Enoxaparin Dosis sama dengan terapi fibrinolitik
Foundaparinux Dosis sama dengan terapi fibrinolitik
B. 2 Terapi Fibrinolitik
I B
Aspirin oral atau i.v diindikasikan
Clopidogrel dapat diberikan bersama dengan aspirin I A
DAPT (Bentuk dari aspirin + inhibitor P2Y12) diindikasikan
selama 1 tahun untuk pasien untuk pasien yang mengalami I C
fibrinolisis dan PCI selanjutnya
Co-Terapi Antikoagulan dengan Fibrinolisis
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien yang diobati
dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi atau untuk durasi I A
rawat inap sampai 8 hari. Antikoagulan yang dapat diberikan:
Enoxaparin i.v diikuti s.k I A
UFH ang diberikan disesuaikan dengan berat bolus i.v I B
Pada pasien yang diobati dengan streptokinase, fondaparinux
IIa B
i.v bolus diikuti dengan pemberian subkutan 24 jam kemudian
Transfer setelah Fibrinolisis
Semua Pasien yang telah mendapatkan terapi fibrinolisis
direkomendasikan untuk segera dirujuk ke Rumah Sakit Pusat I A
PCI
Intervensi setelah Fibrinolisis
Angiografi emergensi dan PCI jika diindikasikan,
I A
direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung/ syok
PCI rescue diindikasikan segera ketika fibrinolisis gagal
(resolusi segmen ST <50% pada 60 – 90 menit) atau pada saat
I A
pasien mengalami ketidakstabilan hemodinamik atau iskemia
semakin memburuk.
Angiografi dan PCI dari IRA, jika diindikasikan,
direkmendasikan antara 2 – 24 jam setelah fibrinolisis berhasil I A
dilakukan
Angiografi emergensi dan PCI jika dibutuhkan, diindikasikan
pada kasus iskemi berulang atau terbukti terjadi reoklusi setelah I B
fibrinolisis awal berhasil.
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) harus dipertimbangkan untuk pasien dengan
paten IRA dengan anatomi yang tidak memungkinkan untuk PCI dan area miokard yang
besar ataupun dengan syok kardiogenik. Pada pasien dengan komplikasi mekanis terkait
dengan infark miokard yang memerlukan revaskularisasi koroner, CABG direkomendasikan
pada saat perbaikan. Pada pasien STEMI dengan PCI yang gagal atau oklusi koroner tidak
dapat dilakukan dengan PCI, CABG jarang dilakukan, karena manfaatnya belum pasti pada
keadaan tersebut. Pada penundaan reperfusi yang lama, prognosis untuk menyelamatkan
miokardium rendah dan resiko pembedahan tinggi.
Karena tidak adanya data mengenai waktu optimal untuk melakukan CABG pada
pasien paska infark miokard stabil harus ditentukan secara individual. Sebuah tinjuan di
California, membandingkan pasien yang menjalani CABG lebih awal (< 3 hari) dengan
pasien yang menunda CABG (≥ 3 hari) paska infark miokard, didapatkan hasil, pasien yang
menjalani CABG awal memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil atau yang memiliki resiko tinggi untuk iskemi berulang
(misalnya: pasien dengan area iskemi yang besar) harus dioperasi sesegera mungkin tanpa
menunggu pemulihan fungsi platelet sepenuhnya setelah penghentian DAPT. Untuk semua
pasien lain, waktu untuk menunggu CABG sekitar 3 – 7 hari (3 hari setelah gangguan
Ticagrelor, 5 hari untuk clopidogrel, dan 7 hari untuk Prasugrel). Sementara itu,
direkomendasikan aspirin dilanjutkan. Aspirin direkomendasikan paska CABG 6 – 24 jam
setelah operasi tanpa adanya perdarahan yang terjadi.14
8. PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA (David, 2015):
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop, kongesti paru
dan syok kardiogenik15
IV Syok 60-80
kardiogenik
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
IV <2,2 >18 51
9. KOMPLIKASI
9.1 Gangguan Hemodinamik
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsimiokardium. Bila
revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau trombolisis,perbaikan fungsi ventrikel
dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejastransmural dan/atau obstruksi mikrovaskular,
terutama pada dinding anterior,dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan
remodelingpatologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapatberakhir
dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadisebagai konsekuensi dari
aritmia yang berkelanjutan atau sebagai komplikasimekanis.
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah infark
miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11•}5 hari sejak infark miokard akut
melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut
sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik),
sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5%
(≥5 detik), VT berkelanjutan sebesar 3% dan VF sebesar 3%.
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel kiri,
gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris atau chordae tendinae. Keadaan ini
biasanya ditandai dengan perburukan hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti paru dan
murmur sistolik baru, yang biasanya tidak terlalu diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis
ini dicurigai dengan pemeriksaan klinis dan perlu segera dikonfirmasi denganekokardiografi
darurat. Edema paru dan syok kardiogenik dapat terjadidengan cepat.
9.2.5. Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan semakin majunya terapi
reperfusi yang modern dan efektif. Gejala perikarditis antara lain nyeri dada berulang,
biasanya khas yaitu tajam dan, bertentangan dengan iskemia rekuren, terkait dengan postur
dan pernapasan. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST dan biasanya ringan
dan progresif, yang membedakannya dengan re-elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti pada
re oklusi koroner akibat trombosis stent, misalnya. Pericardial rub yang terusmenerus dapat
mengkonfirmasi diagnosis, namun sering tidak ditemukan, terutama apabila terjadi efusi
perikardial berat. Ekokardiografi dapat mendeteksi dan menentukan besarnya efusi, bila ada,
dan menyingkirkan kecurigaan efusi hemoragik dengan tamponade. Nyeri biasanya
menghilang dengan pemberian aspirin dosis tinggi, paracetamol atau kolkisin. Pemberian
steroid dan NSAID jangka panjang perlu dihindari karena dapat menyebabkan penipisan
jaringan parut dan pembentukan aneurisma atau ruptur. Perikardiosentesis jarang diperlukan,
namun perlu dilakukan apabila terdapat perburukan hemodinamik dengan tanda-tanda
tamponade. Bila terjadi efusi perikardial, terapi antikoagulan yang sudah diberikan (misalnya
sebagai profilaksis tromboemboli vena) perlu dihentikan kecuali apabila benar-benar
diindikasikan pemberiannya.
1. Ankush Sachdeva, “Definition and overview of STEMI”, Fortis Escorts Heart Institute,
2016.
2. Kristen J, Overbaugh. 2009. Acute Coronary Syndrome. Continuing Education. Vol. 109
3. Leslie Makau. 2011. A Critical Appraisal of the Evolution of ST Elevation Myocardial
Infarction (STEMI) Therapy and the Evidence Behind the Current Treatment Guidelines.
American Journal of Clinical Medicine. Vol.8.No. 1
4. Irtiza Hasan, Tasnuva Rashid, Md. Harun Ur Rashid Bhuiyan. 2015. PCI in Post
Thrombolysis Stable STEMI Patients. Scientific Research Publishing.
5. Indre C. Eponiene, Diana Zaliaduonyte-Peksiene, Olivija Gustiene, Abdonas Tamosiunas,
and Remigijus Zaliunas, “Association of major cardiovascular risk factors with the
development of acute coronary syndrome in Lithuania,” European Heart Journal
Supplements, vol. 16, no. A, pp. A80–A83, 2014.
6. Santoso, Anwar et al., (2009). Lipid dan Penyakit Jantung Koroner.Jakarta: Centra
Communications
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Jakarta. Centra Communications.
8. Huon H. Gray, Keith D. Dawkins, John M. Morgan, Iain A. Simpson, Lecture notes
cardiology, Edisi 4, Erlangga Medical Series, Jakarta, 2002, 107-150.
9. Antman, E.M. & Braundwald, E. 2010. Harrison’s Principles of Internal Medicine (17th
ed). New South Wales: McGraw Hill.
10. Bull E, Morrell J, 2007. Simple Guides Kolesterol. Edisi ke-1. Jakata, Erlangga, 3-22
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Jakarta. Centra Communications.
12. Joshua M Kosowsky, Maame Yaa A.B Yiadom, Luke K. Herman, Andy Jagoda. 2009.
The Diagnosis and Treatment of STEMI In the Emergency Departement. Emergency
Medicine Practice.
13. Amit Kumar, Christopher P. Cannon. 2009. Acute Coronary Syndrome: Diagnosis and
Management.
14. Jean Philippe Collet, Steen Dalby Kristensen, Victor Aboyans. 2017.ESC Guidelines for
the Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-Segment
elevation. European Society of Cardiology.
15. David, L.C., S. Jamshid, et al. 2015. Acute Coronary Syndrome. Medscape