You are on page 1of 99

STUDI PERKEMBANGAN GEJALA KLINIS DAN

PATOLOGI PADA IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus


fuscoguttatus ) YANG DIINFEKSI DENGAN Streptococcus iniae

HARI MARYADI

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Studi Perkembangan
Gejala Klinis dan Patologi pada Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
yang diinfeksi dengan Streptococcus iniae adalah karya saya sendiri dan belum
pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

Hari Maryadi
NRP B053040081

2
ABSTRACT

HARI MARYADI. Developmental study of clinical and pathological signs in


tiger grouper fish (Epinephelus fuscoguttatus) infected with Streptococcus iniae.
Under supervision of SRI ESTUNINGSIH and HERNOMOADI HUMINTO.

Disease in cultured of tiger grouper fish E. fuscoguttatus known to be one


of mortality factors resulted in low production and harvest failure. One of the
potent diseases is S. iniae infecting tilapia Oreochromis niloticus. S. iniae is also
a potential disease to infect human (Zoonosis).
Therapy by antibiotics often evokes resistance of the pathogenic bacteria
and therefore it is necessary to carry out its alternative control. One of the
procedures is by controlling its introduction and spread of S. iniae carried by fish
or other media from one area to the others and its potential infection.
This study aimed to (1) find out whether S. iniae isolated from tilapia
could infect tiger grouper fish (E. fuscoguttatus), (2) study the developmental
phase of clinical sign and (3) figure out pathological changes in grouper fish
infected experimentally.
The study was conducted in three stages i.e. to recover its virulence, LD50
and main test. The main test was conducted in 2 treatment groups where each
group was infected intra peritoneal (IP) at doses of 106 cells/ml and 109 cells/ml
and 1 group was the control in duplicate each of 7 fish. Observations done were
(a): clinical sign before infected (b) clinical sign and histopathological change
after infected with S. iniae, conducted daily in which 1 fish was sampled for
necroption.
Results showed that S. iniae isolated from tilapia were able to infect tiger
grouper fish E. fuscoguttatus with dark body color clinical sign, hemorrhagic
under the operculum, swollen belly, losing scales, swollen swimming bladder and
pale liver and gill, and swollen spleen. Histopathological change occurred were
branchitis, encephalitis, hepatitis, pericarditis, splenitis, nephritis and enteritis
indicated by congestion, hyperemia, infiltration of eosinophylic granular cell and
lymphocyte, difuse gliosis, vasculitis, malacia, degeneration and necrotic.

Key word : E.fucoguttatus, S. iniae, and Zoonosis

3
RINGKASAN

Penyakit bakterial saat ini merupakan salah satu kendala dalam sistem
pembudidayaan ikan yang sering menimbulkan kerugian yang tidak sedikit.
Streptococcus iniae adalah salah satu bakteri patogen dari kelompok
streptococcus yang dapat menginfeksi ikan air tawar maupun ikan laut. Patogen
ini bersifat zoonosis, dapat menularkan penyakit dari ikan yang terserang kepada
manusia yang menyentuh atau mengkonsumsinya. Atas dasar potensi
patogenitasnya, sifat zoonosis dan resiko pengendaliannya maka pemerintah
menetapkan S. iniae kedalam kelompok Hama Penyakit Ikan Karantina (HPIK)
gol II, yaitu penyakit yang harus diwaspadai untuk dicegah penyebarannya. Di
Indonesia S. iniae dilaporkan menginfeksi ikan Nila (Oreochormis niloticus) yang
dibudidayakan. Mekanisme infeksi dan inang terget lain selain ikan Nila belum
banyak diketahui.
Ikan Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan salah satu
komoditas sumberdaya perikanan potensial karena memiliki nilai ekonomis
tinggi, permintaan untuk kebutuhan konsumsi di dalam negeri ataupun potensi
ekspor untuk memenuhi permintaan luar negeri pun cukup besar. Kendala atau
hambatan dalam budidaya Kerapu Macan yang sering menimbulkan kematian
dapat digolongkan menjadi dua yaitu yang disebabkan oleh agen patogenik
(Virus, jamur, parasit dan bakteri) dan non patogenik seperti kualitas air, pakan.
Streptococcosis yang diakibatkan dapat S. iniae ditanggulangi dengan
penggunaan antibiotik, vaksinasi atau pemberian imunostimulan. Penggunaan
antibiotik dalam kondisi yang terkendali akan efektif namun apabila
penggunaannya terus menerus dan tidak terkendali dapat menimbulkan efek
resisten dari agen patogen selain itu residu yang ditimbulkan dapat
membahayakan kesehatan manusia. Penggunaan vaksin dan imunostimulan untuk
pencegahan penyakit ini sampai saat ini belum dapat optimal dilakukan mengingat
ketersediaanya dipasar masih sulit diperoleh.
Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui dengan penerapan tindak
karantina melalui kegiatan pengawasan dan pemeriksaan media pembawa target S.
iniae potensial yang dilalulintaskan dari satu wilayah ke wilayah lainnya.

4
Kegiatan pengawasan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit pada ikan yang
dilalulintaskan memerlukan kemampuan mendeteksi dari gejala klinis maupun
patologi dari individu yang diduga terinfeksi.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui (1) apakah S. iniae yang
diisolasi dari ikan Nila dapat menginfeksi ikan Kerapu Macan (E. fuscoguttatus),
(2) mempelajari gejala klinis akibat infeksi S. iniae (3) mempelajari perubahan
patologi pada ikan Kerapu yang diinfeksi secara buatan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam metoda
pendeteksian secara dini untuk mencegah masuk dan tersebarnya penyakit
streptococcosis melalui tanda klinis maupun perubahan patologi dari ikan yang
diduga terserang bakteri patogen S. iniae. Informasi ini diharapkan dapat
bermanfaat dalam pelaksanaan prosedur tindak karantina ikan ataupun pada
usaha pembudidayaan ikan Kerapu Macan.
Ikan yang digunakan adalah ikan Kerapu Macan berukuran 10 - 11 cm
dengan berat rata-rata 9 – 10 gr. Air yang digunakan sebagai media pemeliharaan
adalah air laut dengan salinitas 32 – 35 ppm. Pakan yang diberikan berupa udang
kecil / rebon atau ikan sisa / rucah. yang bebas dari S. iniae ataupun
mikroorganisme patogen lainnya.
Isolat bakteri S. iniae berasal dari ikan Nila (Oreochromis niloticus) di
Sentani - Papua koleksi FKH UGM. Sebelum digunakan isolat dilakukan uji
profisiensi di laboratorium mikrobiologi FKH IPB dan Stasiun karantina Ikan
Tanjung Priok.
Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, meliputi : persiapan, penelitian
pendahuluan : uji pengembalian virulensi dan LD 50 dan penelitian utama. Uji
pengembalian virulensi S. iniae dilakukan dengan metode in vivo melalui suntikan
intraperitoneal dalam 2 (dua) kali pasase, dengan menginjeksikan pada 10 ekor
ikan Nila (Oreochromis niloticus) masing-masing sebanyak 0,1 ml secara
intraperitoneal (ip). Uji virulensi dilakukan selama 4 (empat) hari. Untuk
mengetahui dosis maksimum yang dapat menyebabkan kematian 50 % populasi
ikan uji dilakukan pengujian LD50 dengan 4 perlakuan dosis suspensi bakteri dan
1 kontrol diinjeksi PBS, masing-masing 2 kali ulangan. Setiap perlakuan terdiri
dari 10 ekor ikan dibedakan atas dasar kepadatan bakteri S. iniae (sel/ml) yang

5
diinjeksikan pada ikan sebanyak 0,1 ml setiap ekor pada ip. Perlakuan A :
S.iniae 10 6 sel/ml ; Perlakuan B : S.iniae 10 8 sel/ml ; Perlakuan C : S.iniae
10 12
10 sel/ml; Perlakuan D : S.iniae 10 sel/ml; Perlakuan E : Kontrol,
digunakan suspensi PBS Steril. Uji dilakukan selama 10 hari. Uji utama ikan uji
dibagi kedalam 2 kelompok perlakuan yaitu 106 sel/ml dan 109 sel/ml dan 1
kelompok kontrol, masing-masing 2 ulangan terdiri dari 7 ekor ikan. Pengamatan
penelitian meliputi : gejala klinis sebelum infeksi, gejala klinis dan patologi
setelah infeksi dengan metoda deskriptif.
Pertumbuhan S. iniae pada permukaan agar darah menunjukan aspek
koloni transparan, koloni membentuk zona hemolisis beta (β-hemolysis). Pada
sediaan ulas yang diwarnai dengan Gram, S. iniae berbentuk rantai terdiri dari 2 –
7 sel berwarna biru tua. Pada media padat BHIA (Brain Heart Infusion Agar)
dengan NaCL 0% dan 2 %, S. iniae bersifat Gram positif , tumbuh pada suhu
inkubasi 10 °C dan 45°C. Karakter lain yang ditunjukan adalah tidak bergerak
(non motil), katalase negatif, positif pada pengujian Voges Proskeuer.
Gejala klinis ikan Nila terinfeksi pada uji pengembalian virulensi
memperlihatkan adanya penurunan respon terhadap rangsang dan nafsu makan,
gerakan renang lemah dan sering berenang dipermukaan. Warna tubuh menjadi
gelap, hemoragi pada bagian bawah tubuh / bawah sirip pectoralis dan sekitar
operculum, sirip caudal geripis, pembesaran abdomen dan rontok sisik.
Perubahan Patologi Anatomi – PA terlihat organ insang pucat dan pada beberapa
ekor ikan uji terdapat lesi erosi pada lemella sekunder, organ hati membesar dan
pucat, organ limpa relatif lebih gelap.
Nilai LD50 bakteri S. iniae yang mematikan 50% ikan uji Kerapu Macan
(E. fuscogutattus) adalah 8,98 x 10 8 sel/ml.
Gejala klinis nafsu makan ikan tanpa perlakuan (kontrol) pada hari ke 1
sampai hari ke 6 adalah normal, ikan yang diberi perlakuan 109 sel/ml maupun 106
sel/ml memperlihatkan perbedaan dengan perlakuan kontrol. Pada perlakuan
6
10 sel/ml nafsu makan ikan uji sangat kurang pada hari ke 1 selanjutnya
meningkat pada hari ke 2 hingga hari ke 5 dan normal pada hari ke 6. Pada
perlakuan 109 sel/ml nafsu makan lebih menurun dibandingkan perlakuan 106
sel/ml dan kontrol.

6
Perubahan makroskopis atau patologi anatomi pada ikan Kerapu Macan
yang diberi perlakuan infeksi S. iniae berupa lesi pada area injeksi, warna tubuh
menjadi gelap, hemoragi pada bagian bawah operkulum, perut bengkak, sisik
rontok, gelembung renang relatif lebih besar, hati bengkak dan pucat, limpa
bengkak dan empedu bengkak. Pada kelompok normal tidak terjadi perubahan.
Perubahan histopatologi pada ikan Kerapu Macan yang diberi perlakuan
infeksi S. iniae terjadi pada organ insang, otak, jantung, hati, ginjal, limpa dan
usus. Perubahan HP tersebut berupa degenerasi, nekrosis, kongesti, hemoragi,
edema, dan radang.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa S. iniae yang diisolasi dari ikan
Nila (O. niloticus) berpotensi menginfeksi ikan Kerapu Macan (E. fuscoguttatus).
Gejala klinis ikan yang terinfeksi S. iniae berupa perubahan warna tubuh menjadi
lebih gelap, hemoragi pada operkulum dan rahang bagian bawah. Perubahan
histopatologi berdasarkan data hasil pengamatan histopatologi, sebaran S. iniae
pasca infeksi dan hasil reisolasi, beberapa organ terlihat konsisten yaitu
encephalitis, nephritis, enteritis dan peritonitis. Gejala klinis dan perubahan
histopatologi pada ikan yang diberi perlakuan infeksi dengan S. iniae tidak
terlihat secara konsisten sama dengan gejala klinis pada ikan Nila yang diinfeksi
S. Iniae pada uji pengembalian virulensi ataupun beberapa hasil penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya. Hal ini diduga dipengaruhi oleh karakteristik media
hidup S. iniae yang diisolasi dari ikan Nila dengan parameter pH, suhu, dan
salinitas peraiaran tawar, selanjutnya diinfeksikan pada ikan Kerapu macan yang
merupakan ikan laut, perbedaan karakteristik media hidup dari host maupun
lingkungan dimana inangnya hidup menyebabkan kemampuan adaptasinya
menurun selanjutnya hal ini mempengaruhi tingkat patogenitas.

Kata Kunci : E.fucoguttatus, S. iniae, Zoonosis and infected artificially

7
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebut sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

8
STUDI PERKEMBANGAN GEJALA KLINIS DAN
PATOLOGI PADA IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus
fuscoguttatus ) YANG DIINFEKSI DENGAN Streptococcus iniae

HARI MARYADI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

9
Judul Penelitian : Studi perkembangan gejala klinis dan patologi pada
ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutattus) yang
diinfeksi dengan Streptococcus iniae
Nama : Hari Maryadi
NRP : B053040081
Program Studi : Sains Veteriner

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi drh. Hernomoadi Huminto, MVS


Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Sains Veteriner

drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS.PhD. Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS.

Tanggal ujian : 23 Februari 2009 Tanggal lulus :

10
PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas limpahan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dalam rangka penyusunan
tesis yang berjudul Studi Perkembangan Gejala Klinis dan Patologi pada ikan
Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutattus) yang Diinfeksi dengan Streptococcus
iniae.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Sri Estuningsih,
M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan drh. Hernomoadi Huminto, M.VS.
selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, saran,
kesempatan dan bimbingan pada pembuatan rencana, pelaksanaan penelitian
hingga penyusunan tesis ini, drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS.PhD. selaku
Ketua Program Studi Sains Veteriner, Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan
dan Perikanan dan Kepala Pusat Karantina Ikan yang telah memberikan izin tugas
belajar, Istri tercinta Yetty Rufianti, SIP. atas dorongan dan kesabarannya dalam
mendampingi penulis, Anak-anakku tersayang Fadhilah Maryadi Putra dan Safira
Dian Maryadianti serta Ayahanda dan Ibunda yang saya hormati, Prof. drh.
Kurniasih, M.V.Sc. PhD. dan drh. Surya Amanu, MS. yang telah memfasilitasi
penelitian pendahuluan di FKH UGM, rekan-rekan di Stasiun Karantina Ikan
Kelas I Tanjung Priok dan Balai Karantina ikan SMB II Palembang serta semua
pihak yang telah membantu dan mendukung penelitian ini yang tidak dapat
penulis tuangkan satu persatu pada kesempatan ini. Semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2009


Penulis,

Hari Maryadi

11
RIWAYAT HIDUP

Hari Maryadi, dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 31


Agustus 1965 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari Ayah Drs. H.
Maskun Disastra dan ibu Dra. Hj. Siti Umaerah.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1977 di SDN Sadagori I
Cirebon, kemudian melanjutkan ke SMPN I Cirebon dan lulus pada tahun 1981.
Selanjutnya Penulis melanjutkan ke SMAN 2 Cirebon dan lulus pada tahun 1984.
Pada tahun 1984, Penulis diterima di Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran, Bandung dan lulus sebagai Sarjana Perikanan pada tahun
1990. Pada tahun 2004, penulis mendapatkan ijin dan kesempatan untuk
melanjutkan studi di Sekolah Pasca Sarjana IPB pada Program Studi Sains
Veteriner.
Tahun1991 sampai sekarang penulis mengabdi dan bekerja pada Pusat
Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Penulis menikah dengan Yetty Rufianti, SIP. pada tahun 1994 dan
dikaruniai 2 orang putra, Fadhilah Maryadi Putra dan Safira Dian Maryadianti.

12
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................. 1
Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 3
Hipotesis .......................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ............................. 4
Streptococcosis ................................................................................. 5
Streptococcus iniae .......................................................................... 7
Perubahan Patologi ......................................................................... 8
Kualitas Air ...................................................................................... 13
METODA PENELITIAN
Tempat dan waktu penelitian .......................................................... 15
Bahan dan Alat ............................................................................ 15
Metoda Penelitian
- Persiapan
Ikan Uji ........................................................................................ 16
Bakteri ........................................................................................ 16
- Pendahuluan
Uji Pengembalian virulensi ......................................................... 17
Uji LD50 ...................................................................................... 18
- Uji Utama ................................................................................... 18
Analisa Data ……………………………………………………... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Pendahuluan .............................................................................. 21
- Karakteristik Streptococcus iniae ................................................ 21

13
- Uji pengembalian virulensi ........................................................... 23
- Uji LD50 ....................................................................................... 25
Uji Utama
- Gejala klinis ................................................................................. 27
- Perubahan Patologi Anatomi .......................................................... 29
- Perubahan histopatologi ................................................................ 33
- Penyebaran S. iniae pada organ pasca infeksi ................................ 59
- Perbandingan gejala klinis dan patologi pada ikan Nila dan Kerapu
Macan .............................................................................................. 67
- Hasil pengamatan kualitas air ......................................................... 68
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ....................................................................................... 69
Saran ............................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 70
LAMPIRAN ………………………………………………………… 76

14
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Karakteristik morfologi dan biokimia Streptococcus iniae ..... 21


Tabel 2 Perhitungan LD50 bakteri Streptococcus iniae terhadap ikan
kerapu Macan (Epinephelus fuscogutattus) pada uji LD50 ..... 25
Tabel 3 Data tingkah laku ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscogutattus) yang diinfeksi Streptococcus iniae ................ 27
Tabel 4 Perubahan patologi anatomi ikan Kerapu Macan
(Epinephelus Fuscogutattus) yang diinfeksi Streptococcus
iniae ...................................................................................... 30
Tabel 5 Perubahan histopatologi ikan Kerapu Macan (Epinephelus
Fuscogutattus) yang diinfeksi Streptococcus iniae ............... 34
Tabel 6 Data hasil pengamatan Sebaran Streptococcus iniae pasca 60
infeksi ....................................................................................
Tabel 7 Data perbandingan gejala klinis, PA dan patologi ikan Nila 67
dan Kerapu Macan yang diinfeksi S.iniae
Tabel 8 Data Kualitas air media pemeliharaan ................................... 68

15
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Koloni Streptococcus sp. ................................................... 6


Gambar 2 Hati kemerahan pada ikan Siganus canaliculatus yang
terinfeksi Streptococcus iniae ........................................... 11
Gambar 3 Kongesti pada hati Rabit Fish Siganus canaliculatus yang
terinfeksi Streptococcus iniae .......................................... 12
Gambar 4 Eksoptalmia pada Tilapia terinfeksi Streptococcus iniae .. 13
Gambar 5 Koloni isolat Streptococcus iniae pada media darah ....... 22
Gambar 6 Koloni bentuk rantai Streptococcus iniae isolat Sentani ... 23
Gambar 7 Lesio patologi anatomi hemoragi dan sisik rontok pada
ikan Nila (Oreochromis Niloticus) yang diinfeksi
Streptococcus iniae. ...................................................... 24
Gambar 8 Lesio patologi anatomi pendarahan pada ginjal dan hati
pucat ikan Nila (Oreochromis Nilaticus) yang diinfeksi
Streptococcus iniae .......................................................... 24
Gambar 9 Lesio patologi anatomi hemoragi pada rahang dan
operkulum bagian bawah dan sisik rontok pada ikan
Karapu macan (Epinephelus Fuscogutattus) yang
diinfeksi Streptococcus iniae. ......................................... 33
Gambar 10 Insang normal .................................................................. 35
Gambar 11 Kongesti, hiperemia dan infiltrasi sel radang organ
insang ............................................................................. 36
Gambar 12 Kongesti, lesio erosi dan infiltrasi pada lemella primer .. 37
Gambar 13 Fokus infiltrasi sel radang heterofil dan proliferasi sel
pada filamen insang ....................................................... 37
Gambar 14 Jaringan otak normal ....................................................... 38
Gambar 15 Kongesti, malacia dan gliosis difus pada otak ................ 39
Gambar 16 Infiltrasi sel radang pada arteri (Vasculitis) yang disertai
malacia, hiperemia .......................................................... 39
Gambar 17 Malacia dan vasculitis pada tepi buluh darah otak .......... 40

16
Gambar 18 Kongesti pada pembuluh darah arteri otak ....................... 40
Gambar 19 Degenerasi sel neuron dan kongesti pada pembuluh
darah besar otak .............................................................. 41
Gambar 20 Hepatitis organ hati ......................................................... 43
Gambar 21 Kongesti pada pembuluh darah hati dan peradangan
vasculer pada hepatosit ............................... 43
Gambar 22 Infiltrasi heterofil dan limfosit ditepi buluh darah dan 44
hepatosit dan degenerasi hati .............
Gambar 23 Infiltrasi heterofil dan limfosit pada jaringan hati ........... 44
Gambar 24 Jaringan ginjal normal ..................................................... 46
Gambar 25 Glomerulonephritis ......................................................... 47
Gambar 26 Kongesti, infiltrasi sel radang, droplet protein hyalin dan
dilatasi tubulus pada ginjal ............................................. 48
Gambar 27 Infiltrasi sel radang dan nekrosa tubulus ginjal .............. 48
Gambar 28 Jaringan jantung normal .................................................. 50
Gambar 29 Epikarditis ...................................................................... 50
Gambar 30 Infiltrasi heterofil dan limfosit diantara otot jantung ..... 51
Gambar 31 Infiltrasi hetrofil dan makrofag pada selaput jantung .... 51
Gambar 32 Sel radang pada selaput jantung ..................................... 52
Gambar 33 Jaringan limpa normal ..................................................... 53
Gambar 34 Sel radang dan MMC pada lapis serosa .......................... 54
Ganbar 35 Infiltrasi heterofil pada pulpa putih, deposisi protein dan
deplesi ............................................................................ 55
Gambar 36 Splenitis pada pulpa putih .............................................. 55
Gambar 37 Splenitis ditandai hadirnya heterofil dan deposisi protein
hyalin ............................................................................... 56
Gambar 38 Splenitis dicirikan dengan infiltrasi heterofil dan MMC.. 56
Gambar 39 Jaringan usus normal ...................................................... 57
Gambar 40 Lesio pada usus, proliferasi, sel goblet dan peritonitis..... 58
Gambar 41 Infiltrasi heterofil, hiperemia dan kongesti pada lapis
serosa .............................................................................. 59
Gambar 42 Penyebaran S. iniae pada jaringan otak ......................... 61

17
Gambar 43 Penyebaran S. iniae pada bagian interstitium ginjal ........ 61
Gambar 44 Penyebaran S. iniae pada buluh empedu dan degenerasi
melemak sel hati .............................................................. 62
Gambar 45 Penyebaran S. iniae pada jaringan limpa ....................... 62
Gambar 46 Penyebaran S. iniae pada pulpa merah limpa .................. 63
Gambar 47 Penyebaran S. iniae pada ruang peritonium dan tunica
muscularis ........................................................................ 63
Gambar 48 Penyebaran S. iniae pada tunica muscularis .................... 64

18
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur pembuatan preparat histologis ………… 76


Lampiran 2 Tingkah laku ikan Nila (Oreochromis niloticus) 78
yang diinfeksi Streptococcus iniae ……………….
Lampiran 3 Waktu kematian ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscogutattus) pada uji LD50 ............................... 79
Lampiran 4 Perubahan patologi anatomi ikan Kerapu Macan
yang diinfeksi Streptococcus iniae …….... 80

19
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus (E.fuscoguttatus)


merupakan salah satu komoditi ikan laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi
baik didalam maupun luar negeri. Ikan kerapu digemari konsumen dan
mempunyai nilai ekonomis karena kelezatannya, selain itu kandungan asam
dekosahexaenoic (DHA) dan asam eikosapentenat (EPA) yang dimilikinya
cukup tinggi (Romimohtarto 2005). DHA dan EPA merupakan asam lemak tak
jenuh ganda rantai panjang atau lebih dikenal dengan Omega 3 yang sangat
berguna dalam sistem pertahanan tubuh, sistem syaraf, otak dan mata (Alimuddin
2005).

Pemenuhan kebutuhan ikan Kerapu Macan untuk diperdagangkan ataupun


konsumsi tidak hanya diperoleh dari hasil penangkapan tetapi juga didapatkan
melalui usaha budidaya. Salah satu faktor penghambat keberhasilan dalam sistem
budidaya satwa akuatik termasuk ikan kerapu adalah kerentanan terhadap
serangan penyakit (Pasaribu 2005). Wabah penyakit yang mengakibatkan
kematian dapat disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur. Penyakit bakterial pada
ikan merupakan salah satu kendala serius dalam sistem budidaya ikan. Penyakit
dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, ikan yang terserang kualitas
dagingnya akan menurun.
Salah satu penyakit yang banyak menyerang ikan budidaya dan berpotensi
menimbulkan kerugian cukup besar adalah streptococcosis, disebabkan oleh
kelompok bakteri Streptococcus sp. Timbulnya penyakit streptococcosis dapat
disebabkan oleh rendahnya ketahanan tubuh ikan, lingkungan pemeliharaan yang
buruk ataupun pakan yang kurang baik.
Salah satu spesies Streptococcus yang bersifat patogen pada ikan adalah
Streptococcus iniae (S.iniae). Pemerintah menetapkan kebijakan dengan
mengeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.17/MEN/2006 tentang penetapan jenis-jenis hama dan penyakit ikan
karantina (HPIK), golongan, media pembawa, dan sebarannya. Dalam kaitan
dengan sebaran dan status pengendalian, S. iniae dikategorikan sebagai bakteri

20
patogen HPIK golongan II (Anonim 2006). Penggolongan ini dimaksudkan
bahwa bakteri ini sudah masuk dan menyebar dalam sistem budidaya ikan di
Indonesia dan teknologi pengobatannya sudah dikuasai. Mengingat bahwa
penyakit yang diakibatkan oleh patogen ini potensial merugikan dalam sistem
budidaya ikan selain itu pula dapat bersifat zoonosis pada manusia oleh karenanya
dikategorikan sebagai salah satu jenis penyakit yang harus diawasi dan dicegah
penyebarannya dari satu wilayah ke wilayah lainnya (Anonim 2005)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa streptococcosis yang menyerang
ikan air tawar maupun air laut karakteristik isolatnya sama dengan S. iniae
(Anonim 2006). Penyakit ini pertama kali diisolasi dari Dolphin (Inia
geoffrensis), selanjutnya dilaporkan menginfeksi ikan Rainbow trout
(Onchorrynchus mykiss), Tilapia (Orechromis niloticus), Bass (Morone sp),
Burumundi (Anonim 2005; Varvarigos 2001). Di Indonesia streptococcosis
dilaporkan telah banyak menimbulkan kerugian pada sistem budidaya ikan Nila
(Supriyadi et al. 2002). Pada ikan Kerapu Macan (E. fuscoguttatus)
streptococcosis dilaporkan menginfeksi ikan dewasa dan induk (Kurniastuty et al.
2004), namun penelitian streptococcosis yang mendalam masih sangat terbatas.
S. iniae termasuk bakteri Gram positif (Brooks et al 2004). Penyakit ini
dapat ditanggulangi dengan penggunaan antibiotik, vaksinasi atau pemberian
imunostimulan. Penggunaan antibiotik dalam kondisi yang terkendali akan efektif
namun apabila penggunaannya terus menerus dan tidak terkendali akan
menimbulkan efek resisten dari agen patogen dan residu yang ditimbulkan dapat
membahayakan kesehatan manusia. Penggunaan vaksin untuk pencegahan
penyakit ini sampai saat ini belum dapat optimal dilakukan mengingat
ketersediaanya dipasar masih sulit diperoleh. Penggunaan imunostimulan untuk
pencegahan streptococcosis belum banyak diaplikasikan di tingkat pembudidaya
karena informasi ataupun teknologi penggunaannya belum banyak tersedia.

Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui metoda pengendalian


lingkungan budidaya, optimalisasi pemberian pakan dan metoda penerapan tindak
karantina untuk mencegah masuk dan tersebarnya penyakit dari satu wilayah ke
wilayah lainnya. Kegiatan pengawasan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit
pada ikan yang dilalulintaskan memerlukan kemampuan mendeteksi dari gejala

21
klinis maupun patologi dari individu yang diduga terinfeksi. Berdasarkan hal
tersebut diatas maka informasi tentang perkembangan keadaan sakit atau tahapan
perkembangan lesio (patogenesis) yang terjadi akibat infeksi streptococcosis perlu
diketahui.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui (1) apakah S. iniae yang


diisolasi dari ikan Nila dapat menginfeksi ikan Kerapu Macan (E. fuscoguttatus),
(2) mempelajari tahapan perubahan jaringan secara makroskopis (Patologi
Anatomi / PA) (3) mempelajari perubahan jaringan secara mikroskopis (Histo
Patologi/ HP) pada ikan Kerapu Macan yang diinfeksi S. iniae.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam metoda


pendeteksian secara dini untuk mencegah masuk dan tersebarnya penyakit
streptococcosis melalui tanda klinis maupun perubahan patologi dari ikan yang
diduga terserang bakteri patogen S. iniae. Informasi ini diharapkan dapat
bermanfaat dalam pelaksanaan prosedur tindak karantina ikan ataupun pada
usaha pembudidayaan ikan Kerapu Macan.

Hipotesis

Hipotesis yang mendasari dilakukannya penelitian ini adalah :


1. S. iniae yang menimbulkan penyakit streptococcosis pada ikan Nila dapat
menginfeksi ikan Kerapu Macan (E. fuscoguttatus).
2. Perubahan patologi anatomi maupun histopatologi pada ikan Kerapu Macan
yang diinfeksi secara buatan dengan S. iniae mempunyai karakteristik yang
sama dengan ikan Nila yang terinfeksi S. iniae.

22
TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Kerapu Macan (E. fuscoguttatus )

Kerapu Macan merupakan jenis ikan demersal yang menyukai hidup di


perairan karang, diantara celah karang atau dasar gua perairan sehingga populer
juga sebagai Kerapu Karang. Ikan ini mempunyai daya adaptasi yang cukup
tinggi sehingga relatif mudah untuk dibudidayakan (Antoro et al. 2004)
Ikan kerapu diperkirakan meliputi 46 species yang hidup di berbagai tipe
habitat (Sunyoto 1994). Menurut Heemstra & Randall (1993), sistematika ikan
Kerapu Macan adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Osteichtyes
Subclass : Actinopterygii
Ordo : Percomorphi (Perciformis)
Subordo : Percoidea
Family : Serranidae
Genus : Epinephelus
Species : Epinephelus fuscoguttatus

Identifikasi Kerapu Macan pertama kali dilakukan oleh Webwe and


Beaufort (Antoro et al. 2004). Ciri morfologis ikan Kerapu Macan adalah
berbadan kekar berbintik, memanjang pipih, kepala besar, bermulut lebar dan
seluruh tubuhnya ditutupi sisik-sisik kecil (Nitimulyo et al. 2002).
Ikan Kerapu bersifat sebagai hewan karnivora atau predator yaitu pemangsa
jenis ikan-ikan kecil, plangton hewani, udang-udangan, invertebrata dan hewan-
hewan kecil lainnya. Siklus hidup ikan Kerapu muda di perairan karang pantai
dengan kedalaman 0,5 – 3,0 m, dengan salinitas 30 – 35 ppt dan derajat keasaman
(pH) 7 – 9. Menginjak masa dewasa bermigrasi diperairan yang lebih dalam,
memiliki sifat hermaphrodit protogyni, dimana setelah mencapai ukuran tertentu
akan berganti kelamin dari betina dewasa menjadi jantan. Transformasi dari betina
ke jantan terjadi secara alami dan memerlukan waktu yang cukup lama. Daerah

23
penyebaran Kerapu Macan dimulai dari Afrika timur, Kepulauan Ryukyu (Jepang
selatan), Australia, Taiwan, Mikronesia dan Polinesia, sedangkan di Indonesia
habitat Kerapu tersebar diperairan pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru
dan Ambon (Antoro et al. 2004).
Kendala atau hambatan dalam budidaya Kerapu Macan yang sering
menimbulkan kematian dapat digolongkan menjadi dua yaitu yang disebabkan
oleh agen patogenik (Virus, jamur, parasit dan bakteri) dan non patogenik seperti
kualitas air, pakan. (Kurniastuty et al. 2004). Penyakit bakterial pada ikan kerapu
sebagian besar diakibatkan oleh bakteri Gram positif maupun Gram negatif .

Streptococcosis

Salah satu penyakit yang banyak menyerang ikan yang dibudidayakan dan
berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar adalah streptococcosis. Penyakit
ini dapat menyebabkan kematian populasi ikan yang cukup tinggi (> 50 %) dan
dalam jangka waktu yang relatif singkat yaitu 3 – 7 hari. Pada beberapa kasus,
patogen penyakit ini dapat bersifat zoonosis (Yanong & Floyd 2002). Penyakit
Streptococcosis disebabkan oleh kelompok bakteri Streptococcus sp.
Streptococcus merupakan bakteri famili stretococcoceae, bersifat Gram
positif memiliki karakteristik coccus / bulat berdiameter 0,6 – 0,9 μm, membentuk
pasangan atau rantai pendek (Gambar 1), non motil, tidak membentuk kapsul atau
spora, non acid fast, katalase negatif dan fakultatif anaerob. Struktur
Streptococcus terdiri dari kapsel, dinding sel, membran sitoplasma dan
sitoplasma (Brooks et al. 2004). Beberapa genus dari bakteri ini bersifat patogen
pada manusia dan hewan, beberapa spesies diantaranya bersifat zoonosis (Anonim
2005).
Streptococcus sp. menginfeksi secara langsung melalui kontak, dapat
ditularkan dari ikan yang sudah mati. Bakteri ini dapat menginfeksi ikan air tawar
maupun ikan air laut, pertama kali diidentifikasi menyerang budidaya ikan Trout
di Jepang pada tahun 1957 (Yanong & Floyd 2002). Selanjutnya dilaporkan di
Amerika Serikat, Afrika Selatan dan Teluk Mexico. Kelompok ini dilaporkan
spesifik menginfeksi ikan Rainbow trout (Onchorrynchus mykiss), Tilapia
(Orechromis nilaticus), Dolphin (Inia geoffrensis), Bass (Morone sp), Burumundi

24
(Anonim 2005; Varvarigos 2001). Di Indonesia Streptococcosis dilaporkan telah
banyak menimbulkan kerugian pada sistim budidaya ikan Nila (Supriyadi et al.
2002).
Streptococcus sp. sangat heterogen terdiri dari 20 species, dikelompokan
dalam 4 group. Karakteristik masing-masing kelompok didasarkan atas
pertumbuhan koloni, kemampuan menghidrolisis sel darah pada media darah (α
hemolysis, β hemolysis atau non hemolysis) (Anonim 2005). Streptococcus dapat
tumbuh / dikultur pada beberapa media standar seperti TSA, BHI Agar dan Agar
darah, dapat hidup pada temperatur 10º – 45ºC, berwarna putih, transparan, rata
dan agak cembung (Brooks et al. 2004).
Isolat bakeri Streptococcus sp. biasanya diambil dari permukaan kulit yang
mengalami abses, cairan otak, ginjal, hati, mata dan darah (Yuasa et al. 1999)

Gambar 1. Koloni Streptococcus sp. Dengan pewarnaan


Gram, bersifat Gram +, bulat dan rantai panjang
Pembesaran 100x. (Anonim 2005)

25
Streptococcus iniae.

S. iniae memiliki karakteristik beta-hemolytic, tidak dikategorikan dalam


Lancefield group (Anonim 2005), termasuk dalam kelompok bakteri Gram
positif, tidak mengurai amilum arabinose, inulin, laktosa, rafinosa dan sarbitol
(Yuasa et al. 1999). S. iniae diidentikan dengan Streptococcus shiloi, yang
memiliki karakteristik koloni pada BHIA berdiameter 1 µm, non pigmen, tidak
memproduksi katalase dan tidak toleran pada kadar garam yang tinggi
(Varvarigos 2001).

Beberapa Streptococcus memproduksi hemolisin yang merupakan sekresi


protein ekstra seluler dari membran lipid. Kemampuan melisiskan sel darah
merah (hemolisis) dapat dilihat dari keadaan yang terjadi di sekitar koloni
Streptococcus pada media agar darah. Ada beberapa tipe hemolisis dari
Streptococcus yaitu alfa (α), beta (β), gamma dan hemolisis yang meluas (wide
zone alfa-hemolisis). Pada alfa-hemolisis, zona disekitar koloni tampak kabur
atau tidak jelas dan sering tampak berwarna kehijauan sampai kecoklatan. Zona
kabur pada media agar darah tersebut merupakan hasil hemolisis sel darah merah
yang tidak sempurna. Pada beta-hemolisis, zona disekitar koloni bakteri tampak
jelas dan terang tanpa warna sebagai hasil hemolisis sel darah merah secara
sempurna. Pada gamma hemolisis, aktivitas hemolisis tidak tampak atau lisis sel
darah merah di sekitar koloni tidak terdeteksi. Sedangkan pada wide-zone alpha-
haemolysis, ada lingkaran kecil bercahaya yang merupakan hasil lisis sebagian
atau secara lengkap terhadap sel darah merah, yang berbatasan secara samar
terhadap koloni. Secara makroskopis wide-zone alpha-haemolysis hampir mirip
dengan beta-hemolisis (Pier & Madin, 1976).
S. iniae dilaporkan pertama kali menginfeksi ikan Dolphin (Inia
geoffrensis) diperairan Amazon dengan gejala klinis berupa abses pada bawah
kulit (subcutaneous abscess) (Weinstein et al. 1997), selanjutnya diketahui
menyebar dan menginfeksi ikan Rainbow traut (Onchorrynchus mykiss), Tilapia
(Orechromis niloticus), Bass (Morone sp) , Burumundi (Anonim 2005;
Varvarigos 2001). Penularan berlangsung berlangsung secara horizontal yaitu
kontak antara ikan sehat dan ikan sakit, luka (ulser) adalah sumber utama
terjadinya penularan, tetapi mekanisme penularannya belum diketahui (Anonim,

26
2007). Tingkat kematian akibat infeksi S. iniae pada ikan Tilapia yang
dibudidayakan bisa mencapai 73,3 %. (Shoemaker et al. 2000 dalam Anonim
2005). Pada ikan Barramundi mortalitas akibat infeksi S. iniae bisa mencapai
lebih dari 40 % populasi dalam waktu kurang dari 48 jam (Bromage et al. 1999)
S. iniae bersifat sebagai agen epizootik, telah ditemukan dan dapat
menginfeksi manusia. Kasus infeksi S. iniae pada manusia pertama kali terjadi di
Texas pada tahun 1991 selanjutnya di Ottawa – Kanada tahun 1994 (Yanong &
Floyd 2002). Penularannya dapat terjadi secara langsung melalui sentuhan tangan
dari ikan yang terinfeksi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi dapat berupa
cellulitis (infection of connective tissue) pada lengan, gangguan ginjal dan
arthritis (Weinstein et al.1997).

Perubahan patologi

Infeksi akibat bakteri dikelompokan dalam 3 jenis infeksi yaitu : (1) akut
(jenis yang sangat produktif); (2) kronis, yang menunjukan kemampuan bakteri
tertentu misalnya menjadi parasit intraseluler yang membangun parasitisme
intraseluler dan (3) toksikogenik atau infeksi yang diakibatkan oleh bakteri
penghasil toksin (Bellanti 1985).
Streptococcus sp selain bersifat sebagai patogen sekunder dapat juga
menginfeksi langsung ke dalam tubuh inang apabila terjadi kontak, perubahan
dapat terlihat secara eksternal ataupun internal. Gejala klinis yang timbul akibat
streptococcosis antara lain: warna tubuh jadi gelap, eksophtalmia, kekeruhan pada
kornea (corneal opacity), hemoragi yang meluas ke tingkat ulser dan nekrosis,
dan umumnya timbul zona gelap disekitarnya. Bagian organ yang terinfeksi
biasanya otot / kulit punggung, anterior pangkal ekor, tutup insang, di sekitar
mulut, sirip anus dan anus. Banyak ikan mengalami eksoptalmia dengan gejala
patologi kongesti dan edema pada retrobulbar, yang meluas menjadi inflamasi
dan nekrosis pada saraf optik dan koroid, dan selanjutnya ke bagian depan di
sekitar mata. Hiperemia saluran branchial, infiltrasi makrofag dan nekrosis yang
meningkat menjadi pendarahan parah dan kematian jaringan. Hiperemia terjadi
pula pada saluran usus. Organ utama yang terinfeksi antara lain limpa, hati,
jantung dan ginjal. Hati umumnya menjadi pucat disertai nekrosis fokal. Jantung

27
sering mengalami perikarditis dan adanya hemoragi pada peritonium disertai
eksudat dan fibrin (Inglis et al., 1993).
Streptococcus termasuk salah satu bakteri yang memproduksi nanah, dan
ini merupakan salah satu karakter dari bakteri pyogenic yang dapat menginvasi
jaringan seperti membran mukosa dari faring, akan menimbulkan inflamasi yang
ditandai adanya eksudasi plasma dan heterofil. Bakteri yang difagositosis oleh
makrofag akan dicerna, beberapa bakteri ada yang resisten terhadap enzim
lisosom. Toksin ekstraseluler yang dihasilkan bakteri mampu membunuh sel
fagosit. Protein ekstra-seluler yang dilepaskan oleh sel bakteri umumnya beracun.
Beberapa produk ekstraseluler dari bakteri Streptocoocus terdiri dari: a)
Hyaluronic acid, merupakan faktor virulen yang melindungi bakteri
Streptocoocus dari fagositosis oleh sel makrofag. b) Protein M, merupakan faktror
virulen berkaitan dengan tipe spesifik sistem kekebalan dari inang. c) Hemolisis,
terdiri dari streptolisin O dan S yang sangat responsif terhadap beta-hemolisis,
masing-masing diproduksi dalam kondisi tertentu. Antibodi terhadap streptolisin
O merupakan indikator yang baik adanya infeksi atau setelah terjadi infeksi. d)
Streptokinase (fibrinolisin), dapat melisis fibrin. e) Lipoteichoic acid,
bertanggungjawab untuk perlekatan bakteri terhadap sel epitel hospes. f) DNases
A, B, C and D, merupakan enzim ekstraseluler yang ada dalam produksi dari
substrat untuk pertumbuhan. g) Streptodornase, merupakan deoxyribonuclease
yang mereduksi kekentalan terhadap cairan yang mengandung DNA. h)
Hyaluronidase, merupakan enzim yang mungkin ada hubungannya dengan
virulensi (Gyles et al. 2004).
S. iniae pada ikan bersifat sebagai patogen sekunder, umumnya
menginfeksi secara septisemia (Kvitt & Colorni 2004). Gejala yang timbul adalah
ikan melemah, hemoragi pada jaringan tubuh atau perubahan struktur kulit. Pada
beberapa kasus terdapat eksoptalmia dan haemoragi pada kelopak mata (Inglis et
al. 1993). Pada trout dan tilapia dilaporkan ikan yang terinfeksi S. iniae
memperlihatkan gejala meningoencephalitis, panophthalmitis, dan lesi pada kulit
(Anonim 2005).
Nekrosis merupakan kematian sel dari jaringan tubuh tertentu pada hewan
yang masih hidup dan merupakan proses degenerasi yang sudah berlanjut

28
sedemikian rupa sehingga melampaui kemampuan reversibilitas suatu sel. Hal ini
disebabkan terutama karena proses tersebut telah melibatkan dan merusakkan inti
ataupun sitoplasma sel. Adanya nekrosis dapat dilihat dari perubahan
makroskopik dan mikroskopik. Perubahan makroskopik pada organ dapat bersifat
difus atau fokal, warna organ tampak lebih pucat dari pada keadaan normalnya
atau berwarna abu-abu keputih-putihan dan konsistensi dari organ atau bagian-
bagiannya bervariasi dari sangat keras sampai lunak atau cair tergantung pada tipe
nekrosisnya. Pada perubahan mikroskopis terjadi perubahan-perubahan pada inti
sel berupa: a) penggumpalan kromatin dan pengkerutan inti hingga
mengakibatkan inti menjadi lebih kecil dan warnanya lebih gelap (kariopiknosis),
b) pecahnya membran inti mengakibatkan gumpalan-gumpalan kromatin
berbentuk fragmen kecil-kecil yang tertumpah ke dalam sitoplasma (karioreksis),
dan c) pelarutan enzimatik dari kromatin hingga inti hanya terlihat sebagai
ruangan kosong yang dikelilingi membran inti (kariolisis) (Robert, 2001).
Pada beberapa kasus infeksi, mikroorganisme dapat menimbulkan
gangguan sirkulasi dan terjadi peradangan. Gangguan sirkulasi yang terjadi dapat
berupa : a) kenaikan jumlah darah di dalam pembuluh darah (kongesti), b)
keluarnya darah dari pembuluh darah ke luar tubuh maupun ke dalam jaringan
tubuh (hemoragi), c) penimbunan cairan berlebihan di ruang interseluler organ
atau rongga tubuh (edema), d) kumpulan trombosit dan fibrin dalam jumlah
banyak tampak berlapis-lapis (thrombus), e) kematian jaringan setempat yang
disebabkan oleh kekurangan darah yang hebat (infark), dan f) pelebaran pembuluh
darah secara lokal yang biasanya menyerupai kantong (teleangiectasis). Radang
merupakan reaksi vaskuler dan seluler jaringan hidup terhadap adanya iritasi yang
disebabkan oleh agen infeksi (bakteri, virus, parasit, jamur). Derajat lamanya
proses radang terdiri dari radang akut, kronis, dan reaksi radang yang menyangkut
proses-proses imunologi (Robert, 2001).
Ikan yang terinfeksi Streptococcus sp. secara makroskopis memperlihatkan
terjadinya pembengkakan ginjal, radang pada usus dan anus berisi cairan mucoid
berwarna merah, hati merah tua dan kurang berfungsi (Sano et al. 2000).
(Gambar 2). Secara mikroskopis terlihat enteritis dan hepatitis (Yuasa et al.
1999).

29
Jaringan hati dari Rabbit fish Siganus canaliculatus yang terinfeksi S.
iniae memperlihatkan perubahaan histopatologi berupa kongesti (Gambar 3)
(Sano et al. 2000).

Gambar 2. Hati kemerahan pada RabbitFish Siganus canaliculatus


yang terinfeksi S. iniae (Sano et al. 2000).

Gambar 3. Kongesti jaringan hati Rabbitfish (Siganus canaliculatus)


terinfeksi S.iniae (Sano et al. 2000).

30
Tilapia yang terinfeksi S. iniae menunjukkan perubahan patologi pada
beberapa organ, hemoragi operkulum, eksoptalmia dengan radang granuloma
supuratif pada jaringan adipose mata (Gambar 4) (Miyazaki et al. 1984).
Kelompok Cyprinid yang terinfeksi S. iniae memperlihatkan perubahan warna
tubuh menjadi lebih gelap (darkening), tidak respon terhadap rangsangan
(lethargy), hemoragi pada bagian sisi tubuh, kepala dan sirip (Russo et al. 2006).
Perubahan histopatologi yang lain berupa epikarditis dan presipitasi fibrin
pada jantung, sel limpa yang terfagositasi, infiltrasi sel bakteri pada submukosa
dan pembengkakan usus, nekrosis dan edema testis, pembengkakan ginjal
dengan atrofi sel epitel tubular, radang granuloma meningen otak (meningitis)
(Miyazaki 1984). Pada ikan yang terinfeksi S. iniae memperlihatkan adanya
infiltrasi leukosit dan makrofag pada sistem pencernaan, nekrosis pada jaringan
otak, hati, limpa dan bagian posterior ginjal (Russo et al. 2006).

Gambar 4. Eksophtalmia (panah) pada Tilapia yang terinfeksi S. Iniae


(Miyazaki et al. 1984).

Patogenesis, gejala klinis maupun lesio patologi yang disebabkan oleh


setiap spesies patogen berbeda-beda (Kvitt & Colorni 2004). Patogenitas setiap
agen patogen sangat berkaitan dengan kemampuannya dalam memproduksi

31
enzim, toksin dan dalam mengatasi sistem kekebalan inang (Russo et al. 2006).
Terdapat 3 kelompok jenis modus infeksi bakteri terhadap inang yaitu : (1)
kelompok bakteri yang memiliki mekanisme spesifik untuk menempel dan
menembus permukaan tubuh inang yang normal dan sehat (primary infection), (2)
kelompok bakteri yang masuk kedalam tubuh inang dan menyebabkan infeksi
setelah terjadinya penetrasi oleh organisme lain dan bakteri menyebar akibat
penetrasi tersebut, (3) kelompok bakteri oportunistik yaitu bakteri yang akan
menimbulkan infeksi apabila sebelumnya terjadi kerusakan atau
ketidakseimbangan dari sistem pertahanan tubuh, kulit dan jaringan epidermal
atau mukosal lainnya (Mims 1988) .

Kualitas Air

Kestabilan nilai kualitas air sangat penting peranannya dalam kehidupan


ikan. Jika kualitas air tidak sesuai maka akan mengganggu proses metabolisme
ikan Kerapu sehingga dapat mengganggu pertumbuhannya. Air yang digunakan
dalam pemeliharaan ikan Kerapu Macan harus dalam kondisi kualitas yang
optimal. Parameter yang dijadikan indikator pengukuran kualitas air diantaranya
adalah suhu, salinitas, pH, kandungan oksigen, kandungan karbondioksida,
kecerahan, kandungan H2S, Nitrit dan Amoniak (Kordi 2002).

Kisaran suhu yang baik bagi pertumbuhan ikan Kerapu Macan adalah antara
24ºC sampai 32ºC dengan perubahan yang tidak ekstrim. Pada daerah beriklim
tropis misalnya Indonesia, suhu perairan pada umumnya relatif tinggi dengan
perubahan yang sangat kecil (Anonim 2001). Suhu mempunyai pengaruh besar
terhadap proses kimia dan biologi. Secara umum kecepatan reaksi kimia dan
biologi akan menjadi dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10 ° C.
Salinitas berpengaruh terhadap tekanan osmotik sel tubuh. Bila seekor ikan
dipindahkan dari habitat aslinya misalnya dari salinitas tinggi ke salinitas rendah
berarti ikan tersebut menghadapi ancaman kematian kecuali jika ikan tersebut
mampu mentoleransi perubahan tersebut. Karena secara fisiologis salinitas akan
mempengaruhi fungsi organ osmoregulator ikan. Perbedaan salinitas air media
dengan tubuh ikan akan menimbulkan gangguan keseimbangan, hal ini akan
mengakibatkan sebagian besar energi yang tersimpan dalam tubuh ikan digunakan

32
untuk penyesuaian diri terhadap kondisi kurang mendukung tersebut, sehingga
dapat merusak sistim pencernaan dan transportasi zat makanan dalam darah.
Salinitas yang optimal untuk pertumbuhan ikan Kerapu Macan adalah 30 sampai
35 ppt (Al Qodri et al. 2004).
Derajat keasaman atau pH dipergunakan untuk memperoleh gambaran
mengenai kemampuan suatu perairan dalam memproduksi garam mineral. Derajat
keasaman air ditentukan oleh konsentrasi ion H+ yang digambarkan dengan angka
1 sampai 14. Ikan kerapu hidup dengan baik pada kisaran pH 7 sampai 9.
Amoniak (NH3) yang terkandung dalam suatu perairan merupakan salah satu
hasil dari proses penguraian bahan organik. Amoniak ini barada dalam suatu
bentuk amoniak tak berion (NH3) dan amoniak berion (NH4). Amoniak tak berion
bersifat racun sedangkan yang berion tidak beracun (Al Qodri et al. 2004).

33
METODA PENELITIAN

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Satwa Akuatik FKH IPB


dan Stasiun Karantina Ikan Tanjung Priok bulan Januari sampai Februari 2007
dan Bagian Patologi FKH IPB bulan Maret sampai April 2007.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Ikan Kerapu Macan;
S. iniae (Isolat Sentani koleksi FKH UGM); Media untuk isolasi dan identifikasi
mikroba (BHI Agar, Agar darah, bahan uji biokimia meliputi : NaCl untuk
parameter toleransi tumbuh pada kadar garam; media O/F untuk uji oksidatif dan
Uji fermentasi ; media katalase ; Aesculin untuk menguji kemampuan
menghidrolisis Aesculin; media uji Voges Proskauer untuk menguji kemampuan
bakteri menghasilkan asam dari fermentasi glukosa; Bahan pembuatan /
pemeriksaan histopatologi, pakan ikan berupa udang / ikan beku dan air laut.
Peralatan yang digunakan meliputi : Akuarium beserta peralatannya, cawan petri,
tabung erlenmayer, alat pembuatan preparat histopatologi (Autotechnic Tissue
Processor, Parafin Embedding Console, Mikrotom, Inkubator), mikroskop, alat
fotomikrografi serta alat dan bahan penguji kualitas air.

Metoda Penelitian

Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan


hewan coba (ikan) yang diberi perlakuan infeksi secara buatan. Penelitian
dilakukan dalam 3 tahap, meliputi persiapan, penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk mengembalikan
virulensi isolat bakteri yang akan digunakan dan mendapatkan data awal yang
mendasari penelitian utama. Sedangkan penelitian utama dimaksudkan untuk
melihat gejala klinis, patologi anatomi dan histopatologis ikan yang diinfeksi S.
iniae.

34
Persiapan

Ikan Uji

Ikan yang digunakan adalah ikan Kerapu Macan sehat berukuran 10 - 11 cm


yang berasal dari pembudidaya ikan Kerapu Macan di Kepulauan Seribu.
Kriteria ikan sehat dicirikan dari pergerakan yang aktif, aktifitas makan yang
aktif, warna tubuh cerah, organ tubuh eksternal (sirip, sisik, operkulum ) normal.

Ikan yang akan digunakan diaklimatisasi terlebih dahulu selama 3 (tiga) hari
dalam akuarium berukuran 80 cm x 40 cm x 40 cm dengan kepadatan 50 ekor per
akuarium. Selama aklimatisasi wadah penampungan diberi sistem resirkulasi air
yang cukup. Untuk mempertahankan kualitas air serta kelangsungan hidup ikan
maka dilakukan pergantian air 50% volume setiap harinya dengan
mempertahankan salinitas tetap sesuai kebutuhan kelangsungan hidup ikan.
Air yang digunakan sebagai media pemeliharaan adalah air laut dengan
salinitas 32 – 35 ppm yang diperoleh dari instalasi pengolahan dan penyediaan air
Sea World Ancol - Jakarta. Air yang akan digunakan terlebih dahulu dilakukan
filtrasi dan resirkulasi beraerasi, uji parameter kualitas air dan status mikrobiologi
untuk memastikan bebas Streptococcus ataupun bakteri patogen lainnya.

Pakan yang diberikan disesuaikan dengan kebiasaan pakan yang diberikan


pada ikan tersebut sebelumnya yaitu berupa udang kecil / rebon atau ikan sisa /
rucah. Untuk memastikan bahwa pakan yang diberikan bebas dari streptococcus
iniae ataupun mikroorganisme patogen lainnya dilakukan sterilisasi bebas
mikroorganisme dengan melakukan irradiasi dengan kekuatan 10 KGray di Pusat
Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) Jakarta.
Ikan uji yang akan digunakan dibebaskan dari patogen khususnya S. iniae dengan
melakukan pemeriksaan terlebih dahulu secara acak terhadap kesehatan secara
klinis maupun status mikrobiologinya.

Bakteri

Isolat bakteri diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikrobiologi Fakultas


Kedokteran Hewan, Universitas Gajah Mada. Koleksi isolat S. iniae berasal dari
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang menunjukan gejala klinis terinfeksi

35
Streptococcus, hasil survey Tim FKH UGM dan Balai Karantina Ikan Sentani
Jayapura di wilayah Papua tahun 2005.
Penentuan karakteristik bakteri dilakukan dengan : Uji Morfologi meliputi :
Pewarnaan Gram, karakteristik bentuk dan ukuran koloni; karakteristik sel
dengan mengamati bentuk dan jumlah sel pada setiap rantai secara acak pada
preparat hasil pewarnaan Gram dan uji motilitas; Uji Biokimia meliputi : toleransi
pertumbuhan pada temperatur inkubasi 10˚ C dan 45˚ C selama 24 jam dan 6,5 %
NaCl, Aktifitas haemolisis dalam media darah (Agar darah dengan eritrosit
domba 10 %); uji oksidasi dan fermentasi (O/F); uji katalase; kemampuan
menghidrolisis Aesculin agar; uji Voges Proskauer.
Sebelum digunakan bakteri terlebih dahulu dikenakan uji profisiensi dan
identifikasi ulang di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Laboratorium Stasiun Karantina Ikan Kelas I
Tanjung Priok.

Isolat bakteri stok dalam slant agar kemudian dikultur dalam media agar
darah, secara bertahap dan periodik dilakukan rekultur sampai diperkirakan cukup
sehat agar dapat digunakan dalam penelitian. Propagasi bakteri yang akan
digunakan dilakukan dalam Brain Heart Infusion Broth (BHI broth) dan
diinkubasikan selama 18 jam, kemudian disentrifuse selama 15 menit dengan
kecepatan 2000 rpm. Larutan supernatan dibuang dan pelet disuspensikan
kembali dengan menambahkan PBS 0,84 %. Pembuatan dan pengukuran suspensi
bakteri digunakan satuan sel/ml dilakukan dengan membandingkan tingkat
kekeruhan suspensi bakteri sesuai standar Mc Farlan I (Faddin & Bergey 1980).

Uji Pendahuluan

a. Uji pengembalian virulensi

Untuk mengembalikan virulensi bakteri uji, S. iniae yang akan digunakan


diinjeksikan pada 10 ekor ikan Nila (Oreochromis niloticus) masing-masing
sebanyak 0,1 ml secara intraperitoneal. Uji virulensi dilakukan selama 4 (empat)
hari (Bromage et al. 1999; Russo et al. 2006) , selama masa uji dilakukan
pengamatan gejala klinis dan patologis apabila ditemukan ikan yang

36
memperlihatkan gejala klinis terinfeksi streptococcosis dilakukan isolasi dari
organ mata, otak, hati, limpa dan ginjal (Bromage et al. 1999).

Isolat yang diperoleh selanjutnya diinokulasikan pada agar BHI dan


diidentifikasi dengan uji biokimia. Apabila isolat dinyatakan positif S. iniae
selanjutnya dipersiapkan dan diperbanyak pada media cair untuk tahap penelitian
selanjutnya.

b. Uji LD 50

Untuk mengetahui dosis maksimum yang dapat menyebabkan kematian 50


% populasi ikan uji dilakukan pengujian LD50. Pengujian ini dilakukan dengan 4
perlakuan dosis suspensi bakteri dan 1 kontrol diinjeksi PBS, masing-masing 2
kali ulangan. Setiap perlakuan terdiri dari 10 ekor ikan. Perlakuan dibedakan atas
kepadatan bakteri S. iniae (sel/ml) yang diinjeksikan pada ikan sebanyak 0,1 ml
setiap ekor pada intra peritoneal.

Perlakuan A : Kontrol, digunakan suspensi PBS Steril


Perlakuan B : S.iniae 10 6 sel/ml
Perlakuan C : S.iniae 10 8 sel/ml
Perlakuan D : S.iniae 10 10 sel/ml
Perlakuan E : S.iniae 10 12 sel/ml

Penentuan LD50 menggunakan metoda Dregsted Behrens (Hubert, 1980).


50 - %
m = X1 + d --------------------
% x + 1 - % x1
m = Log LD50
X1 = Log dosis bakteri di bawah LD50
D = Selisih Log dosis dibawah LD 50 dan diatas LD50
% x + 1 = Persentase kematian kumulatif pada dosis di atas LD50
% x1 = Persentase kematian kumulatif pada dosis di bawah LD50

Uji Utama

Pada uji ini ikan dibagi ke dalam 2 kelompok perlakuan dan 1 kelompok
kontrol, masing-masing 2 ulangan terdiri dari 7 ekor ikan . Perlakuan dosis
infeksi didasarkan atas hasil uji LD50 sebagai dosis utama dan dosis pembanding

37
untuk mengetahui kemungkinan adanya gejala sub klinis. Wadah penampungan
ikan uji digunakan akuarium berukuran 40 cm x 20 cm x 25 cm masing-masing
berisi 7 ekor ikan per akuarium. Volume air dalam akuarium adalah 5 liter. Ikan
disuntik secara intra peritoneal (ip).
Uji dilakukan selama 7 hari, setiap hari dilakukan pergantian air dengan
menyipon sebanyak 50 % volume air dan dilakukan penggantian sebanyak
volume air terbuang dengan stok air baru. Pengamatan yang dilakukan meliputi :
a) Pengamatan gejala klinis sebelum diinfeksi.
b) Pengamatan gejala klinis, perubahan makroskopis (Patologi Anatomi - PA)
dan perubahan mikroskopis (histopatologi – HP) setelah diinfeksi S. Iniae,
yang dilakukan setiap hari dengan cara mengambil sejumlah 1 (satu) ekor ikan
dari setiap kelompok .
Pengamatan klinis yaitu pemantauan perilaku meliputi gerak, aktifitas / nafsu
makan, morfologi / kondisi fisik ( insang, sisik). Pengamatan nafsu makan
dilakukan dengan melihat respon dan aktifitas makan terhadap pakan yang
diberikan dibandingkan dengan respon dan aktifitas makan ikan kontrol.
Dinyatakan memiliki respon normal jika ikan memberikan respon spontan
dan melakukan aktifitas makan saat diberi pakan.
Pengamatan patologi anatomi (PA) meliputi : perubahan makroskopis organ
tubuh ikan. Perubahan histopatologi organ internal meliputi : insang, mata,
otak, hati, limpa, jantung dan ginjal.
Pengambilan ikan untuk pengamatan dilakukan secara acak dan diutamakan
yang akan mati (sekarat) atau memperlihatkan gejala klinis sakit. Sesudah
dinekropsi ikan dimasukkan dalam larutan Buffer Neutral Formalin (BNF)
10 %.
Setelah difiksasi dibuat preparat HP dan diwarnai dengan Hematoksilin Eosin
dan Gram.

c) Pengamatan kualitas air meliputi parameter : Suhu, pH, Salinitas, Oksigen


terlarut dan uji mikrobiologi.

38
Analisa data

Data diperoleh dengan membandingkan secara deskriptif morfologi kelainan


organ tubuh ikan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan infeksi pada
pengamatan makroskopik (PA) dan mikroskopik (HP). Data ditampilkan
dalam bentuk tabel dan gambar.

39
HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Pendahuluan

1. Karakteristik S. iniae

Isolat S. iniae yang akan digunakan sebagai inokulat berhasil ditumbuhkan.


Pertumbuhan S. Iniae pada permukaan agar darah menunjukan ukuran koloni
bakteri 0,3 – 0,5 µm dengan aspek transparan (Gambar 5). Pada sediaan ulas
yang diwarnai dengan Gram S. iniae berbentuk rantai terdiri dari 2 – 7 sel
berwarna biru tua (Gambar 6).

Tabel 1. Karakteristik morfologi dan biokimia S. iniae.

No. Karakteristik Hasil identifikasi Referensi

1 Morfologi sel :
- Ukuran koloni 0,3 – 0,5 µm 0,3 – 0,5 µm (1)
- Bentuk Bulat, rantai Bulat, rantai (1)
- Gram + + (1)
2 Katalase - - (1)
3 Haemolisis β β (1)
4 Motilitas - - (1)
5 Facultatif anaerob (o/f) + + (1)
6 Tumbuh pada:
- pH 9.6 - - (1)
- 10 ° C + + (1)
- 45 ° C - - (1)
7 Tumbuh dengan
- NaCl 6.5 % - - (1)
- 40 % Bile - (1)
8 Produksi Asam :
- Inulin - - (1)
- Rafinosa - - (1)
- Arabinosa - - (1)
- Trehalosa + + (1)
- Ribosa + - (1)
- Maltosa + + (1)
- Manitol + + (1)
9 Voges Proskaeur + + (2)

Keterangan : (+) : positif; (-) : negatif


(1) Bergey’s (1994)
(2) Varvarigos (2001).

40
Pertumbuhan pada media padat BHIA (Brain Heart Infusion Agar) dengan
NaCL 0% dan 2 %, tampak S. Iniae bersifat Gram positif , tumbuh pada suhu
inkubasi 10 °C dan 45°C. Karakter lain yang ditunjukan adalah tidak bergerak
(non motil), katalase negatif, positif pada pengujian Voges Proskeuer (Tabel 1).

Gambar 5. Koloni isolat S. iniae pada media darah yang diisolasi dari organ
ginjal. Koloni tumbuh halus dan tipis.

41
1 µm

Gambar 6. Morfologi S. iniae isolat Nila asal Sentani- Papua yang


dikultur pada media agar BHI dengan preparat ulas dan
pewarnaan Giemsa memperlihatkan karakter bulat
membentuk rantai.

2. Uji pengembalian virulensi

Uji pengembalian virulensi S. iniae dilakukan dengan metode in vivo


melalui suntikan intraperitoneal terhadap ikan Nila (O. niloticus) dalam 2 (dua)
kali pasase. Hasil pengamatan gejala klinis memperlihatkan adanya perubahan
berupa menurunnya respon terhadap rangsang gertak ataupun sentuh, penurunan
nafsu makan, gerakan renang lemah dan sering berenang dipermukaan. Warna
tubuh menjadi gelap; hemoragi pada bagian bawah tubuh, bawah sirip pectoralis
dan sekitar operkulum (Gambar 7); sirip kaudal geripis; pembesaran abdomen.
Pada area injeksi terdapat lesi berupa luka dengan disertai rontok sisik.
Perubahan makroskopis (Patologi Anatomi – PA) menunjukan insang pucat dan
lesi berupa erosi dibagian lamella insang pada beberapa ekor ikan uji, hati
membesar dan pucat, limpa relatif lebih gelap (Gambar 8).

42
B

Gambar 7. Ikan Nila (O. niloticus) yang diinfeksi S. iniae memperlihat


kan lesio hemoragi (A) dan sisik rontok (B)

Gambar 8. Ikan Nila (O.nilaticus) yang diinfeksi S. iniae memperlihat


kan lesio hemoragi pada organ ginjal (A) dan hati pucat (B)

43
3. Uji LD 50

Gejala klinis berupa tingkah laku gerakan renang hari ke 1 sampai hari ke 5
pada semua tingkat kepadatan bakteri kondisinya normal; selanjutnya gerakan
renang menjadi lambat hari ke 6 dan 7 pada tingkat kepadatan bakteri 1012 sel/ml.
Respon terhadap rangsang menunjukan respon reaktif pada semua perlakuan.
Ikan yang diberi perlakuan nafsu makannya lebih rendah dibandingkan dengan
ikan kontrol pada hari ke 1. Respon nafsu makan meningkat pada hari ke 2
sampai hari ke 4 namun pada hari ke 5 sampai hari ke 7 menunjukkan penurunan
kembali.

Data mortalitas sebagaimana pada lampiran 4 selanjutnya dilakukan analisa


untuk mendapatkan nilai Lethal Dosis 50 (LD50) seperti tertera dalam Tabel 2
(Hubert, 1980).

Tabel 2. Perhitungan LD50 bakteri S. iniae terhadap ikan kerapu macan (E.
fuscoguttatus) pada uji LD50

Perla- Ula r % Rerata Log n n-r Σr Σ (n-r) T Σ r /T


kuan nga Kemat Kema Kemati C X
n ian tian an 100%
A 1 0 0 0 0 16 16 0 46 46 0
2 0 0
B 1 2 25 37.5 6 16 10 6 36 42 14,28
2 4 50
C 1 5 62,5 43.5 8 16 9 13 27 40 32,50
2 2 25
D 1 3 37,5 37.5 10 16 10 19 17 36 57,78
2 3 37,5
E 1 8 100 93.75 12 16 1 34 16 50 68
2 7 87,5

Keterangan :
n = Jumlah ikan yang dipelihara
r = Jumlah ikan yang mati
n–r = Jumlah ikan yang hidup
Σr = Jumlah total ikan yang mati pada dosis X
Σ (n – r ) = Jumlah total ikan hidup pada dosis X
Σr / T x 100 = Akumulasi persen kematian ikan
A = Kontrol (tanpa infeksi)
B = 10 6 sel / ml
C = 10 8 sel / ml
D = 10 10 sel / ml
E = 10 12 sel / ml

44
Hasil perhitungan memperlihatkan kematian tertinggi pada perlakuan E :
dosis 1012 sel /ml dengan rerata 93,75% dan hasil perhitungan akumulasi persen
kematian sebesar 68 %. Perlakuan D : dosis 1010 sel /ml dengan rerata 37.5 %
dan akumulasi persen kematian 52,78 % , Perlakuan C : dosis 108 sel / ml dengan
rerata 43.75 % dan akumulasi persen kematian 32,50 %, Perlakuan B : dosis 106
sel / ml dengan rerata 37.5 % dan akumulasi persen kematian 14,286 %. Pada
pelakuan A atau kontrol tidak terjadi kematian ikan. Pengujian untuk mengetahui
dosis dan waktu mematikan 50 % populasi dihentikan pada hari ke 7 (tujuh)
karena pada setiap dosis perlakuan populasi ikan tingkat kematian sudah 50 %.
Hasil perhitungan akumulasi persen kematian menunjukan bahwa tingkat
kematian populasi sebesar 50 % berada pada kisaran antara dosis 108 dan 1010
sel/ml yaitu 32,50 % dan 52,78 %.
Berdasarkan analisa data tersebut maka nilai LD50 adalah :

50 - %
m = X1 + d --------------------
% x + 1 - % x1

m = Log LD50
X1 = Log dosis bakteri di bawah LD50
D = Selisih Log dosis dibawah LD 50 dan diatas LD50
% x + 1 = Persentase kematian kumulatif pada dosis di atas LD50
% x1 = Persentase kematian kumulatif pada dosis di bawah LD50

50 – (% x – 1)
Log LD50 = X1 + d -------------------------
(% x + 1) – (% x – 1)

50 – 32,5
Log LD50 = 8 +2 -------------------------
68 – 32,5

17,5
Log LD50 = 8 +2 -------------
35,5

Log LD50 = 8 + 2 (0,493)

Log LD50 = 8 + 0,986

= 8,986

45
Antilog 8,986 = 8,98 x 10 8
Nilai LD50 bakteri S. iniae dari isolat ikan Nila yang mematikan 50% ikan
uji Kerapu Macan (E. Fuscogutattus) adalah 8,98 x 10 8 sel/ml.

Uji Utama

1. Gejala klinis

Penelitian perkembangan gejala klinis dan patologi ikan kerapu macan


(E.fuscogutattus) yang diinfeksi secara buatan dengan S. iniae dilakukan selama
6 hari. Isolat S. iniae yang digunakan adalah isolat Sentani - Papua yang diiolasi
dari ikan Nila dan telah dikembalikan virulensinya. Dosis yang digunakan adalah
didasarkan dari hasil uji LD50 yaitu 8,98 x 108 sel/ml. Penetapan 6 hari
pengamatan didasarkan hasil uji LD50 bahwa bakteri S. iniae dapat mematikan
50% populasi pada hari ke 6. Untuk mengetahui kemungkinan adanya gejala
subklinis digunakan dosis infeksi pembanding yaitu 10 6 sel/ml.

Pengamatan tingkah laku meliputi nafsu makan, gerakan operkulum dan


gerakan renang dituangkan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengamatan tingkah laku ikan Kerapu macan (E. uscogutattus)
yang diinfeksi S. iniae

Perlakuan Tingkah laku hari ke


infeksi 1 2 3 4 5 6
S.iniae
Nafsu makan Normal Normal Normal Normal Normal Normal
K Gerakan Normal Normal Normal Norma Normal Normal
operkulum
Garakan renang Normal Normal Normal Normal Normal Normal

Nafsu makan Sangat kurang Kurang Kurang Kurang Normal Normal


106 Gerakan Lemah Normal Normal Normal Normal Normal
operkulum
sel/ml Garakan renang Lemah Lemah Lemah Lemah Normal Normal
Kepermuka Kepermuka
an an
Nafsu makan Sangat kurang Sangat Kurang Kurang kurang Normal
109 kurang
Gerakan Lemah lemah Lemah Lemah Lemah Lemah
sel/ml operkulum
Garakan renang Lemah Lemah Lemah Lemah Normal Normal
Kepermuka Kepermuka Kepermuka
an an an
Keterangan : K : Kontrol

46
Nafsu makan ikan tanpa perlakuan (kontrol) pada hari ke 1 sampai hari ke
6 adalah normal, sedangkan ikan yang diberi perlakuan 109 sel/ml maupun 106
sel/ml memperlihatkan ada perbedaan dibandingkan perlakuan kontrol. Pada
6
perlakuan 10 sel/ml nafsu makan ikan uji sangat kurang pada hari ke 1
selanjutnya terdapat peningkatan pada hari ke 2 hingga hari ke 5 dan normal pada
hari ke 6. Pada perlakuan 109 sel/ml nafsu makan lebih menurun dibandingkan
perlakuan 106 sel/ml dan kontrol. Nafsu makan ikan uji baru terlihat pada hari ke
3 dan selanjutnya meningkat kearah normal pada hari ke 6. Penurunan nafsu
makan pada ikan yang diberi perlakuan diduga disebab kan oleh stress sebagai
akibat perlakuan dan masuknya bahan atau benda asing yang masuk dalam tubuh.
Perbedaan tingkat kepadatan bakteri juga diduga mempengaruhi tingkat stress dari
masing-masing kelompok perlakuan. Peningkatan nafsu makan pada akhir
penelitian untuk kelompok perlakuan 106 sel/ml diduga dipengaruhi tingkat
kesehatan yang sudah pulih, hal itu dapat terjadi karena respon kekebalan tubuh
telah mampu menetralisis masuknya S. iniae.
Respon terhadap rangsang, gerakan renang dan gerakan operkulum
merupakan parameter tingkat kesehatan ikan. Parameter tersebut tampak
menurun pada hari ke 1 pasca injeksi selanjutnya pada hari ke 2 sampai hari ke 6
memperlihatkan tanda mengarah normal atau kembali reaktif sebagaimana pada
ikan kontrol. Penurunan respon reaksi terhadap rangsang dan nafsu makan,
berenang tidak beraturan dan perubahan warna kulit adalah beberapa bentuk
gejala klinis ikan yang terinfeksi oleh bakteri patogen (Miyazaki, 1984; Russo et
al. 2006)
Menurut Inglis (1993) gejala klinis perubahan tingkah laku ikan dapat
dipicu karena adanya stressor. Pada penelitian ini stressor penyebab perubahan
tingkah laku ikan diduga adalah agen infeksius S. iniae yang dimasukan ke dalam
tubuh ikan. S. iniae merupakan agen infeksius yang dapat menginfeksi secara
sistemik dan menimbulkan stress. Menurut Nabib & Pasaribu (1989) setiap
spesies ikan mempunyai perbedaan batas kemampuan mengendalikan stress.

Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa ikan berenang ke permukaan,


hal ini diduga dipengaruhi oleh infeksi S. iniae yang menyebabkan terganggunya
fungsi insang dalam mengikat oksigen menjadi menurun. Penurunan suplai

47
oksigen dalam darah dan otak mendorong ikan yang terinfeksi untuk mencari
oksigen permukaan. Perubahan tingkah laku ikan yang terinfeksi Streptococcus
sp. dilaporkan oleh Inglis (1993) yang menyatakan bahwa tanda klinis aspek
tingkah laku diantaranya adalah ikan akan berenang tegak (erratic swimming) dan
menjadi lemah. Weinstein et al. (1997) menyatakan bahwa ikan Tilapia yang
terinfeksi S. iniae menunjukkan gejala klinis perubahan warna tubuh menjadi
gelap, berenang tidak terarah dan menjadi lemah serta sirip dorsal menjadi geripis.
Perrera & Sterling (1994) dan Plumb (2002) menyatakan bahwa ikan Tilapia yang
terserang S. iniae selain menunjukkan gejala klinis perubahan warna tubuh
menjadi gelap, berenang tidak terarah dan menjadi lemah juga menunjukan
adanya gejala klinis eksternal lain yaitu petechiae disekitar mulut, anus dan sirip
pektoralis. Russo et al. (2006) yang melakukan penelitian karakterisasi S. iniae
dari kelompok Cyprinid menyatakan bahwa gejala klinis ikan yang terinfeksi S.
iniae berupa perubahan tubuh menjadi gelap (darkness); tidak ada respon terhadap
rangsang (lethargy), hemoragi pada bagian sisi tubuh sekitar kepala serta sirip
pelvik dan kaudal; berenang berputar (swimming spinning) ke permukaan.
Supriyadi et al. (2003) menyatakan bahwa gejala klinis ikan Tilapia yang
terinfeksi S. iniae adalah berenang berputar-putar, warna tubuh menjadi gelap /
pucat dan lemah.

2. Perubahan Patologi Anatomi (PA)

Tahapan perubahan PA secara deskriptif pada ikan yang diberi perlakuan


infeksi S. iniae adalah berupa lesi pada area injeksi, warna tubuh menjadi gelap,
hemoragi pada bagian bawah operkulum, perut bengkak, sisik rontok, gelembung
renang relatif lebih besar, hati bengkak dan pucat, limpa bengkak dan empedu
bengkak. Gambaran deskriptif tersebut dituangkan pada Tabel 4.

48
Tabel 4. Patologi anatomi ikan Kerapu Macan (E. fuscogutattus) yang diinfeksi
S. iniae

Perlakuan Tubuh/ Organ hari ke


1 2 3 4 5 6

Tubuh Warna Warna Warna Warna Warna Normal


K (Bagian luar) normal normal normal normal normal

Sirip Normal Normal Normal Normal Normal Normal


Hati Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Jantung Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Limpa Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Ginjal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Usus Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Otak TD TD TD TD TD TD
Mata Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Insang Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Gelembung Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Renang

Tubuh Normal -Warna -Warna -Warna -Normal Normal


(Bagian luar) gelap gelap gelap -Hemoragi
106 - Hemoragi - Hemoragi -Hemoragi
sel/ml Sirip Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Hati Normal Normal Pucat Pucat Bengkak Normal
Jantung Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Limpa Normal Normal Bengkak Normal Normal Normal
Ginjal Normal Normal Hemoragi Normal Normal Normal
Usus Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Otak TD TD TD TD TD TD
Mata Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Insang Normal Pucat Pucat Normal Normal Normal
Gelembung Bengkak Normal Normal Normal Normal Normal
Renang
-Warna -Warna - Warna - Warna gelap -Warna gelap -Normal
9 Tubuh gelap gelap gelap -Hemoragi -Hemoragi -Hemoragi
10 (Bagian luar) -Hemoragi -Hemoragi - Hemoragi -Sisik rontok -Sisik rontok -Normal
sel/ml -Sisik - Sisik - Sisik
normal rontok rontok
Sirip Normal Normal Normal Normal Normal Geripis
Hati Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat
Bengkak Bengkak Bengkak Bengkak
Jantung Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Limpa Normal Normal Normal Bengkak bengkak bengkak
Ginjal Normal Normal Normal Hemoragi Hemoragi Hemoragi
Usus Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Otak TD TD TD TD TD TD
Mata Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Insang Pucat Pucat Lesi (erosi) Pucat Pucat Pucat
Lesi (erosi)
Gelembung Bengkak Bengkak Bengkak Bengkak Bengkak Normal
Renang

49
Penilaian lesio organ yang memperlihatkan perubahan PA dilakukan
dengan membandingkan organ kontrol (normal) dan organ ikan uji berdasarkan
warna dan lesio patologi.
Hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukan bahwa infeksi S. iniae
tidak menyebabkan perubahan makroskopis PA pada organ sirip, mata, jantung
dan usus. Insang, hati, limpa, ginjal dan gelembung renang memperlihatkan
lesio dengan derajat kerusakan bervariasi berupa pucat, bengkak, erosi, hemoragi
dan sisik rontok.
Dari Tabel 4 terlihat bahwa ikan yang diberi perlakuan infeksi S. iniae
6
dengan dosis 10 sel/ml warna tubuhnya menjadi gelap dan setelah hari ke 2
timbul hemoragi pada bagian bawah operkulum sedangkan pada ikan uji yang
diberi perlakuan 109 sel/ml selain tubuh berwarna gelap dan hemoragi pada bagian
operkulum dan bagian bawah tubuh juga mengalami rontok sisik disekitar garis
lateral pada hari petama (Gambar 9). Gambaran patologi anatomi tersebut
menunjukan bahwa S. iniae dapat menyebabkan perubahan warna tubuh,
hemoragi dan sisik rontok. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Russo et al.
(2006) pada beberapa jenis ikan hias kelompok cyprinid bahwa infeksi S. iniae
dapat menyebabkan perubahan warna tubuh menjadi lebih gelap (darkness),
hemoragi pada bagian sisi tubuh sekitar kepala serta sirip pelvis dan kaudal.
Bromege & Owens (2002) menyatakan bahwa perubahan PA akibat infeksi S.
iniae pada ikan Barramundi Lates calcarifer gejala klinisnya dikelompokan dalam
sub akut dan akut. Salah satu bentuk gejala klinis sub akut yaitu perubahan warna
tubuh menjadi lebih gelap, sedangkan gejala klinis akut salah satunya berupa
eksoptalmia dengan perubahan patologi kekeruhan pada mata (cornea opacity).
Perubahan warna tubuh dapat dipicu oleh infeksi yang diakibatkan bakteri,
menyebabkan terjadinya infiltrasi sel radang meluas pada lapisan epidermis,
selanjutnya nekrosis epidermis diawali oleh kematian sel inti pada mukosa
maupun sel klub (Robert 2001). Pada penelitian ini ikan uji mengalami
perubahan warna tubuh menjadi gelap dan hemoragi menunjukan bahwa S. iniae
adalah bakteri septisemia. Kemampuan bakteri menginfeksi inangnya secara
sistemik menyebabkan terjadinya peningkatan eritrosit di buluh darah arteri

50
(hiperemia) pada daerah inflamasi, keadaan ini yang menyebabkan terjadi
perubahan warna tubuh menjadi gelap.
Organ hati pada perlakuan 106 sel/ml terlihat pucat pada hari ke 3 sampai
hari ke 5, sedangkan pada perlakuan 109 sel/ml selain pucat juga memperlihatkan
pembengkakan sejak hari pertama. Pembengkakan dan pucat menunjukan
terjadinya degenerasi. Semakin besar dosis yang diberikan menyebabkan reaksi
persembuhan lambat. Ikan yang diinfeksi 106 sel/ml dapat sembuh pada hari ke 6
sedangkan ikan yang diberi perlakuan 109 sel/ml tidak mengalami persembuhan.
Limpa pada perlakuan 106 sel/ml pada hari ke 1 dan ke 2 terlihat normal,
selanjutnya bengkak pada hari ke 3 namun pada hari ke 4 sampai akhir penelitian
terlihat normal. Pada perlakuan 109 sel/ml organ limpa terlihat normal hari ke 1
dan ke 2 selanjutnya terlihat membengkak pada hari ke 3 sampai akhir penelitian.
Pembengkakan pada organ limpa merupakan salah satu ciri terjadinya infeksi.
Ikan yang diinfeksi 106 sel/ml dapat sembuh pada hari ke 4 sedangkan pada ikan
yang diberi perlakuan 109 sel/ml tidak memperlihatkan persembuhan sampai akhir
penelitian.
Gelembung renang pada ikan yang diberi perlakuan 109 sel/ml terlihat
relatif lebih besar / membengkak pada hari ke 1 sampai hari ke 5 dan normal pada
hari ke 6. Hal ini diduga berkaitan dengan gangguan sirkulasi oksigen di insang
yang meradang.
Terjadinya pembengkakan pada organ hati dan limpa sesuai dengan hasil
penelitian Yuasa et al. (199) yang menyatakan bahwa ikan Rabbit fish Siganus
canaliculatus yang terinfeksi S. Iniae mengalami pembesaran pada organ hati dan
limpa.
Organ otak sebagaimana tertuang pada Tabel 3 diberi keterangan TD
dimaksudkan bahwa pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan mengingat
bahwa ukurannya kecil dan rapuh sehingga sulit untuk dilihat dengan
menggunakan alat dan teknik pengamatan biasa.
Eksoptalmia dan kekeruhan kornea adalah salah satu lesio spesifik yang
banyak ditemukan pada kasus infeksi alami S. iniae (Bromage et al. 1999). Pada
penelitian ini organ mata tidak memperlihatkan perubahan PA diduga waktu

51
perlakuan selama 6 hari belum dapat menyebabkan perubahan atau kerusakan
pada organ mata.

B
A

Gambar 9. Ikan Kerapu macan (E. Fuscogutattus) yang diinfeksi


S. iniae memperlihatkan hemoragi pada rahang dan
operkulum bagian bawah (A) serta sisik rontok (B).

3. Perubahan Histopatologi (HP)

Pemeriksaan histopatologi untuk mengetahui adanya kerusakan jaringan


pada organ akibat infeksi S. iniae dilakukan terhadap insang, mata, otak, hati,
jantung, ginjal, limpa, dan usus. Hasil pengamatan secara deskriptif perubahan
histopatologi dituangkan pada Tabel 5.
Perubahan histopatologi paling banyak terjadi adalah pada organ hati,
selanjutnya diikuti organ ginjal, jantung, usus, limpa, otak, dan insang. Bentuk
perubahan histopatologi pada organ-organ tersebut adalah berupa degenerasi,
nekrosis, kongesti, hemoragi, edema dan radang. Perubahan histopatologi
tersebut memperlihatkan bahwa rute infeksi S. iniae adalah melalui sistem
peredaran darah. Menurut Russo et al. (2006); Inglis (1993) bahwa S. iniae
adalah kelompok bakteri Gram positif yang bersifat septisemik yaitu mampu
bertahan dan bereplikasi pada sistem peredaran darah dan pada beberapa target
organ yang spesifik dan cocok dengan standar kebutuhannya maka akan
menempel dan bereplikasi pada organ target tersebut. Bellanti (1985)

52
mengklasifikasikan Streptococcus kedalam kelompok bakteri yang dapat
menyebabkan infeksi akut.

Tabel 5. Perubahan histopatologi ikan Kerapu macan (E. fuscogutattus) yang


diinfeksi dengan S.iniae

Perlakuan Organ hari ke


1 2 3 4 5 6
K Insang Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Mata Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Otak Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Hati Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Jantung Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Limpa Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Ginjal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Usus Normal Normal Normal Normal Normal Normal
106 Insang Brankhitis Brankhitis Brankhitis Brankhitis Brankhitis Normal
Mata Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Otak Ensefalitis Ensefalitis Ensefalitis Ensefalitis Normal Normal
Hati Degenerasi Hepatitis Degenerasi Hepatitis Hepatitis Normal
Hepatitis
Jantung Epikarditis Perikarditis Perikarditis Myokarditis Myokarditis Normal
Perikarditis

Limpa Normal Splenitis Splenitis Splenitis Splenits Splenits


Ginjal Nefritis Nefritis Nefritis Nefritis Nefritis Normal
Usus Enteritis Enteritis Enteritis Enteritis -Enteritis Peritoni
-Peritoni tis
tis

109 Insang Brankhitis Brankhitis Brankhitis Brankhitis Brankhitis Brankhitis

Mata Normal Normal Normal Normal Normal Normal


Otak Ensefalitis Ensefalitis Ensefalitis Ensefalitis Ensefalitis Normal
Hati Hepatitis Hepatitis Hepatitis Hepatitis Hepatitis Normal
Jantung Normal Perikarditis Perikarditis Perikarditis Perikarditis Perikarditis
Limpa Normal Splenitis Splenitis Splenitis Splenitis Normal
Ginjal Normal Nefritis Nefritis Nefritis Nefritis Nefritis
Usus Normal Enteritis Enteritis Enteritis Enteritis Enteritis

Russo et al. (2006) yang melakukan penelitian karakterisasi S. iniae pada


beberapa ikan hias kelompok cyprinid menyatakan bahwa dalam waktu 2 (dua)
hari setelah infeksi terdapat peningkatan jumlah bakteri dalam darah, limpa,
ginjal dan jantung.
Dalam penelitian ini terbukti bahwa infeksi melalui rute intraperitoneal S.
iniae dengan dosis 10 9 sel/ ml dan 10 6 sel/ ml menyebabkan terjadinya infeksi

53
akut pada organ limpa, ginjal, jantung, insang dan usus. Perubahan histopatologi
akibat infeksi S.iniae tersebut sesuai dengan hasil penelitian Eldar et al. (1999)
yang menyatakan bahwa infeksi S.iniae pada ikan Red drum (Sciaenops ocellatus)
menyebabkan meningitis akut, perikarditis dan infiltrasi multifokal pada organ
pankreas.

A. Insang

Hasil pemeriksaan HP menunjukan lamella insang bengkak dan terjadi


perlekatan (fusi) disertai brankhitis. Brankhitis dicirikan dengan adanya
kongesti, hemoragi, proliferasi sel khlorid dan infiltrasi sel radang Eocinophilik
Granular Cell (EGC) (Gambar 11, 12 dan 13). Jaringan insang normal
dituangkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Jaringan insang normal. Lamella primer (A) dan sekunder (B)
teratur seragam bentuk dan ukurannya. Pewarnaan HE.

Pada perlakuan infeksi 10 9 sel/ml brankhitis terjadi pada hari ke 1 sampai


hari ke 6 sedangkan ikan yang diinfeksi 10 6 sel/ml pada hari ke 1 sampai hari ke
5. Edema dan kongesti pada lamella primer (LP) dan lamella sekunder (LS)

54
seperti tampak pada Gambar (12 dan 13) serta infiltrasi sel radang menunjukaan
bahwa S. iniae yang diinfeksikan dengan rute intraperitoneal mampu memasuki
pembuluh darah insang (pada bagian lamella) pada hari pertama dan menetap
hingga hari ke 6.
Beredarnya antigen hingga lamella, merangsang proliferasi sel khlorid.
Selain itu S. iniae menyebabkan terjadi kongesti dan infiltrasi sel radang EGC ke
jaringan lamella, yang tampak sebagai reaksi peradangan (Gambar 11, 12, 13).
Parameter terjadinya nekrosa seperti ekskresi lendir berlebihan karena
proliferasi sel khlorid, penggabungan (fusi) lamella merupakan suatu indikasi
adanya efek toksik dari suatu bahan dan adanya respon sistem imunitas tubuh
terhadap bahan toksik tersebut.

B
A
A

3 µm

Gambar 11. Insang ikan Kerapu Macan yang diinfeksi S. iniae mengalami brankhitis
dengan lesio kongesti dan hiperemia (A); Infiltrasi
sel radang (B) yang menyebabkan fusi lamella sekunder.

55
Gambar 12. Kongesti pada lamella primer (KP) dan lamella sekunder (KS).
Sebagian lamella menghilang akibat erosi (E), disertai Infiltrasi
sel radang (R). Pewarnaan HE.

EGC

KL

Gambar 13. Perbesaran Gambar 12 memperlihatkan fokus infiltrasi sel radang


EGC (EGC)), dan Sel Khlorid (KL) pada filamen insang.
Pewarnaan HE.

56
B. Otak

Otak ikan yang diinfeksi S. iniae memperlihatkan mengalami ensefalitis


yang ditandai dengan adanya degenerasi neuron, kongesti, demyelinisasi, gliosis
dan infiltrasi sel radang (Gambar 15, 16, 17 dan 18). Jaringan otak normal
dituangkan pada Gambar 14. Pada penelitian ini tidak berhasil didapatkan
struktur meningen yang utuh sehingga tidak diketahui pengaruh infeksi S.iniae
pada meningen. Genus streptococcus pada umumnya menyebabkan meningitis
dan ensefalitis.
Perubahan jaringan otak mulai terjadi pada hari ke 1. Ikan yang diinfeksi
109 sel/ml menunjukan ensefalitis pada hari ke 1 sampai hari ke 5, pada hari ke 6
kongesti dan gliosis masih terjadi. Pada ikan yang diinfeksi 106 sel/ml gejala
ensefalitis terjadi pada hari ke 1 sampai hari ke 4, hari ke 5 dan 6 tidak terdeteksi
adanya perubahan HP yang menciri terhadap ensefalitis.

3 µm

Gambar 14. Jaringan otak normal. Pewarnaan HE.

57
Gambar 15. Lesio pada otak kerapu yang diinfeksi S. iniae berupa
ensefalitis yang ditandai dengan gliosis (G) dan malacia
(M). Pewarnaan HE.

V
M

Gambar 16. Perbesaran salah satu daerah peradangan yang disertai


malacia (M), hyperemia atau kongesti, neokapilarisasi dan
infiltrasi sel radang pada arteri (V).
Pewarnaan HE.

58
M

G
2 µm

Gambar 17. Lesio mikroskopis pada jaringan otak : infiltrasi sel radang
(Gliosis (G)) dan Malacia (M). Pewarnaan HE.

K3
K1

K2

1 µm

Gambar18. Kongesti pada pembuluh darah besar otak (K1), pembuluh


darah lebih kecil (K2), dan pembuluh darah kapiler (K3).
Pewarnaan HE .

59
DN

DN

1 µm

Gambar 19. Degenerasi sel neuron pada jaringan otak (DN), pada neuron
terbentuk vakuol. Pewarnaan Gram.

Menurut Cheville (1999) Malacia yaitu perubahan patologi fokal nekrosis


berupa pelunakan jaringan (liquefavtive) sebagai akibat reaksi enzimatis yang
terjadi karena masuknya toksin. Timothy dalam Gyles & Charles (1993)
menyatakan bahwa kemampuan kelompok bakteri Streptococcus menyebabkan
lesi dipengaruhi oleh faktor virulensi yang dimiliki yaitu Asam hylarunic, Protein
M dan molekul pada permukaan dinding sel yaitu Streptolisin, toksin leukosidal
dan streptokinase.
Meningoensefalitis adalah salah satu lesio spesifik yang banyak ditemukan
pada kasus alami infeksi S. Iniae (Weinstein et al. 1997; Russo et al. 2006;
Bromage & Owens 1999). Pada penelitian ini infeksi sistemik oleh S. Iniae telah
menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga suplai oksigen terganggu dan
menimbulkan lesio iskhemia. Dalam proses reaksi terhadap lesi di otak,
mikroglia mengalami pembesaran, hiperplasia dan otofagia. Neuron yang
mengalami degenerasi dan nekrosa akan difagositosis oleh sel glia. Monosit yang
berasal dari sirkulasi biasanya memasuki neuropil. Menurut Stevens et al,

60
(2002) Gliosis terjadi pada saat jaringan otak mengalami lesi nekrosis. Pada
permulaannya, terjadi respon eksudatif dengan aktivasi mikroglia lokal dan
pengerahan monosit fagositik untuk memfogositosis jaringan yang mati. Cheville
(1999) menyatakan bahwa neurofagia merupakan proses fagositosis sel-sel syaraf
oleh mikroglia.

Infeksi S.iniae menyebabkan timbulnya degenerasi, hal ini sesuai dengan


yang dikatakan Robert (2001), bahwa infeksi bakterial dapat menyebabkan
gangguan metabolisme sel yang bersifat sementara (degenerasi) yang ditandai
adanya akumulasi intraseluler dengan ciri mikroskopik yaitu, banyak sel yang
letaknya berdesakan, sel-sel membengkak, warna lebih pucat; sitoplasma keruh,
tersebar dan kadang-kadang ditemukan adanya vakuola. Menurut Supriyadi et al
(2002) infeksi S.iniae menyebabkan granuloma otak yang selanjutnya
menyebabkan keseimbangan tubuh terganggu sehingga gerakan renang berputar
dan cenderung ke permukaan..

C. Hati.

Perubahan histopatologi organ hati setelah diinfeksi oleh S. iniae adalah :

1. Kongesti yang tampak pada vena sentralis dan sinusoid hati (meluas)
(Gambar 20, 21);
2. Degenerasi dan nekrosa sel hati. Degenerasi berupa degenerasi hidropik
dan degenerasi lemak (Gambar 22);
3. Radang hati yang bersifat multifokal ditandai dengan adanya akumulasi
sel radang limfosit diantara jaringan parenkim dan interstisium disekitar
pembuluh darah (Gambar 21).

Perubahan histopatologi hati ikan uji yang diinfeksi S. iniae 109 sel/ml
terjadi pada hari 1 sampai hari ke 5, pada hari ke 6 tidak terlihat adanya gejala
hepatitis. Ikan yang diinfeksi 106 sel/ml menunjukkan gejala hepatitis pada hari
ke 2 sampai hari ke 5, pada hari ke 6 tidak terlihat ciri-ciri hepatitis namun
terdapat kongesti dan degenerasi parenkim. Diperkirakan pada hari ke 6 sisim
kekebalan tubuh sudah dapat mengatasi perubahan atau kerusakan jaringan akibat
infeksi.

61
EGC
L

2 µm

Gambar 20. Hepatitis, ditandai oleh kongesti (K), infiltrasi sel radang limfosit (L)
diantara sel hati/pada ruang sinus hati, infiltrasi EGC di perivaskuler.
Pewarnaan HE.

Gambar 21. Kongesti pada pembuluh darah hati (K), Peradangan vaskuler
atau vaskulitis (V) dengan infiltrasi sel EGC dan fokus radang
limfositik (R). Pewarnaan HE .

62
EGC
L

2 µm

Gambar 22. Infiltrasi limfosit (L) dan EGC di tepi pembuluh darah.
Hepatosit mengalami degenerasi lemak yang tampak sebagai
vakuola. Pewarnaan HE

EGC

1µm

Gambar 23. Sel radang EGC dan limfosit (L) pada jaringan sel hati
Pewarnaan HE.

63
Degenerasi lemak yang tampak sebagai vakuola dalam sel hati
menunjukan bahwa dalam tubuh terdapat ketidakseimbangan proses normal yang
mempengaruhi kadar lemak di dalam dan di luar jaringan hati akibat gangguan
metabolisme. Menurut Cheville (1990) adanya peningkatan pembentukan lipid di
dalam sel hati akibat toksin yang merusak metabolisme lemak atau hipoksia
menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak yang selanjutnya
mengakibatkan akumulasi sel lemak. Degenerasi sel lemak dan infiltrasi sel
radang EGC pada penelitian ini diduga sebagai reaksi atas adanya toksin S. iniae.
Radang pada organ hati diindikasikan dengan adanya infiltrasi EGC dan
limfosit, hal ini dapat diinterprestasikan bahwa pada jaringan hati telah masuk
agen infeksius S. iniae. Migrasi sel radang merupakan indikasi reaksi tanggap
kebal terhadap zat toksik yang masuk kedalam tubuh dan merupakan mekanisme
pertahanan tubuh untuk menghancurkan agen infeksi. Menurut Ressang (1984.)
radang pada hati secara langsung dapat dipicu dan diakibatkan oleh kuman-kuman
yang mempunyai potensi mengeluarkan toksin.
Radang pada organ hati diindikasikan dengan adanya infiltrasi EGC. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Tizard (1982), bahwa EGC setelah melakukan
fagositosis di dalam pembuluh darah yang hanya beberapa hari saja, kemudian
menjelang kematian EGC bermigrasi ke dalam jaringan. Keberadaan EGC yang
rusak di dalam jaringan akan membantu merangsang secara kimiawi datangnya
makrofag secara kemotaktik untuk melakukan perbaikan dalam jaringan dan
menghancurkan mikroorganisme patogen yang berada dalam jaringan. Menurut
Rukmono dalam Himawan (1973) bahwa radang dapat dipicu oleh infeksi yang
diakibatkan oleh kuman.

D. Ginjal.

Perrera & Sterling (1994) menyatakan bahwa infeksi S. iniae dapat


menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dalam rongga perut, pembengkakan
hati, limpa dan ginjal. Hasil penelitian infeksi S. iniae pada ikan flounder
menunjukan terjadi gejala klinis patologi berupa asites/peritonitis, hemoragi pada
mukosa intestinum, kongesti pada limpa, ginjal, otak dan usus (Anonim, 2006).
Hasil pemeriksaan histopatologi ginjal ikan yang diinfeksi 109 sel/ml
memperlihatkan mengalami radang ginjal (nefritis) pada hari ke 2 sampai hari ke

64
6, sedangkan ikan yang diinfeksi 106 sel/ml mengalami nefritis hari ke 1 sampai
hari ke 5. Nefritis pada ginjal dicirikan dengan adanya infiltrasi sel radang EGC,
degenerasi dan nekrosis tubulus, droplet protein dalam lumen tubulus. Sedangkan
pada glomerulus terjadi deposisi protein hialin, infiltrasi del radang, nekrosa yang
menyebabkan atrofi glomerulus (Gambar 25). Gambaran patologi lain selain
nefritis adalah kongesti dan edema (Gambar 25, 26 dan 27). Gambaran jaringan
ginjal normal dituangkan dalam Gambar 24.

EMHC

2 µm

Gambar 24. Jaringan ginjal normal dengan Extra Medullary Haemapoietic centre
(EMHC)
Penyakit pada ginjal umumnya menunjukan suatu pola tertentu dan hanya
menyerang salah satu diantara keempat kesatuan terpenting pada ginjal, yaitu
glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah (Himawan 1996). Ginjal
pada umumnya terletak antara columna vertebralis dan gelembung renang. Ginjal
mempunyai peran sebagai organ ekskresi yang menyaring bahan limbah yang
tidak bermanfaat dari darah. Proses filtrasi ini dilakukan ginjal pada bagian
nefron glomerulus yang terdiri dari corpus renalis dan tubulus renalis (Anonim,
2008)

65
Pada perlakuan 109 sel/ml maupun 106 sel/ml masing-masing menunjukan
organ ginjal mengalami radang (nefritis). Interstisium memperlihatkan hemoragi
dan kongesti; sedangkan pada parenkim terjadi dilatasi tubulus, degenerasi hingga
nekrosa sel epitel tubulus. Degenerasi ditandai dengan adanya epitel tubuli yang
membengkak. Hal ini berlanjut menjadi nekrosa yang ditandai sitoplasma yang
berisi droplet-droplet (endapan) eosinifilik berupa protein. Adanya kerusakan
epitel tubuli menyebabkan terhambatnya fungsi reasorbsi protein. Edema
interstisialis dan deposit protein pada glomerulus menyebabkan terjadinya
glomerulonefritis. Glomerulonefritis ditandai oleh suatu reaksi radang pada
glomerulus dengan infiltrasi leukosit dan proliferasi sel.

Gambar 25. Glomerulus (GR) mengalami peradangan (R) dan atrofi (AG), Sel
epitel tubulus membengkak mengalami degenerasi (DT). Droplet
Protein hialin pada Glomerulus (PH) dan nekrosis .
Pewarnaan HE.

66
PH

Gambar 26. Kongesti (K), kumpulan infiltrasi sel radang (R) droplet protein
hialin (PH) dan dilatasi tubulus (LT) dan Extra medullary
haemapoeitic centre (EMHC). Pewarnaan HE.

Gambar 27. Lesio pada ginjal berupa infiltrasi sel radang (SR), droplet hialin
(DH) . Tampak extra Medulary Haemapoeitic centre
(EMHC). Pewarnaan HE.

67
Pembengkakan ginjal terjadi akibat kongesti dan peradangan glomerulus
(Glomerulonefritis), infiltrasi sel radang di tepi pembuluh darah, degenerasi sel
epitel pada ginjal diduga disebabkan bakteri patogen S. iniae yang meginfeksi sel-
sel epitel tubulus renalis menyebabkan kerusakan sel tersebut. Infeksi ini
selanjutnya mempengaruhi metabolisme dan proses enzimatis yang menyebabkan
terganggunya fungsi normal ginjal sebagai organ ekskresi dan osmoregulasi, hal
ini mengakibatkan terganggunya proses fisiologis dalam tubuh ikan bahkan dapat
mengakibatkan kematian (Robert 2001).

E. Jantung.

Jantung memperlihatkan perubahan histopalogi berupa kongesti,


hemoragi, perikarditis, epikarditis dan myokarditis. Perubahan lebih spesifik
ditandai oleh infiltrasi sel radang (EGC), ikan yang diinfeksi 109 sel/ml
menunjukkan gejala perikarditidis mulai hari ke 2 sampai hari ke 6 sedangkan
ikan yang diinfeksi 106 sel/ml mengalami epikarditis pada hari ke 1 sampai hari
ke 5 Gambar 29, 30, 31, 32). Radang jantung diindikasikan dari adanya migrasi
sel radang EGC ataupun limfosit. Jaringan jantung normal dituangkan pada
Gambar 28.

Epikarditis adalah peradangan pada bagian epikardium jantung.


Peradangan ini terjadi diduga karena S. iniae yang diinfeksikan secara
intraperitoneal menyebar dirongga abdomen dan thoraks. Organ internal rongga
abdomen memiliki kelembaban tertentu yang memungkinkan bakteri tersuspensi
dalam cairan diantara organ. Adanya lapisan serosa memungkinkan terjadinya
perlekatan bakteri pada permukaannya. Streptococcus. iniae menempel pada
selaput jantung menyebabkan tercetusnya radang, pada perikardium menyebabkan
perikarditis. Selanjutnya radang akan meluas menjadi epikarditis dan
myokarditis. Selain penyebaran langsung, radang juga terjadi akibat penyebaran
melalui rute hematogenus pada pembuluh darah. Hemoragi terjadi karena S. iniae
yang ada dalam pembuluh darah menyebabkan kerusakan endotel kapiler.

68
2µm
Gambar 28. Jaringan jantung normal. Pewarnaan HE.

H
H

4 µm

Gambar 29. Hemoragi (H) pada bagian permukaan (epikardium) jantung.


Pewarnaan HE.

69
EGC

Gambar 30. Infiltrasi EGC dan limfosit (L) diantara otot (miokardium) jantung.
Pewarnaan HE.

EGC

Gambar 31. Infiltrasi sel radang (EGC) dan makrofag (M) pada epikard
jantung. Pewarnaan HE.

70
EGC

Gambar 32. Sel radang (EGC) pada selaput jantung (Perikardium).


Pewarnaan HE.

Pada otot jantung lesio yang terjadi adalah miokarditis yang diciirikan
dengan degenerasi dan infiltrasi sel radang EGC
Menurut Kusumawidjaja (1996) perubahan histopatologi pada jantung
dapat pula diakibatkan oleh infeksi bakteri, biasanya terjadi pada area katup
jantung. Kongesti pada jantung dapat dipicu karena kegagalan ventrikel jantung
mengalirkan darah. Akibat bendungan dan darah yang lamban mengalir maka
permiabilitas bertambah sehingga terjadi hemoragi. Kongesti yang berlebihan
dapat menimbulkan hemoragi.

F. Limpa

Limpa ikan yang diinfeksi 109 sel/ml menunjukkan radang limpa


(splenitis) pada hari ke 2 sampai hari ke 5, sedangkan ikan yang diinfeksi 106
sel/ml mengalami splenitis pada hari ke 2 sampai hari ke 6. Selain splenitis ikan
yang diinfeksi mengalami deplesi pulpa putih. (Gambar 34, 35, 36, 37, 38).
Jaringan limpa normal dituangkan pada Gambar 33.

71
2 µm

Gambar 33. Jaringan limpa normal. Pewarnaan HE.

Perubahan patologi limpa berupa radang (Splenitis) dicirikan oleh adanya


folikel limfoid yang mengalami deplesi, infiltrasi EGC, Melano macrophag
Centre (MMC) dan deposisi protein hialin pada bagian pulpa merah jaringan
limpa serta serositis.
Pembengkakan dan pucat pada limpa diduga terjadi karena dalam aliran
darah terdapat antigen S. iniae, toksin S. iniae yang dikeluarkan masuk dan
menginvasi sel endotel, selanjutnya menginisiasi infiltrasi sel radang (terjadi
infiltrasi sel radang) selain edema, deposisi protein radang (hialin) dan deplesi
pada limpa serta MMC. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan terjadinya
pembengkakan dan pucat.
S. iniae menghasilkan toksin yang dapat larut dalam aliran darah masuk
dalam endotel pembuluh darah. Kerusakan pada endotel menyebabkan
diperoduksinya cytokine sebagai mediator inflamasi, dilanjutkan terjadinya
perenggangan pembuluh darah untuk mempersiapkan hadirnya sel radang,
mekanisme ini yang mengakibatkan terjadinya pengeluaran benda darah
(hemoragi), protein darah ke interstisium, edema dan merangsang Melano

72
macrophag centre (MMC). Menurut Bellanti (1985) fungsi makrofag dalam
respon imun adalah mengingesti dan melenyapkan benda-benda asing dan bahan
yang bersifat merusak. Dalam proses reaksinya makrofag dapat juga menekan
aktivasi limfosit secara nonspesifik dengan mengeluarkan zat anti biologik lain.

Gambar 34. Peritonitis yang diindikasikan dengan sel radang dan MMC pada
bagian serosa (R). Pewarnaan HE.

73
Gambar 35. Limpa. Radang pada pulpa putih diindikasikan dengan deplesi,
MMC, dan deposisi protein hialin (PH).
Pewarnaan HE.

EGC

Gambar 36. Splenitis yang dicirikan dengan infiltrasi EGC di Pulpa putih,
deposisi protein radang (PH) dan fibrin (F).
Pewarnaan HE.

74
EGC
EGC

Gambar 37. Perbesaran Gambat 36 Limpa memperlihatkan Splenitis yang


ditandai infiltrasi EGC di pulpa putih dan deposisi protein
hialin (PH). Pewarnaan HE.

Gambar 38. Limpa. Splenitis ditandai adanya infiltrasi EGC dan


peningkatan MMC. Pewarnaan HE.

75
G. Usus

Usus ikan yang diinfeksi S. iniae menunjukkan enteritis secara konsisten.


Enteritis diindikasikan oleh adanya infiltrasi sel radang (plasma sel, limfosit dan
makrofag) di mukosa. Enteritis pada perlakuan infeksi 10 9 sel/ml terjadi hari ke
6
2 sampai hari ke 6 sedangkan yang diinfeksi 10 sel/ml menunjukan enteritis
pada hari ke 1 sampai hari ke 5, pada hari ke 6 menunjukan peritonitis (Gambar
40 dan 41). Jaringan usus normal dari kelompok kontrol dituangkan pada Gambar
39.

Gambar 39. Jaringan organ usus kelompok kontrol, Sel Goblet (G)
dan sel limfosit (L). Pewarnaan HE.
Usus dan saluran pencernaan ikan yang diinfeksi 10 6 sel/ml maupun 10 9

sel/ml mengalami lesio yang konsisten dari hari ke 1 sampai terakhir berupa
enteritis dan peritonitis dapat terjadi karena melalui organ usus inilah S.iniae yang
diinjeksikan secara intraperitoneal menempel, menginvasi dan memperbanyak
diri. Toksin yang dikeluarkan menyebabkan sel-sel pada mukosa dan serosa
mengalami peradangan yang diindikasikan dengan kongesti dan infiltrasi EGC.
Infiltrasi sel radang terjadi pada lapisan sub mukosa dan lamina propria usus yang
mengandung pembuluh darah. Bakteri yang disuntikkan secara intraperitoneal

76
mampu beredar secara sistemik dan menghasilkan toksin. Hal ini menunjukkan
bahwa lesio enteritis yang ditemukan terjadi secara difus (Gambar 40).

Gambar 40. Lesio pada usus. Infiltrasi sel radang (R), Proliferasi sel
Goblet (G) dan Peritonitis (P). Pewarnaan HE.

Selain itu perubahan yang ditemukan adalah terjadi radang pada serosa
usus (serositis). Hal tersebut terjadi akibat banyaknya pembuluh darah pada lapis
serosa. Miyazaki et al. (1984) menyatakan bahwa infeksi S.iniae menyebabkan
peritonitis yang diindikasikan adanya infiltrasi makrofag pada tunika propria, sub
mukosa dan serosa (Gambar 41).

77
EGC

Gambar 41. Serosa usus. Peritonitis dicirikan dengan hiperemi dan


kongesti, infiltrasi EGC. Pewarnaan HE.

4. Penyebaran S. iniae pada organ pasca infeksi

Hasil pengamatan mikroskopis terhadap adanya bakteri S. iniae pasca


infeksi diperiksa dalam jaringan organ internal dilakukan menggunakan
pewarnaan Gram. Bakteri dapat dikenali dalam bentuk koloni dalam berbagai
ukuran. Letak koloni ditemukan pada pembuluh darah, interstitium, serosa.
Pengamatan dilakukan berdasarkan waktu pasca infeksi dan lokasi penyebaran
pada organ. Pengamatan berdasarkan waktu pasca infeksi tampak pada Tabel 6.
Berdasarkan lokasi tampak pada Gambar 42 sampai 49.
Penyebaran S. iniae pasca infeksi pada ikan yang diberi perlakuan 10 6

sel/ml terdeteksi pada hari ke 1 dan 2 di jaringan otak besar, ginjal, jantung, usus,
hati dan dan limpa, hari ke 3 sampai berakhirnya perlakuan tidak terdeteksi. Pada
perlakuan infeksi 10 9 sel/ml penyebaran S. iniae terdeteksi otak kecil, otak besar,
ginjal, hati, jantung dan mata pada hari ke 1 sampai hari ke 5. Hari ke 6 atau hari
terakhir masa pengamatan tidak terdeteksi pada setiap sampel organ tubuh.
Meskipun dengan pewarnaan Gram ditemukan adanya koloni bakteri pada organ
mata tetapi pada organ tidak ditemukan reaksi radang seperti pada organ lainnya.

78
Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan infeksi pada mata membutuhkan waktu
yang cukup lama (kronis). Hal ini sejalan dengan temuan pada PA yang
menunjukkan tidak ada perubahan pada mata.
Tabel 6. Hasil pengamatan penyebaran S. iniae pada berbagai organ
pasca infeksi

No Hari ke Penyebaran
Perlakuan
10 6 sel/ml 10 9 sel/ml
1 1 Otak besar - Otak kecil
- Usus
2 2 Ginjal - Ginjal
Jantung - Otak kecil; otak besar
Usus - Mata
Hati
Limpa
3 3 Negatif - Ginjal
4 4 Negatif - Ginjal
- Hati
5 5 Negatif - Hati
- Mata
- Jantung
- Ginjal
6 6 Negatif Negatif

79
Gambar 42. Penyebaran S. iniae pada otak. Koloni bakteri (KB) pada sisi
buluh darah (BD), sel glia (SG) yang berisi bakteri, malacia (M)

Gambar 43. Penyebaran S. iniae pada pada bagian interstitialis ginjal (KB).
Tampak juga lesio hemoragi (H). Pewarnaan Gram.

80
DL

Gambar 44. Penyebaran koloni S. iniae pada lumen (KB) dan epitel (B)
saluran empedu (KB), sel hati mengalami degenerasi lemak
(DL). Pewarnaan Gram.

Gambar 45. Penyebaran koloni S. iniae (KB) pada organ limpa, bakteri
terdapat pada pulpa merah limpa. Pewarnaan Gram.

81
Gambar 46. Penyebaran koloni S. iniae (KB) pada pulpa merah limpa, dikelilingi
oleh makrofag (M). Pewarnaan Gram.

Gambar 47. Penyebaran koloni S. iniae (KB) pada ruang peritoneum (KB1)
dan pada tunica muscularis (KB 2) usus. Pewarnaan Gram.

82
2

Gambar 48. Penyebaran koloni S.iniae (KB) pada tunica muscularis usus.
Pewarnaan Gram.

Reisolasi bakeri dari ikan uji yang diinfeksi dilakukan dari beberapa organ
yaitu otak, hati, limpa dan ginjal. Isolat positif S. Iniae diperoleh dari organ ginjal
dan limpa hari ke 2 pada ikan yang diberi perlakuan 10 6 sel/ml, sedangkan ikan 10
9
sel/ml diperoleh dari organ ginjal hari ke 2 dan ke 3.
Dari data hasil pengamatan keberadaan sel bakteri pada sampel organ yang
diperiksa dapat diketahui bahwa pada organ ginjal yang diberi perlakuan infeksi
9
10 sel/ml secara konsisten terdeteksi pada hari ke 2 sampai hari 5. Hari ke 1
hanya terdeteksi pada usus dan otak kecil menunjukan bahwa S. iniae yang
diinfeksikan secara intraperitoneal pada tahap awal diduga langsung menggenangi
rongga peritonium selanjutnya dalam waktu yang singkat melekat pada beberapa
organ yang ada di area tersebut antara lain usus. Pada tahap awal ini S. iniae
mampu melekat dan mereplikasi pada lapis serosa bertahan dari proses fagositosis
dan selanjutnya masuk dalam sistem peredaran darah selanjutnya dengan
mengikuti sistem peredaran darah dimana aliran darah dari jantung disebarkan ke
organ tubuh (Lahav et al. 2004).
Perubahan histopatologi berupa kongesti mengindikasikan adanya
kenaikan jumlah darah di dalam pembuluh darah, kapiler darah tampak melebar

83
penuh terisi eritrosit. Sinusoid hati dan limpa terisi eritrosit. Hemoragi
mengindikasikan keluarnya darah dari pembuluh darah, baik keluar tubuh maupun
ke dalam jaringan tubuh, tampak adanya bintik hemoragi pada lapisan mukosa
atau serosa pada organ tubuh. Perdarahan yang terbatas disebut hematoma. Bila
perdarahan meluas akan terjadi purpura, dan eritrosit terlihat di luar pembuluh
darah (Robert, 2001). Pada penelitian ini infeksi S. iniae terhadap ikan kerapu
terbukti menyebabkan gangguan sirkulasi pada darah, yaitu timbulnya kongesti
dan hemoragi. Perubahan makroskopis pada organ internal yang diinfeksi S. iniae
adalah: organ terlihat bengkak, warna merah tua berkesan suram dan pucat seperti
terjadi pada hati, ginjal otak dan usus.
Infeksi S.iniae menyebabkan timbulnya degenerasi pada hati, dan ginjal.
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Robert (2001), bahwa infeksi bakterial dapat
menyebabkan gangguan metabolisme sel yang bersifat sementara (degenerasi)
yang ditandai adanya akumulasi intraseluler dengan ciri mikroskopik yaitu banyak
sel-sel membengkak, warna lebih pucat; sitoplasma keruh, tersebar dan kadang-
kadang ditemukan adanya vakuola.
Hasil pemeriksaan mikroskopis, ditemukan radang pada organ insang,
otak, jantung, hati, ginjal, limpa dan usus. Keberadaan EGC yang rusak di dalam
jaringan akan membantu merangsang secara kimiawi datangnya makrofag secara
kemotaktik untuk melakukan perbaikan dalam jaringan dan menghancurkan
mikroorganisme patogen yang berada dalam jaringan (Tizard. 1982). Peradangan
didefinisikan rangkaian reaksi yang terjadi pada suatu jaringan apapun
penyebabnya termasuk yang diakibatkan agen patogen (Nabib & Pasaribu 1989;
Rukmono 1973). Peradangan pada dasarnya merupakan suatu mekanisme
perlindungan yang reaksinya bisa merupakan indikasi awal terjadinya suatu
penyakit. Migrasi sel radang merupakan reaksi tanggap kebal terhadap zat toksik
yang masuk kedalam tubuh.
Nekrosis jaringan terjadi karena aktifitas enzim yang menurun sebagai
akibat dari sel yang tidak dapat lagi mengadaptasi perubahan-perubahan yang
terjadi dan apabila berlangsung lama menyebabkan kematian sel . Nekrosis sel
hati diawali rusaknya susunan enzim. Kematian sel dapat disebabkan akibat
toksin bakteri (Darmawan dalam Himawan 1996).

84
Degenerasi lemak terjadi sebagai indikasi adanya akumulasi lemak yang
bersifat abnormal dalam sitoplasma parenkim yang dapat disebabkan oleh suatu
keadaan anoksia, infeksi yang diserta keracunanan dan demam, penyakit
metabolik, gizi buruk, alkohol dan keracunan. Robert (2001) menyatakan bahwa
infeksi bakterial dapat menyebabkan gangguan metabolisme sel yang bersifat
sementara (degenerasi) yang ditandai adanya akumulasi intraseluler dengan ciri
mikroskopik yaitu, banyak sel membengkak, warna lebih pucat; sitoplasma keruh,
tersebar dan kadang-kadang ditemukan adanya vakuola.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa S. iniae yang diisolasi dari ikan
Nila (O. niloticus) berpotensi menginfeksi ikan Kerapu macan (E. fuscoguttatus).
Gejala klinis infeksi S. iniae berupa perubahan warna tubuh menjadi lebih gelap,
hemoragi pada operkulum dan rahang bagian bawah. Perubahan histopatologi
berdasarkan data hasil pengamatan histopatologi, penyebaran S. iniae pasca
infeksi dan hasil reisolasi, beberapa organ terlihat konsisten yaitu ensefalitis pada
otak, nefritis pada ginjal, enteritis dan peritonitis pada usus. Gejala klinis dan
perubahan histopatologi pada ikan yang diberi perlakuan infeksi dengan S. iniae
tidak terlihat secara konsisten sama dengan gejala klinis pada ikan Nila yang
diinfeksi S. Iniae pada uji pengembalian virulensi ataupun beberapa hasil
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini diduga dipengaruhi oleh
karakteristik media hidup S. iniae yang diisolasi dari ikan Nila dengan parameter
pH, suhu, dan salinitas perairan tawar, selanjutnya diinfeksikan pada ikan Kerapu
macan yang merupakan ikan laut, perbedaan karakteristik media hidup dari host
maupun lingkungan dimana inangnya hidup menyebabkan kemampuan
adaptasinya menurun selanjutnya hal ini mempengaruhi tingkat patogenitas.
Menurut Philips et al. (2001), penyebaran atau penularan infeksi bakteri
dipengaruhi oleh : (1) karakteristik “host” terhadap resiko; (2) konsentrasi /
jumlah bakteri dan tingkat keganasan /virulensi; (3) Lingkungan. Kemampuan
merusak sel bakteri (virulensi) terhadap organ inang tegantung kemampuannya
untuk melekat, menembus, menyebar dan berkembang biak pada organ yang
menjadi target (Robbins 1999). Russo et al. 2006 menyatakan bahwa
patogenitas setiap agen patogen sangat berkaitan dengan kemampuannya dalam
memproduksi enzim, toksin dan dalam mengatasi sistem kekebalan inang.

85
Perbandingan gejala klinis dan patologi pada ikan Nila dan Kerapu Macan

Gejala klinis dan patolologi ikan Nila dan Kerapu Macan yang diinfeksi
dengan S.iniae yang diisolasi dari Nila menunjukan kesamaan pada beberapa jenis
lesio. Data perbandingan kesamaan dan perbedaan PA dan patologi dituangkan
pada Tabel 7.

Tabel 7. Data perbandingan gejala klinis, PA dan HP ikan Nila dan Kerapu
Macan yang diinfeksi S. iniae.

Pengamatan Nila Kerapu Macan


106 sel/ml 109 sel/ml

Gejala klinis

Nafsu makan Menurun (h1 – h6) Menurun (h1 – kurang (h1 – h5)
Normal (h7 – h12) h4) Normal (h5- h7)
Normal (h5- h7)
Respon (gebrak & Lemah / Lethargy Lemah / Lethargy Lemah / Lethargy
sentuh)
Berenang Lemah, kepermukaan Lemah, Lemah,
kepermukaan kepermukaan

Patologi Anatomi

Lesio area injeksi ada ada ada


Warna tubuh Lebih gelap Lebih gelap Lebih gelap

Hemoragi Operkulum; rahang Operkulum; Operkulum; rahang


bagian bawah; tubuh rahang bagian bagian bawah
bawah
Sisik Rontok bagian lateral Rontok bagian Rontok bagian
lateral lateral
Sirip Geripis bagian caudal - -
Insang Lesio (erosi) - -
Hati Pucat Pucat Pucat
Bengkak Bengkak Bengkak
Limpa Bengkak Bengkak Bengkak
Ginjal Hemoragi - -
Gelembung renang Membesar - Membesar

86
Tabel 7. Data perbandingan gejala klinis, PA dan HP ikan Nila dan Kerapu
Macan yang diinfeksi S. iniae. (lanjutan)

Pengamatan Nila Kerapu Macan


106 sel/ml 109 sel/ml
HP

Insang - Branchitis (h1 – Branchitis (h1- h6)


h5)
Otak - Encephalitis (h1 – Encephalitis (h1-h5)
h4)
Jantung - Epicarditis (h1)
Pericarditis (h2 – Pericardits (h2 – h6)
h4)
Myokarditis
Hati - Hepatitis (h1-h5) Hepatitis (h1-h5)
Limpa - Splenitis (h2 – Splenits (h2 – h6)
h5)
Ginjal - Nephritis (h1 – Nephritis (h2 – h6)
h5)
Usus - Enteritis Enteritis
Peritonitis ringan Peritonitis

Hasil pengamatan kualitas air

Kualitas media hidup yaitu air merupakan salah satu faktor penentu
terhadap kelangsungan hidup hewan aquatik. Hasil pengukuran nilai parameter
kualitas air selama penelitian secara umum masih menunjukan dalam batas
kewajaran untuk pemeliharaan ikan kerapu macan (Tabel 8).

Tabel 8. Data kualitas air media pemeliharaan uji infeksi Streptococcus


iniae terhadap ikan Kerapu macan (Ephinephelus fuscogutattus).

Parameter Awal Tengah Akhir


Suhu 23 24 23
pH 7–8 7–8 7–8
Salinitas 30 31 32
DO 3,8 3,8 4,4
CO 2.6 mg/l 3 mg / l 3 mg / l

Al Qodri et al (2004) menyatakan bahwa kualitas air yang cocok untuk


kerapu macan adalah suhu 25 – 32 ° C, salinitas 30 – 35 ppt, pH 7 – 8 dan DO < 5
ppm.

87
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pemeriksaan dapat disimpulkan


sebagai berikut :
(1) Streptococcus iniae yang menimbulkan streptococosis pada ikan Nila dapat
menginfeksi ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscogutattus) dengan gejala
klinis penurunan respon terhadap rangsang, nafsu makan dan perubahan
warna tubuh menjadi lebih gelap yang terjadi sebagai akibat septisemia.
(2) Perubahan PA berupa hemoragi pada operkulum bagian bawah, mulut/rahang
bagian bawah dan sisik rontok.
(3) Perubahan histopatologi berupa radang pada organ insang, otak, jantung,
hati, usus, limpa dan ginjal.
(4) Nilai LD 50 Streptococcus iniae terhadap ikan kerapu macan (Ephinephelus
fuscogutattus) adalah 8.98 x 10 8 sel/ ml.
(5) Ikan Kerapu Macan dapat mengalami infeksi secara klinis bila terpapar oleh
S.iniae dengan dosis 106 sel/ml dan 109 sel/ml.
(6) Perubahan patologi anatomi maupun histopatologi pada ikan Kerapu Macan
yang diinfeksi secara buatan denga S.iniae mempunyai karakteristik yang
sama dengan ikan Nila yang terinfeksi S.iniae.

Saran

Dari uraian diatas dapat disarankan bahwa mengingat Kerapu Macan


berpotensi sebagai target infeksi S.iniae, dan selain itu pula mengingat bahwa
S.iniae bersifat zoonosis maka perlu dilakukan kewaspadaan dengan melakukan
pengawasan pada sentra-sentra budidaya ikan dan dipintu masuk dan pengeluaran
wilayah terhadap komoditi yang dilalulintaskan.

88
DAFTAR PUSTAKA

Alimuddin. 2005. Inovasi On Line. Kompas Cyber Media. Diakses 11/


2008

Al Qodri AH, Sujiharno dan Anindiastuti. 2004. Pemilihan lokasi


Pembenihan Ikan Kerapu. Balai Budidaya Laut Lampung. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Halaman 15 dan 19.

Anonim. 2008. FISH. Wikipedia. www.en.wikipedia.org. [Diakses 9/2008]

Anonim. 2007. Metoda Standar Pemeriksaan HPIK Golongan Bakteri.


Puskari. Departemen Kelautan dan Perikanan

Anonim. 2006 b. Bacterial disease. Korea - Us Aquaculture.


http://www.lib.noaa.gov/korea/diseases/bacterial.html. [Diakses
6/2006]

Anonim. 2006 a. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17/2006. Tentang
Penetapan jenis-jenis Hama Penyakit Ikan Karantina, golongan, media
pembawa dan sebarannya.

Anonim. 2005. Streptococcosis. OiE. Institut for International Cooperation in


Animal Biologics. The Centre for Food Security & Public Health.
IOWA STATE UNIVERSITY. http://www.cfsph.iastate.edu. 2005.
[Diakses 7/2006]

Anonim. 2001. Budidaya Ikan Kerapu. Direktorat Jenderal Perikanan


Budidaya, Departemen kelautan dan Perikanan. Hal 19 - 22

Antoro S, HA. Sarwono dan Sujiharno. 2004. Biologi Kerapu. Pembenihan


Ikan Kerapu - Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen
kelautan dan Perikanan. Seri Budidaya Laut ISBN : 979-9890340-6
Hal 4 – 13

Andrews C, A Exell, N Carington. 2003. Manual of Fish Health. Firely


Books. Hal. 208 .

Austin B and DA Austin. 1987. Bacterial Fish Pathogens. Diseases in


Farmed and Wild Fish. John Willey and Sons. Chichester. Hal. 364 .

Bellanti JA. 1993. Imunologi. Georgetown University School of Medicine.


W.B. Sounders Company. Dicetak oleh Gajah Mada University Press.
Hal : 127 – 145.

89
Bromage ES, A Thomas, L Owen. 1999. Streptococcus iniae, a bacterial
infection in barramundi Lates calcarifer. Diseases of Aquatic of
Organisms. Vol. 36 : 177 – 181. Published May 31. [Diakses 10/2007]

Biberstein EL and YC Zea. 1990. Review Veterinary Microbiology.


Blackwell Scientific Publication.

Brooks GF, JS Butel, SA Morse. 2004. Medical Microbiology. Jawetz,


Melnick & Adelbergs. Twentythird Edition -International Edition. Hal
: 231 – 248

Carter GR, 1986. Essentials of Veterinary Bacteriology and Mycology. Third


Edition. Lea & Febiger. Philadelphia. Hal. 109 -115.

Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Second Edition.


Iowa
State. Univesity Press/AMES. Hal 5 – 27.

Conte Jr, John E. 2002. Manual af Antibiotics and Infection Disease.


Treatment and Prevention. Ninth Edition. Lippincott Williams &
Wailkins. Hal 181 - 194

Cowan ST. 1985. Manual for The Identification of Medical Bacteria.


Cambridge University Press. Cambridge. Hal : 78, 100 ,101.

Eldar A, S Pearl, PF Frelier, H Bercovier. 1999. Red drum Scienops


ocellatus mortalities associated with Streptococcus iniae infection.
Diseases of Aquatic organism. Vol. 36 : 121 – 127. [Diakses 7/2007]

Facklam R, J Elliot, L Shewmaker and A Reingold. 2005. Identification and


Caracterization of Sporadic Isolates of Streptococcus iniae Isolated
from Humans. Journal of Clinical Microbiology. Vol. : 43 No. 2, hal
933 – 937. [Diakses 10/2006].

Faddin JF dan Bergeys, 1980. Biochemical Test for Identification of Medical


Bacteria. Second Edition, William & Willkins, Baltimore, London.
Hal 327.

Gyles CL JF Prescott, JG Songer and CO Thoen. 2004. Pathogenesis of


Bacterial infection in Animal. Third Edition. Blackwell Publishing.
Iowa State .Hal 3 – 9; 23 - 37

Himawan S. 1996. Ginjal. Kumpulan kuliah patologi. Bagian Patologi


Anatomi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia – Jakarta. Hal :
9, 159 – 171.

90
Heemstra PC, JE., Randall., 1993. FAO Species Catalog Vol.16 : Grouper of
The world (Family Serranidae, Sub family Ephinephelus). Rome. Food
and Agricultur organization of The United Nation.

Hubert JJ. 1980. Bioassay. Kendall. Hunt Publishing Company. Iowa. 164
hal.

Inglis V, RJ Roberts and NR Bromage. 1993. Bacterial Diseases of Fish.


Institute of Aquaculture. Balckwell Science. Hal. 196 – 210.

Kordi G, 2002. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Penerbit Kanisius.


Yogyakarta. Hal 47 - 52

Kurniastuty T, Tusihadi dan P Hartono. Hama dan Penyakit Ikan kerapu.


Direktorat Jenderal budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan.
2004. Hal 56 - 58

Kusumawidjaja, 1996. Susunan Kardivaskuler. Didalam Himawan, editor.


Kumpulan Kuliah Patologi. Bagian Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia – Jakarta. Hal 252 – 285.

Kvitt H, A Colorni. 2004. Diseases of Aquatic Organism. Vol. 61 : 67 – 73.


Inter Research. www.Int.Res.com. [Diakses 10/2006]

Lahav D, M Eynger, A Huvitz, C Ghittino, A Lublin, A Eldar. 2004.


Diseases of Aquatic Organism. Vol. : 62 : 177 – 180. www. Inter
res.com. [Diakses 09/2007]

Miyazaki T, SS Kobota, N Kaige and T Miyashita. 1984. A Histopathological


Study of Streptococcal Disease in Tilapia. Fish Pathology 19 (3) 167
– 172

Mims CA. 1988. The pathogenesis of Infectious Diseases. 3rd edition.


Academic Press. London. 342 hal.

Nabib R, dan FH Pasaribu. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. PAU


Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Hal 68 – 98.

Nitimulyo KH, Kurniasih, D Dana, Desrina, Alifuddin, H Supriyadi, Widodo,


J Rukmono, M Widjiastuti, DN Satrie, R Ismayasari, Dewi S. 2002.
Deskripsi Hama dan penyakit pada ikan kerapu dan lobster. Pusat
Karantina Ikan – DKP. Hal 36 - 39

Pasaribu FH. 2005. Peran dan arti pengendalian Penyakit Hewan Akuatik
(Aquatic Animals) untuk kesejahteraan masyarakat. Orasi Ilmiah
Guru Besar Tetap Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner. Institut Pertanian Bogor. Hal 8

91
Perrera RP and SK Johnson. 1994. Streptococcus iniae Associated with
Mortality of Tilapia x T. aurea Hybrids. Journal of Aquatic Animal
Health 6 : 335 – 340.

Philips J, P Murray & P Kirk. 2001. The Biology of Desease. Second edition.
Blackwell science. Hal. 269 - 283

Pier GB & Madin SH. 1976. Streptococcus iniae: a Beta Haemolitic


Streptococcus isolated from Amazon Freshwater Dolphin (Inia
geoffrensis). International Journal of Sistematic Bacteriology. 26: 545-
553

Plumb JA. 2002. A guide to Integrated Management of Warm-water and


Cool water Fish Diseases in the Great Lake Basin. Great Lake Fishery
Comission Project. Completion Report. Hal 19 – 25.

Post G. 1987. Text Book of Fish Health. TFH Publication. Hal. : 72 – 73

Ressang AA. 1984. Patologi khusus veteriner. Ed. Ke 2. Denpasar. N.V.


Percetakan. Bali. Hal 81 - 87

Romimohtarto KS. 2005. Biologi Laut. Jambatan – Jakarta. Hal : 71.

Robert JR. 2001. Fish Pathology 3 rd Edition. Bailere, Tyndall, Cadar,


England. Hal. 300 – 316.

Robbins. 1999. Pathologic Basis of Desease. WB. Sounders


Company.Philadephia USA. Hal : 340 – 350.

Russo R, H Mitchell, RPE Yanong. 2006. Aquaculture. Vol. 256 : 105 – 110.
ELSEVER. www.elsever.com/locate/aqua.online. [Diakses :
10/2006]

Sano M, M Minigawa, M tamaki, T hayashibara and Kouki fukuoka. 2000.


Couse of the mass motality of the Rabbit Fishes Cultured in Ishigali
Island. www.snfaffrc.go.jp/English/ wwwsupt. [Diakses 9/2006]

Sarono A, Kamiso HN, Iwan dan Widodo. 1993. Deskripsi Hama dan
Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri. Pusat Karantina Pertanian.
Jakarta. Hal 29 – 33.

Stevens A, JS. Lowe, B Young. 2002. Wheather Basic Histiopatology, A


Color Atlas and Text. Fourtth Edition. Churchill Livingstone.
Edinburgh.

92
Sunyoto P. 1994. Pembesaran Kerapu dengan Keramba Jaring Apung.
Peneba Swadaya. Hal 2, 3 dan 12

Supriyadi H, Effendie J, D Bastiawan. 2002. Penyebaran penyakit


streptococcosis pada beberapa pusat budidaya ikan air tawar. Bogor:
Balai Riset Perikanan Budidaya air tawar. (Technical Report)

Taslihan A, M Murjani, C Purbomartono dan E Kusnendar. 2000. Bakteri


Patogen Penyebab Penyakit Mulut Merah Pada Ikan Kerapu Tikus
(Cromileptus altivelis). Jurnal Perikanan UGM II (2) 57 – 62

Tizard I. 1982. Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi kedua. Fakultas


Kedokteran Hewan Ontario, Universitas Guelph. WB. Saunders Company.
Ontario, Canada. Hal. 18-31.

Varvarigos P. 2001. Gram positive cocco bacteria (Micrococcaceae,


Streptococcaceae) causing systemic disease in intensively farmed fish
in Greece. www.elsever.com/locate/aqua.online. [Diakses :
10/2006].

Weinstein MR, M Litt, DA Kertesz, P Wyper, D Rose, M Coulter, A Mcgeer,


R Facklam, C Ostaach, BM Willey, AlBorczyk, DE Low. 1997.
Invasive InfectionDue to a fish Pathogen, Streptococcus iniae. The
New England Journal of Medicine. Vol. : 337 : 589-594. [Diakses
10/2006]

Yanong RPE and RF Floyd. 2002. Streptococcal Infection of Fish. IFAS


EXTENSION. University of Florida. http://edis.ifas.ulf.edu/FAO057.
[Diakses 7/ 2006]

Yuasa K, N Kitancharoen, Y Kataoka, FA Al-Murbaty. 1999. Streptococcus


iniae, the Causative Agent of Mass Mortality in Rabbitfish Siganus
canaliculatus in Bahrain. Journal of Aquatic Animal Health 11 : 87 –
99

93
LAMPIRAN

94
Lampiran 1. PEMBUATAN PREPARAT HISTOLOGI

Pembuatan Histologi dilakukan tahapan sebagai berikut

1. Sample organ yang telah difiksasi dalam laruran Neutral Bauffer Formalin
(BNF) 10 % didiamkan ± 2 x 24 jam, hingga mengeras (Matang);
2. Sample organ yang telah mengeras dipotong / ditrimming kasar setebal±
0,5 cm;
3. Potongan kemudian dimasukan dalam cetak miring untuk dimasukan
dalam tissue processor automatis.
4. Dehidrasi adalah proses penarikan air dari jaringan dan mencegah
terjadinya pengerutan sampel yang diuji. Sampel jaringan didehidrasi
dalam alkohol bertingkat (Alkohol 70%, 80%, 90%, 95% dan Alkohol
Absolut). Proses ini umumnya dilakukan pada masing-masing cairan
alkohol selama 2 jam.
5. Clearing adalah proses penjernihan dengan menggunakan Xylol (I dan II).
6. Embedding adalah proses pembuatan blok parafin dengan menggunakan
parafin histoplast.
7. Sectioning adalah pemotongan jaringan dengan menggunakan mikrotom
dengan ketebalan 4 – 5 µm. Gelas objek yang berisi jaringan ditempatkan
pada inkubator (suhu 37oC) selama 24 jam.
8. Staining adalah proses pewarnaan jaringan.
Pewarnaan HE :
a) Preparat Histopatologi dicelupkan secara bertahap ke dalam
larutan xylol (I dan II), Alkohol Absolut, Alkohol 95%,
Alkohol 80%, masing-masing dilakukan selama 2 menit,
kecuali perendaman Alkohol 95% dan Alkohol 80%
dilakukan selama 1 menit;
b) Dicuci pada air mengalir (air kran) selama 1 menit;
c) Preparat direndam dalam larutan Mayer’s Haematoxylin
selama 8 menit;
d) Dicuci pada air mengalir selama 30 detik;

95
e) Dicelupkan ke dalam larutan Lithium Carbonat selama 15 –
30 detik;
f) Dicuci dengan air mengalir selama 2 menit;
g) Preparat direndam dalam larutan Eosin selama 2 - 3 menit;
h) Dicuci pada air mengalir selama 30 – 60 detik;
i) Preparat dicelupkan kedalam larutan alkohol 95% dan
Alkohol Absolut I sebanyak 10 celupan;
j) Direndam secara bertahap ke dalam larutan Alkohol
Absolut II, Xylol I, dan Xylol II, masing-masing selama 2
menit kecuali Xylol II, perendaman dilakukan selama 1
menit
Pewarnaan Gram Twort :
ƒ Hilangkan lilin dengan xylene, dari hidrasi secara bertahap
dengan alkohol sampai dengan air;
ƒ Genangi slide dengan 1% crystal violet selama 2 menit;
ƒ Bilas cepat dengan air kran;
ƒ Genangi slide dengan Lugol’s iodine selama 3 menit;
ƒ Bilas cepat dengan air kran;
ƒ Diferensiasi dengan aceton, sampai pewarnaan biru/hitam
berhenti mengalir dari preparat (hanya 1-3 detik jangan
sampai diferensiasi berlebihan), untuk menghentikan
diferensiasi bilaslah slide dengan air kran;
ƒ Counter stain dengan twort’s stain (working solution)
selama 5 menit;
ƒ Bilas dengan alkohol, dehidrasi, bersihkan dengan xylene
dan tempel dengan cover glass (kaca penutup).
Hasil :
ƒ Bakteri dan parasit berwarna biru/biru tua (titik-titik)
9. Mounting

96
Lampiran 2. Data tingkah laku ikan Nila (Oreochromis niloticus)
yang diinfeksi Streptococcus iniae

Perla Tingkah hari ke


kuan laku 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

K Nafsu kurang Kurang Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
makan
Gerakan Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
operkulum
Garakan Lemah Lemah Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
renang

Pasase Nafsu kurang Kurang kurang Kurang kurang Kurang Normal Normal Normal Normal Normal Normal
1 makan
Gerakan Menink Menin Menink Menin Menink Menin Normal Normal Normal Normal Normal Normal
operkulum at kat at kat at kat
Garakan Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Normal Normal
renang Keperm Keperm
ukan ukan
Pasase Nafsu kurang Kurang kurang Kurang Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
2 makan
Gerakan Menink Menin Menink Menin Menink Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
operkulum at kat at kat at
Garakan Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Normal Normal Normal Normal
renang Keperm Keperm Keperm Keperm
ukan ukan ukan ukan

97
Lampiran 3. Data waktu Kematian ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscogutattus) pada uji LD50

Kematian ikan pada hari dan jam ke n Rerata


waktu
Dosis (Ekor)
kematian
(SEL) 1 2 3 4 5 6 7 (Jam)
12 24 48 60 72 84 96 108 120 132 144 156 168 180
I K 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 ∞
106 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 156
8
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 1 163,6
10
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 56
1012 5 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 60
II K 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 ∞
106 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1 168,5
8
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 168
10
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 168
1012 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 4 1 0 103

98
Lampiran 4. Perubahan patologi anatomi ikan Kerapu macan (Epinephelus
Fuscogutattus) yang diinfeksi Streptococcus iniae

No PATOLOGI ANATOMI Jumlah ikan Ikan menciri dari


yang menciri seluruh ikan uji
1 Lesi pada area Injeksi 1 1/28 = 3.5%
2 Warna tubuh menjadi gelap 11 11/28 = 39.2%
3 Hemoragi pada bagian bawah 12 12/28 = 42,8 %
Operkulum
4 Perut bengkak 4 4/28 = 14.2%
6 Sisik rontok 4 4/28 = 14.2%
7 Gelembung renang bengkak 1 1/28 = 3.5%
8 Hati pucat 5 5/28 = 17.8 %
Hati bengkak dan pucat 1 1/28 = 3.5
9 limpa bengkak 1 1/28 = 3.5%
10 Empedu bengkak 1 1/28 = 3.5%

99

You might also like