You are on page 1of 95

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara ditentukan dengan

perbandingan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan angka kematian

perinatal. Dikemukakan bahwa angka kematian perinatal lebih mencerminkan

kesanggupan satu negara untuk memberikan pelayanan kesehatan (Manuaba,

2009). Masih tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) menunjukkan kondisi

derajat kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih memprihatinkan.

Kesehatan neonatal dan maternal. Tingginya kematian anak pada

usia hingga satu tahun, yaitu sepertiganya terjadi dalam satu bulan pertama

setelah kelahiran dan sekitar 80 persen kematian neonatal ini terjadi pada

minggu pertama, menunjukkan masih rendahnyastatus kesehatan ibu dan bayi

baru lahir; rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak

khususnya pada masa persalinan dan segera sesudahnya; serta perilaku (baik

yang bersifat preventif maupun kuratif) ibu hamil dan keluarga serta

masyarakat yang belum mendukung perilaku hidup bersih dan sehat.

Angka kematian bayi pada kelompok termiskin adalah 61 per 1.000

kelahiran hidup, jauh lebih tinggi daripada golongan terkaya sebesar 17 per

1.000 kelahiran hidup. Penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian

balita dan bayi seperti infeksi saluran pernafasan akut, diare dan tetanus, lebih

sering terjadi pada kelompok miskin. Rendahnya status kesehatan penduduk

1
miskin ini terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan

karena kendala kendala biaya (cost barrier), geografis dan transportasi.

Perubahan perilaku merupakan penyebab langsung kematian bayi dan balita

sebenarnya relatif dapat ditangani secara mudah, dibandingkan upaya untuk

meningkatkan perilaku masyarakat dan keluarga yang dapat menjamin

kehamilan, kelahiran, dan perawatan bayi baru lahir yang lebih sehat.

Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memperbaiki perilaku keluarga

dan masyarakat, terutama perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk upaya

mencari pelayanan kesehatan serta memperbaiki akses, memperkuat mutu

manajemen terpadu penyakit bayi dan balita, memperbaiki kesehatan

lingkungan termasuk air bersih dan sanitasi, pengendalian penyakit menular,

dan pemenuhan gizi yang cukup.

Asfiksia merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas

bayi baru lahir dan akan membawa berbagai dampak pada periode neonatal

(Radityo, 2011). Diperkirakan bahwa sekitar 23% dari seluruh angka kematian

neonatus di seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum dengan

proporsi lahir mati yang lebih besar (Depkes, 2007). Laporan dari World

Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003

asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab

kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis

neonatorum, dan kelahiran prematur. Di Indonesia, angka kejadian asfiksia di

Rumah Sakit Propinsi Jawa Barat ialah 25,2%, dan angka kematian karena

asfiksia di rumah sakit rujukan propinsi di Indonesia sebesar 41,94%

2
(Dharmasetiawani, 2008).

Menurut Fahrudin (2008), faktor resiko yang berpengaruh terhadap

kejadian asfiksia neonatorum adalah usia ibu, status kunjungan antenatal care,

riwayat obstetri, kelainan letak janin, ketuban pecah dini, persalinan lama,

berat lahir bayi, dan tindakan sectio caesarea. Asfiksia akan menyebabkan

keadaan hipoksia dan iskemia pada bayi. Hal ini berakibat kerusakan pada

beberapa jaringan dan organ dalam tubuh. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Mohan. bahwa kerusakan organ ini sebagian besar terjadi pada

ginjal (50%), sistem syaraf pusat (28%), sistem kardiovaskular (25%), dan

paru (23%).

Asfiksia perinatal masih merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas pada bayi baru lahir di negara berkembang maupun di negara maju.

Di negara maju angka kejadian asfiksia berkisar antara 1-1,5% dan

berhubungan dengan masa gestasi dan berat lahir (Snyder dan Cloherty,

1998). Di negara berkembang angka kejadian bayi asfiksia lebih tinggi

dibandingkan di negara maju karena pelayanan antenatal care yang masih

kurang memadai (Manoe, 2009). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk

meneliti gambaran kejadian asfiksia pada bayi baru lahir.

Berdasarkan data yang diperoleh dari ruang periontologi RSUD Dr

Achmad Mochtar Bukittinggi di dapatkan bahwa jumlah bayi yang pernah

dirawat dengan diagnosa asfiksia berjumlah 20 bayi pada tiga bulan terakhir,

terhitung mulai bulan Agustus – Oktober 2018. Maka dari itu, dengan jumlah

bayi yang dirawat cukup banyak, kami tertarik untuk membuat makalah

3
seminar kami dengan mengangkat kasus asfiksia.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Setelah menyusun makalah ini diharapkan mahasiswa mampu

menerapkan asuhan keperawatan asfiksia pada pasien dengan asfiksia.

2. Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu mengetahui penjelasan perubahan fisiologis bayi

baru lahir.

2. Mahasiswa mampu mengetahui tinjauan teori asfiksia

3. Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan teori asfiksia

4. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien

asfiksia di ruang periontologi RSUD Dr Achmad Mochtar

5. Mahasiswa mampu membandingkan asuhan keperawatan teori asfiksia

dengan kenyataan dilapangan

C. Manfaat

1. Bagi Rumah Sakit RSUD Dr Achmad Muchtar

Sebagai informasi atau kajian untuk dijadikan acuan mengenai asuhan

keperawatan pada pasien asfiksia neonatorum.

2. Bagi STIKES Yarsi Bukititnggi

Sebagai bahan masukan dalam kegiatan proses belajar mengajar

tentang asuhan keperawatan pada pasien Asfiksia yang dapat digunakan

acuan bagi praktek mahasiswa keperawatan.

4
3. Bagi Mahasiswa

Sebagai sarana dan alat dalam memperoleh pengetahuan dan

pengalaman khususnya dalam bidang keperawatan anak dengan Asfiksia.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

FISIOLOGI BAYI BARU LAHIR

I.DEFINISI

Neonatus didefinisikan sebagai bayi dalam usia 44 minggu pertama usia

postkonsepsi (PCA) dimana PCA adalah usia kehamilan pasca kelahiran. Neonatus

sendiri dibagi menjadi neonatus awal dengan usia hingga tujuh hari pertama dan

neonatus akhir yaitu dari hari ke-7 sampai hari ke-28. Bayi baru lahir (newborn)

adalah bayi dalam waktu 24 jam pertama lahir sedangkan infant adalah anak

sampai usia satu tahun.

Bayi yang baru lahir dikelompokkan berdasarkan usia kehamilan dan

bertanya. Bayi kurang bulan (premature) yaitu yang lahir kurang dari 37 minggu.

Bayi cukup bulan (mature) yaitu bayi yang lahir antara 37-42 minggu, sedangkan

bayi lebih bulan (postmature) yaitu bayi yang lahir lebih dari 42 minggu. Menurut

beratnya, dikatakan kecil massa kehamilan (KMK) apabila bayi yang lahir dengan

berat dibawah percentile 10, sesuai massa kehamilan (SMK) apabila berada

diantara percentile 10-98, dan diatas percentile 98 artinya besar massa kehamilan

(BMK).2

Meskipun bayi KMK beratnya dapat sama dengan bayi premature, akan

tetapi terdapat perbedaan karakter fisiologik diantara keduanya. Bayi KMK

memiliki hutang gizi dan kekurangan lemak tubuh yang dapat meningkatkan resiko

hipotermi, hipoglekimia yang dapat berkembang lebih cepat serta terdapat

penuturan jumlah cadangan glikogen dalam tubuh. Sel darah merah (RBC) dan

6
Volume darah total pada bayi KMK lebih tinggi dibandingkan pada bayi premature.

Peningkatan RBC ini dapat berperan dalam terjadinya polisitemia yang berperan

dalam peningkatan kekentalan darah. Bayi KMK memiliki fungsi paru-paru

mendekati bayi yang lahir normal pada umumnya.

Pemeriksaan fisik pada bayi premature didapatkan kulitnya lebih tipis dan

transparan tidak ada garis-garis telapak (minimal), jari-jari kesannya lemah,

pertumbuhan tulang rawan telinga belum sempurna, pada wanita testisnya biasanya

belum turun dan pertumbuhan scrotumnya belum sempurna.

Berat badan bayi lahir dapat turun 10% dibawah berat badan lahir pada

minggu pertama kelahiran disebabkan oleh ekskresi cairan ekstravaskuler yang

berlebihan dan kemungkinan oleh asupan makanan yang kurang. Masukan

makanan membaik ketika kolostrum diganti dengan susu yang lebih berlemak. Bayi

harus terus tumbuh dan melebihi berat badan lahir pada saat umur 2 minggu dan

harus bertumbuh kira-kira 30 gr/hari selama bulan pertama. Gerakan-gerakan pada

bayi baru lahir seringkali tidak terkontrol kecuali pandangan mata, pergerakan

kepala dan penghisapan. Senyum terjadi tanpa keinginan sendiri, menangis sering

kali terjadi terhadap respon yang tidak jelas meskipun terkadang mungkin jelas

kelihatan (popoknya basah). Puncak menangis secara normal yaitu sekitar usia 6

minggu, bayi dapat menangis hingga 3 jam/hari kemudian berkurang menjadi 1 jam

atau kurang pada usia 3 bulan.

II.SISTEM PERNAFASAN BAYI BARU LAHIR

Terdapat perbedaan anatomi pada sistem pernafasan neonatus, bayi-bayi

kecil, dan orang dewasa :

7
o Kepalanya relatif lebih besar dan lehernya lebih pendek.

o Lidahnya relatif lebih besar secara proporsional dengan rongga mulut.

o Lubang hidung lebih sempit dan kemungkinan menyebabkan hambatan akibat

sekresi maupun edema yang dapat menyebabkan masalah yang serius.

Neonatus bisa diistilahkan sebagai individu yang bernapas melalui hidung,

tetapi hal ini masih dipertanyakan. Beberapa neonatus mungkin tidak dapat

memindahkan jalan napasnya melalui mulut apabila lubang hidungnya

tersumbat.

o Posisi laring lebih ke daerah cephalic (C4) ke arah anterior dan axis

terpanjangnya berjalan lurus pada daerah inferior dan daerah anretior.

o Jalan napas akan sangat sempit pada daerah kartilago krikoid tepat dibawah

dari plika vokalis. Kartilago ini merupakan satu – satunya bagian yang dapat

pada jalan napas. Trauma pada jaringan ini akan menyebabkan edema, bahkan

edema dalam jumlah kecil yang berbentuk lingkaran akan mengakibatkan

penurunan area jalan napas pada bayi – bayi tersebut.

o Epiglottis umumya relatif panjang dan kaku. Epiglottis berbentuk U dan

tampak posterior pada sudut 45 derajat diatas dari glottis. Biasanya, epiglottis

ini diangkat dengan menggunakan bilah dari laringoskopi sebelum glottis

terlihat.

o Trakeanya pendek (sekitar 5 cm pada neonatus).

o Bronkus utama kanan lebih luas dibandingkan yang kiri dan lebih mendatar.

o Diafragma tinggi

o Alveoli belum mengembang.

o Karena tulang rusuknya lebih horizontal, ventilasi dari bayi – bayi umumya

diafragmatika. Viscera abdominal berukuran besar dan dapat menghambat

8
pernapasan diafragma, terutama apabila traktus gastrointestinalnya mengalami

perubahan ukuran yang lebih besar.

Gerakan pernapasan dimaulai sejak masa uteri dan karakteristiknya

berlangsung cepat, ireguler, dan akan teratur selama kehamilan yang cukup

lama. Normalnya, pernapasan ini muncul 30% dari keseluruhan waktu

sepanjang trimester ketiga, berbeda dengan keadaan saat tidur pada fetus dan

tiap subjek individu variasinya berbeda. Pergerakan pernapasan fetus akan

menyebabkan perkembangan pada paru-paru dan menjadikan latihan obat-obat

respirasinya. Pengawasan terhadap pergerakan ini akan memberikan informasi

pada kesehatan dari fetus itu sendiri. Hipoksemia menimbulkan penurunan

terhadap pernapasan dari fetus, dan hipoksemia yang berat akan menimbulkan

pergerakan yang terputus-putus. Paru-paru fetus terisi oleh cairan, yang

bergerak oleh aktivitas otot-otot pernapasan. Setelah 26 hingga 28 minggu dari

masa kehamilan, produksi dari surfaktan dibuat oleh pneumosit tipe II.

Surfaktan disekresikan ke dalam paru-paru dan dapat dideteksi di dalam contoh

cairan amnion, memberikan penialain diagnostik kematangan paru dan

prognosis dari neonatus itu.

1. Kontrol Pernapasan Pada Neonatus

Kontrol pernapasan, termasuk mekanisme biokimia dan mekanisme refleks

umumnya terbentuk dengan baik pada neonatus sehat yang lahir normal, akan tetapi

terhadap beberapa perbedaan dibanding orang dewasa. Pernapasan pada bayi

dihubungkan dengan massa tubuh terhadap pemberian tekanan arterial karbon

dioksida (PaCO2) yang memperlihatkan tingkat metabolik yang besar. Respon

ventilasi dari neonatus terhadap hiperkapnia lebih kurang bila dibandingkan dengan

bayi-bayi yang lebih tua, dan bertambah buruk pada nenonatus yang preterm.

9
Segala peningkatan dari kerja pernapasan tidak berlangsung dengan baik. Kurva

kemiringan terhadap respon karbon dioksida lebih menurun pada bayi-bayi yang

mengalami episode henti napas dan hipoksemia menurunkan respon neonatus

terhadap hiperkapnia.

Neonatus sensitif terhadap perubahan tekanan oksigen arteri (PaO2).

Respon ventilasi dari neonatus terhadap hipoksia dipengaruhi oleh berbagai faktor,

termasuk masa kehamilan dan masa postnatal, suhu badan, dan keadaan saat tidur.

Bayi-bayi preterm maupun aterm yang berusia 1 minggu lebih maka muda yang

terbangun dan bersuhu badan normal biasanya memperlihatkan sebuah respon

bifasik terhadap hipoksemia, sebuah periode singkat dari hiperpneu yang diikuti

oleh depresi ventilasi. Bayi-bayi yang mengalami hipotermia dan bayi-bayi preterm

yang bertubuh kecil berespon terhadap hipoksemia dengan cara depresi ventilasi

tanpa adanya inisial hiperpneu. Depresi ventilasi ini disebabkan oleh efek sentral

dari hipoksia pada daerah korteks dan medulla. Kemoreseptor perifer, walaupun

sudah aktif pada masa neonatus tetapi tidak mampu menjaga peningkatan yang

signifikan dari respon hipoksia. Bayi -bayi memperlihatkan respon yang kurang

terhadap hipoksia selama masa tidur REM (rapid eye movement). Pada neonatus,

hipoksia juga menekan respon ventilasi terhadap karbon dioksida. Hipoksia akan

menginduksi pernapasan yang periodik pada bayi-bayi. Bayi-bayi aterm yang

berusia lebih tua 2 sampai 3 minggu memperlihatkan hiperpneu terhadap respon

dari hipoksia, kemungkinan akibat kematangan fungsi dari kemoreseptor.

Refleks yang berasal dari paru-paru dan dinding dada kemungkinan lebih

penting dalam menjaga ventilasi pada neonatus, berperan dalam mengkompensasi

mekanisme kontrol yang inadekuat. Refleks inflasi Hering-Breuer, dimana refleks

10
ini aktif pada masa neonatus, bahkan lebih baik pada bayi-bayi preterm. Refleks ini

menghilang selama Masa tidur REM dan secara progresif menurun pada minggu-

minggu awal kehidupan. Refleks kepala paradoksikal, inspirasi panjang yang

distimulasi oleh inflasi paru-paru yang kecil, aktif pada masa neonatus. Refleks ini

berperan dalam menjaga volume paru-paru pada neonatus.

Pernapasan periodik (Ventilasi cepat yang diselingi oleh periode apneu

selama kurang lebih 5-10 detik) terjadi pada banyak bayi-bayi preterm maupun

beberapa bayi-bayi yang full-term. Hal ini dihubungkan dengan peningkatan

aktivitas kemoreseptor perifer. Pada bayi - bayi preterm, peningkatan PaCO2 lebih

besar daripada normal terjadi pada episode pernapasan periodik tersebut, akan

tetapi detak jantungnya tidak mengalami perubahan secara signifikan. Pada bayi -

bayi yang aterm, hipokapnia mungkin terjadi selama periode pernapasan periodik

tersebut, yang tampaknya tidak memiliki masalah fisiologi yang serius dan

biasanya berhenti pada minggu ke 44 – 46 setelah konsepsi terjadi. Pernapasan

periodik hanya terjadi sekitar 3% dari waktu pernapasan tanpa apneu; fraksi yang

lebih besar dari pada itu pada bayi - bayi aterm kemungkinan merupakan tanda

bahaya dari abnormal kontrol dari ventilasi. Beberapa bayi - bayi preterm

memperlihatkan bahaya yang lebih jauh dan ancaman jiwa yang sungguh - sungguh

dari episode apneu tersebut. Hal ini umumnya terjadi selama 20 detik dan diiringi

oleh bradikardia (kemungkinan akibat refleks kemoreseptor yang segera) dan

desaturasi oksigen hemoglobin. Masa apneu singkat (< 20 detik) kemungkinan

diikuti oleh bradikardi yang signifikan (<80 kali/menit). Patogenesis dari apneu

pada bayi - bayi yang preterm belum sepenuhnya diketahui secara pasti. Apneu

mungkin menggambarkan sebuah ketidakmatangan sistem kontrol pernapasan pusat

karena hal ini cenderung akan membaik pada jaringan otak yang matang.

11
Bagaimanapun, variasi mekanisme patofisiologi adalah rumit. Episode apneu

mungkin hasil dari kegagalan dari mekanisme kontrol pusat (sentral apneu); hal ini

termasuk tidak adanya kegagalan ventilasi. Hal ini mungkin diakibatkan oleh

obstruksi jalan napas (obstruktif apneu), dimana dalam kasus ini mungkin terjadi

namun tidak ada pertukaran gas terjadi. Obstruktif biasa terjadi pada nasofaring,

faring, atau hipofaring dari bayi - bayi. Apneu kombinasi (sebuah kombinasi dari

sentral dan obstruktif) mungkin juga terjadi dan sebuah tipe kemungkinan menjadi

tipe lainnya (obstruktif apneu mungkin berkembang menjadi apneu sentral). Apneu

mungkin terjadi dari kegagalan otot-otot ventilasi. Banyak episode apneu terjadi

selama masa tidur REM, hal ini mungkin terjadi karena kelelahan otot-otot ventilasi

merupakan salah satu faktor utamanya. Walaupun apneu neonatus kemungkinan

idiopatik, hal ini bisa juga merupakan sebuah gejala dari proses penyakit tertentu,

seperti sepsis, perdarahan intrakranial, anemia, hipoglikemia, hipotermia, sensitif

terhadap pemberian sedasi, ataupun patent ductus arteriosus.

Bayi-bayi preterm harus secara hati-hati diawasi untuk mendeteksi episode

apneu. Pengobatannya adalah dengan stimulasi taktil atau apabila hal ini gagal,

dengan menggunakan resusitasi bag-mask. Insidensi dari episode apneu menurun

dengan terapi menggunakan aminofilin atau kafein (stimulasi sentral) atau melalui

pemberian tekanan positif pada jalan napas (meningkatkan aktifitas refleks dari paru

- paru dan dinding dada). Bayi-bayi preterm dan bayi-bayi yang pernah lahir

preterm hingga umur 60 minggu setelah konsepsi, terutama bayi dengan anemia,

adalah sangat berisiko untuk mengalami postoperatif apneu bahkan ketika bebas

apneu saat dilakukannya anestesi. Bayi ini akan mendapatkan keuntungan dari

pengawasan postoperatif yang tepat di ICU maupun unit observasi yang sejenis

dengan pengawasan apneu.

12
2. Otot - Otot Respirasi

Diafragma dan otot interkostal memiliki dua jenis serat otot:

1. Tipe I: Serat otot oksidatif tinggi yang dapat dianggap lambat berkontraksi,

resisten kelelahan, serat otot maraton. Serat otot ini membantu untuk

mempertahankan aktivitas otot yang berkepanjangan.

2. Tipe II: Serat Otot oksidatif rendah, serat otot yang cepat berkontraksi yang

aktif untuk jangka waktu yang singkat, tetapi tidak dapat mempertahankan

aktivitas yang berkepanjangan.

Ketidak matangan otot menjelaskan mengapa neonatus dan bayi cepat

mengalami kegagalan pemafasan dan apnea jika ada peningkatan kerja

pernapasan, misalnya obstruksi saluran napas.

Otot Prematur Neonate Mature

Diafragma 10% 25-30% 55%


Intercostal 20% 40% 65%

Tabel 1. Proporsi serat otot tipe I

Bayi prematur menghabiskan 50-60% waktunya di keadaan tidur REM

(rapid eye Movement) di mana aktivitas otot interkostal dihambat dan gerakan

paradoks dari dinding dada lunak terjadi. Ini dikompensasi dengan perluasan

tertentu pada diafragma. Saat fetus melewati jalan lahir terjadi kompresi pada dada,

memaksa banyak cairan yang berasal dari paru untuk keluar lewat hidung dan

mulut. Pada saat keluar, kompresi ini berkurang dan udara terisap masuk ke dalam

paru. Stimulus perifer pada neonatus (dingin, sentuhan, temperature, dll) dan

stimulus biokimia (pernapasan dan asidosis metabolik) diduga menginisiasi

pernapasan yang regular dan berkelanjutan. Faktor lain mungkin berpengaruh

13
seperti peningkatan tekanan parsial oksigen atau pemindahan pusat inhibisi

biokimia. Pernapasan spontan yang pertama kali ditandai dengan peningkatan

tekanan transpulmoner (>50 Cm H2O).'Mereka mempertahankan FRC dari paru –

paru neonatus. Sisa cairan paru dikeluarkan beberapa hari setelah kehidupan oleh

jaringan limfatik pulmoner dan pembuluh darah. Bayi - bayi yang keluar melalui

seksio cesaria tidak sama dengan neonatus yang mengalami tahanan di daerah dada

dan mungkin akan memiliki cairan sisa yang lebih banyak pada paru - paru. Hal ini

akan menyebabkan neonatus tersebut mengalami gangguan pernapasan yang

transien.

Otot - otot respirasi pada neonatus biasanya mengalami kelelahan,

kecenderungan ini tergantung dari tipe serat otot yang ada. Pada diafragma, 10%

dari serat otot adalah tipe I (lambat berkontraksi, oksidatif tinggi, resisten terhadap

lelah) pada bayi - bayi preterm, dimana akan meningkat sebanyak 25% pada bayi -

bayi aterm, dan mencapai maksimum hingga 55% (tingkat orang dewasa) setelah 8

bulan post-partum. Di interkostal, 20%, 46%, dan 65% tipe seratnya adalah tipe I

pada grup usia yang sama, dengan tingkat maksimumnya dicapai dalam 2 bulan

post-partum. Dengan demikian, bayi preterm rawan mengalami kelelahan otot

ventilasi, sebuah predisposisi yang akan menghilang sejalan dengan kematangan.

Ventilasi juga dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi selama periode tidur. Bayi

preterm menghabiskan 50% hingga 60% waktunya untuk berada pada waktu tidur

REM, selama waktu ini, aktivitas otot interkostal dihambat dan pergerakan

paradoksikal dari dinding dada halus akan terjadi. Penurunan aktivitas otot

interkostal diikuti oleh peningkatan aktivitas diafragma. Aktivitas ini kebanyakan

terbuang ketika tulang iga bergerak paradoksikal dan mungkin akan menimbulkan

kelemahan diafragma.

14
3. Mekanisme Respirasi

Secara umum mekanisme Pernapasan pada bayi yang baru lahir lebih

buruk dibandingkan dewasa karena:

 Tulang rusuk lebih horizontal dan tidak memiliki gerakan bucket handle seperti

orang dewasa. Oleh karena itu, ada sedikit ekspansi Antero - posterior dan

ekspansi lateral (Gbr. 4.5).

Gambar. 4.5. Sebuah perbandingan mekanism pernafasan pada anak dan dewasa.

Perhatikan gerakan '''bucket handle" pada orang dewasa dibandingkan dengan

gerakan 'piston' seperti gerakan dan diafragma yang tinggi di neonatus.

 Otot-otot interkostalis yang belum matur dan lemah.

 Sternum dan rongga toraks yang lunak dan elastis sehingga timbul gerakan

paradoks

 Diafragma tinggi dan pergerakannya seperti piston. Ini adalah otot yang paling

penting dari respirasi. Diafragma, seperti dalam kasus distensi dari lambung

atau usus, merugikan respirasi.

Kapasitas paru-paru meningkat secara perlahan setelah kelahiran saat

cairan menghilang dari paru-paru. Tahanan dinding dada oleh bayi (terutama bayi

preterm) adalah besar, oleh karena itu tahanan total kira-kira sebesar kapasitas

paru-paru. Komplians dinding dada yang besar ini menyebabkan kekuatan yang

15
relatif lemah untuk menjaga FRC (functional residual capacity I kapasitas residu

fungsional) dan untuk melawan aksi dari diafragma. FRC dari bayi kecil dijaga oleh

tingkat pernafasan yang cepat, titik akhir ekspirasi, kontrol ekspirasi, dan aktivitas

tonus dari otot - otot ventilasi. Tidak mengherankan bila penurunan yang cukup

besar pada FRC terjadi dengan apneu dan selama anestesi ketika agen inhalasi

menekan fungsi dari otot interkostal.

Penurunan yang besar pada FRC disertai penutupan pada jalan napas dan

gangguan oksigenasi. Inhibisi otot interkostal selama waktu tidur REM atau dengan

agen anestesi inhalasi menyebabkan kelemahan dari dinding dada dan hasilnya

terlihat pada pergerakan paradoksikal. Pergerakan paradoksikal pada dinding dada

ini ditandai ditambah oleh segala jenis obstruksi pada jalan napas. Saat anak

tumbuh melampaui usia bayi dan masa kanak-kanak, tulang iganya menjadi kaku

sehingga kemudian menjadi lebih baik dalam melawan aksi dari diafragma dan

tonus otot interkostalnya akan menjadi lebih kurang. Tekanan transpulmoner

dibutuhkan untuk mengoptimalkan inflasi dari paru-paru yang sama dengan bayi-

bayi sehat, anak, dan dewasa. Selama ventilasi artifisial, tekanan puncak inspirasi

berada pada 15 sampai 20 cm H2O adalah normal.

Jalan udara pada daerah hidung berkontribusi pada 50% dari total resistensi

jalan napas pada bayi-bayi dan sedikit berkurang pada bayi-bayi Afrika-Amerika.

Insersi dari NGT (nasogastric tube) meningkatkan resistensi ini sebanyak 50%.

Jalan udara pada hidung biasanya ukurannya tidak sama; apabila sebuah NGT

dimasukkan, seharusnya ditempatkan pada lubang hidung yang lebih kecil,

sehingga memiliki efek yang lebih kecil pada resistensi total pada jalan udara pada

hidung. Resistensi jalan udara periferal pada neonatus adalah kecil tetapi meningkat

16
seiring dengan bertambahnya umur.

4. Volume Paru

Pada bayi aterm, kapasitas total paru - paru adalah sekitar 160 ml; FRC

sekitar setengah dari volume ini. VI kira - kira 16 ml (6-7 ml/kg) dan Vd adalah

sekitar 5 ml (30% dari VI). Sehubungan dengan ukuran tubuh, semua volume

tersebut sama dengan nilai pada orang dewasa. Dengan catatan, bagaimanapun,

terdapat ruang rugi di anestesi atau sirkuit ventilator yang lebih signifikan dengan

hubungannya kepada volume yang kecil pada bayi (5 ml ruang rugi akan

meningkatkan total efektif Vd sebanyak 100%).

Berlawanan dengan volume paru yang statis, Va proporsional lebih besar

pada neonatus (-100-150 ml/kg/menit) disbanding orang dewasa (~60 ml/kg/menit).

Va yang tinggi ini pada bayi - bayi akan menghasilkan rasio Va : FRC 5 : 1 ,

dibandingkan dengan 1,5 : 1 pada orang dewasa. Sebagai konsekuensinya, FRC

sebagai "buffer" yang kurang efektif pada bayi, oleh karena itu perubahan dalam

konsentrasi gas yang diinspirasikan (termasuk gas anestesi) adalah lebih cepat

terlihat dalam alveolar dan arteri.

CV (vital capacity) relatif lebih besar pada bayi - bayi dan anak berusia

muda disbanding dewasa muda; itu mungkin melebihi FRC untuk mengganggu Vt

selama inspirasi normal. Penutupan jalan napas selama respirasi normal dapat

menjelaskan penurunan nilai normal dari Pao2 pada bayi - bayi dan neonatus.

Penurunan FRC, yang biasanya terjadi selama anestesi umum dan timbul pada

periode postoperatif, lebih lanjut meningkatkan CV yang luas dan meningkatkan A-

aDCh. Bayi ataupun anak - anak, penurunan terbesar pada FRC. Penurunan FRC

pada intraoperatif mungkin sebagian dibalikkan oleh tekanan positif jalan napas

17
yang terus-menerus.

Total area permukaan pada jaringan alveoli yang berhubungan dengan

udara lebih kecil pada bayi (2,8m2). Area ini berhubungan dengan tingkat metabolik

yang tinggi terhadap oksigen, hal ini tampak pada rasio perbandingan antara area

permukaan dan rata - rata konsumsi oksigen lebih kecil pada bayi dibandingkan

orang dewasa. Sebagai hasilnya. bayi memiliki penurunan kemampuan untuk

cadangan pada pertukaran gas. Pada beberapa kasus, sisa jaringan paru yang masih

sehat mungkin tidak adekuat untuk mempertahankan hidup.

5. Kerja Pernapasan

Otot - otot respirasi umumnya tidak dapat melawan resistensi jalan udara

dan rekoil elastik dari paru - paru dan dinding dada. Dua faktor ini menyatakan

ventilasi optimal dan sebuah Vt yang diantarkan dan diberikan oleh Va

menggunakan energy otot yang minimal untuk setiap anak. Oleh karena waktu

konstan pada paru bayi relatif lebih kecil, ventilasi alveolar yang efisien dapat

dicapai pada tingkat respirasi yang tinggi. Pada neonatus, tingkat respirasi 37

kali/menit sudah diperhitungkan merupakan jumlah yang paling efisien. Bayi – bayi

aterm serupa dengan orang dewasa yang memerlukan 1% dari energi metabolik

mereka untuk menjaga ventilasi; oksigen yang dibutuhkan pada pernapasan adalah

0,5 ml / 0,5 L dari ventilasi. Bayi preterm memiliki jumlah oksigen yang

dibutuhkan lebih besar saat pernapasan (0,9 ml/0,5 L), dimana akan mengalami

peningkatan apabila paru - parunya sakit, seperti pada RDS atau bronkopulmoner

displasia.

18
6. Surfaktan Paru

Surfaktan pada lapisan alveolar menstabilisasikan alveoli, mencegah kolaps

alveoli pada saat ekspirasi. Menurunkan tegangan permukaan pada permukaan

udara-cairan pada alveoli juga menurunkan tenaga yang dibutuhkan untuk ekspansi

ulang. Surfaktan utama pada paru adalah lecithin, yang diproduksi oleh pneumosit

tipe II. Jumlah lecithin pada paru fetus meningkat secara progresif, dimulai sejak 22

minggu semenjak kehamilan dan meningkat secara tajam pada umur 35-36 minggu

kehamilan dimana parunya sudah matang. Produksi lecithin dari paru dapat dinilai

dengan menggunakan rasio lecithin/sphyngomyelin (L/S) pada cairan amnion dan

hal ini digunakan untuk mengukur maturitas paru dan memprediksikan terjadinya

RDS. Rasio L/S biasanya kurang pada umur 1 hingga 32 masa kehamilan,

mencapai 2 saat umur 35 minggu, dan 4 hingga 6 pada bayi aterm.

Bayi-bayi preterm dengan produksi lecithin paru yang inadekuat akan

menderita RDS. Jalur biokimia untuk produksi surfaktan kemungkinan ditekan oleh

hipoksia, hiperoksia, asidosis, atau hipotermia; Karenanya, koreksi secara cepat

terhadap kelainan abnormal tersebut pada neonatus yang sakit sangatlah penting.

Inhalasi agen anestesi nampaknya memiliki efek yang kecil pada produksi

surfaktan. Maturasi dari proses biokimia pada paru fetus in uteri dapat dipercepat

dengan menggunakan kortikosteroid pada ibunya. Penggunaan terapi surfaktan

eksogen untuk mengobati RDS saat ini sudah dikembangkan.

Defisiensi surfaktan dapat menyebabkan terjadinya HMD. Terapi

pengganti surfaktan dapat meningkatkan oksigenasi. 3 macam preparat surfaktan:

a. Surfaktan yang berasal dari paru sapid an babi

b. Surfaktan manusia yang berasal dari cairan amnion

19
c. Surfaktan buatan

Baik surfaktan alami ataupun sintetik, telah terbukti efektif dalam terapi

dan pencegahan RDS. Pada beberapa penelitian ternyata surfaktan alami dapat

memberikan perbaikan yang lebih cepat dibandingkan sintetik dalam hal lebih

kurang kebutuhan ventilator, lebih kurang kejadian pneumotorax, lebih banyak

penurunan dysplasia bronkopulmonal, serta mortalitas lebih sedikit. Namun

kelebihan surfaktan sintetik, resiko perdarahan intraventrikel lebih kurang, lebih

sedikit pemaparan dengan antigen binatang serta harganya yang lebih murah.2

7. Pertumbuhan dan Perkembangan Paruh

Paru - paru terus berkembang selama 2 dekade pertama dalam kehidupan.

Jumlah alveoli meningkat secara cepat dalam 6 tahun pertama, hampir mencapai

jumlah orang dewasa, tetapi terus berkembang hingga masa remaja. Pada anak -

anak kecil, ukuran yang kecil pada jalan napas periferal mungkin merupakan salah

satu predisposisi terjadinya penyakit obstruktif paru seperti bronkiolitis.

SISTEM SIRKULASI BAYI BARU LAHIR

1. Sirkulasi Fetus

Pada janin, aliran darah tidak mengikuti rute yang sama dengan rute setelah

lahir pada umumnya. Perbedaan utamanya adalah penyesuaian terhadap kenyataan

bahwa janin tidak bernafas, sehingga paru tidak berfungsi. Janin memperoleh O2

dan mengeluarkan CO2 melalui pertukaran dengan darah ibu menembus plasenta.

Karena darah tidak perlu mengalir ke paru untuk menyerap O2 dan mengeluarkan

CO2, pada sirkulasi janin terdapat 2 jalan pintas: (1) Foramen oval, suatu lubang di

septum antara atrium kanan dan kiri, dan (2) duktus arteriosus, suatu pembuluh

20
yang menghubungkan arteri pulmonalis dan aorta ketika keduanya keluar dari

jantung.

Darah beroksigen tinggi dibawa dari plasenta melalui vena umbilikalis dan

diteruskan ke dalam vena kava inferior janin. Dengan demikian, ketika

dikembalikan ke atrium kanan dari sirkulasi sistemik, darah adalah campuran dari

darah beroksigen tinggi dari vena umbilikalis dan darah vena yang beroksigen

rendah yang kembali dari jaringan janin. Selama masa janin, karena tingginya

resistensi yang diakibatkan oleh paru yang kolaps, tekanan diseparuh kanan jantung

dan sirkulasi paru lebih tinggi daripada diseparuh kiri jantung dan sirkulasi

sistemik. Situasi terbalik dibandingkan dengan setelah lahir. Karena perbedaan

tekanan antara atrium kanan dan kiri, sebagian darah campuran yang beroksigen

cukup yang kembali ke atrium kanan segera disalurkan ke atrium kiri melalui

foramen ovale. Darah ini kemudian mengalir ke dalam ventrikel kiri dan dipompa

ke sirkulasi sistemik. Selain memperdarahi jaringan, sirkulasi sistemik janin juga

mengalirkan darah melalui arteri umbilikalis agar terjadi pertukaran dengan darah

ibu melalui plasenta. Sisa darah di atrium kanan yang tidak segera dialihkan ke

atrium kiri mengalir ke ventrikel kanan yang memompa darah ke arteri pulmonalis.

Karena tekanan di arteri pulmonalis lebih besar daripada tekana di aorta, darah

dialirkan dari arteri pulmonalis ke dalam aorta melalui duktus arteriosus mengikuti

penurunan gradient tekanan. Dengan demikian, sebagian besar darah yang dipompa

keluar dari ventrikel kanan yang ditujukan ke sirkulasi paru segera dialihkan ke

dalam aorta dan disalurkan kesirkulasi sistemik mengabaikan paru yang

nonfungsional.

Saat lahir, foramen ovale menutup dan menjadi jaringan parut kecil yang

21
dikenal sebagai fosa ovalis di septum atrium. Duktus arteriosus kolaps dan akhirnya

berdegenerasi menjadi untai ligamentosa tipis yang dikenal sebagai ligamentum

arteriosum.5

2. Perubahan Sirkulasi Saat Kelahiran

Saat lahir, ventilasi pulmoner normalnya secara cepat di permantap, dan

aliran darah ke paru - paru meningkat dengan pesat ketika aliran plasenta terhenti.

Ketika paru - paru mengembang dan terisi dengan gas, resistensi vaskuler pulmoner

menurun yang ditandai oleh efek mekanik pada pembuluh darah dan relaksasi tonus

vasomotor pulmoner ketika pO2 meningkat dan tekanan parsial dari CO2 menurun

di gas alveolar. Resistensi vaskuler pulmoner menurun sebanyak 80% dari tingkat

prenatal dalam beberapa menit setelah inisiasi normal dari respirasi. Ketika

resistensi vaskuler pulmoner menurun, aliran darah ke paru - paru dan kemudian

melalui vena pulmonal ke atrium kiri meningkat, peningkatan tekanan di atrium kiri

dan atrium kanan menutup septum atrial foramen ovale.

Di saat yang bersamaan, ketika aliran plasenta terhenti karena jepitan dari

konstriksi arteri umbilikal, dalam jumlah yang besar, resistensi vaskuler yang

rendah dihilangkan dari sirkulasi sistemik. Aktivitas ini menghasilkan peningkatan

yang besar dari resistensi sistemik vaskuler dan penurunan pada aliran darah vena

cava inferior dan tekanan atrium kanan. Peningkatan pada resistensi sistemik

vaskuler dan secara bersamaan penurunan pada resistensi sistemik pulmoner akan

meningkatkan tekanan aortic diatas dari arteri pulmoner. Aliran darah yang

melewati duktus arteriosus kembali (menjadi kiri ke kanan) dan duktus tersebut

akan terisi dengan darah yang teroksigenasi. Peningkatan lokal pO2 ( ke tingkat

yang lebih besar dari 50 sampai 60 mmHg) menyebabkan dinding muskuler dari

22
duktus arteriosus mengalami konstriksi sekunder melalui respon yang dimediasi

oleh prostaglandin. Aliran mungkin akan tetap melewati duktus tersebut selama

beberapa jam setelah kelahiran, menghasilkan murmur yang dapat di dengar.

Normalnya, bagaimanapun aliran yang melewati duktus akan tidak begitu berarti

dalam 15 jam. Penutupan permanen dari duktus biasanya selesai dalam 5 hingga 7

hari tetapi mungkin dapat tidak komplit hingga 3 minggu.

Duktus venosus, yang menghubungkan antara vena umbilikus, vena porta,

dan vena cava inferior, juga menutup secara sempurna dalam beberapa hari setelah

kelahiran. Jalur ini menghasilkan aliran yang melewati sirkulasi hepatik dan

bagaimanapun akan menghambat metabolisme obat pada hati (analgesik opioid).4

3. Sirkulasi Neonatus

Pada neonatus yang sehat, dinding yang tipis pada ventrikel kanan

melampaui pada ventrikel kiri. Hal ini dapat dilihat pada ECG, yang

menggambarkan axis diatas dari 180 derajat selama minggu pertama kehidupan.

Setelah kelahiran ventrikel kanan membesar secara disproporsional. Dalam 3

hingga 6 bulan, rasio ukuran ventrikel dewasa dicapai (axis sekitar +90 derajat).

Selama periode neonatus yang berlangsung cepat, detak jantung adalah antara 100

hingga 170 kali per menit dan iramanya regular, detak jantung secara berangsur -

angsur menurun. Sinus aritmia umumnya pada anak - anak. Segala irama irreguler

harus dipertimbangkan hal yang abnormal.

Tekanan daraii sistolik sekitar 60 mmHg pada neonatus aterm, dan tekanan

diastoiik adalah 35 mmHg. Pada bayi preterm mengalami penurunan tekanan arteri,

sekitar 45/25 mmHg pada bayi seberat 750 gr.

23
Miokardium pada neonatus berisi jaringan kontraktil yang rendah dan lebih

banyak jaringan penyokong disbanding jantung orang dewasa. Hasilnya, ventrikel

neonatus kurang komplians ketika relaksasi dan umumnya bertekanan kurang

ketika berkontraksi. Akibat penurunan komplians saat relaksasi ventrikel cenderung

membatasi jumlah curah jantung. Bradikardia diikuti oleh penurunan cardiac

output. Penurunan komplians ventrikel dari neonatus juga tergantung oleh tekanan

pengisian yang adekuat, sehingga hipovolemia akan diikuti oleh penurunan dari

cardiac output. Dengan demikian cardiac output bergantung pada kecepatan dan

volume. Penurunan komplians dan kontraktilitas dari ventrikel juga merupakan

faktor predisposisi pada kegagalan jantung bayi dengan peningkatan volume

pengisian. Pada bayi, kegagalan satu ventrikel dengan cepat diikuti gangguan

ventrikel yang lain, dan menyebabkan kegagalan biventrikuler.

Penurunan kontraktilitas dari jantung neonatus juga dipikirkan akibat

sekunder dari ketidakmatangan dari myofibril dan penurunan perkembangan dari

retikulum sarkoplasmik. Diasumsikan bahwa siklus kalsium yang terus - menerus

di dalam miokardium neonatus lebih bergantung pada perubahan saat melintasi

membran sel (sarkolema) dan penurunan fungsi dari retikulum sarkoplasmik,

dengan demikian terjadi ketergantungan yang besar pada ionisasi kalsium. Saat

bayi tumbuh, retikulum sarkoplasmik dari miokardium mengembang dan secara

progresif mengambil tugas yang dominan pada regulasi kalsium intraseluler, yang

sesuai dengan jantung orang dewasa. Tugas utama dari sarkolema pada regulasi

kalsium termasuk miosit mungkin menjelaskan sensitifitas yang besar dari neonatus

pada depresi miokardium karena inhalasi anestesi (Aktivitas hambatan lintasan

kalsium). Hal ini juga mungkin menjelaskan efek depresan jantung yang berat

akibat obat - obat penghambat saluran kalsium atau pengaturan cepat dari produk

24
darah yang di sitrasi seperti plasma segar atau trombosit pada neonatus.4

Innervasi autonom pada jantung masih belum komplit pada neonatus dan

terdapat elemen simpatis yang relatif masih kurang. Hal ini lebih lanjut mungkin di

kompensasikan dengan kemampuan kontraktil yang masih kurang pada

miokardium neonatus dalam berespon terhadap stress. Perbedaan miokardium pada

neonatus semuanya sangat jelas pada bayi preterm.

Pada masa neonatus, shunt menghambat ketepatan pengukuran dari cardiac

output, dimana rata - rata dua hingga tiga kali dalam orang dewasa pada milliliter

per kilogram berat badan dan berhubungan dengan jumlah metabolik. Total

resistensi vaskuler sistemik menurun, menggambarkan proporsi yang besar jaringan

pembuluh darah yang kaya pada neonatus (18%— dua kali dari orang dewasa) dan

berakibat pada penurunan tekanan arteri sistemik walaupun cardiac output yang

dihasilkan besar.

4. Sirkulasi Pulmonar

Perubahan pada sirkulasi pulmonar terjadi saat kelahiran berlanjut dengan

progresitivitas yang lambat, penurunan resistensi vaskuler pulmonar pada 3 bulan

pertama kehidupan. Hal ini dihubungkan dengan regresi paralel pada tipisnya

lapisan dinding medial dari arteriol pulmonar. Selama masa neonatus, resistensi

vaskuler pulmonar masih tinggi dan otot pembuluh darah pulmonar bereaksi tinggi.

Hipoksia, asidosis, dan stress (suksion endotrakeal) mungkin akan meningkatkan

resistensi vaskuler pulmonar. Apabila peningkatan resistensi vaskuler pulmonar

dihasilkan oleh beberapa stimulus, tekanan bagian kanan dalam jantung akan

berakibat ke bagian kiri dan shunt kanan ke kiri akan terjadi melalui duktus

arteriosus atau foramen ovale. Kegagalan ventrikel kanan, secara cepat dapat

25
progresif menuju kegagalan biventrikuler.

Pada beberapa keadaan, regresi normal dari lapisan muscular pembuluh

darah pulmonar dan dihubungkan penurunan pada resistensi vaskuler pulmonar

mungkin tidak terjadi.

Hipoksemia yang terus - menerus, contohnya disebabkan oleh ketinggian

yang terus - menerus atau penyakit jantung sianotik (tetralogi fallot) atau aliran

darah pulmonar yang berlebihan menghasilkan shunt kiri ke kanan (defek septum

ventrikuler, patent duktus arteriosus, dll) mungkin disebabkan oleh persistensi dari

tingginya resistensi vaskuler pulmonar pada masa kanak - kanak. Pada awalnya,

peningkatan resistensi sistemik pulmonar bersifat reversible (dengan vasodilatasi

pulmonar) dan mengkoreksi defek yang terjadi. Kemudian, resistensi sistemik

pulmonar menghasilkan perubahan struktural pada vaskuler pulmonar

ymg.irreversible, menyebabkan penyakit obstruksi vaskuler pulmonar.

Nitrat oxide telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor yang dapat

merelaksasikan endothelium yang normalnya diproduksi secara terus - menerus di

paru untuk mengatur tonus vaskuler pulmoner. Hal ini yang dijadikan acuan untuk

menggunakan inhalasi nitrat oxide untuk mengobati resistensi vaskuler pulmonar

yang meningkat.4

III.PERMASALAHAN LAIN PADA BAYI BARU LAHIR

Kadar glukosa, kalsium, dan magnesium intrauterin di jaga secara hati-hati

oleh regulasi maternal ibu-bayi. Perpindahan ke kehidupan ekstrauterin memiliki

efek yang besar terhadap fisiologi pada bayi yang baru lahir.

26
1. Metabolisme Glukosa

Fetus mempertahankan glukosa darah 70-80% dari kebutuhan maternal

melalui jalur plasenta. Terdapat penambahan cadangan glukosa pada hati, tulang

dan otot jantung pada tahap akhir perkembangan fetus tetapi dengan sedikit

glukoneogenesis. Bayi yang baru lahir masih bergantung pada glikolisis sampai

adanya masukan dari luar. Setelah lahir, bayi akan menghabiskan cadangan gula

hatinya dalam 2-3 jam. Pada bayi KMK glikogen akan lebih mudah habis

dihubungkan dengan cadangan yang kurang."

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan suatu keadaan kegawatan pada anak, walaupun

banyak studi menyebutkan otak dapat melepaskan substrat selain glukosa khususnya

pada priode baru lahir, namun tidak ada satupun substrat yang berhasil

memperbaiki sekuele neurofisiologik akibat kurangnya glukosa pada system syaraf

pusat. Tanda klinis dari hipoglikemia kurang begitu jelas, dapat ditemukan bayi

yang menangis keras ataupun lemah, sianosis, apnea, apati, kejang, pergerakan

mata yang abnormal, suhu yang tidak stabil, hipotoni dan kemampuan mengisap

yang lemah. Pada beberapa bayi dapat tidak menunjukkan tanda-tanda tersebut

meskipun memiliki kadar glukosa darah yang sangat rendah.

Insidens hipoglikemia bervariasi menurut definisi, populasi, metode dan

waktu pemberian makanan, serta dan tipe pemeriksaan glukosa. Pemberian

makanan lebih awal menurunkan insidens sedangkan prematuritas, hipotermia,

hipoksia, diabetes ibu, infuse glukosa pada ibu dalam persalinan menambah insides

hipoglikemia. Kadar glukosa serum menurun sesudah lahir sampai usia 1-3 jam.

Pada bayi cukup bulan yang sehat kadar glukosa serumnya jarang kurang <35

27
mg/dl antara usia 1-3 jam, <40 mg/dl dari usia 3-24 jam, dan <45 mg/dl sesudah 24

jam.3

Hipoglikemia pada neonatus diartikan dengan kadar gula darah <40 mg/dl.

Setelah 72 jam dari kelahiran, kadar glukosa plasma seharusnya lebih tinggi atau

minimal sama dengan 40 mg/dl. Meskipun tidak ada ambang batas spesifik, kadar

glukosa darah <20 mg/dl atau tetap rendah selama lebih dari 1-2 jam dapat

memberikan gangguan perkembangan saraf yang permanen, sehingga bayi dengan

resiko tinggi mengalami hipoglikemia memerlukan kontrol glukosa ketat.2

Empat kelompok patofisiologi bayi neonatus yang beresiko tinggi

menderita hipoglikemia adalah:

o Bayi-bayi dari ibu yang menderita diabetes mellitus atau diabetes selama

kehamilan

o Bayi-bayi dengan retardasi pertumbuhan intrauteri atau bayi-bayi preterm

yang mengalami malnutrisi intrauteri, bayi kembar, dan bayi dengan kelainan

plasenta.

o Bayi yang amat immature atau menderita sakit berat dan juga bayi yang lahir

dengan berat badan lahir rendah (BBLR)

o Bayi dengan defek metabolic genetick seperti intoleransi fruktosa dan

penyakit penyimpanan glikogen.3

Bayi yang membutuhkan tindakan bedah beresiko menambah hipoglikemia

sehingga memerlukan 10% glukosa (infuse), pemberiannya biasanya dimulai ketika

masuk rumah sakit dan dikontrol secara berkala. Apabila kadar glukosa darah turun

hingga dibawah 40 mg/dl atau terdapat tanda-tanda hipoglikemia, dalam sejam

segera dibolus 1-2 ml/kg (4-8 mg/kg/min) glukosa 10% iv. Meskipun jarang,

28
hidrokortison, glukagon, atau somatostatin dapat digunakan untuk penanganan

hipoglikemia yang persisten.

b. Hiperglikemia

Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah lebih dari 125-

140 mg/dl. Hal ini biasanya iatrogenik, dan menghasilkan keadaan hiperosmolar

yang dapat menyebabkan perdarahan intraventricular dan diuresis osmotik yang

pada gilirannya menyebabkan dehidrasi dan hipernatremia. Hiperglikemia

merupakan masalah yang biasa terjadi pada pemakaian total parenteral nutrition

(TPN) pada bayi yang sangat immature (<30 minggu) atau bayi yang lahir dengan

berat kurang dari 1,1 kg. Hiperglikemia ini terjadi sehubungan dengan resistensi

insulin dan defisiensi insulin. Hiperglikemia dapat menyebabkan perdarahan

intraventrikular serta kehilangan kadar air dan elektrolit. Untuk itu kadar glukosa

dalam TPN harus disesuaikan berdasarkan kadar glukosa serum. Kadang-kadang

insulin 0,001-0,01 U/kg/min dapat diberikan (iv) untuk memperthankan

normoglikemia dan sangat membantu litamanya pada bayi dengan berat badan

sangat kurang.

A. DEFINISI

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan

teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai

dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis (IDAI, 2004). Menurut WHO

(2012), asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan

teratur segera setelah lahir. Menurut American Academy of Pediatrics dan

American College of Obstetricians and Gynecologist (2004), seorang neonatus

disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut: (i) nilai

29
Apgar 0-3 menetap lebih dari 5 menit, (ii) adanya asidosis pada pemeriksaan

darah tali pusat (pH<7,0), (iii) terdapat gangguan neurologis, seperti kejang,

hipotoni, atau koma, (iv) adanya disfungsi multiorgan. Disfungsi multiorgan

tersebut dapat memberikan efek jangka panjang terutama pada fungsi

neurologis (Sills, 2004).

Asfiksia dapat terjadi selama antepartum, intrapartum, dan postpartum

dengan penyebab bisa faktor ibu, faktor bayi, dan faktor plasenta. Beberapa

penelitian menyatakan bahwa asfiksia yang terjadi selama antepartum

sebanyak 50% kasus, intrapartum 40%, dan sisanya selama postpartum

sebanyak 10% (Dilenge et al, 2001).

Kondisi patofisiologis yang menyebabkan asfiksia meliputi kurangnya

oksigenasi sel, retensi karbondioksida yang berlebihan, dan asidosis

metabolik. Kombinasi ketiga peristiwa itu menyebabkan kerusakan sel dan

lingkungan biokimia yang tidak cocok dengan kehidupan (Varney, 2007).

Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak

dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dilakukan pada bayi

bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-

gejala lanjut yang mungkin timbul (Prawirohardjo, 2002).

B. Etiologi

Proses terjadinya asfiksia neonatorum ini dapat terjadi pada masa

kehamilan, persalinan atau segera setelah bayi lahir. Penyebab asfiksia

menurut Mochtar (1989) dalam Yuliana (2012) adalah :

1. Asfiksia dalam kehamilan

30
a. Penyakit infeksi akut

b. Penyakit infeksi kronik

c. Keracunan oleh obat-obat bius

d. Uraemia dan toksemia gravidarum

e. Anemia berat

f. Cacat bawaan

g. Trauma

2. Asfiksia dalam persalinan

a. Kekurangan O2

b. Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)

c. Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus

mengganggu sirkulasi darah ke uri

d. Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.

e. Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan panggul.

f. Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya.

g. Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.

h. Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri.

i. Paralisis pusat pernafasan

j. Trauma dari luar seperti oleh tindakan forceps

k. Trauma dari dalam : akibat obat bius

Menurut Betz et al. (2001), terdapat empat faktor yang dapat

menyebabkan terjadinya asfiksia, yaitu :

1. Faktor ibu

31
a. Hipoksia ibu

Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik

atau anestesi dalam, dan kondisi ini akan menimbulkan hipoksia janin

dengan segala akibatnya.

b. Gangguan aliran darah uterus

Berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan

berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan juga ke janin, kondisi ini

sering ditemukan pada gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak

pada ibu karena perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi.

2. Faktor plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi

plasenta, asfiksis janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada

plasenta, misalnya perdarahan plasenta, solusio plasenta.

3. Faktor fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah

dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara

ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali

pusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara jalan lahir dan

janin.

4. Faktor neonatus

Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena

beberapa hal yaitu pemakaian obat anestesi yang berlebihan pada ibu,

trauma yang terjadi saat persalinan misalnya perdarahan intra kranial,

32
kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresia atau

stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru.

C. Patofisiologi

Dalam beberapa menit secara keseluruhan akan terjadi bradikardia

hipoksia, hipotensi curah jantung menurun, dan asidosis metabolik serta

respiratorik pada janin. Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah,

timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung

janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus

vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus

simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan

menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita

periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru,

bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak

berkembang.

Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut

jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara

berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer.

Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut

jantung terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan

terluhat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi

memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung,

tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi

sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan

33
upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan

pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera.

34
35
D. Tanda dan Gejala

Menurut Wiknjosastro (2005) tanda dan gejala asfiksia dapat muncul

mulai dari saat kehamilan hingga kelahiran bayi yang berupa :

1. Pada Kehamilan

Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari

100x/mnt, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.

a. Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia

b. Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia

c. Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat

2. Pada bayi setelah lahir

a. Bayi pucat dan kebiru-biruan

b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada

c. Hipoksia

d. Asidosis metabolik atau respiratori

e. Perubahan fungsi jantung

f. Kegagalan sistem multiorgan

Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala

neurologik, kejang, nistagmus (gerakan ritmik tanpa kontrol pada mata

yang terdiri dari tremor kecil yang cepat ke satu arah dan yang lebih besar,

lebih lambat, berulang-ulang ke arah yang berlawanan) dan menangis

kurang baik/tidak baik.

36
E. Pemeriksaan Diagnostik

1. PH tali pusat : tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status parasidosis,

tingkat rendah menunjukkan asfiksia bermakna.

2. Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%.

3. Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks

antigen-antibodi pada membran sel darah merah, menunjukkan kondisi

hemoliti

F. Penatalaksanaan

Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi

baru lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi

dan membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan resusitasi bayi

baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan ABC resusitasi :

1. Memastikan saluran nafas terbuka :

a. Meletakan bayi dalam posisi yang benar

b. Menghisap mulut kemudian hidung kalau perlu trachea

c. Bila perlu masukan ET (endotracheal tube) untuk memastikan

pernapasan terbuka

2. Memulai pernapasan :

a. Lakukan rangsangan taktil Beri rangsangan taktil dengan menyentil

atau menepuk telapak kakiLakukan penggosokan punggung bayi

secara cepat,mengusap atau mengelus tubuh,tungkai dan kepala bayi.

b. Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif

3. Mempertahankan sirkulasi darah :

37
Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada atau

bila perlu menggunakan obat-obatan

Menurut Perinasia (2006) cara resusitasi dibagi dalam tindakan umum dan

tindakan khusus :

1. Tindakan umum

a. Pengawasan suhu

b. Pembersihan jalan nafas

c. Rangsang untuk menimbulkan pernafasan

2. Tindakan khusus

a. Asfiksia berat

Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama

memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan tekanan

dan intermiten, cara terbaik dengan intubasi endotrakeal lalu

diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat hampir

selalu disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4

mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-20 % dengan dosis 2-

4ml/kgBB. Kedua obat ini disuntuikan kedalam intra vena perlahan

melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat jelas jika

ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung. Usaha pernapasan

biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali, bila

setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau

frekuensi jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan dengan

38
frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini diselingi ventilasi tekanan

dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali satu ventilasi tekanan diikuti

oleh 3 kali kompresi dinding toraks, jika tindakan ini tidak berhasil

bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini disebabkan oleh

ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikoreksi atau

gangguan organik seperti hernia diafragmatika atau stenosis jalan

nafas.

b. Asfiksia sedang

Berikan stimulasi agar timbul reflek pernapasan, bila dalam

waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif

harus segera dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter O2

intranasaldengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi

dorsofleksi kepala. Kemudioan dilakukan gerakan membuka dan

menutup nares dan mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah

dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan gerakan dinding

toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan pernapasan

spontan, usahakan mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan

jika hasil tidak dicapai dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru

dengan tekanan positif secara tidak langsung segera dilakukan,

ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari mulut ke

mulut atau dari ventilasi ke kantong masker. Pada ventilasi dari mulut

ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan O2, ventilasi

dilakukan dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan

39
gerakan nafas spontan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan

tidak berhasil jika setelah dilakukan berberapa saat terjasi penurunan

frekuensi jantung atau perburukan tonus otot, intubasi endotrakheal

harus segera dilakukan, bikarbonas natrikus dan glukosa dapat segera

diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan

pernapasan teratur, meskipun ventilasi telah dilakukan dengan adekuat

G. Asuhan Keperawatan Teori

1. Pengkajian

a. Identitas

a. Kliean (nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku/bangsa,

tanggal mrs, tanggal pengkajian, ruangan, diagnosa medis no.

rekam medik)

b. Identitas penanggung jawab (nama orang tua, agama, pendidikan,

pekerjaan, alamat, umur)

b. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat kesehatan sekarang

a) Keluhan utama

b. Riwayat kesehatan dahulu

c. Riwayat kesehatan keluarga

c. Kebutuhan dasar

1) Sirkulasi

40
a) Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt.

Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45

mmHg (diastolik)

b) Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas

maksimal tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta

III/ IV.

c) Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama

kehidupan.

d) Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1

vena.

b. Eliminasi

a) Dapat berkemih saat lahir.

c. Makanan/ cairan

a) Berat badan : 2500-4000 gram

b) Panjang badan : 44-45 cm

c) Turgor kulit elastis

d. Neurosensori

a) Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.

b) Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30

menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas).

Penampilan asimetris (edema, hematoma).

41
c) Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi

menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek

narkotik yang memanjang)

e. Pernafasan

a) Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.

b) Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada

awalnya silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum

terjadi.

f. Keamanan

a) Suhu rentang dari 36,5º C sampai 37,5º C.

b) Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat,

warna merah muda atau kemerahan

2. Pemeriksaan Fisik

1. Kulit : warna kulit tubuh merah, sedangkan ekstremitas berwarna

biru, pada bayi preterm terdapat lanugo dan verniks.

2. kepala : Kemungkinan ditemukan caput succedaneum atau cephal

haematom, ubun-ubun besar cekung atau cembung.

3. Mata : Warna konjungtiva anemis/tidak anemis, tidak ada

bleeding konjungtiva, warna sclera tidak kuning, pupil

menunjukkan refleksi terhadap cahaya.

4. Hidung : Terdapat pernafasan cuping hidung dan terdapat

penumpukan lendir.

5. Mulut : Bibir berwarna pucat atau merah lender ada/tidak

42
6. Telinga : Perhatikan kebersihannya dan adanya kelainan.

7. Leher : Perhatikan kebersihannya karena leher neonatus pendek.

8. Thorax : Bentuk simetris, terdapat tarikan intercostal, perhatikan suara

wheezing dan ronchi, frekuensi bunyi jantung lebih

dari 100 x/menit.

9. Abdomen : Bentuk silindris, hepar bayi terletak 1-2 cm dibawah arcus

costae pada garis papilla mamae, lien tidak teraba, perut

buncit berarti adanya asites/tumor, perut cekung adanya hernia

diafragma, bising usus timbul 1-2 jam setelah masa kelahiran

bayi, sering terdapat retensi karena GI Tract belum sempurna.

10. Umbilikus : Tali pusat layu, perhatikan ada perdarahan/tidak, adanya

tanda-tanda infeksi pada tali pusat.

11. Genitalia : Pada neonatus aterm testis harus turun, lihat adakah kelainan

letak muara uretra pada neonatus laki-laki, neonatus

perempuan lihat labia mayor dan labia minor, adanya sekresi

mucus keputihan, kadang perdarahan.

12. Anus : Perhatikan adanya darah dalam tinja, frekuensi buang air

besar serta warna dari faeces.

13. Ekstremitas : Warna biru, gerakan lemah, akral dingin, perhatikan

adanya patah tulang atau adanya kelumpuhan saraf atau

keadaan jari-jari tangan serta jumlahnya.

43
14. Refleks : Pada neonates preterm post asfiksia berat reflek moro

dan sucking lemah. Reflek moro dapat memberi

keterangan

3. Pemeriksaan Penunjang

1. Darah

Nilai darah lengkap pada bayi asfiksia terdiri dari :

 Hb (normal 15-19 gr%), biasanya pada bayi dengan asfiksia Hb

cenderung turun karena O2 dalam darah sedikit.

 Leukositnya lebih dari 10,3 x 10 gr/ct (normal 4,3-10,3 x 10 gr/ct)

karena bayi preterm imunitas masih rendah sehingga resiko tinggi.

 Trombosit (normal 350 x 10 gr/ct).

 Distrosfiks pada bayi preterm dengan pos asfiksi cenderung turun

karena sering terjadi hipoglikemi.

2. Nilai analisa gas darah pada bayi post asfiksi terdiri dari :

 pH (normal 7,36-7,44). Kadar pH cenderung turun terjadi asidosis

metabolik.

 pCO2 (normal 35 – 45 mmHg). Kadar pCO2 pada bayi post asfiksia

cenderung naik sering terjadi hiperapnea.

 pO2 (normal 75-100 mmHg). Kadar pO2 bayi post asfiksia cenderung

turun karena terjadi hipoksia progresif.

 HCO3 (normal 24-28 mEq/L)

3. Urine

Nilai serum elektrolit pada bayi post asfiksia terdiri dari :

44
 Natrium (normal 134-150 mEq/L)

 Kalium (normal 3,6-5,8 mEq/L)

 Kalsium (normal 8,1-10,4 mEq/L)

4. Foto thorax

· Pulmonal tidak tampak gambaran, jantung ukuran normal.

4. Diagnosa Keperawatan

Menurut Gordon (1976) Diagnosa keperawatan adalah masalah

kesehatan aktual atau potensial dimana perawat, dengan pendidikan dan

pengalamannya, mampu dan mempunyai izin untuk mengatasinya.

Adapun diagnosa yang biasanya muncul pada kasus asfiksia adalah

sebagai berikut :

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d produksi mukus banyak.

2. Ketidakefektifan pola nafas b.d hipoventilasi/ hiperventilasi

3. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi

4. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak

teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.

5. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2

dalam darah.

6. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan

anggota keluarga.

45
5. Intervensi

Intervensi keperawatan adalah tindakan yang dirancang untuk

membantu klien dalam beralih dari tingkat kesehatan saat ini ke tingkat

yang diinginkan dalam hasil yang diharapkan. (Gordon, 1994).

Intervensi keperawatan adalah semua tindakan asuhan yang

perawat lakukan atas nama klien. Tindakan ini termasuk intervensi yang

diprakarsai oleh perawat, dokter, atau intervensi kolaboratif. (McCloskey

& Bulechek, 1994).

Tujuan dan Kriteria


No Diagnosa Intervensi
Hasil

1 Ketidakefektifan NOC: 1. Pastikan kebutuhan

bersihan jalan ❖ Respiratory status : oral atau tracheal

nafas b.d produksi Ventilation suctioning.

mukus banyak ❖ Respiratory status : 2. Berikan O2

Airway patency 3. Anjurkan pasien

❖ Aspiration Control untuk istirahat dan

Kriteria Hasil napas dalam

1. Mendemonstrasikan 4. Posisikan pasien

batuk efektif dan suara untuk

nafas yang bersih, tidak memaksimalkan

ada sianosis dan ventilasi

dyspneu (mampu 5. Lakukan fisioterapi

46
mengeluarkan sputum, dada jika perlu

bernafas dengan mudah, 6. Keluarkan sekret

tidak ada pursed lips) dengan batuk atau

2. Menunjukkan jalan suction

nafas yang paten (klien 7. Auskultasi suara

tidak merasa tercekik, nafas, catat adanya

irama nafas, frekuensi suara tambahan

pernafasan dalam 8. Berikan

rentang normal, tidak bronkodilator :

ada suara nafas

abnormal) 9. Monitor status

3. Mampu hemodinamik

mengidentifikasikan 10. Berikan pelembab

dan mencegah faktor udara Kassa basah

yang penyebab. NaCl Lembab

4. Saturasi O2 dalam batas 11. Berikan antibiotik :

normal

5. Foto thorak dalam batas 12. Atur intake untuk

normal cairan

mengoptimalkan

keseimbangan.

13. Monitor respirasi

dan status O2

47
14. Pertahankan hidrasi

yang adekuat untuk

mengencerkan

secret

15. Jelaskan pada

pasien dan keluarga

tentang penggunaan

peralatan : O2,

Suction, Inhalasi.

2 Ketidakefektifan NOC: 1. Posisikan pasien

pola nafas b.d ❖Respiratory status : untuk

hipoventilasi/ Ventilation memaksimalkan

hiperventilasi ❖Respiratory status : ventilasi

Airway patency 2. Pasang mayo bila

❖Vital sign Status perlu

Kriteria Hasil : 3. Lakukan fisioterapi

1. Mendemonstrasikan dada jika perlu

batuk efektif dan 4. Keluarkan sekret

suara nafas yang dengan batuk atau

bersih, tidak ada suction

sianosis dan dyspneu 5. Auskultasi suara

(mampu nafas, catat adanya

mengeluarkan suara tambahan

48
sputum, mampu 6. Berikan

bernafas dg mudah, bronkodilator :

tidakada pursed lips) 7. Berikan pelembab

2. Menunjukkan jalan udara Kassa basah

nafas yang paten NaCl Lembab

(klien tidak merasa 8. Atur intake untuk

tercekik, irama nafas, cairan

frekuensi pernafasan mengoptimalkan

dalam rentang keseimbangan.

normal, tidak ada 9. Monitor respirasi

suara nafas abnormal) dan status O2

3. Tanda Tanda vital a. Bersihkan mulut,

dalam rentang normal hidung dan

(tekanan darah, nadi, secret trakea

pernafasan) b. Pertahankan

jalan nafas yang

paten

c. Observasi

adanya tanda

tanda

hipoventilasi

d. Monitor adanya

kecemasan

49
pasien terhadap

oksigenasi

e. Monitor vital

sign

f. Informasikan

pada pasien dan

keluarga tentang

tehnik relaksasi

untuk

memperbaiki

pola nafas.

g. Ajarkan

bagaimana batuk

efektif

h. Monitor pola

nafas

3 Kerusakan NOC: 1. Posisikan pasien

pertukaran gas b.d ❖ Respiratory Status : Gas untuk

ketidakseimbangan exchange memaksimalkan

perfusi ventilasi ❖ Keseimbangan asam ventilasi

Basa, Elektrolit 2. Pasang mayo bila

❖ Respiratory Status : perlu

ventilation 3. Lakukan fisioterapi

50
❖ Vital Sign Status dada jika perlu

Kriteria Hasil : 4. Keluarkan sekret

1. Mendemonstrasikan dengan batuk atau

peningkatan ventilasi suction

dan oksigenasi yang 5. Auskultasi suara

adekuat nafas, catat adanya

2. Memelihara suara tambahan

kebersihan paru paru 6. Berikan

dan bebas dari tanda bronkodilator ;

tanda distress 7. Barikan pelembab

pernafasan udara

3. Mendemonstrasikan 8. Atur intake untuk

batuk efektif dan cairan

suara nafas yang mengoptimalkan

bersih, tidak ada keseimbangan.

sianosis dan dyspneu 9. Monitor respirasi

(mampu dan status O2

mengeluarkan a. Catat pergerakan

sputum, mampu dada,amati

bernafas dengan kesimetrisan,

mudah, tidak ada penggunaan otot

pursed lips) tambahan,

4. Tanda tanda vital retraksi otot

51
dalam rentang normal supraclavicular

5. AGD dalam batas dan intercostal

normal b. Monitor suara

6. Status neurologis nafas, seperti

dalam batas normal dengkur

c. Monitor pola

nafas :

bradipena,

takipenia,

kussmaul,

hiperventilasi,

cheyne stokes,

biot

d. Auskultasi suara

nafas, catat area

penurunan / tidak

adanya ventilasi

dan suara

tambahan

e. Monitor TTV,

AGD, elektrolit

dan ststus mental

f. Observasi

52
sianosis

khususnya

membran

mukosa

g. Jelaskan pada

pasien dan

keluarga tentang

persiapan

tindakan dan

tujuan

penggunaan alat

tambahan (O2,

Suction, Inhalasi)

h. Auskultasi bunyi

jantung, jumlah,

irama dan denyut

jantung

4 Risiko cedera b.d NOC : 1. Cuci tangan setiap

anomali kongenital 1. Risk control sebelum dan sesudah

tidak terdeteksi Kriteria Hasil : merawat bayi

atau tidak teratasi 1. Klien terbebas dari 2. Pakai sarung tangan

pemajanan pada cidera steril

agen-agen 2. Mendeskripsikan 3. Lakukan pengkajian

53
infeksius aktivitas yang tepat fisik secara rutin

dari level terhadap bayi baru

perkembangan anak lahir, perhatikan

3. Mendeskripsikan pembuluh darah tali

teknik pertolongan pusat dan adanya

pertama anomaly

4. Ajarkan keluarga

tentang tanda dan

gejala infeksi dan

melaporkannya pada

pemberi pelayanan

kesehatan

5. Berikan agen

imunisasi sesuai

indikasi

(imunoglobulin

hepatitis B dari

vaksin hepatitis B

bila serum ibu

mengandung antigen

permukaan hepatitis

B (Hbs Ag), antigen

inti hepatitis B (Hbs

54
Ag) atau antigen E

(Hbe Ag).

5 Risiko Kriteria hasil : 1. Hindarkan pasien

ketidakseimbangan 1. Temperatur badan dari kedinginan dan

suhu tubuh b.d dalam batas normal tempatkan pada

kurangnya suplai 2. Tidak terjadi distress lingkungan yang

O2 dalam darah pernafasan hangat.

3. Tidak gelisah 2. Monitor temperatur

4. Perubahan warna kulit dan warna kulit.

5. Bilirubin dalam batas 3. Monitor TTV.

normal 4. Jaga temperatur suhu

tubuh bayi agar tetap

hangat.

5. Tempatkan BBL

pada inkubator bila

perlu

6 Proses keluarga Kriteria Hasil : 1. Buat hubungan dan

terhenti b.d 1. Percaya dapat akui kesulitan situasi

pergantian dalam mengatasi masalah. pada keluarga.

status kesehatan 2. Kestabilan prioritas. 2. Tentukan

anggota keluarga 3. Mempunyai rencana pengetahuan akan

darurat. situasi sekarang.

4. Mengatur ulang cara 3. Ikutsertakan orang

55
perawatan. terdekat dalam

5. Status kekebalan pemberian informasi,

anggota keluarga. pemecahan masalah

6. Anak mendapatkan dan perawatan

perawatan tindakan pasien sesuai

pencegahan. kemungkinan.

7. Akses perawatan

kesehatan.

8. Kesehatan fisik

anggota keluarga

6. Implementasi

Implementasi merupakan tahap proses keperawatan di mana

perawat memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung

terhadap klien. (Sumber: Potter & Perry. (2009). Fundamental of Nursing

7 th Edition).

Menurut Craven dan Hirnle (2000) secara garis besar terdapat tiga

kategori dari implementasi keperawatan, antara lain:

1. Cognitive implementations

Meliputi pengajaran/ pendidikan, menghubungkan tingkat

pengetahuan klien dengan kegiatan hidup sehari-hari, membuat

strategi untuk klien dengan disfungsi komunikasi, memberikan umpan

balik, mengawasi tim keperawatan, mengawasi penampilan klien dan

56
keluarga, serta menciptakan lingkungan sesuai kebutuhan, dan lain

lain.

2. Interpersonal implementations

Meliputi koordinasi kegiatan-kegiatan, meningkatkan pelayanan,

menciptakan komunikasi terapeutik, menetapkan jadwal personal,

pengungkapan perasaan, memberikan dukungan spiritual, bertindak

sebagai advokasi klien, role model, dan lain lain.

3. Technical implementations

Meliputi pemberian perawatan kebersihan kulit, melakukan aktivitas

rutin keperawatan, menemukan perubahan dari data dasar klien,

mengorganisir respon klien yang abnormal, melakukan tindakan

keperawatan mandiri, kolaborasi, dan rujukan, dan lain-lain.

7. Evaluasi

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang

merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir

yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan (Sumber: Asmadi (2008), Konsep Dasar Keperawatan,

Jakarta: EGC)

Tahap-tahap evaluasi :

1. Mengidentifikasi kriteria dan standar evaluasi

2. Mengumpulkan data untuk menentukan apakah kriteria dan standar

telah terpenuhi

3. Menginterpretasi dan meringkas data

57
4. Mendokumentasikan temuan dan setiap pertimbangan klinis

5. Menghentikan, meneruskan, atau merevisi rencana perawatan.

(Sumber: Potter & Perry. (2009). Fundamental of Nursing 7 th

Edition)

Pendokumentasian manajemen keperawatan dengan metode SOAP yaitu :

a. Data Subjektif

Data Subyektif ( S ) merupakan pendokumentasian manajemen

kebidanan menurut Helen Varney langkah pertama (pengkajian data)

terutama data yang diperoleh melalui anamnesis. Data subjektif ini

berhubungan dengan masalah dari sudut pandang pasien. Ekspresi

pasien mengenai kekhawatiran dan keluhannya yang dicatat sebagai

kutipan langsung dengan diagnosis. Data subjektif ini nantinya akan

menguatkan diagnosis yang akan disusun.

b. Data Objektif

Data Objektif ( O ) merupakan pendokumentasian manajemen

kebidanan menurut Helen Varney pertama (pengkajian data) terutama

data yang diperoleh melalui hasil observasi yang jujur dari

pemeriksaan fisik pasien, pemeriksaan laboratorium atau diagnostic

lain. Catatan medic dan informasi darikeluarga atau orang lain dapat

dimasukkan dalam data objektif ini. Data ini akan memberikan bukti

gejala klinis pasien dan fakta yang berhubungan dengan diagnosis.

c. Assesment

58
Analysis atau assessment ( A ) merupakan pendokumentasian hasil

analisis dan interpretasi (kesimpulan) dari data subjektif dan objektif.

Dalam pendokumentasian manajemen kebidanan karena keadan

pasien yang setiap saat bisa mengalami perubahan dan akan

ditemukan informasi baru dalam data subjektif maupun data objektif

maka proses pengkajian data akan menjadi sangat dinamis.

Analysis atau assessment ( A ) merupakan pendokumentasian

manajemen kebidanan menurut Helen Varney langkah ke-2, ke-3 dan

ke-4 sehingga mencakup hal-hal berikut ini : diagnosis atau masalah

kebidanan, diagnosis atau masalah potensial serta perlunya

mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera untuk antisipasi diagnosis

atau masalah potensial dan kebutuhan tindakan segera harus

diidentifikasi menurut kewenangan bidan, meliputi tindakan mandiri,

tindakan kolaborasi dan tindakan merujuk klien.

d. Planning

Planning atau perencanaan ( P ) adalah membuat rencana asuhan saat

ini dan yang akan datang. Rencana asuhan disusun berdasarkan hasil

analisis dan interpretasi data. Rencana asuhan ini bertujuan untuk

mengusahakan tercapainya kondisi pasien seoptimal mungkin dan

mempertahankan kesejahteraannya. Rencana asuhan ini harus bisa

mencapai kriteria tujuan yang ingin dicapai dalam batas tertentu.

Tindakan yang akan dilaksanakan harus mampu membantu pasien

59
mencapai kemajuan dan harus sesuai dengan hasil kolaborasi tenaga

kesehatan lain antara lain dokter.

Meskipun secara istilah P adalah Planning atau perencanaan saja, namun

P dalam metode SOAP ini juga merupakan gambaran pendokumentasian

implementasi dan evaluasi. P dalam SOAP meliputi manajemen

kebidanan menurut Helen Varney langkah ke-5, ke-6 dan ke-7. Dalam

planning ini juga harus mencantumkan evaluasi atau evaluation yaitu

tafsiran dari efek tindakan yang telah diambil untuk menilai keefektifan

asuhan atau hasil pelaksanaan tindakan. Evaluasi berisi analisis hasil

yang telah dicapai dan merupakan focus ketepatan nilai tindakan atau

asuhan (Muslihatun, 2009).

60
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. DATA NEONATUS

Inisial bayi : By. Ny. R

Tanggal dirawat : 3 November 2018

Jenis kelamin : Laki – Laki

Alamat : Kp pili parik gadang koto kaciak Sumatra Barat

Tanggal lahir/usia : 3 November 2018

Tanggal pengkajian : 4 November 2018

Orang tua :-

Ayah Ibu

Nama Jon Bravo Ramayana

Pendidikan SMA SMA

Pekerjaan Wiraswasta IRT

Usia 48 tahun 31 tahun

Diagnose medis : Asfiksia

Riwayat bayi : Anak ke 5 dari 4 bersaudara, bayi lahir secara

spontan pukul 16.15 WIB dengan jenis kelamin laki

laki dengan berat 3300 gr Panjang 48 cm

Apgar score : 5/6

Berat badan : 3300 gr Panjang badan : 48 cm

Komplikasi persalinan :

61
a. Aspirasi mekonium : Tidak ada

b. Denyut jantung janin abnormal : Tidak

c. Maslah lain : Tidak ada

d. Prolaps tali pusat/lilitan tali pusat : Tidak ada

e. Ketuban pecah dini : Tidak

B. Riwayat Penyakit

1. Keluhan Utama

Sesak nafas sejak lahir

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Bayi dikiriman dari RSB dengan berat badan : 3300 gram, panjang : 48

cm, lahir secara partus pervaginam, ketuban jernih, plasenta lahir lengkap

utuh, bayi sesak dan warna kulitnya kebiruan tarikan dinding dada ada dan

merintih ada.

3. Riwayat penyakit Dahulu

Ibu mengatakan bayinya sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit apa-

apa.

4. Riwayat penyakit keluarga

Ibu mengatakan, anggota baik ibu ataupun ayah bayi tidak memiliki

riwayat penyakit apapun.

Riwayat ibu :

Usia Gravid Partus Abnormal

25 tahun G1P1A0H0 Pertama Bayi normal

26 tahun G2P1A1H0 Kedua Bayi normal

62
28 tahun G3P2A1H1 Ketiga Bayi normal

30 tahun G4P3A1H2 Keempat Bayi normal

31 tahun G5P4A1H3 Ke lima Bayi normal

Komplikasi kehamilan :

1) Tidak ada (√) Ada ( )

2) Perawatan antenatal (√) Ibu selalu memeriksakan bayinya ke bidan

3) Rupture plasenta/plasenta previa (-)

4) Pre eklamsi/toxcemia (-)

5) Suspect sepsis (-)

6) Persalinan premature/post mature (-)

7) Maslah lain : Tidak ada

C. Pengkajian Fisik Neonatus

- Tanda-tanda vital

Nadi : 108’

RR : 52’

S : 38,5

BB : 3300 gr

PB : 47 cm

1. Kepala

 Inspeksi : - Bentuk kepala mesocepal

- wajah simetrik ka/ki

- tidak ada lesi

63
- Down scor : 7

- Lingkar kepala : 32 cm

 Palpasi : Tidak ada oedema

4. Mata

 Inspeksi : - Mata simetris kanan/kiri ,

- Slera ikterik

- konjungtiva tidak anemis

- mata mengeluarkan secret berwarna kuning

 Palpasi : Tidak ada oedema

5. Hidung

 Inpeksi : - Simetris kanan/kiri ( utuh )

- tidak ada sumbatan

- tidak ada secret

- terpasang O2 0,1 L

6. Telinga

 Inpeksi : - Simetris kana/kiri

- tidak ada lesi

- tidak ada oedema

7. Mulut

 Inpeksi : Tidak ada lesi

bayi belum memiliki daya hisap yang baik

bayi tidak menyusu ASI secara langsung malainkan

melalui OGT, tapi pada bibir kering,

64
bayi banyak mengeluarkan lendir dari mulut

 Palpasi : Rooting reflek (+)

Sucking Reflek (reflek menghisap) (-)

Reflek Moro ( + )

8. Leher

 Inspeksi : Tidak ada perbesaran kelenjar tyroid

 Palpasi : Tidak ada oedem

9. Dada/thorax

Paru-paru

 Inspeksi : - Bentuk dada simestris kanan/kiri

- pergerakan dada dan abdomen tidak simetris

- oedem (-)

- lesi (-)

- Retraksi dada ( + )

- Merintih ( + )

 Palpasi : - Tidak terdapat krpitasi

- fremutis kanan/kiri sama

- nyeri tekan (-)

- massa (-)

 Auskultasi : suara paru vesikuler

10. Abdomen

 Inspeksi : Pusat insersi di tengah

 Palpasi : - Tidak ada perbesaran

65
- tidak ada oedem

- bentuk perut cembung

 Perkusi : Thimpani

11.Genetalia/anus

 Inspeksi : - Jenis kelamin laki-laki, anus ada

- Testis nya sudah turun dengan baik

12.Ext atas

Ekst. Atas

 Inspeksi : Tidak ada kelainan

- Terpasang infuse di bagian tangan

- sebelah kiri dengan cairan Dex = 6:2-4:1

- Tangan lengkap, tidak ada kelainan pada alat gerak,

ROM baik

 Palpsi : - ada pembengkakan

- tidak ada kelainan ketika di gerakkan dan tidak

menangis

Ekst. Bawah

- Reflesk babinski (+)

- kaki lengkap tidak ada tidak ada yang tertinggal,

- genu varum (-)

- genu valgum (-)

- tidak ada nyeri ketika diangkat.

66
13.Kulit

 Inspeksi : - Warna kulit kuning grade 2

- Lesi (-)

 Palpasi : Turgor kulit kurang baik

14. Suhu

 Lingkungan : Bayi dimasukkan dalam incubator dengan suhu

33,00 C

 Tubuh : 35,80 C

1. Data tambahan :

a. Data penunjang

Laboratorium :

Hasil laboratorium tanggal 4 November2018

- pH : 7, 270

- pCO2 : 52,9

- Po2 : 32,1

- Hb : 14,3

- LEUKOSIT : 12,9

- GDR : 64

- BILIRUBIN : 13

- RBC : 4,44

b. Pengobatan

- Ampicilin 4x250 mg

- Gentamicin 1x14 mg

67
- Aminophilin 4x4,8 mg

DATA FOKUS

DO :

 Kien menggunakan otot bantu pernafasan

 Pernapasan cuping hidung.

 Kapasital vital menurun.

 Bradikardi.

 Sianosis di bagian kaki

 Bayi terpasang CPAP dengan FiO2 50%, PEEP 7

 Pola napas lambat.

Rr : 90x/menit

Nadi : 192x/menit

 Warna kulit kebiruan.

 Kesadaran menurun.

 PO2 menurun.

 Hipoksia.

 Ventilasi menurun.

 Suhu 35,6 C

 akral teraba pucat dan dingin

 ujung tangan dan bibir klien tampak diagnosis

 kulit berwarna kemerahan

 tali pusat masih basah

 tali pusat masih berbau

68
DS : -

ANALISA DATA

NO DATA ETIOLOGI MASALAH

1. DO : Janin kekurangan Ketidakefektifan

a. Klien menggunakan otot O2 dan kadar pola napas b.d

pernapasan. CO2 menurun penurunan

b. Pernapasan cuping hidung. kapasitas vital.

c. Kapasital vital menurun. Apneu

d. Terpasang CPAP 50%, PEEP

7 MmHg Pola napas tak

DS : - efektif

2. DO : Paralisis pusat Gangguan

a. Bradikardi. pernapasan pertukaran gas

b. Sianosis di bagian kaki b.d perfusi

c. Pola napas lambat. Janin kekurangan ventilasi.

Rr : 90x/menit O2 dan kadar

Nadi : 192x/menit CO2 menurun

d. Warna kulit kebiruan.

e. Kesadaran menurun. Apneu

f. Bayi terpasang CPAP 7 dan

oksigen 54 % Gangguan

DS : - pertukaran gas

69
3. DO : Janin kekurangan Resiko

a. PO2 menurun. O2 dan kadar ketidakseimbanga

b. Hipoksia. CO2 menurun n suhu tubuh b.d

c. Ventilasi menurun. suplai oksigen

d. Suhu 35,6 C Suplai O2 dalam dalam darah

DS : - darah menurun menurun.

Resiko ketidak

seimbangan suhu

tubuh

4 Ds Resiko infeksi

Do :

a. adanya lesi pada tali pusat

b. tali pusat masih basah

c. suhu : 35,7

d. tali pusat berbau

5 Ds : - Transport O2 & Nutrisi kurang


nutrisi janin tidak
Do : cukup dari kebutuhan

a.kesadaran komposmentis tubuh


Daya isap lemah
b. BB : 3300gr

c. reflek isap belum kuat Daya isap lemah

d. ibu belum tampak menyusui


Nutrisi kurang

70
dari kebutuhan
tubuh

6 DS :- Janin kekurangan Ketidak efektifan


O2 dan kadar
D0 : CO2 termogulasi

a.akral teraba pucat dan dingin


Suplai O2 dalam
b.ujung tangan dan bibir klien darah

tampak diagnosis
Proses penyakit
c.kulit berwarna kemerahan (Asfiksia)
d.crt >3 detik

e.RR : 90x/menit

Diagnosa Keperawatan:

1. Ketidakefektifan pola napas b.d penurunan kapasitas vital.

2. Gangguan pertukaran gas b.d perfusi ventilasi.

3. Resiko infeksi b.d faktor lingkungan dan tali pusat yang masih basah

4. Resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d daya isap

lemah dan intake output nutrisi.

5. Ketidak efektifan termogulasi bd proses penyakit

71
Rencana Keperawatan

DIAGNOSA NOC NIC


Tujuan dan kriteria Intervensi
KEPERAWATAN
Hasil

1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Buka jalan napas, gunakan

pola napas b.d tindakan keperawatan teknik chin lift atau jaw

penurunan selama 30 menit thrust bila perlu.

kapasitas vital. diharapkan 2. Posisikan pasien untuk

ketidakefektifan pola memaksimalkan ventilasi.

napas teratasi dengan 3. Identifikasi pasien perlunya

kriteria hasil : pemasangan alat jalan napas

1. Menunjukkan jalan buatan.

napas yang paten 4. Monitor frekuensi dan irama

(klien tidak merasa pernapasan.

tercekik, irama 5. Monitor suhu, warna, dan

napas, frekuensi kelembaban kulit

pernapasan dalam

rentang normal,

tidak ada suara

napas abnormal).

2. Tanda-tanda vital

dalam rentang

normal.

72
2.Gangguan Setelah dilakukan 1. Auskultasi suara napas,

pertukaran gas b.d tindakan keperawatan catat area penurunan / tidak

perfusi ventilasi. selama 30 menit adanya ventilasi dan suara

diharapkan masalah tambahan.

gangguan pertukaran 2. Catat pergerakan dada,

gas teratasi dengan amati kesimetrisan,

kriteria hasil : penggunaan otot tambahan,

1. Peningkatan retraksi otot supraclavicular

ventilasi dan dan intercostal.

oksigenisasi yang 3. Tentukan kebutuhan suction

adekuat. dengan mengauskultasi

2. Kebersihan paru- crakles dan ronkhi pada

paru bebas dari jalan napas utama.

tanda-tanda 4. Auskultasi suara paru

distress. setelah tindakan untuk

3. Suara napas yang mengetahui hasilnya.

bersih, tidak ada 5. Monitor pola napas.

sianosis dan

dyspneu.

4. Tanda-tanda vital

dalam rentang

normal.

73
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. bersihkan lingkungan

b.d faktor tindakan keperawatan 2. cuci tangan sebelum dan dan

lingkungan dan selama 30 menit sesudah melakukan tindakan

tali pusat yang diharapkan : 3. pertahankan lingkungan

masih basah 1.klien bebas dari aseptic selama pemasangan alat

tanda dan gekala 4. kolaborasi dengan Dr dalam

infeksi memberikan obat obatan

2.jumlah leokosit

dalam batas normal

3.mencegah timbul

nya infeksi

4. Resiko Setelah dilakukan 1. sediakan ASI sesuai dengan

pemenuhan tindakan keperawatan kebutuhan

nutrisi kurang selama 30 menit 2. monitor jumlah nutrisi yang

dari kebutuhan diharapkan : diberikan

tubuh b.d daya 1.adanya peningkatan 3. mengkaji fungsi pengecapan

isap lemah dan berat badan sesaui menelan

intake output degan ukuran

nutrisi. 2.mampu

mengidentifikasi

kebutuhan nutrisi

74
3.tidak terjadi

penurunan berat badan

yang berarti

4.menunjukan

peningkatan fungsi

pengecapan dan

menelan

5. Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1.monitor suhu minimal tiap 2

termogulasi bd tindakan keperawatan jam sekali

proses penyakit selama 30 menit 2. monitor warna dan suhu kulit

diharapkan : 3. monitor tanda tanda

1.temperature stabil hopotermi dan hipertemi

36,5-37,5 4. tingkatkan intake cairan dan

2.tidak ada kejang nutrisi

3.tidak ada perubahan 5.monitor nadi dan pernafasan

warna kulit

4.glukosa darah stabil

5.keseimbangan asam

basa bayi baru lahir

75
Catatan Perkembangan

Tanggal/hari Diagnosa Implementasi Evaluasi Paraf

Keperawatan

4 november Ketidakefektifan Jam 10:00 WIB S : Ibu mengatakan


bayinya masih nampak
2018 pola napas b.d 1. Buka jalan napas,
sesak,bayinya terpasang
penurunan menggunakan teknik
selang O2
kapasitas vital. chin lift atau jaw O : Bayi terpasang
CPAP dengan FiO2
DO: thrust.
50% PEEP 7, bayi
a. Klien 2. memposisikan pasien
tampak sesak,
menggunakan untuk pernafasan bayi 60’,
suhu bayi 35,8 ,
otot memaksimalkan
SaO2 92%
pernapasan ventilasi.
A : ketidakefektifan
saat bernapas. 3. memasang alat jalan pola nafas belum
teratasi
b. Pola napas napas buatan nasal
P : Intervensi
bradipnea. canul pediatric 2l.
dilanjutkan
(18x/menit) 4. Kaji frekuensi dan

c. Pernapasan irama pernapasan.

cuping Frekuensi napas :

hidung. 24x/menit.

d. Kapasital vital Irama : Belum

menurun. Teratur.

e. T : 35,60C 5. Kaji suhu, warna,

DS: - dan kelembaban

76
kulit.

T : 36oC

Warna : Sianosis pada

daerah ekstremitas, kulit

lembab.

Gangguan Jam 10:10 WIB Jam 11:00 WIB

pertukaran gas 1. Mengauskultasi suara S : -

b.d perfusi napas, catat area O :

ventilasi. penurunan / tidak  Sianosis

DO : adanya ventilasi dan  Pola napas

a. PO2 suara tambahan. belum normal

menurun. 2. Mencatat pergerakan  Bayi terpasang

b. Bradikardi dada, mengamati CPAP dengan

(80x/menit). kesimetrisan, FiO2 50% PEEP

77
c. Sianosis. penggunaan otot 7

d. Pola napas tambahan, retraksi  Masih lemah

lambat. (18x/ otot supraclavicular  Masih

menit) dan intercostal. menggunakan

e. Warna kulit 3. Memberikan otot dada saat

kebiruan. tindakan suction bernapas.

f. Kesadaran 4. Mengauskultasi suara  Tidak ada lagi

menurun. paru setelah tindakan sekret yang

DS : - untuk mengetahui mengganggu

hasilnya. jalan napas.

5. Monitor pola napas. A : Masalah gangguan

pertukaran gas

belum teratasi.

P : Intervensi 1, 2, 4,

dan 5 dilanjutkan,

dan berkolaborasi

dengan tim medis

dalam pemberian

obat.

Resiko infeksi 1.bersihkan lingkungan S: -

b.d faktor 2. cuci tangan sebelum O: Tali pusat tampak

lingkungan dan dan dan sesudah basah

tali pusat yang melakukan tindakan Tali pusat berbau

78
masih basah 3.pertahankan Lesi (+)

Ds lingkungan aseptic A : masalah Resiko

Do : selama pemasangan alat infeksi b.d faktor

a. adanya lesi 4. kolaborasi dengan Dr lingkungan dan tali

pada tali pusat dalam memberikan obat pusat yang masih

b. tali pusat obatan basah belum teratasi

masih basah P : intervensi 1-4

c. suhu : 35,7 dilanjutkan

d. tali pusat

berbau

Resiko 1.memyediakan ASI S: -

pemenuhan sesuai dengan kebutuhan O: bayi terpasang OGT

nutrisi kurang 2. memonitor jumlah Mukosa bibir

dari kebutuhan nutrisi yang diberikan kering

tubuh b.d daya 3. mengkaji fungsi A: masalah Resiko

isap lemah dan pengecapan menelan pemenuhan nutrisi

intake output kurang dari kebutuhan

nutrisi tubuh b.d daya isap

Ds : - lemah dan intake output

Do : nutrisi masih belum

a.kesadaran teratasi

komposmentis P: intervensi masih

79
b. BB : 3300gr dilanjutkan

c. reflek isap

belum kuat

d. ibu belum

tampak menyusui

Ketidak 1.memonitor suhu S:-

efektifan minimal tiap 2 jam O: bayi rawat dalam

termogulasi bd sekali incubator

proses penyakit 2. memonitor warna dan Terpasang CPAP

DS :- suhu kulit FIo2 50%, PEEP :

D0 : 3. memonitor tanda 7MmHg

a.akral teraba tanda hopotermi dan Nadi : 118x/menit

pucat dan dingin hipertemi Rr : 53x/menit

b.ujung tangan 4. meningkatkan intake Suhu : 35,9

dan bibir klien cairan dan nutrisi Sat : 89%

tampak diagnosis 5.memonitor nadi dan A:Masalah Ketidak

c.kulit berwarna pernafasan efektifan termogulasi

kemerahan bd proses penyakit

d.crt >3 detik belum teratasi

e.RR : 90x/menit P: intervensi masih

dilanjutkan

80
Tanggal/hari Diagnosa Implementasi Evaluasi Paraf

Keperawatan

5 november Ketidakefektifan Jam 10:00 WIB S:-


O : Bayi terpasang
2018 pola napas b.d 6. Buka jalan napas,
CPAP dengan FiO2
penurunan menggunakan teknik
45% PEEP 7, bayi
kapasitas vital. chin lift atau jaw tampak sesak,
pernafasan bayi 74
DO: thrust.
Nadi : 142x/m ’,
f. Klien 7. memposisikan pasien
suhu bayi 37,6 ,
menggunakan untuk SaO2 99%
A : ketidakefektifan
otot memaksimalkan
pola nafas belum
pernapasan ventilasi.
teratasi
saat bernapas. 8. memasang alat jalan P : Intervensi

g. Pola napas napas buatan nasal dilanjutkan

bradipnea. canul pediatric 2l.

(18x/menit) 9. Kaji frekuensi dan

h. Pernapasan irama pernapasan.

cuping Frekuensi napas :

hidung. 24x/menit.

i. Kapasital vital Irama : Belum

menurun. Teratur.

81
j. T : 35,60C 10. Kaji suhu, warna,

DS: - dan kelembaban

kulit.

T : 36oC

Warna : Sianosis pada

daerah ekstremitas, kulit

lembab.

Gangguan Jam 10:10 WIB Jam 11:00 WIB

pertukaran gas 6. Mengauskultasi suara S : -

b.d perfusi napas, catat area O :

ventilasi. penurunan / tidak  Pola napas

DO : adanya ventilasi dan belum normal

g. PO2 suara tambahan.  Bayi terpasang

menurun. 7. Mencatat pergerakan CPAP dengan

h. Bradikardi dada, mengamati FiO2 45% PEEP

(80x/menit). kesimetrisan, 7

82
i. Sianosis. penggunaan otot  Masih lemah

j. Pola napas tambahan, retraksi  Masih

lambat. (18x/ otot supraclavicular menggunakan

menit) dan intercostal. otot dada saat

k. Warna kulit 8. Memberikan bernapas.

kebiruan. tindakan suction  Tidak ada lagi

l. Kesadaran 9. Mengauskultasi suara sekret yang

menurun. paru setelah tindakan mengganggu

DS : - untuk mengetahui jalan napas.

hasilnya. A : Masalah gangguan

10. Monitor pola napas. pertukaran gas

belum teratasi.

P : Intervensi 1, 2, 4,

dan 5 dilanjutkan,

dan berkolaborasi

dengan tim medis

dalam pemberian

obat.

Resiko infeksi 1.bersihkan lingkungan S: -

b.d faktor 2. cuci tangan sebelum O: Tali pusat tampak

lingkungan dan dan dan sesudah basah

tali pusat yang melakukan tindakan Tali pusat berbau

masih basah 3.pertahankan Lesi (+)

83
Ds lingkungan aseptic A : masalah Resiko

Do : selama pemasangan alat infeksi b.d faktor

a. adanya lesi 4. kolaborasi dengan Dr lingkungan dan tali

pada tali pusat dalam memberikan obat pusat yang masih

b. tali pusat obatan basah belum teratasi

masih basah P : intervensi 1-4

c. suhu : 35,7 dilanjutkan

d. tali pusat

berbau

Resiko 1.memyediakan ASI S: -

pemenuhan sesuai dengan kebutuhan O: bayi terpasang OGT

nutrisi kurang 2. memonitor jumlah Mukosa bibir kering

dari kebutuhan nutrisi yang diberikan A: masalah Resiko

tubuh b.d daya 3. mengkaji fungsi pemenuhan nutrisi

isap lemah dan pengecapan menelan kurang dari kebutuhan

intake output tubuh b.d daya isap

nutrisi lemah dan intake output

Ds : - nutrisi masih belum

Do : teratasi

a.kesadaran P: intervensi masih

komposmentis dilanjutkan

b. BB : 3300gr

84
c. reflek isap

belum kuat

d. ibu belum

tampak menyusui

Ketidak 1.memonitor suhu S:-

efektifan minimal tiap 2 jam O: bayi rawat dalam

termogulasi bd sekali incubator

proses penyakit 2. memonitor warna dan Terpasang CPAP

DS :- suhu kulit FIo2 45%, PEEP :

D0 : 3. memonitor tanda 7 MmHg

a.akral teraba tanda hopotermi dan Nadi : 156x/menit

pucat dan dingin hipertemi Rr : 83x/menit

b.ujung tangan 4. meningkatkan intake Suhu : 37,6

dan bibir klien cairan dan nutrisi Sat : 89%

tampak diagnosis 5.memonitor nadi dan A:Masalah Ketidak

c.kulit berwarna pernafasan efektifan termogulasi

kemerahan bd proses penyakit

d.crt >3 detik teratasi

e.RR : 90x/menit P: intervensi masih

dihentikan, suhu bayi

dalam batas normal

85
Tanggal/hari Diagnosa Implementasi Evaluasi

Keperawatan

6 november Ketidakefektifan Jam 10:00 WIB S:-


O : Bayi masih terpasang
2018 pola napas b.d 11. Buka jalan napas,
CPAP dengan FiO2
penurunan menggunakan teknik
35% PEEP 7, bayi
kapasitas vital. chin lift atau jaw thrust. tampak sesak,
pernafasan bayi 90x/m
DO: 12. memposisikan pasien
Nadi : 134x/m ’, suhu
k. Klien untuk memaksimalkan
bayi 36,8 , SaO2 99%
menggunakan ventilasi. A : ketidakefektifan pola
nafas belum teratasi
otot pernapasan 13. memasang alat jalan
P : Intervensi dilanjutkan
saat bernapas. napas buatan nasal

l. Pola napas canul pediatric 2l.

bradipnea. 14. Kaji frekuensi dan

(18x/menit) irama pernapasan.

m. Pernapasan Frekuensi napas :

cuping hidung. 24x/menit.

n. Kapasital vital Irama : Belum

menurun. Teratur.

o. T : 35,60C 15. Kaji suhu, warna, dan

DS: - kelembaban kulit.

86
T : 36oC

Warna : Sianosis pada

daerah ekstremitas, kulit

lembab.

Gangguan Jam 10:10 WIB Jam 11:00 WIB

pertukaran gas 11. Mengauskultasi suara S : -

b.d perfusi napas, catat area O :

ventilasi. penurunan / tidak  Pola napas belum

DO : adanya ventilasi dan normal

m. PO2 menurun. suara tambahan.  Bayi masih

n. Bradikardi 12. Mencatat pergerakan terpasang CPAP

(80x/menit). dada, mengamati dengan FiO2 35%

o. Sianosis. kesimetrisan, PEEP 7

87
p. Pola napas penggunaan otot  Masih lemah

lambat. (18x/ tambahan, retraksi otot  Masih

menit) supraclavicular dan menggunakan otot

q. Warna kulit intercostal. dada saat bernapas.

kebiruan. 13. Memberikan tindakan A : Masalah gangguan

r. Kesadaran suction pertukaran gas belum

menurun. 14. Mengauskultasi suara teratasi.

DS : - paru setelah tindakan P : Intervensi 1, 2, 4, dan 5

untuk mengetahui dilanjutkan, dan

hasilnya. berkolaborasi dengan

15. Monitor pola napas. tim medis dalam

pemberian obat.

Resiko infeksi b.d 1.bersihkan lingkungan S: -

faktor lingkungan 2. cuci tangan sebelum dan O: Tali pusat tampak

dan tali pusat dan sesudah melakukan basah

yang masih basah tindakan Tali pusat berbau

Ds 3.pertahankan lingkungan Lesi (+)

Do : aseptic selama pemasangan A : masalah Resiko infeksi

a. adanya lesi pada alat b.d faktor lingkungan

tali pusat 4. kolaborasi dengan Dr dan tali pusat yang

b. tali pusat masih dalam memberikan obat masih basah belum

basah obatan teratasi

c. suhu : 35,7 P : intervensi 1-4

88
d. tali pusat berbau dilanjutkan

Resiko 1.memyediakan ASI sesuai S: -

pemenuhan nutrisi dengan kebutuhan O: bayi terpasang OGT

kurang dari 2. memonitor jumlah nutrisi Mukosa bibir kering

kebutuhan tubuh yang diberikan A: masalah Resiko

b.d daya isap 3. mengkaji fungsi pemenuhan nutrisi kurang

lemah dan intake pengecapan menelan dari kebutuhan tubuh b.d

output nutrisi daya isap lemah dan intake

Ds : - output nutrisi masih belum

Do : teratasi

a.kesadaran P: intervensi masih

komposmentis dilanjutkan

b. BB : 3300gr

c. reflek isap belum

kuat

d. ibu belum

tampak menyusui

89
90
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pengkajian

Menurut teori data-data yang didapat pada klien dengan kasus

Asfiksia adalah bayi pucat dan kebiru-biruan, usaha bernafas minimal,

hipoksia, asidosis metabolic atau respiratori dan menangis kurang.

Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 4 November

2018 di dapatkan data subjektif ibu bayi mengatakan bayinya tampak

sesak, ibu mengatakan bayinya terpasang alat bantu nafas, ibu mengatakan

bayinya lemah , ibu mengatakan mata dan secret bayinya berwarna

kuning, bayi tidak aktif, bayi jarang menangis, bayi tampak sesak, daya

hisap bayi lemah, suhu 35’, pernafasan 82’, nadi 108’

Selama tahap pengkajian kami tidak mengalami kesulitan dan

hambatan dalam pengumpulanan informasi yang dibutuhkan, hal ini

dikarenakan adanya kerjasama yang baik dari klien dan perawat anak dan

perinatologi RSUD Dr Achmad Muchta

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas tentang

masalah kesehatan pasien yang didapat disertai dengan tindakan

keperawatan dan pengumpulan. Secara teoritis diagnosa keperawatan yang

muncul dengan klien Asfiksia adalah sebagai berikut :

1.Ketidakefektifan pola napas b.d penurunan kapasitas vital.

91
2.Gangguan pertukaran gas b.d perfusi ventilasi.

3.Resiko infeksi b.d faktor lingkungan dan tali pusat yang masih basah

4.Resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d daya isap

lemah dan intake output nutrisi.

5.Ketidak efektifan termogulasi bd proses penyakit

(NANDA,2015 )

Dari diagnose keperawatan yang ada pada teoritis tidak seluruhnya

dialami oleh klien. Sesuai dengan data subyektif dan obyektif yang

didapatkan dari klien, maka didapatkan diagnose keperawatan :

1. Ketidakefektifan pola napas b.d penurunan kapasitas vital.

2. Gangguan pertukaran gas b.d perfusi ventilasi.

3. Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d suplai oksigen dalam

darah menurun

C. Perencanaan

Dalam penyusunan rencana keperawatan penulis menggunakan

rencana keperawatan yang telah disusun oleh NANDA, NIC, NOC

sebagai standar. Pada perencanaan tinjauan kasus dan tinjauan teoritis

dilakukan sejalan dengan intervensi yang dilakukan pada kasus maupun

teori. Adapun pada tahap pelaksanaan ini dapat dilakukan dengan baik

karena pada tahap perencanaan telah direncanakan seoptimal mungkin

sesuai dengan kondisi klien, sehingga kesulitan yang mungkin terjadi

dapat diatasi. Selain itu kebehasilan tahap ini dikarenakan adanya kerja

sama yang baik antar kelompok, klien dan petugas kesehatan di ruang

92
rawatan perinatal RSUD Dr achmad Muchtar

D. Implementasi

Pelaksanaan keperawatan di mulai pada hari sabtu 3 november

2018 sebelumnya kami terlebih dahulu membina hubungan saling percaya

dengan klien sehingga klien percaya dengan tindakan keperawatan yang

akan dilakukan. Di awal sebelum peaksanaan tindakan keperawatan ibu

klien mengatakan bayinya tampak sesak dan lemah serta terpasang alat

bantu nafas sehingga diangkat diagnosa ketidakefektifan pola nafas

E. Evaluasi

Setelah dilakukan asuhan keperawatan klien memperlihatkan

adanya perubahan yang lebih baik terhadap kondisi klien. Masalah

ketidakefektifan pola nafas sudah teratasi dikarenakan pada saat dilakukan

pengkajian tanggal 04 November sudah diberikan O2 ½ L nasal kanul

dengan frekuensi pernafasan 62 kali permenit

93
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan

teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai

dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis (IDAI, 2010).

Pada klien dengan Asfiksia terdapat beberapa masalah keperawatan

yang muncul diantaranya adalah Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d

produksi mucus banyak, Ketidakefektifan pola nafas b.d

hipoventilasi/hiperventilasi, Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan

perfusi ventilasi, Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai

O2 dalam darah,

Berdasarkan tujuan keperawatan yang telah ditetapkan, masalah

keperawatan dari 3 diagnosa prioritas yang ditegakkan sebagian ada yang

sudah teratasi dan ada yang teratasi sebagian. Dikarenakan keterbatasan waktu

sehingga mahasiswa hanya mengobservasi klien dalam waktu kurang dari 1

minggu.

B. Saran

Dari hasil ini penulis mempunyai beberapa saran yaitu sebagai berikut:

1. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan pada pihak rumah sakit agar dapat memberikan asuhan

keperawatan berdasarkan teori dan sap yang berlaku. Bagi pasien asfiksia

94
maupun pasien lain dengan penyakit kronis, sehingga bisa meningkatkan

efikasi diri mereka.

2. Bagi STIKES Yarsi Bukititnggi

Dapat membimbing dalam proses pembuatan asuhan keperawatan

khususnya pada kegawat daruratan dengan sabar dan teliti serta

memotivasi para mahasiswa dalam segi mental dan spiritual.

3. Bagi Mahasiswa

Agar dapat melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan teori

yang berlaku dan berkolaborasi dengan dokter. Berdasarkan penyakit

pasien, seperti penyakit kronis lainnya seperti gagal ginjal, penyakit paru,

stroke dan lain-lain.

95

You might also like