Professional Documents
Culture Documents
2. Struktur Sain
Dalam garis besarnya sain dibagi dua, yaitu sain kealaman dan sain sosial.
Contoh berikut ini hendak menjelaskan struktur sain dalam bentuk nama-nama
ilmu. Nama ilmu banyak sekali, berikut ditulis beberapa saja diantaranya:
1) Sain Kealaman
• Astronomi;
• Fisika: mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir;
• Kimia: kimia organik, kimia teknik;
• Ilmu Bumi: paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogi,
geografi;
• Ilmu Hayati: biofisika, botani, zoologi;
2) Sain Sosial
• Sosiologi: sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan
• Antropologi: antropologi budaya, antropologi ekonomi, entropologi
politik.
• Psikologi: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal;
• Ekonomi: ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan;
• Politik: politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional
Agar sekaligus tampak lengkap, berikut ditambahkan Humaniora.
3) Humaniora
• Seni: seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari;
• Hukum: hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin
dapat dimasukkan ke sain sosial);
• Filsafat: logika, ethika, estetika;
• Bahasa, Sastra;
• Agama: Islam, Kristen, Confusius;
• Sejarah: sejarah Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat dimasukkan ke
sain sosial).
Demikian sebagian kecil dari nama ilmu (sain). Ditambahkan juga
pengetahuan Humaniora (yang mungkin dapat digolongkan dalam sain sosial)
dalam daftar di atas hanyalah dengan tujuan agar tampak lengkap. (Bahan diambil
dari Ensiklopedi Indonesia).
B. Epistemologi Sain
Pada bagian ini diuraikan obyek pengetahuan sain, cara memperoleh
pengetahuan sain dan cara mengukur benar-tidaknya pengetahuan sain.
Rasionalisme
Empirisme
Positivisme
Metode Ilmiah
Metode Riset
Model-model Penelitian
C. Aksiologi Sain
Pada bagian ini dibicarakan tiga hal saja, pertama kegunaan sain; kedua,
cara sain menyelesaian masalah; ketiga, netralitas sain. Sebenarnya, yang kedua
itu merupakan contoh aplikasi yang pertama.
3. Bonus
Netralitas Sain
Pada tahun 1970-an terjadi polemik antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta)
dengan Sadali (ITB). Mukti Ali menyatakan bahwa sain itu netral, sementara
Sadali berpendapat sain tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya memancing, ia
tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu.
Dalam ujaran Mukti Ali, waktu itu, sain itu netral, seperti pisau, digunakan
untuk apa saja itu terserah penggunannya. Pisau itu dapat digunakan untuk
membunuh (salah satu perbuatan jahat) dan dapat juga digunakan untuk perbuatan
lain yang baik. Begitulah teori-teori sain, ia dapat digunakan untuk kebaikan dan
dapat pula untuk kejahatan. Kira-kira begitulah pengertian sain netral itu.
Netral biasanya diartikan tidak memihak. Dalam kata “sain netral”
pengertian itu juga terpakai. Artinya: sain tidak memihak pada kebaikan dan tidak
juga pada kejahatan. Itulah sebabnya istilah sain netral sering diganti dengan
istilah sain bebas nilai. Nah, bebas nilai (value free) itulah yang disebut sain
netral; sedangkan lawannya ialah sain terikat, yaitu terikat nilai (value bound).
Sekarang, manakah yang benar, apakah sain seharusnya value free atau value
bound? Apakah sain itu sebaiknya bebas nilai atau terikat nilai?
Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa persoalan ini bukanlah
persoalan kecil. Ia persoalan besar karena banyak sekali aspek kehidupan manusia
yang diatur secara langsung oleh sain. Jadi, paham bahwa sain itu netral atau sain
itu terikat (tidak netral, memihak), akan mempengaruhi kehidupan manusia secara
langsung. Karena itu sebaiknya kita berhati-hati dalam menetapkan paham kita
tentang ini.
Apa untungnya bila sain netral? Bila sain itu kita anggap netral, atau kita
mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sain
akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala
peneliti (1) memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti,
dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian.
Orang yang menganggap sain tidak netral, akan dibatasi oleh nilai dalam
(1) memilih objek penelitian, (2) cara meneliti, dan (3) menggunakan hasil
penelitian.
Tatkala akan meneliti kerja jantung manusia, orang yang beraliran sain
tidak netral akan mengambil – mungkin – jantung kelinci atau jantung hewan
lainnya yang paling mirip dengan manusia. Orang yang beraliran sain netral –
mungkin – akan mengambil orang gelandangan untuk diambil jantungnya. Orang
yang beraliran sain value bound, dalam epistemologi akan meneliti jantung itu
tidak dengan menyakiti kelinci itu, sementara orang yang menganut sain value
free tidak akan mempedulikan apakah subjek penelitian menderita atau tidak.
Orang yang beraliran sain netral akan menggunakan hasil penelitian itu secara
bebas, sedang orang yang bermazhab sain terikat akan menggunakan produk itu
hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan netralitas sain itu terdapat baik pada
epistemologi, maupun aksiologi sain. Sebenarnya dalam ontologi pun demikian.
Dalam contoh di atas objek dan metode penelitian adalah epistemologi, sedang
penggunaan hasil penelitian adalah aksiologi. Ontologinya ialah teori yang
ditemukan itu. Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini
kebenarannya oleh peneliti.
Apa kerugiannya bila kita ambil paham sain netral? Bila kita paham sain
netral? Bila kita pilih paham sain netral maka kerugiannya ialah ia akan melawan
keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal dari agama. Percobaan pada manusia
mungkin akan diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain
tidak netral akan memilih objek penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk
melihat proses reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma an ovum.
Untuk itu peneliti dari kalangan penganut sain netral tidak akan keberatan
mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum nikah untuk mengadakan
hubungan kelamin yang dari situ diamati bertemunya sperma dan ovum. Peneliti
yang menganut sain tidak netral akan melakukan itu terhadap pasangan yang telah
menikah. Ini pada aspek epistemologi.
Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila paham sain netral itu
telah menerapkan pahamnya pada aspek aksiologi. Mereka dapat saja
menggunakan hasil penelitian mereka untuk keperluan apapun tanpa
pertimbangan nilai.
Paham sain netral sebenarnya telah melawan atau menyimpang dari
maksud penciptaan sain. Tadinya sain dibuat untuk membantu manusia dalam
menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah bermakna bahwa
sain itu tidak netral, sain memihak pada kegunaan membantu manusia
menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu, paham sain
netral justru akan memberikan tambahan kesulitan bagi manusia. Kata kunci
terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti akan membuat teori,
sebenarnya ia telah berniat akan membantu manusia menyelesaikan masalah
dalam kehidupannya, mengapa justru temuannya menambah masalah bagi
manusia? Karena ia menganut sain netral padahal seharusnya ia menganut sain
tidak netral.
Berdasarkan uraian sederhana di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
yang paling bijaksana ialah kita memihak atau memilih paham bahwa sain
tidaklah netral. Sain itu bagian dari kehidupan, sementara kehidupan itu secara
keseluruhan tidaklah netral.
Paham sain tidak netral adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua
agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi,
sebenarnya tidak ada jalan bagi penganut sain netral.
Berikut dikutipkan sebagian dari tulisan Prof. Herman Soewardi, guru
besar Filsafat Ilmu Universitas Padjadjaran Bandung. Kutipan ini dapat digunakan
untuk menambah bahan pertimbangan dalam menentukan apakah sain sebaiknya
netral atau tidak netral.
Menurut Herman Soewardi (Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung ke-36 8 April 2004), dari sudut pandang epistemologi,
sain terbagi dua, yaitu Sain Formal dan Sain Emperikal. Menurutnya, Sain Formal
itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-
simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain
Formal itu netral karena ia berada di dalam kepala kita dan ia diatur oleh hukum-
hukum logika.
Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Sain Emperikal merupakan wujud
konkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain
Emperikal itu tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma
yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan
terhadap jagad raya. Benar bahwa Sain Emperikal itu terdiri atas logika (jalinan
sebab akibat), namun ia dimulai dari suatu pijakan yang bermacam-macam.
Pijakan itu tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak netral karena
dipengaruhi oleh pijakannya itu.
Selanjutnya Herman Soewardi menambahkan uraian berikut. Barangkali
kita menyangka bahwa kausalitas itu dimana-mana sama, biasanya dirumuskan
dalam bentuk proposisi X menyebabkan Y (X Æ Y). Memang begitu. Namun,
bila diamati lebih dalam, ternyata hal itu tidaklah sederhana itu. Baiklah kita
periksa pandangan David Hume, Immanuel Kant dan Al-Ghazali.
David Hume mengatakan bahwa dalam alam pikiran Empiricisme tidak
dapat dibenarkan adanya generalisasi sampai munculnya hukum X Î Y. Dari
suatu kejadian sampai menjadi hukum (teori) diperlukan adanya medium yang
berupa reasoning jalinan sebab akibat yang banyak sekali. Dan reasoning itu tidak
mungkin. Tidak mungkin karena rumitnya itu. Karena itu, hanyalah kebiasaan
orang saja (tidak ada dasar logikanya) untuk menyimpulkan setiap X akan diikuti
Y. Pendapat ini terkenal dengan istilah skeptisisme Hume. Jadi, menurut Hume,
sebab akibat itu sebenarnya tidaklah diketahui.
Immanuel Kant membantah skeptisisme Hume itu dengan mengatakan
bahwa ada pengetahuan bentuk ketiga, yaitu a priori sintetik. Ini menurut Herman
Soewardi, adalah suatu jalinan sintetik yang sudah ada, yang keadaannya itu
diterangkan oleh Kant secara transendental. Inilah medium yang dicari oleh
Hume, yang bagi orang Islam jalinan sintetik itu adalah ciptaan Tuhan yang sudah
ada sejak semula. Suatu kejadian X → Y sebenarnya terjadi di atas medium itu,
kejadian X → Y itulah yang selanjutnya menjadi hukum yang general.
Tampak pada kita bahwa dengan mengikuti acara Emperisisme, siapapun
tidak akan mampu menunjukkan medium itu. Sehubungan dengan ini Kant
mengatakan bahwa Tuhan lah yang menciptakan medium tersebut.
Tentang kemahakuasaan Tuhan itu Al-Ghazali menyatakan lebih tandas
lagi sehubungan dengan hukum X → Y. Kata Al-Ghazali, kekuatan X
menghasilkan Y bukan pada atau milik X itu, melainkan pada atau milik Tuhan.
Bila kapas diletakkan di atas api, kekuatan untuk terjadinya terbakar atau tidak
terbakar kapas itu bukan pada api melainkan pada Tuhan. Terbakarnya kapas oleh
api merupakan suatu regularitas atau kebiasaan atau adat, adat itu dari Tuhan,
namun pada kejadian khusus seperti pada Nabi Ibrahim, api tidak membakar.
Karena Tuhan pada waktu itu tidak memberikan kekuatan membakar pada api. Ini
merupakan hukum kausalitas yang sangat fundamental, bahwa kekuatan pada
penyebab (X) adalah kekuatan Tuhan. Sekarang, istilah yang mendunia untuk
menyatakan kekuatan Tuhan itu ialah faktor Z.
Kekuatan dari atau pada Tuhan itu, baiklah kita sebut faktor Z,
menghasilkan suatu pengertian bahwa kausalitas itu sifatnya berubah dari cukup
(sufficient) menjadi tergantung (contingent) pada faktor lain (dalam hal ini
Tuhan).
Dari kesimpulan itu akan muncul kesimpulan lain, yaitu kausalitas atau
linkage menjadi bergeser dari tidak memperhitungkan kehendak Tuhan ke
memperhitungkan kehendak Tuhan. Dari sini muncul beberapa pergeseran, yaitu:
• Dari deterministik (pasti) bergeser ke stokastik (mungkin);
• Dari sebab akibat terjadi pada waktu yang sama ke sebab akibat terjadi pada
waktu yang berlainan;
• Dari cukup (sufficient) bergeser ke tergantung (contingent) pada faktor Z;
• Dari niscaya (necessary) bergeser ke berganti (sustitutable).
Sain Formal dikatakan netral karena hukum-hukumnya bukan dibuat oleh
manusia. Hukum-hukumnya dibuat oleh Tuhan. Hukum-hukumnya itu ada di
dalam kepala kita.
Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Tidak netral karena ia dibangun
berdasarkan pijakan seseorang pakar yang mungkin berada dengan pakar lain.
Tentang ini Thomas Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut.
DULU KINI KELAK
Sain Emperikal disebut Kuhn Sain Normal (Normal Science). Sain Normal
muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seseorang pakar. Dalam
perkembangannya Sain Normal mengahadapi fenomena yang tidak dapat
diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini
menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga
akan timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah
dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain. Karena itu Sain Normal itu
tidak netral.
Masalah utama Sain Normal ialah masalah penginderaan. Padahal kita
tahu bahwa metode andalan – bahkan metode satu-satunya bagi Sain Normal ialah
observasi (dalam arti luas), sementara observasi itu sangat mengandalkan
penginderaan. Tetapi pada penginderaan inilah kelemahan utama Sain Normal.
Menurut cara berpikir Empirisisme penginderaan adalah modal
fundamental bagi manusia untuk mengetahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan
Kuhn, yang orang ketahui itu tidaklah bersifat tetap, melainkan sementara dan
akan berubah setelah terjadi anomali. Kini pertanyaannya ialah: Mengapa
pengideraan itu ada cacatnya sehingga pendapat para pakar itu sering tidak sama
dan sering berubah? Ini dijawab oleh Richard Tarnas. Tarnas mengatakan bahwa
di depan mata manusia itu ada “lensa” yang memfilter penglihatan “lensa” itu
dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, keterbatasan, trauma dan harapan. Maka, kata
Tarnas, sama dengan Kant, yang ada di benak manusia itu bukanlah jagad raya
yang sebenarnya melainkan sesuatu jagad raya ciptaan manusia itu. Karena itu
kausalitas yang dibangun oleh akal manusia itu menjadi kausalitas yang terlalu
sederhana. Bila manusia mengubah jagad raya (jagad raya buatannya), memang
manusia akan memperoleh apa yang diharapkannya, akan tetapi seringkali disertai
oleh akibat-akibat yang tidak diharapkannya. Kejadian ini (muncul akibat yang
tidak diharapkan) disebut antitetikal dan akibat-akibat yang berupa antitetikal
inilah yang menimbulkan kerusakan-kerusakan di planet kita seperti bolongnya
lapisan ozon.
Kekurangan dalam penginderaan manusia itu, menurut Herman Soewardi,
dapat disempurnakan oleh firman Tuhan. Menurut Herman Soewardi, bila Sain
Normal itu netral ia akan menimbulkan 3R (resah, renggut, rusak). Kayaknya
sekarang kita telah menyaksikan kebenaran thesis Herman Soewardi itu. Karena
itu thesis tersebut perlu mendapat perhatian.
Pengembangan Ilmu
Bila Anda bertemu dengan seseorang yang baru dilantik menjadi rektor
sesuatu perguruan tinggi dan Anda bertanya apa program utamanya, maka Anda
akan mendapat jawaban bahwa program utamanya ialah pengembangan ilmu.
Tentu saja, karena perguruan tinggi pada umumnya adalah gudang ilmu. Namun,
yakinlah Anda banyak orang yang tidak memahami secara tepat apa sebenarnya
pengembangan ilmu itu, termasuk banyak juga dari kalangan rektor yang sedang
menjabat sebagai rektor. Berikut adalah uraian yang tepat mengenai
pengembangan ilmu, bila Anda setuju.
Jika Anda membuka Ilmu Bumi, Anda akan melihat bahwa isinya ialah
teori tentang bumi; buku Ilmu Hayat isinya adalah teori tentang makhluk hidup;
buku Sejarah isinya teori tentang kejadian masa lalu; buku Filsafat isinya teori
filsafat, dan begitulah selanjutnya. Jadi, isi ilmu adalah teori.
Secara umum teori ialah pendapat yang beralasan. Semakin banyak makan
telor akan semakin sehat atau telor berpengaruh positif terhadap kesehatan, adalah
teori dalam sain. Bila permintaan meningkat maka harga akan naik, juga adalah
teori sain. Menurut Plato, penjaga negara (presiden dan menteri) haruslah filosof
dan mereka tidak boleh berkeluarga, jika berkeluarga maka mereka tidak akan
beres menjaga negara. Ini teori filsafat. Jika penduduk suatu negara beriman
bertakwa maka Tuhan akan menurunkan berkah bagi mereka dari langit. Ini salah
satu teori dalam agama Islam. Jin dapat disuruh melakukan sesuatu. Ini teori
dalam pengetahuan mistik. Teori adalah pendapat (yang beralasan).
Karena isi ilmu adalah teori, maka mengembangkan ilmu adalah teorinya.
Ada beberapa kemungkinan dalam mengembangkan teori. Pertama, menyusun
teori baru. Dalam hal ini memang belum pernah dari teori yang muncul, lantas
seseorang menemukan teori baru. Kedua, menemukan teori baru untuk mengganti
teori lama. Dalam kasus ini, tadinya sudah ada teorinya tetapi karena teori ini
sudah tidak mampu menyelesaikan masalah yang mestinya ia mampu
menyelesaikannya, maka teori itu diganti dengan teori baru. Ketiga, merevisi teori
lama. Dalam hal peneliti atau pengembang, tidak membatalkan teori lama, tidak
juga menggantinya dengan teori baru, ia hanya merevisi, ia hanya
menyempurnakan teori lama itu. Keempat, membatalkan teori lama. Ia hanya
membatalkan, tidak menggantinya dengan teori baru. Ini aneh: ia mengurangi
jumlah teori yang sudah ada, ia membatalkan teori dan tidak menggantinya
dengan teori baru, tetapi tetap dikatakan ia mengembangkan ilmu.
Bagaimana prosedur serta langkah-langkah pengembangan ilmu akan amat
ditentukan oleh jenis ilmunya. Itu memerlukan organisasi, ada managernya. Itu
memerlukan biaya tinggi kadang-kadang memerlukan tenaga yang sedikit atau
banyak; memerlukan waktu, ada yang sebentar dari yang lama, bahkan ada yang
sangat lama.
BAB 3
PENGETAHUAN FILSAFAT
2. Struktur Filsafat
Hasil berpikir tentang yang ada dan mungkin ada itu tadi telah terkumpul
banyak sekali, dalam buku tebal maupun tipis. Setelah disusun secara sistematis,
itulah yang disebut sistematika filsafat. Yang inilah yang saya maksud dengan
struktur filsafat.
Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu : antologi, epistemologi, dan
aksiologi. Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan:
• antologi, membicarakan hakikat (segala sesuatu) ini berupa pengetahuan
tentang hakikat segala sesuatu;
• epistmologi, cara memperoleh pengetahuan itu;
• aksiologi, membicarakan guna pengetahuan itu.
Antologi mencakupi banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk di sini,
misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika,
Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain. Epistemologi hanya mencakup
satu bidang saja yang disebut Epistemologi yang membicarakan cara memperoleh
pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap cabang filsafat. Sedangkan aksiologi
hanya mencakup satu cabang filsafat yaitu Aksiologi yang membicarakan guna
pengetahuan filsafat. Inipun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka
struktur filsafat.
Salah satu filsafat yang masih “baru” ialah Filsafat Perennial. Karena baru,
filsafat itu diuraikan ala kadarnya berikut ini.
Filsafat Perennial1
Istilah perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang kemudian
diadopsi ke dalam bahasa Inggris perennial yang berarti kekal (Kommaruddin
Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat
Perennial, 1995:1). Dengan demikian, Filsafat Perennial (Philosophia Perennis)
adalah filsafat yang dipandang dapat menjelaskan segala kejadian yang bersifat
hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalani hidup yang benar,
yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi besar spiritualitas manusia (lihat
Kommaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, 1995:xx). Hakikat itu menjadi inti
pembicaraan Filsafat Perennial, yaitu adanya yang suci (The Sacred) atau yang
satu (The One) dalam seluruh manifestasinya seperti dalam agama, filsafat, seni,
dan sain. Jadi, dalam definisi teknisnya Filsafat Perennial ialah pengetahuan
filsafat tentang yang selalu ada (Budy Munawar Rahman dalam Komaruddin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, hal xii, xxix).
1
Diadopsi dari makalah Adeng Muchtar Ghazali, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan
1997/1998
Berkaitan dengan itu, Aldous Huxley yang dalam pertengahan abad 19
mempopulerkan istilah perennial melalui bukunya The Perennial Philosophy
mengemukakan bahwa hakikat Filsafat Perennial, ada tiga yaitu metafisika,
psikologi dan etika (The Perennial Philosophy, 1945:vii).
Metafisika untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang
merupakan substansi dunia ini baik yang material, biologis maupun intelektual.
Psikologi adalah jalan untuk mengetahui adanya sesuatu dalam diri manusia (yaitu
soul) yang identik dengan Realitas Ilahi. Dan etika adalah yang meletakkan tujuan
kahir kehidupan manusia. Dengan demikian, maka Filsafat Perennial
memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semester ini dengan
Realitas Ilahi itu. Realitas pengetahuan tersebut hanya dapat dicapai melalui apa
yang disebut Plotinus intelek atau soul atau spirit yang jalannya pun hanya
melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang diyakini
oleh kalangan perennialis sebagai berasal dari Tuhan (lihat Komaruddin Hidayat,
1995:xxix).
Pengenalan metafisika lebih dahulu sebelum pengetahuan lainnya
mungkin disebabkan karena perkembangan filsafat pada awalnya adalah
metafisika, sehingga untuk memahami isi alam harus dipahami lebih dahulu
wujud Tuhan. Mengenai psikologi sebagai hal kedua yang harus dikenali adanya
karena kenyataan bahwa Tuhan sebagai tujuank merupakan sesuatu yang tidak
terbatas yang hanya dapat diketahui oleh bagian dari unsur “dalam” manusia.
Atas dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa pembicaraan tentang cara
mengetahui (epistemologi) objek Filsafat Perennial sama artinya dengan
pembicaraan tentang proses batin manusia “menangkap” Realitas Absolut itu.
Metafisika. Filsafat Perennial mengatakan bahwa eksistensi-eksistensi
tertata secara hirarkis (Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religion,
1975:19). Realitas selalu saling terkait, jumlahnya meningkat ketika level-nya
naik. Semakin tinggi eksistensi semakin real ia (Houston Smith, Beyond Post-
Modern, 1979:8).
Melalui Filsafat Perennial disadari adanya Yang Infinite dibalik kenyataan
ini (level of reality). Juga dalam diri manusia (level of selfhood) yang terdiri dari
body, mind, dan soul, dipercayai adanya yang disebut spirit (roh). Alam semesta
dan manusia pada dasarnya hanyalah tajalli atau penampakan infinite atau spirit
yang dalam Islam disebut al-Haqq (Komaruddin Hidayat, 1995:xxxii). Karena
adanya dua level ini maka diyakini dunia ini bersifat hirarkis.
Tingkat-tingkat eksistensi ini menjelaskan bahwa tradisi (agama misalnya)
adalah jalan yang memberi tahu kita tentang cara menempuh “pendakian” dan
tingkat eksistensi yang lebih rendah, yaitu kehidupan sehari-hari, ke tingkat yang
lebih tinggi, yaitu Tuhan melalui pengalaman mistis atau pengalaman kesatuan.
Wujud real ini dapat disamakan dengan klaim Realisme mengenai apa
yang tampak nyata. Tetapi real di sini adalah real dengan sendirinya. Bagi orang
yang telah terbiasa dengan Rasionalisme atau Empirisme pembedaan ini agak sulit
dilakukan. Bukankah manusia sudah real lalu ada realitas lain yang lebih real yang
tampak?
Mengenai hal ini Houston Smith mengemukakan alegori Plato sebagai
analognya. Mengenai alegori Plato bacalah uraian Plato mengenai manusia guna
(cave man) lihat misalnya dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (1990:49-50).
Dalam legenda Plato itu orang yang punya bayangan orang itu adalah sesuatu
yang real, tetapi orang yang punya bayangan adalah lebih real dibandingkan
dengan bayangannya.
Di dalam alegori itu hendak digambarkan juga (oleh Plato) bahwa manusia
yang tidak dilengkapi dengan “cahaya” akan terus berkutat pada bentuk tertentu
dan tidak akan tiba pada dimensi yang lebih tinggi. Hanya dengan “cahaya” itulah
manusia akan mampu melihat adanya dimensi lain yang lebih real daripada ia
lihat sekarang.
Inti alegori itu adalah untuk menggambarkan kemungkinan adanya sesuatu
kehidupan yang lebih tinggi yang sekarang sulit dipahami karena manusia tidak
mampu ikut serta dalam penampakannya. Manusia dikelilingi oleh benda-benda,
benda-benda itu membatasi manusia untuk meningkat ke kualitas lebih tinggi.
Manusia mampu meningkat ke tingkat lebih tinggi itu dengan kemampuan
“cahaya”. Dengan demikian, jelaslah bahwa ada hirarki realitas.
Realitas tanpa batas hanya dapat diungkapkan melalui citra-citra. Melalui
pencitraan itu realitas tanpa batas dapat diukur dalam enam hal yakni energi,
durasi, ruang lingkup, kesatuan, nilai penting, dan kebaikan (lihat Komaruddin
Hidayat, 1995:10). Energi atau kekuatan misalnya, merupakan suatu pengaruh
yang menyebabkan yang lain memberikan respon atas keberadaannya. William
James mengatakan bahwa dikatakan real jika sesuatu menyebabkan kita
berkewajiban untuk berurusan dengannya (William James, Some Problems of
Philosophy, 1971:101).
Suatu wujud dikatakan tak terhingga jika ia memasuki enam kategori di
atas. Misalnya jika energi atau power tak terhingga, ia Maha Kuasa, jika durasi
tak terhingga, artinya durasinya tak terputus, maka ia Abadi; jika ruang
lingkupnya tak terbatas, ia Ada dimana-mana; jika kesatuannya tanpa syarat, ia
Murni (tidak memuat apapun); jika nilai pentingnya diutamakan, ia menjadi
Mutlak; jika kebaikannya ditonjolkan, ia Mahasempurna. Kesemuanya itu adalah
Tuhan.
Pembicaraan mengenai objek utama Filsafat Perennial tentu akan sulit bila
tidak dihubungkan dengan alam sebagai citraan Tuhan. Tuhan dan alam sesuai
dengan hirarkinya masing-masing harus dibicarakan. Pembicaraan ini berakibat
pada penciptaan eksistensi yang hirarkis dari atas ke bawah, yang lebih atas
berarti lebih real yaitu Godhead atau Yang Tak Terhingga, yaitu Tuhan
menyatakan adanya level lebih real bukan berarti level di bawahnya tidak real
melainkan kurang real dibandingkan dengan eksistensi level di atasnya.
Psikologi. Manusia adalah makhluk yang mencerminkan alam raya,
demikian juga sebaliknya. Manusia suatu saat dapat menjadi makrokosmos pada
saat yang lain menjadi mikrokosmos. Kedua kemungkinan itu akan berpengaruh
pada penilaian mana yang lebih baik dalam hirarki kemanusiaan. Yang terbaik
dalam diri manusia adalah yang paling “dalam”, ia adalah basis dan dasar bagi
wujud manusia. Pada basis yang paling dalam inilah kaum sufi menemukan suatu
lokus percakapan antara mansuia dengan Tuhan (lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat
Barat Abad XX, 1983:58).
Untuk memahami lebih jauh tentang kondisi “dalam” manusia, Filsafat
Perennial melihat dua kecenderungan dalam manusia, yaitu Aku-Objek (me) yang
bersifat terbatas dan Aku-Subyek (I) yang dalam kesadarannya tentang
keterbatasan ini mampu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas dari
keterbatasannya.
Filsafat Perennial yang mencoba mencari keabadian, memilih Aku-Subyek
yang tak terhingga yang menenggelamkan diri pada pusat diri yang paling dalam,
menutup segala permukaan inderawi, persepsi maupun pemikiran, dibungkus
dalam kantung jiwa yang bersifat Ilahi, sehingga masuk pada suatu pencapaian
yang bukan jiwa, bukan personal, melainkan Segala-Diri (all-self) yang
melampaui segala kedirian. Filsafat Perennial menggariskan bahwa di dalam
manusia “menginkarnasi” Tuhan yang tak terhingga, jika manusia mampu
membuang penutup-penutup akal indrawi, membuang kerangkeng materi dan
terbang melampaui ruang dan waktu. Kondisi semacam itulah mungkin yang
diungkapkan oleh Gabriel Marcel “Semakin dalam aku menjangkau diriku,
semakin tampak ia melampaui diriku” (lihat Mathias Haryadi, Membina
Hubungan antar Pribadi Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan dan Cinta
Menurut Gabriel Marcel, 1996:49-57).
Manusia mampu menangkap limpahan Aku-Subyek yang tak terbatas di
saat sedang tenggelam dalam tugas yang tidak memberikan sedikitpun perhatian
pada kepentingan pribadi. Dalam bahasa I-Me tidak ada lagi me yang tersisa.
Maqam itu dapat dicapai melalui empat level. Pertama, sebuah kehidupan yang
secara primer diidentikkan dengan kesenangan dan kebutuhan fisik (memberi atau
menerima, hidup sekedar menghabiskan umur) akan bersifat atau bernilai
pinggiran; kedua seseorang yang dapat mengembangkan perhatian pada akal, ini
dapat menjadi diri yang menarik; ketiga, jika manusia dapat beralih pada hati, ia
akan menjadi orang baik; keempat, jika ia dapat melewatinya dan sampai ke roh,
yang menjaga dari lupa diri dan mempertahankan egalitarianisme yakni
kepentingan pribadi sama dengan kepentingan orang lain, ia akan menjadi orang
sempurna (Houston Smith, 1979:18).
Filsafat Perennial bukan berarti tidak menghargai akal. Namun dalam
menghargai akal itu yang dihargai ialah orang yang menggunakannya bukan pada
kemampuan akal itu.
Etika. Suasana batin tertentu pada tataran psikologis ternyata sanggup
menembus sampai kesejatiannya. Itu diperoleh melalui metode-metode tertentu.
Metode itu ialah metode yang biasanya digunakan oleh pejalan mistik atau suluk.
Tetapi Filsafat Perennial tidak membahas itu secara rinci.
Etika adalah kumpulan untuk mengefektifkan usaha transformasi diri yang
akan memungkinkan untuk mengalami dunia dengan cara baru. Melakukan
perubahan, reformasi dan pengaturan akan membawa ke arah kondisi diri yang
baru, mencakup bagaimana prinsip-prinsip untuk mengetahui dunia secara lebih
sejati dari sekedar penampakannya apa adanya.
Isi etika adalah bentuk-bentuk kerendahatian, kedermawanan, ketulusan.
Kerendahhatian merupakan kapasitas untuk membuat jarak diri dengan
kepentingan pribadinya, menjauhkan ego sehingga ia dapat melihatnya secara
objektif dan akurat. Tiga kebaikan utama ini masing-masing berkaitan dengan
tatanan manusia. Ketulusan adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda
secara aktual dan objektif. Kedermawanan adalah melihat orang lain seperti pada
dirinya sendiri, sedangkan kerendahhatian adalah melihat diri sendiri seperti orang
lain.
B. Epistemologi Filsafat
Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang
dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran
(pengetahuan) filsafat.
1. Objek Filsafat
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang
terdalam. Jika hasil pemikiran itu disusun, maka susunan itulah yang kita sebut
sistematika Filsafat. Sistematika atau Struktur Filsafat dalam garis besar terdiri
atas antologi, epistemologi dan aksiologi.
Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti
(dipikirkan)nya. Jika ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan.
Jika yang dipikirkannya hukum maka hasilnya tentulah Filsafat Hukum, dan
seterusnya. Seberapa luas yang mungkin dapat dipikirkan? Luas sekali. Yaitu
semua yang ada dan mungkin ada. Inilah objek filsafat. Jika ia memikirkan
pengetahuan jadilah ia Filsafat Ilmu, jika memikirkan etika jadilah Filsafat Etika,
dan seterusnya.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya
meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin
ada. Sebenarnya masih ada objek lain yang disebut objek forma yang menjelaskan
sifat kemendalaman penelitian filsafat. Ini dibicarakan pada epistemologi filsafat.
Perlu juga ditegaskan (lagi) bahwa saink meneliti objek-objek yang ada
dan empiris; yang ada tetapi abstrak (tidak empiris) tidak dapat diteliti oleh sain.
Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang mungkin
ada, sudah jelas abstrak itu pun jika ada. Cobalah lihat lagi matrik kita pada
Bab 1.
2
Diadopsi dari makalah M. Fahrudin Kaha, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan 1997/1998
Pertama, argumen gerak. Alam ini selalu bergerak. Gerak itu mungkin
berasal dari alam itu sendiri, gerak itu menunjukkan adanya Penggerak. Tuhan
adalah Penggerak Pertama.
Kedua, arguman kausalitas. Tidak ada sesuatu yang mempunyai penyebab
pada dirinya sendiri, sebab itu harus di luar dirinya. Dalam kenyataannya ada
rangkaian penyebab. Penyebab pertama adalah Tuhan yang tidak memerlukan
penyebab yang lain.
Ketiga, argumen kemungkinan. Adanya alam ini bersifat mungkin:
mungkin ada dan mungkin tidak ada. Kesimpulan diperoleh dari kenyataan alam
ini dimulai dari tidak ada, lalu muncul atau ada kemudian berkembang, akhirnya
rusak dan hilang atau tidak ada. Kenyataan ini menyimpulkan bahwa alam ini
tidak mungkin selalu ada. Dalam diri alam itu ada dua kemungkinan atau ada dua
potensi, yaitu ada dan tidak ada, tetapi dua kemungkinan itu tidak akan muncul
bersamaan pada waktu yang sama. Mula-mula alam ini tidak ada, lalu ada.
Diperlukan Yang Ada untuk mengubah alam dari tiada menjadi ada, sebab tidak
mungkin muncul sesuatu dari tiada ke ada secara otomatis. Jadi, Ada Pertama itu
harus ada. Akan tetapi Ada Pertama yang harus ada itu dari mana? Kembali lagi
kita menghadapi rangkaian penyebab (tasalsul). Kita harus berhenti pada Ada
Pertama yaitu yang Harus Ada.
Keempat, argumen tingkatan. Isi alam ini ternyata bertingkat-tingkat
(levels). Ada yang dihormati, lebih dihormati, terhormat. Ada indah, lebih indah,
sangat indah, dan seterusnya. Tingkat tertinggi menjadi penyebab tingkat di
bawahnya. Api yang mempunyai panas yang tinggi menjadi penyebab panas yang
rendah di bawahnya, begitu seterusnya. Yang Maha Sempurna adalah penyebab
yang sempurna, yang sempurna adalah penyebab yang kurang sempurna. Yang
atas menjadi penyebab yang bawah. Tuhan adalah Yang Tertinggi, Ia Penyebab
yang di bawah-Nya.
Kelima, argumen teologis. Ini adalah argumen tujuan. Alam ini bergerak
menuju sesuatu, padahal mereka tidak tahu tujuan itu. Ada sesuatu Yang
Mengatur alam menuju tujuan Alam. Itu adalah Tuhan (lihat Ahmad Tafsir,
Filsafat Umum, 1997:86-88).
Argumen yang dikemukakan Thomas Aquinas itu sebenarnya tidak akan
membawa kita memahami Tuhan secara sempurna. Argumen-argumen itu
memiliki kelemahan. Karena itu Kant menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat
dipahami melalui akal (ia menyebutnya akal teoritis) Tuhan dapat dipahami
melalui suara hati yang disebut moral. Adanya Tuhan itu bersifat harus, hati saya
kata Kant, yang mengatakan Tuhan harus ada. Kant mengatakan bahwa adanya
Tuhan bersifat imperatif. Siapa yang memerintah? Ya, suara hati atau moral itu.
Menurut Kant indera dan akal itu terbatas pada kemampuannya. Indera
dan akal (maksudnya: rasio) hanya mampu memasuki daerah fenomena, bila
indera masuk ke daerah noumena maka ia akan sesat dalam antinomi, akal bila
memasuki daerah noumena ia akan tersesat dalam paralogism. Daerah noumena
itu hanya mungkin diarungi oleh akal praktis, demikian kata Kant (lihat Ahmad
Tafsir, 1997:159). Akal praktis adalah moral atau suara hati.
Menurut Kant akal teoritis (akal rasional) tidak melarang kita
mempercayai Tuhan, kesadaran moral (suara hati) kita memerintahkan untuk
mempercayai-Nya. Roussenau benar ketika ia mengatakan bahwa di atas akal
rasional di kepala ada perasaan hati: Pascal benar tatkala ia menyatakan bahwa
hati mempunyai akal miliknya sendiri yang tidak pernah dapat dipahami oleh akal
rasional (Will Durant, The Story of Philosophy, 1959:278).
Argumen-argumen akliah tentang adanya Tuhan, juga tentang yang gaib
lainnya, yaitu objek-objek metarasional, tidak dapat dipegang kebenarannya; bila
akal (rasio) masuk ke daerah ini ia akan tersesat ke dalam paralogisme. Inilah
pendirian Kant. Argumen akliah tentang ini lemah. Kant mengemukakan contoh
argumen yang sering dikemukakan theolog rasioinalis untuk membuktikan adanya
Tuhan, yaitu argumen pengaturan alam semesta.
Di dalam argumen ini dikatakan bahwa alam ini teratur, yang mengatur
adalah Maha Pengatur, yaitu Tuhan. Alam teratur, memang kata Kant. Banyak isi
alam ini yang begitu teratur yang dapat membawa kita kepada kesimpulan adnaya
Tuhan yang mengaturnya. Akan tetapi, kata Kant, kita juga menyaksikan bahwa
alam ini mengandung juga banyak ketidakteraturan, kekacauan, bahkan
menyebabkan kesulitan dan kematian. Jadi, terdapat perlawanan. Inilah salah satu
contoh paralogisme, itu. Kant mengakui bahwa keteraturan itu memang ada bila
alam itu dilihat secara keseluruhan, akan tetapi itupun tidak kuat untuk dijadikan
bukti adanya Sang Pengatur. Tuhan tidak dapat dibuktikan adanya dengan akal
teoritis (maksudnya rasio). Inilah thesis utama Kant dalam hal ini (lihat lebih jauh
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, 1997:162).
Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa filsafat (dalam hal ini akal
logis) dapat berguna untuk memperkuat keimanan, ini menurut sebagian filosof,
seperti Thomas Aquinas; tetapi menurut filosof lain, seperti Kant, bukti-bukti
akliah (dalam arti rasio) tentang adanya Tuhan sebenarnya lemah, bukti yang kuat
adalah suara hati. Suara hati itu memerintah, bahkan rasio pun tidak mampu
melawannya.
Berikut adalah uraian lain yang mengupas kegunaan filsafat bagi
pengembangan hukum islami.
3
Diadopsi dari makalah Didi Mashudi, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan 1997/1998
Keseluruhan unsur pokok di atas bila dilihat dari sudut sifatnya, ia dapat
dibagi dua. Pertama, bersifat tetap, tidak berpengaruh oleh kondisi tertentu, seperti
sebagai aqidah dan seluruh ibadah mahdhah; dalam hal ini ijtihad tidak berlaku
padanya. Kedua, yang bersifat dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu,
inilah bidang ijtihad.
Tujuan utama diturunkannya hukum islami (fikih) ialah untuk
menciptakan kemaslahatan hidup manusia, yang dimaksud kemaslahatan ialah
kebaikan. Jelasnya, pembentukan fikih itu sejalan dengan tuntutan kemaslahatan
manusia.
Untuk menjamin kemaslahatan itu ditetapkan beberapa asas hukum islami,
yaitu:
Adam al-haraj, artinya tidak sulit dalam melaksanakannya (QS. 7:157)
Al-Takhlif, ringan serta mampu dilaksanakan (QS. 2:286; 4:28)
Al-Taysir, mudah sesuai kemampuan (QS. 2:185; 22:78)
Itu berarti hukum islami dibentuk atas dasar prinisp menghilangkan
kesempitan karena kesempitan itu menyebakan kesulitan. Prinsip lain yang
mendasari hukum islami ialah daf’ al-dlarar, menghilangkan bahaya (QS. 2:25;
195; 4:12; 2:231). Prinsip lain lagi ialah al ta’assuf fi isti’mal al-haqq yakni boleh
melakukan sesuatu asal tidak membahayakan yang lain (QS. 2:223; 65:6; 7:31;
5:87). Dari sini lahirlah kaidah ushul al-fiqh yang berbunyi “menolak bahaya
didahulukan daripada mengambil maslahat”.
Hukum islami yang dijadikan aturan beramal ada di dalam fikih sebagai
kumpulan hukum. Fikih (dalam arti kumpulan hukum) itu dibuat berdasarkan
kaidah-kaidah hukum (yang berfungsi sebagai teori) yang digunakan dalam
menetapkan hukum tersebut. Ternyata kaidah-kaidah pembuatan hukum (ushul al-
fiqh) itu dibuat berdasarkan teori-teori filsafat. Karena itu manthiq (mantik,
logika) amat penting bagi ulama ushul al-fiqh.
Selain itu dalam ushul al-fiqh filsafat berguna juga dalam menafsirkan teks
dan memberikan kritik ideologi.
Dalam menafsirkan teks wahyu atau teks hadis yang akan dijadikan
sumber aturan hukum. Misalnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan
al-Sunnah yang zhanniy yang penafsirannya kadang-kadang memerlukan ta’wil
dan penafsiran metaforis.
Dalam memberikan kritik ideologi, yakni menggunakan fungsi kritis
filsafat. Pemikiran cara filsafat amat diperlukan dalam menganalisis ideologi
secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya dan
membuka kedok yang mungkin berada di belakangnya. Dalam hal ini filsafat itu
dapat melakukan dua hal. Pertama, kritik terhadap ideologi saingan yang akan
merusak Islam atau masyarakat Islam, kedua kritik terhadap hukum islami,
misalnya mempertanyakan apakah hukum itu seperti itu, apakah itu sesuai dengan
esensi yang dikandung oleh teks yang dijadikan dasar hukum tersebut.
Kesimpulannya, memang benar, filsafat, khususnya filsafat sebagai
metodologi, berguna bagi pengembangan hukum dalam hal ini hukum islami.
Bagi perkembangan bahasa pun filsafat ada gunanya. Cobalah renungkan
uraian berikut ini.
4
Diadopsi dari makalah Tarmana Abdul Qasim, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan
1997/1998
Di antara problem yang dihadapi bahasa ialah dalam pemeliharaannya.
Bahasa sering tidak mampu membebaskan diri dari gangguan pemakainya. Orang
awam sering merusak bahasa, mereka menggunakan bahasa tanpa mengikuti
kaidah yang benar. Kerusakan bahasa tersebut biasanya disebabkan oleh tidak
digunakannya kaidah logika. Logika itu filsafat.
Filosof adalah “protoype” orang bijaksana. Orang bijaksana tertentu harus
menggunakan bahasa yang benar. Bahasa yang benar itu akan mampu mewakili
konsep logis yang dibawakannya. Karena itu pada logikalah kita menemukan
kaitan erat antara bahasa dan filsafat. Dan pada logika pula kita temukan manfaat
konkret bahasa. Peran logika dalam bahasa ialah memperbaiki bahasa, logika
dapat mengetahui kesalahan bahasa. Peran ini diakui oleh Ibrahim Madkur
sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Samirra’i (Fiqh al-Lugah al-Muqararn, tt:18)
yang mengatakan bahwa kaidah bahasa khususnya bahasa Arab, tepatnya Nahwu
telah dipengaruhi oleh Logika Aristoteles dalam beberapa hal. Pertama,
menggunakan kias atau analogi sebagai kaidah dalam Nahwu sebagaimana
digunakan dalam logika. Pembagian kata menurut Sibawayh menjadi ism, fi’il,
hurf mungkin dipengaruhi oleh pembagian Aristoteles kata benda, kata kerja dan
adat. Kedua, munculnya Nahwu Siryani pada sekolah Nashibayn pada abad ke-6
Masehi bersamaan dengan munculnya pakar Nahwu yang pertama.
Kekeliruan dalam berbahasa melahirkan kekeliruan dalam berpikir.
Berikut beberapa contohnya (lihat Mundiri, Logika, 1994:194). Pertama,
kekeliruan karena komposisi. Misalnya kekeliruan dalam menetapkan sifat pada
bagian untuk menyifati keseluruhan, seperti “Setiap kapal perang suatu negara
telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut telah siap tempur” atau “Mur
ini sangat ringan karena itu mesin ini sangat ringan pula, Kedua, kekeliruan dalam
pembagian atau devisi, yaitu kekeliruan karena menetapkan sifat keseluruhan
maka keliru pula dalam menetapkan sifat bagian. Misalnya, “Kompleks
perumahan ini dibangun pada daerah yang sangat luas tentulah kamar-kamar
tidurnya luas juga”, Ketiga, kekeliruan karena tekanan. Ini terjadi dalam
pembicaraan tatkala salah dalam memberikan tekanan dalam pengucapan.
Misalnya, “Karena kekenyangan ia tertidur”, bila tekanan pada kekenyangan
(“karena kekenyangan ia tertidur”) maka arti kalimat itu akan berbeda dari kalimat
yang pertama: yang pertama biasa yang kedua mengejek. Keempat, kekeliruan
karena amfiboli. Amfiboli terjadi bila kalimat itu mempunyai arti ganda.
Contohnya seperti “Mahasiswa yang duduk di kursi paling depan …” Mahasiswa
yang paling depan atau kursinya, dua-duanya mungkin.
Kesimpulannya ialah filsafat sangat berperan dalam menentukan kausalitas
bahasa. Tanpa peran serta filsafat (logika) kekeliruan dalam bahasa tidak mungkin
dapat diperbaiki.
Selain itu perkembangan berpikir atau filsafat akan diikuti oleh
perkembangan bahasa. Kata al-muru’ah asalnya ialah al-mar’u yang berarti
seorang lelaki tulen (al mar’u al-muktamil). Jadi kata itu hanya menunjukkan pada
seseorang. Tetapi dalam filsafat kata itu sudah mengandung banyak arti seperti
potensi, kekuatan, semangat, perasaan, lelaki, pemberani, amanah dan lain-lain.
Kata al-‘aql arti awalnya ialah tali, alat pengikat. Kata Nabi SAW i’qilha wa
tawakkal, ikat untamu lalu tawakkal. I’qil dari kata al-‘aql. Dalam filsafat, akal
memiliki pengertian jauh lebih luas daripada itu. Kata akidah (aqidah) demikian
juga.
Contoh-contoh itu menjelaskan bahwa filsafata berhubungan dengan
bahasa. Hubungan itu sangat erat bahkan menjelaskan bahwa perkembangan
filsafat mempengaruhi perkembangan bahasa, mungkin juga sebaliknya.
Kesimpulannya: filsafat berguna bagi bahasa.
Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tashawwuf, Ramadhani, 1989.
Abdul Qadir Zailani, Koreksi terhadap Ajaran Tashawuf, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Aldous Huxley, ThePerennial Philosophy, New York: Harper and Row, 1945.
Ensiklopedi Islam.
Fred N. Kerlinger, Foundation of Behavior Research, New York: Holt, Rinehart
and Winston, 1973.
Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religion, New York : Harper and
Row, 1975.
Herman Soewardi, Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah Kuat dan Berijtihad
(Suatu Kognisi Baru tentang Islam), Bandung: Diterbitkan sendiri oleh
Pengarangnya, 1999.
Joe Park, Selected Reading in The Philosophy of Education, New York: The
MacMillan Company, 1960.
Kamus Umum Bahasa Sunda, Panitia Kamus LBSS, Bandung: Tarate, 1992.
K. Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1983.
Lembaga Seni Bela Diri Hikmatul Iman, Buku Pegangan Anggota, Bandung:
LSBDHI, 1993.
Muhammad Isa Daud, Hiwar al-Syawafy ma’a Jinniy al-Muslim, Terjemahan Afif
Muhammad dan H. Abdul Adhiem, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Muhammad bin Abdul Wahab, al-Tauhid alladzi huwa Haqqullah ‘ala al-‘Abid,
Libanon: Dar al-‘Arabiyyah, 1969.
Wahid Abdul Salam, Wiqayat al-Insan min al-Jinny wa al-Syaithan, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1998.
Will Durant, The Story of Philosophy, New York: Simon and Schuster, Inc.,
1959.