tersediapun kurang memadai bagi para anggota untuk saling
mempengaruhi.
Direncanakan dengan Baik
Keanggotaan PPKI pun direncanakan dengan baik. Anggota dari
Sumatra, umpamanya, yang dipilih Jepang bukanlah yang paling
terkemuka dalam pergerakan rakyat, bahkan juga dalam per-
caturan politik di masa pendudukan. Kecuali Dr. Amir, seorang
psikiater, yang pernah aktif dalam Jong Sumatranen Bond, kedua
orang yang lain, T.M.Hassan, dan Abbas, boleh dikatakan ter-
masuk golongan “birokrat fungsional’”. Demikian pula halnya
dengan wakil dari Bali, Pudja. Meskipun Andi Pangeran, putra
Andi Mappanyuki (Ratapi ia termasuk kategori birokrat ad-
ministratif. Hanya seorang wakil dari Kalimantan, Hamidhan,
yang bisa dianggap “independent” dan, nasionalis yang radikal,
sedangkan wakil Sulawesi Utara, Ratulangie, mempunyai reputasi
sebagai tokoh pergerakan yang “ko-operator”, artinya bersedia
duduk di “dewan rakyat” bentukan pemerintah kolonial. Tetapi
significance dari kategori ini menjadi tak berarti sama sekali, ketika
tanggal 18 Agustus PPKI bersidang, mereka telah siap ikut men-
dukung kemerdekaan. Rekayasa politik Jepang ini sama sekali tak
ada arti dalam keanggotaan PPKI ini. Waktu telah demikian cepat
berubah.
Dalam kesaksiannya yang diberikan kepada Sekutu, pada
tahun 1946, ketika Jepang telah bertekuk lutut, Ichibangase, se-
orang pembesar Jepang, yang bertindak sebagai salah seorang
wakil ketua dalam sidang BPUPKI, mengatakan, “Kami, orang
Jepang, bukanlah ibu yang melahirkan, tetapi seorang bidan’”.
Maksudnya Jepang tidak melahirkan kemerdekaan Indonesia,
peranan mereka tidak lebih dari penolong kelahiran saja. Penga-
kuan ini tentu bisa dipahami. Bukan saja Proklamasi Kemerdekaan
diucapkan tanpa persetujuan Jepang, dalam rapat-rapat di BPUPKI
pun anggota Jepang yang diangkat hanya diam saja, kecuali
menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan masalah prosedur