You are on page 1of 7

Tujuan hukum adalah untuk menciptakan keadilan.

Hukum dalam suatu negara


berlaku universal. Hukum dalam menciptakan keadilan harus obyektif artinya
tidak keberpihakan sementara. Keadilan bersifat subyektif.
Pertanyaan :
1. Mampukah hukum menjadi alat atau sarana untuk menciptakan keadilan
tersebut?
Jawaban Analisa :
Kehidupan manusia pada saat ini merupakan penentu adanya aturan-aturan
hukum yang harus diberlakukan. Dalam kaitannya dengan hukum, hukum
merupakan pedoman untuk berperilaku seseorang dalam bertindak dan melakukan
perbuatan hukum yang layak untuk diterapkan dalam masyarakat. Sebab tanpa
hukum, negara tidak akan bisa mengontrol perilaku mayarakatnya untuk di nilai
baik atau buruk. Oleh sebab itu hukum sebagai alat atau saran untuk menciptakan
keadilan suatu negara.
Hukum dan keadilan adalah permasalahan lama akan tetapi selalu menarik
pertalian antara keduanya. Meskipun secara aktual setiap kali kita dihadapkan
dengan sikap kritis terhadap hukum dan keadilan, namun tidak dapat disangkal
bahwa kehidupan bersama tetap memerlukan hukum dan keadilan . Pada dasarnya
manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan hukum, karena hal itu
merupakan nilai dan kebutuhan asasi bagi masyarakat yang beradab. Keadilan
adalah milik dan untuk semua orang serta segenap masyarakat dan apabila tidak
ada keadilan akan menimbulkan kehancuran dan kekacauan keberadaan serta
eksistensi masyarakat itu sendiri.
Hukum adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat. Hukum yang mengatur segala sesuatuyang ada dalam masyarakat.
Hukum dikatakan sebagai suatu proses dari masyarakat dengan manusia sebagai
subyeknya. Bekerjanya hukum di dukung dengan pembuatan hukum itu sendiri.
Jika pembuatan hukum itu dilakukan dengan baik maka hukum akan berjalan
dengan baik dan demikian sebaliknya.
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi
ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga
menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki

1
sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi landasan moral
hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilan-lah
hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi
unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak
pantas menjadi hukum.
Menurut Cicero, seorang filsuf pada zaman Romawi kuno, pernah
mengeluarkan pernyataan yang sangat terkenal dan dianggap masih relevan
dengan situasi dan kondisi masyarakat dewasa ini, yaitu : “ubi societas ibi
ius”yang artinya dimana ada masyarakat maka disitupun ada hukum. Dari
pandangan Cicero tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap kehidupan
masyarakat sesungguhnya memiliki mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah
hukum yang berasal dari hubungan dan pergaulan antar sesama warga masyarakat
tersebut. Hal ini bisa terjadi karena hukum itu dapat dirumuskan sebagai suatu
fenomena (gejala-gejala sosial) terhadap nilai-nilai dan perilaku yang hidup dan
berkembang didalam diri manusia tatkala ia berhubungan atau bergaul dengan
manusia lainnya didalam masyarakat dimana ia hidup.
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum tersebut dapat berlangsung
terus dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-
peraturan yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan degan asas-asas
keadilan dari masyarakt itu. Berkenaan dengan tujuan hukum, menurut Subekti
engatakan bahwa huku itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya
adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Dalam
melayani tujuan Negara tersebut adalah dengan menyelenggarakan keadilan yang
merupakan pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyat.
Keadilan itu dapat digambarakan sebagai suatu keadaan eseimbangan yang
membawa ketentraman di dalam hati orang, dan ika terusik atau dilanggar akan
menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan. Dengan demikian, maka dapat
dilihat bahwa hukum tidak saja harus mencari keseimbangan antara berbagai
kepentingan yang bertentangan satu sama lain untuk mendapatkan keadilan tetapi
juga hukum harus medapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan dengan
kepastian hukum.

2
Hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan, namun keadilan bersifat
abstrak, oleh sebab itu ketika seorang hakim memutuskan suatu perkara secara
penerapa undang-undang saja maka ada kalanya keadilan itu belum bisa tercapai.
Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan
menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut
hukum tertulis saja, masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat
yang mampu mengatur kehidupan asyarakat. Jika huku tujuannya hanya sekedar
keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subyektif, sangat
bergantung pada nilai-nilai intrinsik subyektif dari masing-masing orang.
Bahwa dalam mempertahankan ketertiban masyarakat, hukum harus mampu
menyeimbangkan berbagai kepentingan, baik kepentingan pribadi, kepentingan
publik maupun kepentingan sosial. Pengaturan keseimbangan berbagai
kepentingan tersebut, menurut Van Apeldoorn dikatakan sebagai pengaturan yang
adil. Jelasnya, bahwa keadilan hukum harus senantiasa mempertimbangkan
kepentingan yang terlibat di dalamnya.
Tujuan hukum secara umum adalah mewujudkan keadilan dalam
masyarakat, sehingga bagi setiap, manusia, kapan, di mana dan dalam persoalan
apapun senantiasa ingin diperlakukan secara adil. Keadilan merupakan kebutuhan
yang fundamental. Karena itu, setiap manusia pasti mendambakan keadilan
walaupun dia sendiri termasuk orang yang tidak adil. Tanpa sikap adil hukum
tidak akan ditegakkan secara adil. Karena itu selain penekanan untuk memiliki
pengetahuan tentang hukum yang komprehensif, juga ditekankan bahwa kehendak
berlaku adil harus menghiasi jiwa penegak hukum baik hakim, jaksa maupun
polisi. Bahkan hal ini mendahului pengetahuan tentang hukum.
Kehendak berlaku adil mengantarkan manusia untuk tekun mempelajari
kasus yang dihadapinya sehingga mengetahui hukum yang sebenarnya.
Sebaliknya, pengetahuan hukum yang dimiliki, tanpa diimbangi dengan tekad
berbuat adil, dapat dijadikan alasan untuk menyimpang dari keadilan.
Menyadari bahwa hukum merupakan inti peradaban dan cerminan jiwa bangsa,
maka dibutuhkan pemahaman yang mendalam bagi penegak keadilan, agar dalam
menetapkan hukum senantiasa mencerminkan keadilan masyarakat. Namun
realitasnya hukum cenderung berpihak, baik berpihak kepada penguasa (hukum

3
dijadikan sebagai kendaraan politik), kepada pemilik modal dan kelompok elit
lainnya. Yang selalu dikorbankan adalah masyarakat kecil (proletar). Mereka
termarginalisasi karena keterbatasan ilmu pengetahuan, dan keterampilan, serta
tidak memiliki keberanian untuk menuntut hak-haknya. Kondisi demikianlah yang
menyebabkan mereka diperlakukan secara tidak adil. Jika ditelaah secara kritis
tentang keadilan sebagai tujuan hukum, maka menurut hemat penulis telah
terjadi gap antara tujuan hukum yang seharusnya dengan realitas yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat. Perwujudan keadilan seakan semakin jauh dari
tujuan hukum. Di mana-mana terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia,
perlakuan diskriminatif baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun status
sosialnya, serta berbagai pelanggaran hukum lainya. Hukum kini dijadikan pihak
penguasa sebagai alat untuk memperkokoh kekuasaannya. Inilah sikap penguasan
telah jauh dari sikap adil. Jika hukum dipisahkan dengan sikap adil, maka hukum
dapat “memihak” namun jika hukum dan sikap adil menyatu dalam diri para
penegak keadilan, maka hukum “tidak dapat memihak” bahkan mampu
memperlakukan semua masyarakat secara sama di depan hukum.
Berfungsinya hukum untuk menciptakan sarana keadilan, belum cukup
untuk dikatakan demikian, sebab dalam penerapan praktik di lapangan dapat kita
lihat dari mentalitas atau kepribadian penegak hukum memainkan peranan penting
dalam masyarakat, jika peraturan sudak baik, tetapi kualitas penegak hukum
kurang baik maka disini dapat ditark kesimpulan permasalahannya yang dapat
tidak berfungsinya hukum sebagai sarana menciptakan keadilan. Oleh karena itu,
salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau
kepribadiann penegak hukum dengan mengutip pendat J.E. Sahetapy, yang
mengatakan bahawa :
“Dalam rangka penegakkan hukum dan implementasi penegakan hukum
bahwa penegakkan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan.
Penegakkan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikkan. Dalam
kerangka penegakkan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif
manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat,
harus diaktualisasikan.”

4
Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas
penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan
masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai penegak hukum, artinya hukum
diidentikkan dengan tingkah laku nyata penegak hukum. Namun dalam
melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan
yang dipandang melampaui batas wewenang atau perbuatan lainnya yang
dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh
kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.
Hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan
dengan mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan subyektif
(subyektif untuk kepentingan kelompokya, golongan dan sebagainya) melebihi
norma-norma lain. Jika dikatakan bahwa hukum itu bertujuan mewujudkan
keadilan itu berarti bahwa hukum itu identik dengan keadilan. Namun sebenarnya
hukum tidaklah identik dengan keadilan. Peraturan hukum tidaklah selalu
mewujudkan keadilan.
Tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang
terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem
hukum yang paling cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus
terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu
hukum konkrit, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip
keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan
sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi
prinsip-prinsip keadilan.
Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian
tentang hukum. Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum adalah
karena hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya
manusia wajib membentuk hidup bersama yang baik dengan mengaturnya secara
adil. Dengan kata lain kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang
tugas sesui pengemban misi keadilan secara spontan adalah penyebab mengapa
keadilan menjadi unsur konstitutif hukum.
Penegakan hukum yang mengesampingkan keadilan bisa saja diminimalisir
apabila hukum dikembalikan kepada fungsi aslinya, yaitu untuk menciptakan

5
keadilan. Selain itu, menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan
baik diperlukan keserasian dan hubungan antara empat faktor, yakni:
1. Hukum dan peraturan itu sendiri
Artinya bahwa terjadi ketidakcocokan dalam peraturan perundang-undangan
mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah
ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak
tertulis atau hukum kebiasaan.
2. Mentalitas Petugas yang menegakkan hukum.
Artinya bahwa Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa,
pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan
perundang-undangan sudah baik, akan tetapi jika mental penegak hukum
kurang baik, maka akan terjadi pada sistem penegakkan hukum.
3. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Jadi, apabila peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas
penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan
hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4. Kesadaran dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan
belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah
keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di
masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan
proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata
bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri
tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara dua kutub tersebut.
Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang lain,
keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati
kutub Naminem Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-
bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah
bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat
dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa
hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai
menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.

6
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun
hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat
setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum
tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat
subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum
tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Para penegak hukum harus menerapkan hukum tanpa kehilangan keadilan.
Hanya dengan demikian hukum akan menemukan wajah aslinya, sebagai
instrumen yang diperlukan untuk memenuhi dan melindungi manusia dan tatanan
kehidupan bermasyarakat bukan sebaliknya mengorbankan manusia dan
masyarakat yang menjadi tempat keberadaan hukum serta tidak kehilangan roh
keadilan yang menjadi tujuan keberadaan dan penegakan hukum itu sendiri.
Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun demikian di
dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat
dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan
individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah karena
keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas tetapi juga ditentukan oleh
atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat.
Oleh karena itu keadilan juga memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak
dapat diwadahi dalam hukum positif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum dapat mewujudkan
tujuannya yaitu menciptakan keadilan, namun hukum dan keadilan berbeda.
hukum menciptakan keadilan harus obyektif artinya tidak memandang siapapun
pelakunya tetapi tetap menyamaratakan, sedangkan keadilan sifatnya abstrak.
Sehingga hukum juga belum tentu dapat mampu menciptakan keadilan apabila
melihat para penegak hukumnya lalai akan kewajibannya dalam menjalankan
tugasnya untuk mewujudkan keadilan yang diharapkan mampu berlaku adil dalam
memutuskan suatu perkara.

You might also like