You are on page 1of 10

Pada kasus lepra, diberikan tata laksana menyeluruh yang terdiri dari langkah-langkah

berikut:

1. Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat ini, serta mengenai
pengobatan serta pentingnya kepatuhan untuk eliminasi penyakit.
2. Higiene diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan.
3. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi hingga selesai terapi dilaksanakan.
4. Terapi MDT (Multi-drug theraphy) pada:
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, dengan golongan:
1. Relaps
2. Masuk kembali setelah default (bisa PB atau MB)
3. Pindahan (pindah masuk)
4. Ganti klasifikasi/tipe.
5. Terapi pada pasien PB:
1. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di depan
petugas) terdiri dari: 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg) dan 1 tablet
dapson/DDS 100 mg.
2. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1
blister obat untuk 1 bulan.
3. Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± 6 blister).
4. Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg.
6. Terapi pada pasien MB:
1. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di depan
petugas) terdiri dari: 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg), 3 tablet lampren
(klofazimin) @ 100mg (300mg) dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg.
2. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet lampren 50 mg dan 1
tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.
3. Pasien minum obat selama 12-18 bulan (± 12 blister).
4. Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg, lampren 150 mg dan DDS 50
mg untuk dosis bulanannya, sedangkan dosis harian untuk lampren 50 mg
diselang 1 hari.
7. Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat disesuaikan dengan berat badan:
1. Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
2. Dapson: 1-2 mg/kgBB
3. Lampren: 1 mg/kgBB
8. Obat penunjang (vitamin/roboransia) dapat diberikan vitamin B1, B6, dan B12.
9. Tablet MDT dapat diberikan pada pasien hamil dan menyusui. Bila pasien juga
mengalami tuberkulosis, terapi rifampisin disesuaikan dengan tuberkulosis.
10. Untuk pasien yang alergi dapson, dapat diganti dengan lampren, untuk MB dengan
alergi, terapinya hanya 2 macam obat (dikurangi DDS).

Diagnosis

Masa inkubasi : 2 -5 hari.

A. Keluhan pokok

Keluhan umum :
1. Demam
2. Sefalgi
3. Malese
4. Mual muntah

Tergantung dari lokasinya :


1. Kulit (Antrhrax Cutaneus)
– Pruritus
– Papul yang tidak sakit
2. Paru (Antrhax paru “woolsorter’s disease”)
– Sesak
– Batuk-batuk
– Tersumbat di hidung, kerongkongan dan larings.
3. Gastrointestinal
– Mual muntah
– Nyeri abdomen
– Diare bercampur darah
B. Tanda Utama
1. Lesi vesikel dengan nekrosis hitam pada bagian tengah, dikelilingi cincin eritema dan edema.
2. Kongesti jaringan mukosa
3. Tanda lain sesuai lokasi infeksi
C. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Sputum
2. Kultur dari jaringan nekrosis lalu diwarnai Gram atau flouresen
Panatalaksanaan
a. Terapi Umum
1. Istirahat
2. Diet
3. Medikamentosa
– Obat Pertama :
1. Penisilin G 2 juta unit/6 jam hingga tanda-tanda edema hilang
2. lalu dengan pemberian peroral selama 7 – 10 hari.
3. Eritromisin/tetrasiklin 4 x 500 mg bila alergi pinisilin.
Pemeriksaan fisik : terdapat demam, bradikardia, nyeri tekan otot
gastrocnemius, ruam kulit dan hepatomegali.
Pemeriksaan penunjang : darah rutin ditemukan leukositosis, neutrofilia dan
peningkatan Eritrosit sedimentation rate. Urinalisis di temukan proteinuria,
leukosituria, dan sedimen sel toraks. Kimia darah si temukan bilirubin
meningkat dan transaminaai meningkat. Apabila ada gejala gagal ginjal maka
terjadi peningkatan BUN, ureum dan kreatinin. Kultur darah dan cairan
serebrospinal di lakukan pada fase leptospiremia. Dapat pula di lakukan tes
serologis seperti MAT, MSAT, PCR dan mikroskop ladang Padang gelap.

Tatalaksana
Kematian dapat terjadi apabila ada komplikasi faktor pemberat seperti agak
ginjal atau perdarahan dan terlambatnya penanganan terhadap pasien.

Berikan obat simtomatis untuk mengatasi dehidrasi, hipotermia, perdarahan


dan gagal ginjal. Lalu berikan antibiotik. Pilihannya sebagai berikut ini.

Leptospirosis ringan Doksisiklin 2x 100mg

Ampisilin 4 x 500-700mg

Amoksisilin 4x500mg

Leptospirosis
sedang/berat Penisilin G 1,5 juta unit/6jam (IV)

Ampicilin 1 gram/6jam (IV)


Amoksisilin 1 gram /6jam (IV)

200 mg/minggu
Kemoprofilaksis Doksisiklin

Deskripsi klinis kasus difteri adalah penyakit yang ditandai dengan laringitis atau faringitis atau
tonsilitis, dan membran adheren (tidak mudah lepas) pada tonsil, faring dan/atau hidung.
Kriteria laboratorium untuk diagnosis difteri:
Isolasi Corynebacterium diphteriae dari spesimen klinis, atau antibodi serum meningkat 4 kali atau
lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum pemberian toxoid difteri atau antitoxin)

Tata laksana farmakologi pada penderita difteri dewasa sama dengan tata laksana
penderita difteri pada anak, yaitu:

Pemberian Anti Difteri Serum (ADS)

Anti Difteri Serum (ADS) atau antitoksin difteri dihasilkan dari serum kuda, yang bekerja
dengan menetralisir eksotoksin bebas sebelum memasuki sel. ADS sebaiknya diberikan
sesegera mungkin setelah melakukan tes hipersensitivitas terhadap ADS. Pemberian
antitoksin secara dini sangat penting dalam menentukan kesembuhan.

Di Indonesia, Anti Difteri Serum diproduksi dan didistribusikan oleh Biofarma. ADS ini
tersedia di rumah sakit melalui pemesanan ke Kementerian Kesehatan. Kementerian
Kesehatan menyatakan bahwa stok ADS cukup untuk mengatasi kejadian luar biasa
(KLB) difteri yang terjadi pada akhir 2017.[15]

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu untuk menilai
sensitivitas pasien terhadap ADS. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS
dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20
menit terjadi indurasi >10 mm.

Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi. Bila uji kulit negatif, ADS
diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan
penderita. Dosisnya berkisar antara 20.000-100.000 unit.

Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml dekstrosa 5%
dalam 1-2 jam. Lakukan pengamatan terhadap efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama dua jam berikutnya. Selain itu, perlu juga dilakukan
pengawasan terhadap terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit setelah
pemberian ADS. Untuk itu, pemantauan ketat dan injeksi epinefrin harus selalu tersedia
pada pasien yang baru mendapatkan ADS.

ADS tidak boleh diberikan pada wanita hamil.[1,2,16]

Pemberian antibiotika

Tata laksana dengan antibiotik paling efektif pada tahap awal penyakit serta mampu
menurunkan angka penularan dan meningkatkan kesembuhan dari difteri. Antibiotik
yang diberikan adalah golongan makrolid sebagai lini pertama dan golongan penisilin.

Golongan makrolid:

Berdasarkan CDC, antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin dan azitromisin


makrolid adalah antibiotik lini pertama untuk pasien yang berusia lebih dari enam bulan.
Namun demikian, terapi makrolid, khususnya eritromisin, dikaitkan dengan peningkatan
kejadian stenosis pilorus pada bayi berusia kurang dari enam bulan. Antibiotik golongan
makrolid memiliki keuntungan manfaat sebagai agen antiinflamasi dengan menghambat
migrasi leukosit polimorfonuklear. Dosis antibiotik golongan makrolid untuk difteri, yaitu:
 Eritromisin: 40-50 mg/kg/hari dalam dosis per oral terbagi interval 6 jam atau intravena dengan
dosis maksimal 2 g/hari selama 14 hari.

 Azitromisin:

 Anak-anak: 10-12 mg/kg sekali sehari (maks. 500 mg/hari)

 Dewasa: 500 mg sekali sehari

 Durasi pengobatan total 14 hari

Golongan penisilin:

Penisilin intramusukular direkomendasikan untuk pasien yang nonkomplians ataupun


intoleran terhadap makrolid, seperti pada bayi berumur di bawah enam bulan. Antibiotik
golongan penisilin yang dapat diberikan yaitu:

 Procaine benzyl penicillin (penisilin G)

 50 mg/kg sekali sehari (maks. 1,2 g/hari) secara IM selama 14 hari

 Aqueous benzyl penicillin (penisilin G)

 000 unit/kg/hari secara IM atau IV lambat diberikan dalam dosis terbagi setiap 6 jam selama 14
hari

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sendiri menganjurkan pemberian antibiotik


penisilin prokain IM 25000-50000 U/kgBB maks 1,5 juta U selama 14 hari, atau dapat
juga diberikan eritromisin oral atau injeksi diberikan 40 mg/kgBB/hari maks 2 g/hari
interval 6 jam selama 14 hari.[1,2,13,16]

Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat diberikan pada penderita difteri dengan gejala obstruksi saluran
napas bagian atas. Jika terdapat penyulit miokarditis diberikan prednisone 2 mg/kg BB
selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.
Terapi Oksigen

Terapi oksigen rutin sebaiknya dihindari karena dapat mengaburkan tanda-tanda


obstruksi jalan nafas. Hanya berikan terapi oksigen pada pasien yang dicurigai
mengalami obstruksi jalan nafas atau kegawatan nafas.
Penanganan pada Fase Konvalesens

Pada fase konvalesens diberikan vaksin diteri toksoid disesuaikan status imunisasi
penderita. Jika terdapat tanda-tanda syok, lakukan resusitasi dengan hati-hati karena
syok pada difteri dapat terjadi akibat sepsis atau gagal jantung. Jika tidak terdapat
tanda-tanda gagal jantung dan/atau kelebihan cairan, berikan terapi cairan dengan hati-
hati. Jika syok dicurigai akibat gagal jantung, gunakan obat-obatan inotropik dan jangan
berikan cairan. Jika terdapat demam atau nyeri, berikan paracetamol.[1,2,14]

Penatalaksanaan pada Pertusis umumnya hanya bersifat suportif, walaupun beberapa


antibiotik dapat membantu meringankan penyakit dan memperpendek durasi (jika
diminum pada tahap awal). Antibiotik juga mengeradikasi organisme dari sekresi
sehingga menurunkan penularan. Antibiotik yang direkomendasikan antara lain dari
golongan makrolid:
 Azitromisin (pilihan utama)
 Eritromisin
 Klaritomisin
Selain ketiga antibiotik tersebut, trimetroprim – sulfametoksasol dapat pula
digunakan.[1,5]
Penggunaan antimikrobial juga disesuaikan dengan kelompok usia seperti pada tabel
berikut:
Tabel 2. Antibiotik rekomendasi dan profilaksis post-kontak untuk Pertusis,
dibagi berdasarkan kelompok usia

Agen utama Agen alternatif


Kelompo
Azitromisin Eritromisin Klaritomisin TMP – SMX*
k Usia

Tidak
direkomendasika
n; diasosiasikan
Antibiotik yang
dengan infantile
direkomendasika
hypertrophic Tidak
n; 10 mg/kg per Dikontraindikasika
pyloric stenosis; direkomendasika n untuk bayi di
< 1 bulan hari dalam dosis
hanya digunakan n (belum bawah 2 bulan
tunggal selama 5 (risiko kernikterus)
jika azitromisin terdapat safety
hari (safety
tidak tersedia; 40 data)
data masih
mg/kg per hari
terbatas).
dalam 4 dosis
terbagi selama 14
hari.
Kontraindikasi
untuk bayi <2
bulan; untuk bayi
10 mg/kg per hari 40 mg/kg per hari 15 mg/kg per hari
> 2 bulan, TMP 8
1–5 dalam dosis dalam 4 dosis dalam 2 dosis
mg/kg/hari, SMX
bulan tunggal selama 5 terbagi selama 14 terbagi selama 7
40 mg/kg/hari
hari. hari. hari.
dalam 2 dosis
terbagi selama 14
hari.

10 mg/kg dalam TMP 8 mg/kg per


dosis tunggal pada hari, SMX 40
Bayi hari pertama 40 mg/kg per hari 15 mg/kg per hari mg/kg per hari
(Usia (maksimal 500 dalam 4 dosis dalam 2 dosis dalam 2 dosis
sampai mg); dilanjutkan 5 terbagi selama 7 – terbagi selama 7 terbagi selama 14
dengan 6 mg/kg per hari 14 hari (maksimal 2 hari (maksimal 1 hari (maksimum
bulan) (maksimal 250 mg gram per hari) gram per hari). TMP 320 mg,
per hari dari hari SMX 1600 mg per
ke-2 hingga -5. hari).

500 mg dalam 2 gram (dasar) per 1 gram per hari


hari dalam 4 dosis dalam 2 dosis TMP 320 mg per
Dewasa dosis tunggal pada
terbagi selama 7 – terbagi selama 7 hari, SMX 1600
hari pertama,
14 hari. hari. mg per hari dalam
dilanjutkan 250 mg
per hari pad hari 2 dosis terbagi
ke-2 hingga -5. selama 14 hari.

*TMP-SMX : Trimetoprim-sulfametoxazole (kotrimoksasol).


Kotrimoksasol dapat digunakan sebagai agen alternatif untuk pasien > 2 bulan yang
memiliki alergi makrolid, tidak dapat mentoleransi makrolid, atau (pada kasus yang
jarang) terinfeksi Bordetella pertussis yang memiliki resistensi terhadap golongan
makrolid.
Pada anak berusia > 6 bulan dan mengalami kasus ringan, dapat dilakukan rawat jalan.
Namun, pada anak usia < 6 bulan ataupun anak yang mengalami kasus berat,
sebaiknya dirawat di rumah sakit.
Indikasi Rawat Inap

Perawatan inap di Rumah Sakit, dengan indikasi:


 Distres pernapasan; termasuk takipnea, retraksi, pernapasan cuping hidung, grunting,
dan penggunaan otot bantu pernapasan.
 Bukti adanya pneumonia sebagai komorbid.
 Intake
 Sianosis atau apneu, dengan atau tanpa batuk.
 Kejang
 Usia < 6 bulan.
Isolasi

Pasien yang dirawat inap sebaiknya :


 Penggunaan masker pada kontak radius 1 meter.
 Ruangan khusus yang terpisah
 Dipertahankan hingga 5 hari pengobatan antibiotik atau 3 minggu setelah onset pada pasien
yang belum menerima pengobatan.
Terapi Suportif

Terapi suportif yang diberikan selama perawatan adalah


 Oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau henti napas pada batuk paroksismal berat.
Gunakan nasal prongs untuk menjaga agar lubang hidung bersih dari mukus, cek setiap 3 jam.
 Tata laksana jalan napas lain: selama batuk, letakkan anak dengan posisi kepala lebih
rendah dalam posisi telungkup atau miring untuk mencegah aspirasi muntah.
 Bila anak sianotik; isap lendir dari hidung dan tenggorok.
 Bila apneu; bersihkan jalan napas, berikan bantuan pernapasan manual atau ventilasi dan
oksigen. [1,8]

You might also like