You are on page 1of 24

REFERAT MEI 2015

“LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT”

Nama : Abdul jabar Muhammad


No. Stambuk : N 111 14 066
Pembimbing : dr. Suldiah, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2015

1
BAB I
PENDAHULUAN
Leukemia adalah penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik yang ditandai dengan
penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel darah abnormal atau sel leukemik. Hal
ini disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol dari klon sel darah immatur yang berasal dari
sel induk hematopoietik. Sel leukemik tersebut juga ditemukan dalam darah perifer dan
sering menginvasi jaringan retikuloendotelial seperti limpa, hati dan kelenjar limfe.1

Klasifikasi besar leukemia terbagi menjadi leukemia akut dan kronis. Apabila populasi
sel abnormal tidak matang, maka dinamakan bentuk akut. Sedangkan leukemia yang bersel
matang dinamakan leukemia kronis. Leukemia akut dapat dibagi menjadi leukemia myelositik
akut (LMA) dan leukemia limfoblastik akut (LLA).2

Leukemia akut pada anak-anak mencakup 30%-40% dari keganasan pada anak, yang
dapat terjadi pada semua umur, insidens terbesar terjadi pada usia 2-5 tahun dengan insidens
rata-rata 4-4,5 kasus/tahun/100.000 anak di bawah umur 15 tahun. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa proporsi pasien laki-laki lebih besar dari pada perempuan, terutama
terjadi setelah usia pertama kehidupan. Proporsi tersebut menjadi lebih dominan pada usia
6-15 tahun. Pada keseluruhan kelompok umur, rasio laki-laki dan wanita pada LLA adalah
1,15. Leukemia akut jenis LLA (leukemia limfoblastik akut) terdapat pada ±90% kasus,
sisanya 10% merupakan leukemia mieolobastik akut (LMA), dan leukemia mono sitik akut
(AMoL). Sedangkan leukemia limfositik kronik maupun eosinofilik, basofilik, megakariosit,
dan eritroleukemia sangat jarang terjadi pada anak-anak. Dikatakan bahwa angka kejadiannya
di negara berkembang kurang lebih sama yaitu berkisar antara 83% untuk LLA dan sisanya
17% untuk LMA.1

Untuk membantu menegakkan diagnosis leukemia limfoblastik akut perlu beberapa


pemeriksaan penunjang dengan peningkatan jumlah leukosit, tampak sel leukemia pada darah
tepi, sumsum tulang dan LCS, dan pemeriksaan sitogenetik. Diagnosis pasti leukemia
ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang yang akan memperlihatkan keadaan yang
hiperseluler dengan sel blas leukemik lebih dari 30%. Leukemia perlu dibedakan dengan
reaksi leukemoid dimana hanya terjadi peningkatan leukosit tanpa ada perubahan
morfologi.Perlu juga disingkirkan penyebab demam dan kegagalan sumsum tulang.3

2
Salah satu manifestasi klinis dari leukemia adalah perdarahan. Manifestasi perdarahan
yang paling sering ditemukan berupa petekie, purpura atau ekimosis, yang terjadi pada 40 –
70% penderita leukemia akut pada saat didiagnosis. Lokasi perdarahan yang paling sering
adalah pada kulit, mata, membran mukosa hidung, ginggiva dan saluran cerna. Perdarahan
yang mengancam jiwa biasanya terjadi pada saluran cerna dan sistem saraf pusat.1

Pengobatan dengan kemoterapi bertujuan mengeradikasi sel blas dari darah dan sumsum
tulang untuk mencapai remisi, juga melakukan profilasis terhadap relaps di SSP yang
dilanjutkan kemoterapi rumatan selama 2 tahun. Transplantasi sumsum tulang bisa dilakukan
bila relaps gagal dengan terapi konvensional. Komplikasi yang timbul dapat akibat dari
penyakitnya atau terapinya. Prognosis dari pasien leukemia Limfoblastik akut tergantung dari
respon terapi awal, jumlah leukosit awal, usia, jenis kelamin dan kelainan jumlah kromosom
juga mempengaruhi prognosis.4

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. HEMATOLIMFOGENESIS

Gambar 1. Hematopoisis

Maximow (1924) mengemukakan suatu dalil bahwa sel darah berasal dari satu sel

induk. Hal ini kemudian dikembangkan oleh Downey (1938) yang membuat hipotesa dengan

konsep hirarki dari sel pluripoten dan selanjutnya. Till dan Mc Cullooch (1961)

menyimpulkan bahwa suatu sel induk merupakan koloni yang memperlihatkan diferensiasi

multilineage atau pluprotein menjadi eritroid, mieloid serta megakariosi. Dari penelitian-

penelitian tersebut ditetapkan bahwa sel stem ada pada hematopoisis.1

4
Definisi sel stem adalah sel yang dapat memperbaharui dirinya sendiri dan mempunyai

kemampuan berdiferensiasi. Sel hematopoetik mempunyai karakteristik berupa pergantian sel

yang konstan dengan konsenkuensi untuk mempertahankan populasi leukosit, trombosit dan

eritrosit. 1

Sistem hematopoetik dibagi menjadi 3 :

1. Sel stem (progenitor awal ) yang menyokong hematopoiesis.

2. Colony forming unit (CFU) sebagai pelopor yang selanjutnya berkembang dan

berdiferensiasi dalam memproduksi sel

3. Faktor regulator yang mengatur agar sistem berlangsung teratur.

sel stem merupakan satu sel induk (klonal) yang mempunyai kemampuan

berdiferensiasi menjadi beberapa turunan, membelah diri, dan memperbaharui populasi sel

stem sendiri di bawah pengaruh faktor pertumbuhan hematopoetik. Hematopoetik

membutuhkan perangsang untuk pertumbuhan koloni granulosit dan makrofag yang disebut

“Colony Stimulating Faktor” yang merupakan glikoprotein. 1

Dalam proses selanjutnya diketahui regulasi hematopoisis sangat kompleks dan

banyak faktor pertumbuhan yang berfungsi tumpang tindih serta banyak tempat untuk

memproduksi faktor-faktor tersebut, termasuk organ hematopoitik. Dikenal sejumlah sitokin

yang mempunyai peranan dalam meningkatkan aktivitas hematopoetik. 1

Pada masa gestasi 32 minggu sampai lahir, semua rongga sumsum tulang diisi

jaringan hematopoeitik yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi sel darah. Dalam

perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah merah diambil alih oleh sumsum

tulanh sedangkan hepar tidak berfungsi membuat sel darah merah lagi. 1

Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sel darah menjadi

kurang tetapi tetap ada dalam sumsum tulang, hati, limpa, kelenjar getah bening dan dinding

usus, dikenal sebagai sistem retikuloendotelial. 1

5
Pada bayi dan anak, hematopoeisis yang aktif terutama sumsum tulang termasuk

bagian distal tulang panjang. Hal ini berbeda dengan orang dewasa normal di mana

hematopoeisis terbatas pada vertebra, tulang iga, sternum, pelvis, skapula, skull dan jarang

yang berlokasi pada humerus dan femur. 1

Selama intrauterin, hematopoeisis terdapat pada skeletal dan ekstraskletal dan pada

waktu lahir hematopoisis terutama pada skeletal. Secara umum hematopoisis ekstraskeletal

medular terutama pada organ perut, terjadi akibat penyakit yang menyebabkan gangguan

produksi satu atau lebih tipe sel darah, seperti eritroblatosis fetalis, anemia pernisiosa,

talasemia, sickle cell anemia, sferositosis herediter dan variasi leukimia. 1

Perubahan lokasi anatomi hematopoisis disertai perpindahan populasi sel sampai saat

ini belum diketahui mekanismenya. 1.

II. DEFINISI

Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan klonal dari sel sel prekursor limfoid

atau sel progenitor limfoid di sumsum tulang disertai anemia, febris, perdarahan dan infiltrasi

sel ganas ke organ lain. Lebih dari 80% kasus, sel sel ganas berasal dari limfosit B, sisanya

merupakan bentuk leukemia sel T.2.3

III. EPIDEMIOLOGI

Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukeia pada anak, dan terdiri dari 2

tipe yaitu LLA 82% dan LMA 18%. Leukemia kronik mencapai 3% dari seluruh

leukemia pada anak. Di RSU Dr.Sardjito LLA 97% , LMA 9% dan sisanya leukemia

kronik, sementara di RSU dr. Soetomo pada tahun 2002 LLA 88%, LMA 8% dan 4%

leukemia kronik.

Rasio lai-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLS dan mendekati 1 untuk LMA.

Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih dengan ALL, hal

ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia ini. Kejadian ini tidak

6
tampak pada kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merupakan pengaruh faktor-

faktor lingkungan di negara industri yang belum diketahui. 1

Gambar 2. Sel darah normal dan Leukemia

IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Penyebab leukemia masih belum diketahui pasti, namun anak-anak dengan cacat

genetik (trisomi 21, sindrom “Bloom”s, anemia “Fanconi”s” dan ataksia telangiektasi)

mempunyai lebih tinggi untuk menderita leukemia dan kembar monozigot. 1

Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal. Moskow

melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan paternal/maternal

terhadap petisida dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan resiko leukemia pada

keturunannya. 1

Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan di Hiroshima dan

Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Mesikpun demikian paparan radiasi dosis tinggi in

utero secara signifikan tidak mengarah pada peningkatan insiden leukemia, demikian

juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal ini masih merupakan perdebatan.

Pemeriksaan X-Ray abdomen selama trimester I kehamilan menunjukan peningkatan

kasus LLA sebanyak 5 kali. Selama 40 tahun metode ini digunakan secara rutin, tetapi

7
saat ini pemeriksaan tersebut amat jarang dan hanya sedikit kasus yang bisa dijelaskan

hubungannya dengan faktor ini. 1

Kontroversi tentang paparan bidang elekromagnetik masih tetap ada. Beberapa

studi tidak menemukan peningkatan, tapi studi terbaru menunjukan peningkatan 2x

diantara anak-anak yang tinggal di jalur listrik tegangan tinggi, namum tidak signifikan

karena jumlah anak yang terpapar sedikit. 1

Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-anak adalah

peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves (Greaves, Alexander

1993). Ia mempercayai ada dua langkah mutasi pada sistem imun. Pertama selama

kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun pertama kehidupan sebagai

konsekuensi dari respon infeksi terhadap infeksi pada umunya. 1

Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor resiko terjadinya leukemia pada anak

seperti, yang dilaporkan oleh Cnattingius dkk (1995). Faktor-faktor tersebut adalah gagal

ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, BBL > 4500 gram, dan

hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk (1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang

mengkomsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadinya leukemia pada bayi.1

8
V. PATOFISIOLOGI

Gambar 3 Patofisiologi leukemia

Sejumlah besar sel pertama menggumpal pada tempat asalnya (granulosit dalam

sumsum tulang, limfosit di dalam limfe node) dan menyebar ke organ hematopoetik dan

berlanjut ke organ yang lebih besar (splenomegali, hepatomegali). Proliferasi dari satu jenis

sel sering mengganggu produksi normal sel hematopoetik lainnya dan mengarah ke

pengembangan/pembelahan sel yang cepat dan ke sitoenias (penurunan jumlah). Pembelahan

dari sel darah putih mengakibatkan menurunnya immunocompetence dengan meningkatnya

kemungkinan terjadi infeksi.5

Jika penyebab leukemia adalah virus, maka virus tersebut akan mudah masuk ke dalam

tubuh manusia, jika struktur antigen virus sesuai dengan struktur antigen manusia. Begitu

9
juga sebaliknya, bila tidak sesuai maka akan ditolak oleh tubuh. Stuktur antigen manusia

terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh terutama kulit dan selaput lendir yang

terletak dipermukaan tubuh. Istilah HL–A (Human Leucocyte Lotus-A) antigen terhadap

jaringan telah ditetapkan (WHO). Sistem HL–A individu ini diturunkan menurut hukum

genetika, sehingga adanya peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak

dapat diabaikan. 5

Timbul disfungsi sumsum tulang, menyebabkan turunnya jumlah eritrosit, neutrofil dan

trombosit. Sel-sel leukemia menyusupi limfonodus, limfa, hati, tulang, dan SPP. Di semua

tipe leukimia, sel yang beproliferasi dapat menekan produksi dan elemen di darah yang

menyusup sumsum tulang dengan berlomba-lomba untuk menghilangkan sel normal yang

berfungsi sebagai nutrisi untuk metabolisme. Tanda dan gejala dari leukemia merupakan hasil

dari infiltrasi sumsum tulang, dengan 3 manifestasi yaitu anemia dan penurunan RBCs,

infeksi dari neutropenia, dan pendarahan karena produksi platelet yang menurun. Invasi sel

leukemia yang berangsur-angsur pada sumsum menimbulkan kelemahan pada tulang dan

cenderung terjadi fraktur, sehingga menimbullkan nyeri. Ginjal, hati, dan kelenjar limfe

mengalami pembesaran dan akhirnya fibrosis, leukemia juga berpengaruh pada SSP di mana

terjadi peningkatan tekanan intra kranial sehingga menyebabkan nyeri pada kepala, letargi,

papil edema, penurunan kesadaran dan kaku duduk. 5

Organ tubuh yang paling sering mengalami leukostasis adalah susunan saraf pusat dan

paru. Leukostasis akan menyebabkan perfusi yang buruk dan terjadi hipoksia, metabolisme

anaerob, asidosis laktat, akhirnya akan menimbulkan kerusakan dinding pembuluh darah dan

perdarahan. Bila leukostasis terjadi pada susunan saraf pusat maka akan terdapat gejala klinis

berupa pusing, penglihatan kabur, tinitus, ataksia, delirium, perdarahan retina dan perdarahan

intra kranial.5

10
Penghancuran sel abnormal berlebihan pada keadaan hiperleukositosis bisa

berlangsung secara spontan atau setelah terapi sitostatika. Pada keadaan ini harus dipantau

terjadinya sindrom lisis tumor yang dapat mengakibatkan gangguan metabolik dan gagal

ginjal akut. Sindrom lisis tumor dapat terjadi secara spontan, yaitu sebelum kemoterapi

dimulai atau sampai 5 hari setelah kemoterapi diberikan. Lisis sel tumor menyebabkan

terjadinya pelepasan kalium secara cepat, asam urat yang berasal dari asam nukleat dan fosfat

intraselular ke ekstraselular. Dengan demikian terjadilah keadaan hiperkalemia,

hiperurisemia, hiperfosfatemia dengan hipokalsemia sekunder.5

VI. KLASIFIKASI LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

Leukemia akut dan kronik pada awalnya dibedakan berdasarkan lama sakitnya

selama pemberian kemoterapi yang efektif, namun saat ini akut dan kronis dibedakan

berdasarkan jenis selnya dimana sel imatur ganas yang berproliferasi mengarah pada

leukemia akut dan bila terdapat lebih banyak sel matur maka diklasifikasikan leukemia

kronik, sedangkan kongenital bila leukemia terdiagnosa selama 4 minggu pertama

setelah kelahiran.6

- Leukemia Limfoblastik Akut

L1: sel – sel limfoblas kecil dengan sitoplasma sempit, anak inti tidak tampak

dengan kromatin homogen

L2: Limfoblas lebih besar dengan sitoplasma lebih luas, kromatin lebih kasar,

satu atau lebih anak inti

L3: Limfoblas besar, sitoplasma basofilik dan bervakuol, anak inti banyak,

kromatin berbercak.

Berdasarkan antibody monoclonal yang dapat mengenali antigen pada limfoid,

dihasilkan klasifikasi imunofenotip dari LLA yaitu sel T, sel B, transisional pre-B, sel

11
pre-B dan sel pre-B muda. Klasifikasi ini berguna untuk menentukan leukemia sesuai

tahap maturasi normal.6

Leukemia kronik sangat jarang terjadi pada anak – anak, meskipun begitu leukemia

kronik dibagi menjadi Leukemia Limfositik Kronik, yang insidensinya pada orang

dewasa berusia 60 – 80 tahun, dan Leukemia Myeloid Kronik dimana berkisar 1 – 2%

dari leukemia pada anak – anak.

VII. MANIFESTASI KLINIS

Secara klinis presentasi dari LLA sangat bervariasi, tidak spesifik dan singkat bahkan

terkadang ada yang bersifat asimtomatik dan terdeteksi ketika melakukan pemeriksaan

rutin.Kebanyakan pasien mendapati keluhan seperti demam selama 3 – 4 minggu

sebelum terdiagnosa, bersifat intermiten. Selain itu juga disertai keluhan karena

kegagalan sumsum tulang seperti :

a. Anemia : pucat, letargi, dyspnea

b. Neutropenia : malaise, ISPA dan infeksi lainnya

c. Trombositopenia : memar spontan, purpura, gusi berdarah dan menoragia.

Keluhan lain berupa manifestasi dari infiltrasi leukosit ke organ berupa nyeri pada

tulang yang hebat, arthralgia, limfadenopati, nyeri abdomen dan sindrom meningeal

(sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur dan diplopia).6

Pada umumnya pemeriksaan fisik dijumpai adanya memar, petekie, limfadenopati

dan hepatosplenomegali. Pada inspeksi pasien akan tampak pucat dan lesu, perdarahan

kulit dapat pula berupa purpura ataupun ekimosis, perdarahan pada mukosa. Keluhan

nyeri tulang dan sendi dapat ditemukan adanya pembengkakan sendi dan efusi terutama

pada ekstremitas bawah.Keterlibatan leukemia terhadap susunan saraf pusat jarang

terjadi, meskipun ada dapat berupa papil edema, perdarahan retina, kelumpuhan saraf

kranial, paraplegia dan paraparese.Tanda lainnya akibat infiltrasi leukosit ke organ lain

12
berupa pembesaran kelenjar saliva, pembesaran testis, pada ginjal menyebabkan renal

insufisiensi yang ditandai dengan nefromegali. Gangguan pernafasan dapat disebabkan

karena anemia ataupun terdapat massa di mediastinum anterior berupa pembesaran

thymus, biasanya terjadi pada remaja dengan LLA tipe sel T. 6

VIII. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Untuk membantu menegakkan diagnosa leukemia serta menentukan sudah sejauh

mana progresivitas atau perjalanan dari penyakitnya, diperlukan beberapa

pemeriksaan seperti4 :

1. Pemeriksaan hematologis

Pada leukemia hasil pemeriksaan didapatkan anemia, dapat pula terjadi

trombositopenia dan neutropenia, namun pada LMK trombosit cenderung

meningkat meskipun bisa normal atau menurun.Jumlah leukosit adalah hasil yang

paling bermakna pada leukemia dimana terjadi peningkatan massif hingga lebih

dari 200.000/mm3 pada keadaan tertentu seperti LMA yang telah mengalami DIC

dan leukostasis. Biasanya jumlah leukosit berkisar antara 10.000 – 50.000/mm3

pada LLA dan CML, pada AML tanpa DIC biasanya dapat sampai diatas

100.000/mm3.Untuk mengetahui keadaan DIC pada kasus AML juga perlu

dilakukan tes waktu perdarahan dan waktu pembekuan.

2. Pemeriksaan sumsum tulang

Pemeriksaan aspirasi sumsum-sumsum tulang pada penderita leukemia akut

ditemukan adanya keadaan hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang diganti

sel leukemia (blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang

matang tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti

dalam sumsum tulang.

13
3. Pemeriksaan sediaan apusan darah tepi

Anemia normositik normokrom umumnya terjadi pada kasus leukemia dimana

terjadi penurunan jumlah ertirosit yang dibentuk tanpa disertai adanya kelainan

struktur atau komponennya. Hasil pemeriksaan SADT menunjukkan

ditemukannya sel blas dengan jumlah yang bervariasi. Khusus pada LMK

didapatkan jumlah basophil yang meningkat dan sel blas tidak banyak dijumpai,

namun ketika masuk fase krisis blas secara morfologis ditemukan mieloblas

meningkat, tetapi dapat juga terjadi transformasi limfoblas.

Gambar 4. Apusan darah tepi leukemia Limfoblastik akut

4. Pungsi lumbal

Cairan serebrospinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat merupakan

tempat persembunyian penyakit ekstramedular. Hasilnya dapat menunjukkan

bahwa tekanan cairan spinal meningkat dan mengandung sel leukemia.

5. Radiologis

Pemeriksaan sinar X mungkin diperlukan untuk memperlihatkan adanya lesi

osteolitik dan massa di mediastinum anterior yang disebabkan pembesaran

thymus dan/atau kelenjar getah bening mediastinum yang khas untuk LLA-T.

14
6. Fungsi hati dan ginjal

Uji fungsi hati dan ginjal dilakukan sebagai dasar sebelum memulai pengobatan.

7. Pemeriksaan imunophenotipe

Dengan berkembangnya ilmu kedokteran, imunophenotipe sangat membantu

menentukan diagnosa leukimia. Antibodi monoklonal merupakan penemuan yang

sangat spesifik. Pada pemeriksaan imunophenotipe ditemukan 85% LLA adalah

sel B dan 15% adalah sel T dimana klasifikasi imunologik tersebut masih dapat

pengelompokan subgroup yang menunjukkan sel B yang lebih imature yang

disebabkan pre-B sel menunjukkan prognosis yang berbeda dari B sel yang lebih

matang. Pre B-sel dikaitkan dengan prognostik yang buruk dan kemungkinan

relaps, sedangkan sel B pada umumnya menunjukkan prognosis yang lebih baik

dibanding sel-T.

IX. DIAGNOSIS

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai

untuk menegakkan diagnosis leukemia.Untuk diagnosis pasti harus dilakukan aspirasi

sumsum tulang, dan dapat dilengkapi dengan pemeriksaan pemeriksaan penunjang

yang telah disebutkan sebelumnya. Anemia dan trombositopenia sering tampak pada

sebagian besar pasien. Sel leukemia sering tidak tampak pada darah perifer dalam

pemeriksaan laboratorium rutin, meskipun terlihat, sel leukemia tersebut sering

dilaporkan sebagai limfosit atipikal.Bila hasil analisis darah perifer mengarah kepada

leukemia, maka pemeriksaan sumsum tulang harus dilakukan dengan tepat untuk

menetapkan diagnosis. Pemeriksaan LCS dapat menentukan derajat LLA.Bila

ditemukan peningkatan limfoblas pada LCS maka disebut leukemia meningeal. Ini

menunjukkan derajat yang berat dan memerlukan terapi SSP dan sistemik. Dengan

ditemukannya leukemia SSP, jumlah leukosit > 50.000/mm3, massa mediastinum

15
serta jumlah sel blas total >1000/mm3 setelah 1 minggu terapi, maka pasien disebut

LLA dengan resiko tinggi.4

X. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding leukemia limfoblastik akut pada anak yang perlu dipikirkan

antara lain anemia aplastik, gangguan mieloproliferatif, PTI, keganasan lain, penyakit

reumatologi, atau penyakit kolagen vaskular, sindrom hemofagosit familial, atau

induksi virus, infeksi virus Ebstein-barr dan sepsis.1

Onset akut dari petekie, ekimosis dan perdarahan dapat mengarah pada idiopatik

trombositopenia dengan trombosit yang berukuran besar tanpa ada tanda – tanda

anemia.Demam dan pembengkakan sendi dapat menyerupai penyakit rheumatologi

seperti juvenile rheumatoid arthritis dan demam rematik, penyakit kolagen vaskuler,

atau osteomyelitis.5

Baik pada leukemia atau anemia aplastic keduanya memiliki gambaran

pansitopenia dan komplikasinya sama – sama kegagalan sumsum tulang, namun pada

anemia aplastic hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak ditemukan, dan tidak ada

lesi osteolitik seperti pada leukemia. Biopsi atau aspirasi sumsum tulang akan

menegakkan diagnosis.5

Infeksi virus pada anak – anak seringkali membuat diagnose leukemia sulit

ditegakkan terutama infeksi yang berkaitan dengan trombositopenia atau anemia

hemolitik. Membedakannya yaitu dengan kehadiran limfosit atipikal dan titer virus

yang meningkat.Demam dengan onset akut dan limfadenopati pada mononucleosis

sangat perlu dicurigai, begitu pula dengan pertussis dan parapertusis dimana terjadi

peningkatan leukosit hingga 50.000 – 100.000/mm3 namun bukan sel limfosit

leukemik.5

16
Penyakit keganasan lain yang bermetastasis menyerang sumsum tulang dan

menyebabkan kegagalan sumsum tulang antara lain neuroblastoma,

rhabdomyosarkoma, retinoblastoma dan Ewing sarcoma. Sel – sel pada keganasan –

keganasan ini biasanya berkelompok dan tumor primer dapat ditemukan.1,2

Leukemia pada anak sendiri harus dibedakan antara LLA, LMA, LMK dan

myelodisplasia. Gangguan mieloproliferatif juga menjadi diagnosis banding pada bayi

sindrom Down dengan leukositosis dan left shift.5

Leukositosis akibat respons terhadap infeksi dapat menjadi berlebihan hingga

mencapai diatas 50.000/mm3.Jika leukosit bukan merupakan sel blas yang maligna,

sindrom ini disebut reaksi leukemoid, sering terdapat peningkatan myeloid imatSur

atau prekursor limfoid di dalam darah perifer.Pada pemeriksaan sumsum tulang secara

khas menunjukkan hyperplasia myeloid dengan maturasi normal. Penyebab lain reaksi

leukemoid adalah penyakit granulomatosa, hemolysis berat, vaskulitis, obat – obatan

dan adanya tumor yang metastasis ke sumsum tulang.4

XI. PENATALAKSANAAN

Penyakit ini sampai sekarang merupakan penyakit yang angka kematiannya

masih tinggi, tetapi dengan ditemukannya obat-obat sitostatika dan penggunaanya

dalam bentuk kombinasi maka prognosis penderia leukimia menjadi lebih baik yaitu

kemungkinan hidup bebas leukimia selama 5 tahun sebesar 50%. Pada leukimia,

tujuan pengobatan ialah untuk mengurangi sel-sel leukimia dengan obat-obat anti

leukimia sehingga diharapkan bahwa sumsum tulang akan membentuk lagi sel-sel

hemopoetik normal. 5

Terapi leukimia terdiri dari terapi spesifik dan terapi suportif, antara lain7:

17
1. Terapi spesifik (kemoterapi)

Protokol Indonesia 2006 adalah protokol yang buat oleh Unit Kelompok Kerja

Hematologi Onkologi Indonesia dan ditetapkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia

untuk terapi pasien tersebut LLA. Protokol terbagi menjadi 2 skema berdasarkan

kelompok risiko. Terdiri dari 3 fase (induksi, konsolidasi, pemeliharaan) untuk

kelompok SR dan 4 fase (ditambah reinduksi) untuk kelompok HR. Fase induksi

meliputi pemberian obat-obat methotrexate, vincristine, L-asparaginase,

daunorubicin, dan kortikosteroid selama 6 minggu.

a. Fase Induksi

Pengobatan spesifik diawali dengan tahap induksi. Tahap ini diberikan

prednison, vincristin, metotrexate, 6-merkaptopurin, L-Asparaginase, dan

Daunorubicine. Prednison untuk resiko standar diberikan dengan dosis 40

mg/m², untuk resiko tinggi diberikan Dexametasone dengan dosis 6 mg/m²,

diberikan per oral pada minggu ke-0 sampai minggu ke 6. Vincristine diberikan

dalam dosis 1,5 mg/m² secara intravena. Diberikan pada minggu pertama

sampai minggu ke enam. Metotrexate diberikan secara intratekal dengan dosis

tergantung dari umur pada minggu ke 0, 2, dan 4. L-Asparagine diberikan enam

kali dalam dosis 6000 U/m² secara intravena pada minggu ke 4 dan 5.

Daunorubicine diberikan secara intravena pada minggu 1-4 dengan dosis 30

mg/m².

b. Fase Konsolidasi

Tahap ini terdiri dari 6-Merkaptopurine dan metotrexate. 6-Merkaptopurine

diberikan per oral dengan dosis 50 mg/m² pada minggu ke-8 sampai minggu ke-

12. Metotrexate diberikan secara intratekal dengan dosis tergantung umur pada

18
minggu ke 8, 10, dan 12. Metotrexate dosis tinggi diberikan bersama dengan

Leucovorin rescue, diberikan pada minggu ke 8, 10 dan 12.

c. Fase Re-Induksi

Tahap ini hanya diberikan pada pasien resiko tinggi yang terdiri dari

Metotrexate yang diberikan secara intratekal dengan dosis tergantung umur dan

diberikan pada minggu ke-15 dan ke- 17. Vincristine diberikan dalam dosis 1,5

mg/m² secara intravena, diberikan pada minggu ke-14 sampai minggu ke-17.

Dexametasone diberikan per oral dengan dosis 6 mg/m² pada minggu ke-14

sampai 17. Daunorubicine diberikan secara intravena dalam dosis 75 mg/m²

diberikan secara intravena empat kali pada minggu ke-15 dan empat kali pada

minggu ke-17. L-Asparaginase diberikan secara intravena empat kali pada

minggu ke-15 dan 17.

d. Fase Maintenance

Pengobatan pada tahap ini dengan 6-Merkaptopurine dan

Metotrexate. Dexametasone diberikan per oral dalam dosis 6 mg/m² pada

minggu-minggu yang tidak diberikan 6- Merkaptopurine dan Metotrexate

bersama dengan Vincristine, diberikan dalam dosis 1,5 mg/m² secara intravena.

2. Terapi suportif

Berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag ditimbulkan penyakit leukemia dan

mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk penderita leukemia

dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan dan

antibiotik untuk mengatasi infeksi. [3,6]

19
XII. KOMPLIKASI

Pada anak – anak dengan leukemia limfoblastik akut yang mendapatkan

kemoterapi, sel yang lisis dalam jumlah besar akan menyebabkan hiperurisemia,

hyperkalemia dan hiperfosfatemia yang dapat menjadi nefropati, atau gagal ginjal

juga bisa karena infiltrasi langsung dari leukemia. Myelosupresif dan imunosupresif

yang disebabkan baik oleh penyakit maupun kemoterapinya menyebabkan anak –

anak rentan terhadap infeksi hingga sepsis. Trombositopenia akibat leukemia atau

terapinya akan bermanifestasi sebagai perdarahan pada kulit dan mukosa. Gangguan

koagulasi yang lebih jauh menimbulkan disseminated intravascular coagulopathy.

Pengobatan sistemik maupun sistem saraf pusat dapat menyebabkan

leukoensefalopati, mikroangiopati, kejang maupun gangguan intelektual pada

beberapa anak.1

Hiperleukositosis merupakan keadaan dimana jumlah leukosit darah tepi lebih dari

100.000/mm3, Ini ditemukan pada 9 – 13% dari LLA. Tindakan antisipasi dimulai saat

jumlah leukosit 50.000/mm3 dengan peningkatan dosis kemoterapi yang perlahan dan

pemberian dexamethasone pada LLA.Untuk mengatasinya diperlukan tindakan yang

segera (emergency oncology) karena komplikasinya yang mengancam jiwa, antara

lain3 :

1. Sindroma leukostasis

Penggumpalan sel blas pada arteri kecil yang membentuk agregat/trombi terutama

pada otak dan paru – paru, lebih sering pada LMA karena ukuran mieloblas lebih

besar dari limfoblas dan sifatnya yang lebih kaku. Leukostasis di otak menunjukkan

tanda neurologis mulai dari pusing hingga peningkatan tekanan

intracranial.Leukostasis di paru menimbulkan dyspnea, hipoksia dan gagal

nafas.Pemberian leukoferesis dapat menurunkan jumlah leukosit dengan cepat diikuti

20
dengan hidroksiurea (50-100 mg/kgBB).Oksigen adekuat dan koreksi jumlah

trombosit serta faktor pembekuan juga perlu dilakukan.3

2. Sindrom lisis tumor

Akibat lisisnya sel leukemia setelah kemoterapi sehingga terjadi hiperurisemia,

hiperfosfatemia, azotemia dan hipokalsemia yang tidak bisa diekskresi ginjal

menimbulkan manifestasi gangguan metabolic. Sindroma lisis tumor lebih sering

terjadi pada LLA.Gagal ginjal dapat terjadi bila asam urat serum lebih dari 20 mg/dl,

perlu pemberian allopurinol, alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dan hidrasi

yang cukup. Natrium bikarbonat dihentikan bila pH urin > 7,5 karena bila berlebihan

justru menciptakan suasana basa yang memudahkan pengendapan kalsium fosfat

sehingga terjadi hipokalsemia. Sementara hiperfosfatemia terus terjadi selama lisis

dari sel tumor, dapat diberikan insulin dan glukosa sebagai bahan pengikat fosfat.

Hiperkalemia > 7,5 mEq/L harus diatasi segera dengan kayesalate (1 g/kg dicampur

50% sorbitol, per oral). Ini dapat terjadi dari lisis sel tumor atau oliguria dari

hiperurisemia yang berdampak aritmia jantung sehingga perlu pemeriksaan EKG.4

XIII. PROGNOSIS

Berdasarkan faktor prognosis maka pasien dapat digolongkan kedalam kelompok

risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan membuktikan

faktor prognostik itu ada hubungannya dengan in vitro drug resistance.1

Faktor prognosis LLA, sbb5 :

1. Jumlah leukosit awal. Ditemukan adanya hubungan linier antara jumlah leukosit

awal dan perjalanan pasien awal LLA pada anak, yaitu bahwa bahwa pasien

dengan jumlah leukosit > 50.000 ul mempunyai prognosis buruk.

2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagnosis dan hasil

pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun

21
mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur diantara

itu. Khusus pasien dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan

mempunyai prognosis paling buruk.

3. Fenotip imunologis dari limfoblast saat diagnosis juga mempunyai nilai

prognostik. Leukemia sel B dengan antibodi “kappa” dan “lamda” pada

permukaan blas diketahui mempunyai prognosis buruk. Sel T leukemia juga

mempunyai prognosis buruk, dan diperlakukan sebagai risiko tinggi.

4. Nilai prognostik jenis kelamin telah banyak dibahas. Anak perempuan mempunyai

prognosis yang lebih baik dari anak laki-laki. Penyebab pastinya belum diketahui,

tetapi diketahui pula ada perbedaan metabolisme merkatopurin dan metotreksat.

5. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi sudahi 1

minggu terapi prednison dimulai. Adanya sisa sel blas pada sumsum tulang pada

induksi ke 7 atau 14 menunjukan prognosis buruk.

Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala leukemia,

pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas < 5% dari sel berinti, hemoglobin

>12 gr/dl tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3000/ul dengan hitung leukosit normal, jumlah

granulosit >2000/ul, trombosit >100.000/ul, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal.

Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk sembuh, khusunya

bagi anak-anak dengan leukemia sel T yang setelah relaps mempunyai prognosis yang

buruk.1

22
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan

1. Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel sel prekursor

limfoid atau sel progenitor limfoid di sum sum tulang di sertai anemia, febris,

perdarahan dan infiltrasi sel ganas ke organ lain.

2. Etiologi tidak diketahui secara pasti namun faktor resiko seperti genetic,

lingkungan, radiasi, infeksi dan keadaan imunosupresi memiliki hubungan

dengan angka kesakitan leukemia.

3. Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan

diagnosis leukemia limfoblastik akut. Namun untuk memamstikannya harus

dilakukan pemeriksaan aspirasi sum sum tulang, dan dilengkapi dengan

pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal dan pemeriksaan penunjang

lain.

4. Prognosis dari pasien leukemia limfoblastik akut tergantung dari respon terapi

awal, jumlah leukosit awal, usia ,jenis kelamin,dan kelainan jumlah kromosom

juga mempengaruhi prognosis.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia.Hematologi. IDAI. Jakarta. 2012

2. Wirawan R. Diagnosis keganasan darah dan sumsum tulang. Dalam: Suryaatmadja,


ed. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik. Jakarta.
3. Rudolph MA, JIE Hoffman, CD Rudolph, Leukemia in Rudolph’s Pediatrics 20th
Edition : 1269 – 1278
4. Parmono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Leukemia Akut;
Kedaruratan Onkologi Anak dalam Buku Ajar Hematologi – Onkologi Anak 2010
5. Kliegman MR, RE Bhermann, HB Jenson, The Leukemias in Nelson Textbook of
Pediatrics 18th Edition : 2116 – 2122
6. Schwartz WM, Leukositosis dalam Pedoman Klinis Pediatri 2005 : 441 – 445

24

You might also like