You are on page 1of 16

LAPORAN KELOMPOK

PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN SOLID


PEMBUATAN SUPOSITORIA

DOSEN
Pramulani Mulya L, M.Farm. Apt

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3 / C2
Atika Farida Harahap 1604015307
Galuh Purnaningrum 1604015290
Hesti Harianti 1604015355
Mirandha Eka Hastuti 1604015139
Nani Ana Fitriyana 1604015179
Presti Aminudin 1604015059
Siska Ana Yuliana 1604015389

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketika pengobatan secara peroral diketahui dapat menimbulkan efek samping
yang tidak dapat dikehendaki dan efek samping yang merugikan, maka pemberian
obat secara parekteral mulai dikembangkan. Bentuk sediaan ini mempunyai
beberapa keuntungan dibandingkan dengan penggunaan secara peroral, yaitu tidak
menyebabkan rasa yang tidak enak, dapat menghindari terjadinya iritasi lambung,
mudah dipakai terutama untuk penderita yang tidaak dpat memakai obat secara
oral, juga untuk anak – anak yang sulit menelan. Selain itu obat yang diabsorpsikan
melalui rektum dapat melalui hati sebelum masuk kedalam sirkulasi sistemik
sehingga mengalami perombakan efek lintas pertam (Anief, 1997:158). Pelepasan
obat merupakan parameter penting proses absorbsi.
Pada sediaan rektal, komposisi dari basis suppositoria atau pembawa dari zat
obat yang dikandungnya dapat berpengaruh banyak terhadap pelepasan obat. Basis
suppositoria adalah basis yang selalu padat dalam suhu ruangan tetapi akan
melunak atau melebur dengan mudah pada suhu tubuh sehingga obat yang
dikandungnya dapat sepenuhnya lepas dari basisnya, setelah dimasukkan dan
memberikan efek. Efek ini dapat berupa efek local maupun sistemik (Ansel,
1989:557 ). Untuk sediaan rektal, basis atau bahan dasar harus dapat melarut atau
melebur dengan mudah pada suhu tubuh sehingga obat yang dikandungnya dapat
sepenuhnya lepas dari basis setelah dimasukkan ke dalam rectum dan dapat segera
memberikan efek yang diinginkan. Efek ini dapat berupa efek local maupun efek
sistemik ( Ansel, 1989 : 576 ).
Dalam praktikum ini kami membuat sediaan rektal supositoria dimana bentuk
dan ukuran supositoria harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah
dimasukkan ke dalam lubang atau celah yang diinginkan tanpa meninggalkan
kejanggalan begitu masuk, harus dapat bertahan untuk suatu waktu tertentu
(Ansel,2005).

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dari praktikum ini yaitu :
1) Mengetahui bentuk sediaan supositoria
2) Mengetahui bahan dasar supositoria
3) Mengetahui dan memahami cara pembuatan supositoria
4) Mengetahui persyaratan supositoria
5) Mengetahui cara mengevaluasi supositoria
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Supositoria


Supositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya
berbentuk torpedo, dapat melunak atau meleleh pada suhu tubuh (Farmakope
Indonesia edisi III). Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, supositoria adalah
sediaan padat dalam berbagai bentuk dan bobot, yang diberikan melalui rektum,
vagina, dan uretra pada umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh.
Sedangkan menurut Depkes RI, Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai
bobot dalam bentuk, yang diberikan melalui rectal,vaginal atau uretra.
Bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah
dimasukkan ke dalam lubang atau celah yang diinginkan tanpa meninggalkan
kejanggalan begitu masuk, har us dapat bertahan untuk suatu waktu tertentu
(Ansel,2005).”
Penggolongan suppositoria berdasarkan tempat pemberiannya dibagi menjadi:
1. Suppositori rectal : Suppositorial untuk dewasa berbentuk lonjong pada satu
atau kedua ujungnya dan biasanya berbobot lebih kurang 2g (Depkes
R.I.,1995).
2. Suppositoria vaginal : umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan berbobot
lebih kurang 5,0 g dibuat dari zat pembawa yang larut dalam air atau yang
dapat bercampur dalam air seperti polietilen glikol atau gelatin tergliserinasi.
3. Suppositoria uretra : suppositoria untuk saluran urine yang juga disebut
“bougie”. Bentuknya ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke
dalam saluran urine pria atau wanita. Suppositoria saluran urin pria
berdiameter 3- 6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih
bervariasi satu dengan yang lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao maka
beratnya ± 4 gram. Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan
beratnya ½ dari ukuran untuk pria, panjang ± 70 mm dan beratnya 2 gram, bila
digunakan oleum cacao sebagai basisnya ( Ansel, 2005).”
4. Suppositoria untuk hidung dan untuk telinga disebut juga “kerucut telinga”,
keduanya berbentuk sama dengan suppositoria uretra hanya ukuran
panjangnya lebih kecil, biasanya 32 mm. suppositoria telinga umumnya diolah
dengan basis gelatin yang mengandung gliserin. Namun, suppositoria untuk
obat hidung dan telinga jarang digunakan (Ansel, 2005).”

Suppositoria rectum umunya dimasukkan dengan jari tangan, biasanya


suppositoria rectum panjangnya lebih kurang dari 32 mm (1,5 inci), dan berbentuk
silinder dan kedua ujungnya tajam. Benruk suppositoria rectum antara lain bentuk
peluru, torpedo atau jari-jari kecil, tergantung pada bobot jenis bahan obat dan basis
yang digunakan. Beratnya menurut USP sebesar 2 g untuk menggunakan basis
oleum cacao ( Ansel,2005 ).”
Penggunaan suppositoria bertujuan :
1. Untuk tujuan lokal seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan penyakit
infeksi lainnya. Suppositoria untuk tujuan sistemik karena dapat diserap oleh
membran mukosa dalam rektum.
2. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat
3. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran
gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati ( Syamsuni,
2005 ).

Pembuatan suppositoria secara umum dapat dilakukan dengan cara


sebagai berikut

1. Bahan dasar yang digunakan supaya meleleh pada suhu tubuh atau larut dalam
cairan yang ada dalam rectum. Obatnya supaya larut dalam bahan dasar
apabila perlu, dipanaskan. Bila obatnya sukar larut dalam bahan dasar maka
harus diserbuk halus.
2. Setelah campuran obat dan bahan dasar meleleh atau mencair, dituangkan
dalam cetakan suppositoria dan didinginkan. Cetakan tersebut dibuat dari besi
dan dilapisi nikel atau logam lain, ada juga dubuat dari plastik. Cetakan ini
mudah dibuka secara longitudinal untuk mengeluarkan suppositoria. Untuk
mencetak basila dapat digunakan tube gelas atau gulungan kertas (Anief,
2004).

Isi berat dari suppositoria dapat ditentukan dengan membuat percobaan


sebagai berikut:

1. Menimbang obat untuk sebuah suppositoria


2. Mencampur obat tersebut dengan sedikit bahan dasar yang telah dilelehkan
3. Memasukakn campuran tersebut ke dalam cetakan
4. Mendinginkan cetakan yang berisi campuran tersebut. Setelah dingin
suppositoria dikeluarkan dari cetakan dan ditimbang
5. Berat suppositoria dikurangi berat obatnya merupakan berat bahan dasar yang
harus ditimbang
6. Berat jenis obat dapat dihitung dan dibuat seragam (Anief, 2004).
Untuk menghindari massa yang hilang maka selalu dibuat berlebih dan
untuk menghindari massa yang melekat pada cetakan maka cetakan
sebelumnya dibasahi dengan parafin, minyak lemak, spritus Saponatus (Soft
soap liniment). Yang terakhir jangan digunakan untuk suppositoria yang
mengandung garam logam, karena akan bereaksi dengan sabunnya dan
sebagai pengganti dapat digunakan larutan Oleum Ricini dalam etanol. Untuk
suppositoria dengan bahan dasar PEG dan Tween tidak perlu bahan pelican
karena pada pendinginan mudah lepas dari cetakan karena mengkerut (Anief,
2004).
Faktor yang mempegaruhi absorpsi obat per rektal yaitu :

1. Faktor fisiologis, antara lain pelepasan obat dari basis atau bahan dasar, difusi
obat melalui mukosa, deteoksifikasi atau metabolisme, distribusi di cairan
jaringan, dan terjadinya ikatan protein di dalam darah atau cairan jaringan.
2. Faktor fisika kimia obat dan basis antara lain kelarutan obat, kadar obat dalam
basis, ukuran partikel, dan basis suppositoria (Syamsuni, 2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat per rektal:

1. Faktor fisiologis antara lain pelepasan uobat dari basis atau bahan dasar,
difusi obat melalui mukosa, detoksifikasi atau metanolisme, distribusi di
cairan jaringan dan terjadinya ikatan protein di dalam darah atau cairan
jaringan.
2. Faktor fisika kimia obat dan basis antara lain : kelarutan obat, kadar obat dalam
basis, ukuran partikel dan basis supositoria
3. Bahan dasar yang digunakan untuk membuat suppositoria harus dapat larut
dalam air atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar yang biasa digunakan
adalah lemak cokelat (oleum cacao), polietilenglikol (PEG), lemak
tengkawang (oleum shorae) atau gelatin (Syamsuni, 2005).

Bahan dasar suppositoria yang ideal harus mempunyai sifat sebagai


berikut :

1. Padat pada suhu kamar sehingga dapat dibentuk dengan tangan atau dicetak,
tetapi akan melunak pada suhu rectum dan dapat bercampur dengan cairan
tubuh.
2. Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.
3. Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat.
4. Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna, dan bau
serta pemisahan obat.
5. Kadar air mencukupi.
6. Untuk basis lemak maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan iodium
dan bilangan penyabunan harus jelas diketahui (Syamsuni, 2007).

Pembuatan suppositoria secara umum dapat dilakukan dengan cara


sebagai berikut:

1. Bahan dasar yang digunakan harus meleleh pada suhu tubuh atau larut dalam
cairan yang ada di rektum.
2. Obat harus larut dalam bahan dasar dan bila perlu dipanaskan. Bila sukar larut,
obat harus diserbukkan terlebih dahulu sampai halus.
3. Setelah campurn obat dan bahan dasarnya meleleh atau mencair, campuran itu
dituangkan ke dalam cetakan supositoria dan didinginkan. Cetakan ini dibuat
dari besi yang dilapisi nikel dan logam lain; ada juga terbuat dari plastik
(Syamsuni, 2005).
Sifat suppositoria yang ideal ;

1. Melebur pada suhu tubuh atau melarut dalam cairan tubuh.


2. Tidak toksik dan tidak merangsang
3. Dapat tercampur (kompartibel) dengan bahan obat.
4. Dapat melepas obat dengan segera.
5. Mudah dituang kedalam cetakan dan dapat dengan mudah dilepas dari cetakan.
6. Stabil terhadap pemanasan diatas suhu lebur.
7. Mudah ditangani.
8. Stabil selama penyimpanan.
Suppositoria dengan bahan dasar lemak coklat (oleum cacao) :

1. Merupakan trigliserida dari asam oleat, asam stearat, asam palmitat; berwarna
putih kekuningan; padat, berbau seperti coklat, dan meleleh pada suhu 310-
340C.
2. Karena mudah berbau tengik, harus disimpan dalam wadah atau tempat sejuk,
kering, dan terlindung dari cahaya.
3. Oleum cacao dapat menunjukkan polimorfisme dari bentuk kristalnya pada
pemanasan tinggi. Di atas titik leburnya, oleum cacao akan meleleh sempurna
seperti minyak dan akan kehilangan inti Kristal stabil yang berguna untuk
membentuk kristalnya kembali.
a) Bentuk α (alfa) : terjadi jika lelehan oleum cacao tadi didinginkan dan
segera pada 0ºC dan bentuk ini memiliki titik lebur 24ºC (menurut
literature lain 22ºC).
b) Bentuk β (beta) : terjadi jika lelehan oleum cacao tadi diaduk-aduk pada
suhu 18º-23ºC dan bentuk ini memiliki titik lebur 28-31ºC.
c) Bentuk β stabil (beta stabil) : terjadi akibat perubahan bentuk secara
perlahan-lahan disertai kontraksi volume dan bentuk ini mempunyai titik
lebur 34º-35ºC.
d) Bentuk γ (gamma) : terjadi dari pendinginan lelehan oleum cacao yang
sudah dingin (20ºC) dan bentuk ini memiliki titik lebur 18ºC.
4. Untuk menghindari bentuk-bentuk Kristal tidak stabil diatas dapat dilakukan
dengan cara :
a) Oleum cacao tidak dilelehkan seluruhnya, cukup 2/3 nya saja yang
dilelehkan.
b) Penambahan sejumlah kecil bentuk Kristal stabil kedalam lelehan oleum
cacao untuk mempercepat perubahan bentuk karena tidak stabil menjadi
bentuk stabil.
c) Pembekuan lelehan selama beberapa jam atau beberapa hari.
5. Lemak coklat merupakan trigliserida, berwarna kekuningan, memiliki bau
khas, dan bersifat polimorf (mempunyai banyak bentuk Kristal). Jika
dipanaskan, pada suhu 30ºC akan mulai mencair dan biasanya meleleh sekitar
34-35ºC, sedangkan pada suhu dibawah 30ºC berupa massa semipadat. Jika
suhu pemanasannya tinggi, lemak coklat akan mencair sempurna seperti
minyak dan akan kehilangan semua inti Kristal stabil yang berguna untuk
memadat. Jika didinginkan dibawah suhu 15ºC, akan mengkristal dalam
bentuk Kristal metastabil. Agar mendapatkan suppositoria yang stabil,
pemanasan lemak coklat sebaiknya dilakukan sampai cukup meleleh saja
sampai dapat dituang, sehingga tetap mengandung inti Kristal dari bentuk
stabil.
6. Untuk menaikkan titik lebur lemak coklat digunakan tambahan cera atau
cetasium (spermaseti). Penambahan cera flava tidak boleh lebih dari 6% sebab
akan menghasilkan campuran yang mempunyai titik lebur diatas 37ºC dan
tidak boleh kurang dari 4% karena akan diperoleh titik lebur < 33ºC. Jika
bahan obat merupakan larutan dalam air, perlu diperhatikan bahwa lemak
coklatnya hanya sedikit menyerap air. Oleh karena itu penambahan cera flava
dapat juga menaikkan daya serap lemak coklat terhadap air.
7. Untuk menurunkan titik lebur lemak coklat dapat juga digunakan tambahan
sedikit kloralhidrat atau fenol, atau minyak atsiri.
8. Lemak coklat meleleh pada suhu tubuh dan tidak tercampurkan dengan cairan
tubuh, oleh karena itu dapat menghambat difusi obat yang larut dalam lemak
pada tempat yang diobati.
9. Lemak coklat jarang dipakai untuk sediaan vagina karena meninggalkan residu
yang tidak dapat terserap, sedangkan gelatin tergliserinasi jarang dipakai untuk
sediaan rectal karena disolusinya lambat.
10. Suppositoria dengan bahan dasar lemak coklat dapat dibuat dengan
mencampurkan bahan obat yang dihaluskan kedalam minyak lemak padat
pada suhu kamar, dan massa yang dihasilkan dibuat dalam bentuk yang sesuai
atau dibuat dengan cara meleburkan minyak lemak dengan obat kemudian
dibiarkan sampai dingin dalam cetakan. Suppositoria ini harus disimpan dalam
wadah tertutup baik, pada suhu dibawah 30ºC.
11. Pemakaian air sebagai pelarut obat dengan bahan dasar oleum cacao sebaiknya
dihindari karena :
a) Menyebabkan reaksi antara obat-obatan didalam suppositoria.
b) Mempercepat tengiknya oleum cacao.
c) Jika airnya menguap, obat tersebut akan mengkristal kembali dan dapat
keluar dari suppositoria.
12. Keburukan oleum cacao sebagai bahan dasar suppositoria :
a) Meleleh pada udara yang panas.
b) Dapat menjadi tengik pada penyimpanan yang lama.
c) Titik leburnya dapat turun atau naik jika ditambahkan bahan tertentu.
d) Adanya sifat polimorfisme.
e) Sering bocor (keluar dari rectum karena mencair) selama pemakaian.
f) Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (Syamsuni, 2007).
Akibat beberapa keburukan oleum cacao tersebut dicari pengganti oleum
cacao sebagai bahan dasar suppositoria, yaitu :

a) Campuran asam oleat dengan asam stearat dalam perbandingan yang dapat
diatur.
b) Campuran setilalkohol dengan oleum amygdalarum dalam perbandingan
17 : 83.
c) Oleum cacao sintesis : coca buta, supositol (Syamsuni, 2007).

Pada pembuatan suppositoria dengan menggunakan cetakan, volume


suppositoria harus tetap, tetapi bobotnya beragam tergantung pada jumlah dan
bobot jenis yang dapat diabaikan.

2.2 Keuntungan, Kerugian dan Tujuan Penggunaan Supositoria


Adapun keuntungan dan kerugian penggunaan suppositoria dibanding
penggunaan obat per oral atau melalui saluran pencernaan, berikut adalah
keuntungan dari penggunaan supositoria :
1. Dapat menghindari terjadinya iritasi obat pada lambung.
2. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan
3. Obat dapat masuk langsung dalam saluradarah dan berakibat obat dapat
memberi efek lebih cepat daripada penggunaan obat per oral
4. Baik, bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar (Anief, 2004)

Kerugian penggunaan bentuk sediaan suppositoria antara lain:


1. Tidak menyenangkan penggunaan
2. Absorbsi obat sering tidak teratur dan sedikit diramalkan.

Kemudian tujuan dari penggunaan suppositoria ini yaitu :


1. Untuk tujuan lokal, seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan penyakit
infeksi lainnya. Suppositoria juga dapat digunakan untuk tujuan sistemik karena
dapat diserap oleh membrane mukosa dalam rectum. Hal ini dilakukan terutama
bila penggunaan obat per oral tidak memungkinkan seperti pada pasien yang
mudah muntah atau pingsan.
2. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih cepat
karena obat diserap oleh mukosa rektal dan langsung masuk ke dalam sirkulasi
pembuluh darah.
3. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal
dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati (Syamsuni, 2005).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Waktu : Kamis, 18 Oktober 2018 (13.00 s.d 15.30)
Tempat : Laboratorium Teknologi Sediaan Solid Steril, Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

3.2 Bahan dan Alat


Bahan : asam salisilat, cera alba, air (untuk pelelehan), paraffin liquid dan
lemak coklat

Alat : hot plate, beaker glass, thermometer, cawan uap, batang pengaduk,
cetakan supositoria, timbangan analitik digital dan sendok tanduk.

3.3 Prosedur Kerja


Pembuatan percobaan supositoria I
- Siapkan dan timbang bahan-bahan
- Lelehkan bahan di cawan uap pada suhu 47ºC, Bahan tersebut diantaranya cera
alba dan oleum cacao
- Masa leburan dimasukkan kedalam cetakan supositoria yang sebelumnya telah
dilapisi dengan sedikit paraffin liquid
- Masukkan kedalam lemari pendingin 4-5 menit hingga mengeras
- Keluarkan supositoria dari cetakan
- Timbang bobot supositoria, uji evaluasi dan kemudian catat.

Pembuatan percobaan supositoria II


- Siapkan dan timbang bahan-bahan
- Lelehkan bahan di cawan uap pada suhu 47ºC, Bahan tersebut diantaranya cera
alba, oleum cacao, dan asam salisilat sebagai bahan aktif
- Masa leburan dimasukkan kedalam cetakan supositoria yang sebelumnya telah
dilapisi dengan sedikit paraffin liquid
- Masukkan kedalam lemari pendingin 4-5 menit hingga mengeras
- Keluarkan supositoria dari cetakan
- Timbang bobot supositoria, uji evaluasi dan kemudian catat.

Pembuatan supositoria
- Siapkan dan timbang bahan-bahan
- Lelehkan bahan di cawan uap pada suhu 47ºC, Bahan tersebut diantaranya cera
alba, oleum cacao, dan asam salisilat sebagai bahan aktif
- Masa leburan dimasukkan kedalam cetakan supositoria yang sebelumnya telah
dilapisi dengan sedikit paraffin liquid
- Masukkan kedalam lemari pendingin 4-5 menit hingga mengeras
- Keluarkan supositoria dari cetakan
- Timbang bobot supositoria, uji evaluasi dan kemudian catat.
3.4 Hasil dan Perhitungan
Percobaan I (2 Supositoria)
Cera alba = 5/100 x 2 g = 0,1 g
Oleum cacao = 95/100 x 2 g = 1,9 g

Hasil penimbangan setelah menjadi supositoria = 1,8324 g

Percobaan II (2 supositoria)
Cera alba = 5/100 x 2 g = 0,1 g
Oleum cacao = 95/100 x 2 g = 1,9 g
Asam salisilat = 0,1 g x 2 g = 0,2 g

Hasil penimbangan setelah menjadi supositoria = 1,8637g


Bahan aktif = 1,8637 g / 10 = 0,18637g

Hasil Supositoria (12 Supositoria)


- Basis = bobot percobaan II – Bahan aktif
- Bobot Faktor Pengganti = Bobot Hasil Keseluruhan
Bobot zat aktif (Percobaan II)
= 0,15507g
0,18637g
= 0,8320g

- M = n (f – fA)
= 12g (2g – 0,8320g x 0,1g)
= 12g (2g – 0,0832)
= 24g – 0,9984g
= 23,0016g

Penimbangan
1. Asam salisilat = 0,1g x 12 =1,2g x 2 = 2,4g
2. Cera alba = 5/100 x 23,0016g =1,15008g + (10% x 1,15008) = 1,26508g
3. Oleum cacao =95/100x23,0016g =21,85152+(10%x21,85152g)=24,0366g

Hasil Uji Evaluasi


1. Organoleptis
Bentuk : Selongsong
Bau : khas coklat
Warna : putih tulang

2. Penampang melintang
Diameter tengah supositoria yang dihasilkan terdapat rongga kosong didalamnya
3. Keseragaman bobot
Supos 1 : 1,8g Supos 7 : 1,9g
Supos 2 : 1,9g Supos 8 : 1,8g
Supos 3 : 1,9g Supos 9 : 1,8g Ʃ = 22
Supos 4 : 1,9g Supos 10: 1,8g x = 1,833
Supos 5 : 1,8g Supos 11: 1,8g
Supos 6 : 1,8g Supos 12: 1,8g

4. Syarat supositoria yang baik


Tidak boleh lebih dari 2 supositoria yang melewati kolom A dan tidak satupun
melewati kolom B.
A B
5% 10%

Rumus = Bi – Br x 100%
Br
Ket :
Bi bobot yang ditimbang
Br bobot rata-rata

Dari table diatas bahwa hasil yang kami peroleh tidak melewati kolom keduanya,
dapat diartikan bahwa supositoria yang kami peroleh adalah baik. Berikut adalah
persentase perolehannya :
a) 1,8 – 1,833 x 100% = 1,8003% g) 1,9 – 1,833 x 100% = 3,6552%
1,833 1,833
b) 1,9 – 1,833 x 100% = 3,6552% h) 1,8 – 1,833 x 100% = 1,8003%
1,833 1,833
c) 1,9 – 1,833 x 100% = 3,6552% i) 1,8 – 1,833 x 100% = 1,8003%
1,833 1,833
d) 1,9 – 1,833 x 100% = 3,6552% j) 1,8 – 1,833 x 100% = 1,8003%
1,833 1,833
e) 1,9 – 1,833 x 100% = 3,6552% k) 1,8 – 1,833 x 100% = 1,8003%
1,833 1,833
f) 1,8 – 1,833 x 100% = 1,8003% l) 1,8 – 1,833 x 100% = 1,8003%
1,833 1,833
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan suppositoria dengan basis oleum
cacao dan zat aktif asam salisilat. Pembuatan suppositoria di awali dengan melakukan
2 percobaan sebagai bahan awal untuk melakukan penghitungan bilangan pengganti.
Bilangan pengganti bertujuan untuk menghitung bahan yang hilang karena proses
pencetakan. Dari kedua percobaan, percobaan pertama hanya menggunakan basis saja
dan percobaan kedua menggunakan zat aktif. Hal ini dilakukan untuk membuat
perbandingan.
Pembuatan suppositoria dilakukan dengan alat bukan mesin, yang berarti
menggunakan alat cetak tapi masih membutuhkan bantuan tangan manusia tanpa mesin.
Jadi semua bahan dilebur dan dimasukan kedalam cetakan, hanya saja cetakan sudah
harus diberikan atau diolesi dengan paraffin liquidum untuk membuat suppositoria
yang terbentuk memiliki bentuk yang bagus. Leburan basis tidak dituang langsung
kedalam cetakan melalui mulut cawan.
Hasil pembuatan suppositoria memiliki bentuk yang bagus, hanya saja dari kedua
belas (12) suppositoria memiliki diameter tengah yang bolong atau terdapat rongga
kosong didalamnya.
Setelah terbentuk, suppositoria dilakukan evaluasi keseragaman bobot agar dapat
diketahui kualitas suppositoria yang dibentuk dan mengetahui kesesuaian suppositoria
yang sudah dibuat. Ditimbang kedua belas (12) suppositoria dan dihitung rata-ratanya,
didapat hasil 1,8 gram dari semua suppositoria yang dihasilkan hanya suppositoria ke
2,3,4 dan 7 yang tidak memenuhi keseragaman bobot karena memiliki bobot diatas
bobot rata-rata yaitu 1,9 gram.
Beberapa kesalahan yang dapat membuat bobot menjadi tidak seragam adalah pada
saat proses pencetakan pada alat basis sudah terlebih dahulu membeku pada pipet
sehingga tidak sempurna pada saat mengisi alat, ketidak telitian saat mengisi alat
suppositoria dan bisa juga karena kesalahan penimbangan.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan persyaratan evaluasi keseragaman bobot pada teori dasar
bahwa persyaratan suppositoria adalah bobot diantaranya terletak antara rentang
85%-115% dari yang tertera dietiket. Maka dari suppositoria yang dihasilkan
bobotnya 95,82% dari bobot yang tertera pada etiket (2gram) atau bobot
suppositoria yang dibuat, dengan begitu suppositoria yang telah dibuat dapat
dikatakan memenuhi persyaratan dan dikatakan sebagai suppositoria yang baik
meskipun empat diantaranya tidak memenuhi bobot.

5.2 Saran
Pada saat pengisian leburan suppositoria dilakukan dengan cepat dan
menggunakan pipet agar tidak menjadi kosong pada diameter tengah nya,
pelumasan pada alat cetakan diberikan tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu
banyak. Tidak terlalu sedikit agar supos tidak sulit untuk dikeluarkan, kemudian
tidak terlalu banyak agar supos tidak terjadi penggompalan.
Daftar Pustaka

Ansel, C.Howard, 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979. Farmakope Indonesia Edisi


III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi


IV, 606, Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978. Formularium Nasional Edisi


II. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Lachman L., Herbert, A. L. & Joseph, L. K., 2008, Teori dan Praktek Industri
Farmasi Edisi III, 1119-1120, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
LAMPIRAN

You might also like