You are on page 1of 19

PENILAIAN TINGKAT KERENTANAN SUMBER DAYA AIR TERHADAP

VARIABILITAS IKLIM DI DAS AESESA, PULAU FLORES, NUSA


TENGGARA TIMUR
(Vulnerability Assessment of Water Resources to Climate Variability in Aesesa
Watershed, Flores Island, Nusa Tenggara Timur)

Eko Pujiono & Retno Setyowati


Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Jln. Untung Suropati No. 7 (Belakang)
P.O BOX 69 Kupang 85115 NTT, Indonesia
e-mail: ekopujiono78@gmail.com
Diterima 18 Desember 2014, direvisi 15 Juli 2015, disetujui 13 Agustus 2015

ABSTRACT
This study aimed to assess the level of vulnerability of water resources on the climate variability of Aesesa Watershed, NTT
Province. Vulnerability assessments using IPCC concept, where the vulnerability as a function of exposure, sensitivity and adaptive
capacity. Criteria and indicators of those function were obtained from previous studies, then given a score and weighting in accordance with
the degree of importance, spatially display and overlay, to produce vulnerability map. The results showed that the trend of annual
temperature in the upper watershed in recent years is decreased, while in the middle and lower areas are increased. The annual precipitation
showed an increasing trend in the upper area, while in the middle and lower areas showed a declining trend. Related to water resources, the
river's stream flows are relatively stable in the last five years. Water quality assessment in the river is categorized as lightly polluted in the
upstream and moderately polluted in the downstream. Based on vulnerability map, the watershed is classified into highly vulnerable (54%),
moderately vulnerable (13%) and lowly vulnerable (33%). Such results could be useful for the Watershed Authority and other
stakeholders to establish strategies, plans and actions for addressing problems on vulnerability of water resource.
Keywords: Vulnerability assessment, water resources, climate variability, watershed

ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan sumber daya air terhadap variabilitas iklim di DAS
Aesesa Provinsi NTT. Penaksiran kerentanan menggunakan konsep IPCC, dimana kerentanan merupakan fungsi
dari keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptif. Kriteria dan indikator keterpaparan, sensitivitasdan kapasitas
adaptif didapatkan dari kajian terdahulu. Kriteria dan indikator kemudian diberikan skor dan bobot sesuai derajat
kepentingannya dan disajikan secara spasial serta dilakukan overlay untuk mendapatkan peta kerentanan. Hasil
menunjukkan bahwa tren suhu tahunan di hulu DAS dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan,
sedangkan di bagian hilir mengalami kenaikan. Sementara indikator curah hujan tahunan, di daerah hulu DAS
menunjukkan tren kenaikan, sedangkan di daerah tengah dan hilir tren menurun.Terkait dengan kuantitas air, Sungai
Aesesa, sungai utama di DAS Aesesa mempunyai debit yang relatif sama selama lima tahun terakhir. Kualitas air di
Sungai Aesesa dikategorikan cemar ringan di hulu dan cemar sedang di hilir dalam beberapa tahun terakhir . Peta
kerentanan menunjukkan bahwa sekitar 54% wilayah DAS memiliki tingkat kerentanan tinggi, 13% diklasifikasikan
ke tingkat kerentanan sedang dan 33% dikategorikan ke tingkat kerentanan rendah. Hasil kajian ini bisa bermanfaat
bagi pengelola DAS, atau pemangku kepentingan lainnya untuk menyusun strategi, rencana dan aksi dalam
menanggulangi masalah kerentanan sumber daya air.
Kata kunci: penilaian kerentanan, sumber daya air, variabilitas iklim, DAS.

I. PENDAHULUAN variabilitas iklim memperkirakan bahwa temperatur


akan terus meningkat antara 1,30oC sampai dengan
Kajian yang dilakukan oleh Faqih (2011) 4,60oC pada tahun 2100 dengan tren sebesar 0,10oC
menyatakan bahwa berdasarkan analisis data suhu –0,40oC per tahun (Intergovernmental Panel on
udara selama sekitar 40 tahun terakhir, suhu udara Climate Change-IPCC, 2007). Peningkatan suhu ini
tahunan rata-rata di Provinsi Nusa Tenggara Timur akan diikuti oleh peningkatan evapotranspirasi dan
(NTT) cenderung naik sebesar 0,200C. Skenario memberikan efek langsung terhadap keseimbangan

177
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
siklus hidrologi dan ketersediaan air (Gain et al., 2012; dapat dimanfaatkan sebagai: (1) alat untuk
Swandayani, 2010; The Energy and Resources Institute- memahami masalah dan faktor penyebab
TERI, 2009). Meningkatnya suhu global akan kerentanan: (2) alat perencanaan sebagai dasar
menyebabkan intensifikasi siklus hidrologi, sehingga penetapan prioritas kegiatan; (3) alat untuk
musim kering menjadi semakin kering dan musim pengukuran risiko; (4) alat untuk pemberdayaan
hujan menjadi semakin basah, yang kemudian dan mobilisasi kelompok masyarakat yang rentan
meningkatkan risiko terjadinya banjir dan kekeringan (Benson et.al., 2007). Penilaian kerentanan
(Water aid, 2007). sebenarnya sudah banyak dipublikasikan oleh
Secara umum wilayah NTT termasuk ke dalam beberapa peneliti dengan variasi metode dan lokasi
kategori iklim semiarid, dimana periode hujan kajian. Swandayani (2010), melakukan penelitian
hanya berlangsung 3-4 bulan dan periode kering 8-9 tentang kerentanan masyarakat terhadap
bulan (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah- variabilitas iklim di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Bappeda NTT, 2009). Potensi hidrologi di wilayah Ciliwung dengan menggunakan kriteria paparan
propinsi NTT, terutama air permukaan, tergolong indeks penggunaan air. Selanjutnya Rositasari et al.
kecil. Disisi lain, laju pertumbuhan penduduk NTT (2011) melakukan penelitian kerentanan terhadap
se b es ar 2 % ( pa d a p e ri od e 20 00 -2 010 ) variabilitas iklim di pesisir Cirebon dengan
mengindikasikan bahwa permintaan akan air akan menggunakan teknologi penginderaan jauh.
semakin meningkat. Badan Perencanaan Sementara Effendi (2012), melakukan penelitian
Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam berbasis DAS tentang kajian tingkat kerentanan
laporannya menyebutkan bahwa bahwa neraca masyarakat terhadap variabilitas iklim di DAS
keseimbangan air di region Nusa Tenggara Garang, Jawa Tengah dengan pendekatan sistem
diklasifikasikan pada tingkat kritis (Bappenas, informasi geografis (SIG). Untuk lingkup NTT,
2010). ada beberapa kajian tentang variabilitas iklim
Dokumen Roadmap Perubahan Iklim (Indonesia (Faqih, 2011; Balai Pengelolaan Daerah Aliran
Climate Change Sectoral Roadmap-ICCSR) sektor Sungai Benain Noelmina - BPDAS BN, 2011;
sumber daya air yang disusun oleh Bappenas Bappeda NTT, 2010), namun yang menyangkut
menyatakan bahwa terdapat beberapa risiko/ kerentanan sumber daya air terhadap variabilitas
bahaya pada sektor sumber daya air yang iklim belum pernah dilakukan.
disebabkan oleh variabilitas iklim, yaitu: penurunan Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
ketersediaan air (PKA), banjir, kekeringan, tanah kerentanan sumber daya air terhadap variabilitas
longsor dan kenaikan permukaan laut (Bappenas, iklim. Secara rinci kajian akan difokuskan kepada
2010). Dokumen Bappenas ini sejalan dengan fakta (1) gambaran mengenai fenomena perubahan/
yang terjadi di NTT, dimana pada tahun 2012, variabilitas iklim dari analisis data klimatologis
Badan Ketahanan Pangan NTT menyatakan (suhu dan curah hujan); (2) gambaran mengenai
bahwa, sebanyak 403 desa yang tersebar di 136 kondisi sumber daya air; (3) gambaran mengenai
kecamatan di 11 kabupaten di NTT dilanda tingkat kerentanan sumber daya air akibat
kekeringan sehingga terancam rawan pangan perubahan/variabilitas iklim.
(Tempo, 2012; Kompas, 2012). Bencana lainnya
adalah banjir bandang di Bena Kabupaten Belu
pada tahun 2000, tanah longsor di pulau Flores pada II. METODE PENELITIAN
tahun 2006 (Sakeng, 2008; Putro, 2007) dan
terendamnya beberapa desa di Kabupaten Malaka A. Kerangka Teori, Konsep dan Pendekatan
pada tahun 2013 sebagai akibat dari intensitas hujan Kerangka teori yang mendasari penelitian ini
yang tinggi di bulan Juni yang harusnya sudah adalah hasil kajian para peneliti IPCC yang
memasuki musim kemarau (Tempo, 2013; Kompas, memperkirakan bahwa perubahan/variabilitas
2013). iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu akan
Dalam rangka menambah dan melengkapi memberikan efek langsung siklus hidrologi dan
informasi terkait dampak dan risiko bencana yang ketersediaan air. Perubahan ini pada gilirannya
disebabkan oleh perubahan/variabilitas iklim dan akan menciptakan dampak/efek lain dengan
cuaca ekstrem, perlu dilakukan kajian kerentanan tingkat yang lebih tinggi yang ditunjukkan pada
terhadap variabilitas iklim. Penilaian kerentanan Gambar 1.

178
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
Sumber (Source) : Gain et al.(2012)

Gambar 1. Efek bertingkat/berurutan variabilitas iklim terhadap sumber daya air


Figure 1. Different stage/order climate variability effect on water resources.

Untuk mengetahui sampai sejauh mana mendefinisikan kerentanan sebagai kondisi dimana
risiko/bahaya dampak perubahan iklim terhadap alam dan sistem sosial rawan terhadap kerusakan
sumber daya air perlu dilakukan penilaian yang ditimbulkan oleh perubahan/variabilitas
kerentanan. Adger (2006) menyatakan bahwa iklim.
konsep kerentanan, adaptasi dan resiliensi diawali Penilaian kerentanan dalam penelitian ini
dengan pemikiran tentang bahaya yang diakibatkan menggunakan konsep kerentanan dari IPCC
oleh alam (natural hazard) dan penyelidikan berbagai dengan alasan fokus kajian lebih kepada
interaksi antara manusia-lingkungan (human/ kerentanan yang disebabkan oleh perubahan/
political ecology). Sementara Bryant dan Bailey (1997) variabilitas iklim. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
menyatakan bahwa kerentanan merupakan salah kerentanan, sebagaimana diformulasikan pada
satu bentuk pendekatan dalam ekologi politik, persamaan 1, merupakan fungsi dari tiga aspek:
dimana kerentanan diklasifikasikan sebagai salah keterpaparan/exposure, sensitivitas/sensitivity dan
satu bentuk pendekatan berdasarkan konsep kapasitas adaptif/adaptive capacity (IPCC, 2001).
(Gambar 2). Lebih lanjut, IPCC (2007), Keterpaparan dimaksudkan sebagai derajat suatu

Sumber (Source) : Bryant dan Bailey (1997)

Gambar 2. Beberapa pendekatan dalam ekologi politik


Figure 2. Different approaches to political ecology

179
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
sistem secara alamiah rentan terhadap variabilitas kuantitatif dan spasial. Masing-masing komponen
iklim. Sensitivitas dimaksudkan sebagai derajat atau yang memengaruhi kerentanan, yaitu exposure,
tingkat suatu sistem terkena dampak sebagai akibat sensitivity dan adaptive capacity kemudian secara
dari semua elemen variabilitas iklim. Kapasitas diterjemahkan dalam beberapa variabel dan
adaptif didefinisikan sebagai kemampuan satu indikator kerentanan sumber daya air yang
sistem untuk menanggulangi konsekuensi dari didapatkan secara kualitatif dari observasi di
variabilitas iklim atau menyesuaikan diri pada lapangan, pendapat para ahli dan hasil kajian
variabilitas iklim, mengurangi potensi kerusakan, terdahulu. Kriteria dan indikator ini kemudian
atau mengambil keuntungan dari kondisi yang dikuantifikasikan dalam bentuk bobot dan skor
disediakan iklim yang berubah tersebut. untuk dihitung indeks kerentanannya. Indeks
kerentanan pada masing-masing komponen
Vulnerability = f (Exposure+Sensitivity-Adaptive
kemudian di-overlay (pendekatan spasial) untuk
Capacity) .......................................(1)
menghasilkan peta kerentanan. Pendekatan
Sampai sejauh ini, konsep IPCC inilah yang penelitian secara rinci disajikan dalam prosedur/
paling banyak digunakan di seluruh dunia dalam tahap penelitian.
penilaian kerentanan, baik untuk publikasi ilmiah
ataupun laporan kegiatan lembaga (Hamouda, B. Lokasi dan Waktu Penelitian
2006; Swandayani, 2010; Bappenas, 2010; Rositasari
Kajian ini dilakukan di DAS Aesesa, Pulau
et al.,2010; Effendi, 2012; Gain et al., 2012).
Flores (Gambar 3). Beberapa alasan yang
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang
mendasari pemilihan lokasi: (1) DAS Aesesa
meluncurkan Sistem Inventarisasi Data Indeks
merupakan salah satu DAS Prioritas I yang ada di
Kerentanan (SIDIK) pada Juli 2014, pada dasarnya
Provinsi NTT, selain DAS Noelmina dan DAS
juga menggunakan konsep dan pendekatan IPCC
Kambaneru, (2) Di daerah hulu, terdapat kawasan
untuk mendapatkan indeks kerentanan di suatu
Cagar Alam Watu Ata dan hutan bambu yang
wilayah administrasi (KLH, 2014).
merupakan water catchment area utama di Kabupaten
Terkait dengan penilaian kerentanan sumber
Ngada dan Kabupaten Nagekeo. Penelitian
daya air, pendekatan yang dilakukan adalah
dilaksanakan pada bulan April sampai Nopember
gabungan dari pendekatan secara kualitatif,
2013.

Sumber: Peta DAS - BPDAS Benain Noelmina (2012) dan Peta Batas Administrasi - Bappeda NTT (2010)
Sources: Watershed Map - BPDAS Benain Noelmina (2012) and Administration Map - Bappeda NTT (2010)

Gambar 3. Peta lokasi penelitian (DAS Aesesa).


Figure 3. Map of study area (Aesesa Watershed).

180
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
C. Rancangan Penelitian validasi hasil analisis trend suhu dan curah hujan,
dilakukan wawancara dan pengisian kuisioner
Penelitian ini menggunakan DAS sebagai unit
terhadap masyarakat pada masing-masing region
analisis. Alasan digunakannya DAS sebagai unit
DAS terkait kecenderungan perubahan suhu dan
analisis: (a) Pendekatan DAS lebih holistik dan
curah hujan pada beberapa tahun terakhir.
dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan
antara faktor biofisik dan sosial ekonomi lebih cepat 2. Pengamatan kondisi sumber daya air di DAS
dan lebih mudah, (b) DAS mempunyai batas alam Aesesa
yang jelas di lapangan, (c) DAS mempunyai Terkait dengan kondisi sumber daya air,
keterkaitan biogeofisik yang sangat kuat antara hulu dilakukan pengamatan dan pengumpulan data
dan hilir sehingga mampu menggambarkan kuantitas dan kualitas sumber daya air secara time
perilaku air akibat perubahan karakteristik lanskap, series. Data kuantitas (debit) dan kualitas air
(d) adanya suatu outlet dimana air akan terakumulasi, dikumpulkan dari pihak-pihak yang terkait, seperti:
sehingga aliran air dapat ditelusuri. Kementerian Pekerjaan Umum (Kementerian PU),
Wilayah unit analisis DAS dibagi menjadi tiga Dinas Pekerjaan Umum (Dinas PU), Balai
region yakni hulu, tengah, dan hilir yang dibedakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) dan
berdasarkan tingkat kelerengan, fungsi kawasan dan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD). Data
kerapatan drainase (Asdak, 1997). Pada setiap tentang kualitas dan kuantitas air secara time series
region dipilih sampel penelitian berbasis desa untuk in i akan dianalisis secara deskriptif untuk
mengambil data yang berkaitan dengan aspek sosial menggambarkan sampai sejauh mana dampak
ekonomi masyarakat, ketersediaan sumber daya air variabilitas/variabilitas iklim terhadap sumber daya
dan variabilitas iklim. Distribusi desa sampel air. Sebagai alat verifikasi/validasi hasil analisis
didasarkan pada 2 karakteristik, yaitu: kedekatan kondisi sumber daya air, dilakukan wawancara dan
dengan garis sungai dan kedekatan dengan fungsi pengisian kuisioner terhadap masyarakat pada
hutan. Jumlah responden pada setiap desa masing-masing region DAS terkait ketersedian dan
berjumlah sekitar 10 orang informan kunci yang kebutuhan sumber daya air pada beberapa tahun
meliputi tokoh masyarakat dan petani yang terakhir.
mewakili mata pencaharian mayoritas di desa
3. Penaksiran tingkat kerentanan sumber daya air
tersebut. Informan tersebut teridentifikasi sebagai
terhadap variabilitas iklim
local knowledge expert menurut Davis dan Wagner
Tingkat kerentanan akan diukur dengan
(2003).
pendekatan berbasis spasial, dimana kriteria dan
indikator variabilitas iklim disusun dalam bentuk
D. Prosedur Penelitian
spasial dengan bantuan sistem informasi geografis
1. Pengamatan kecenderungan (trend) perubahan (SIG) untuk mendapatkan peta kerentanan.
suhu udara dan curah hujan Tahap-tahap penyusunan peta kerentanan adalah
Perubahan pola maupun trend suhu dan curah sebagai berikut:
hujan akan dijadikan indikator untuk menilai a. Penentuan kriteria dan indikator
terjadinya kejadian perubahan/variabilitas iklim di Kriteria dan indikator paparan diperoleh dari
lokasi kajian. Data yang dikumpulkan adalah data beberapa referensi, terutama dari Bappenas (2010)
numerik time series, berupa data suhu dan curah tentang Road map variabilitas iklim Indonesia,
hujan selama kurang lebih 30 tahun terakhir. Data Kementerian Lingkungan Hidup (2010) dan
ini dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Effendi (2012) tentang kajian kerentanan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) masyarakat terhadap variabilitas iklim berbasis
NTT (terkait suhu udara ) dan Dinas Pertanian DAS di Jawa Tengah. Kriteria dan indikator yang
Kabupaten (terkait data curah hujan) serta beberapa digunakan dalam pendekatan spasial disajikan pada
stasiun pengamat cuaca atau curah hujan yang Tabel 1. Hasil akhir pada tahap ini adalah beberapa
terdekat dengan lokasi kajian. Trend perubahan kriteria dan indikator yang semuanya dirubah
suhu udara dan curah hujan rata-rata di analisis dalam bentuk data spasial (peta). Dalam kajian ini
dengan analisis statistik (regresi) dengan mengacu data peta dirubah dalam bentuk raster data (raster-
kepada data time series. Sebagai alat verifikasi/ based analysis).

181
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
b. Pembobotan dan Skoring terhadap kerentanan sumber daya air. Sebagai
Pemberian bobot dan skor (weighting and scoring) contoh untuk variabel keterpaparan dengan
pada kriteria dan indikator yang telah ditetapkan indikator kekritisan lahan, skor tertinggi diberikan
dilakukan berdasarkan studi literatur/kajian ter- untuk lahan yang sangat kritis, dan yang terendah
dahulu, pendapat para ahli dan wawancara dengan diberikan untuk lahan yang tidak kritis. Hasil akhir
masyarakat. Bobot dan skor diberikan berdasarkan pada tahap ini adalah skor pada masing-masing
derajat kepentingan kriteria dan indikator tersebut variabel, kriteria dan indikator lainnya (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria dan indikator penaksiran tingkat kerentanan sumber daya air terhadap variabilitas iklim
Table 1. Criteria and indicator used in vunerability assessment water resources to climate variability

182
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
Tabel 1. Lanjutan
Table 1. Continued

Sumber (Source) : Bappenas (2010), KLH (2010), Effendi (2012), Gain et al.(2012)

c. Penentuan indeks dan peta kerentanan keterpaparan, tingkat sensitivitas dan kapasitas
Penentuan indeks kerentanan dilakukan sesuai adaptif. Dari hasil penjelasan tingkat kerentanan
persamaan 2, yaitu dengan mengurangi indeks pada setiap region maka akan didapatkan
paparan dan kepekaan dengan indeks kemampuan gambaran tingkat kerentanan sumber daya air
adaptasi (Swandayani, 2010; Gain et al., 2012). terhadap variabilitas iklim pada lingkup DAS.
Tahap ini dibantu dengan bantuan fitur raster
............................................................. (2)
calculator pada software ArcGIS 9.3. Hasil akhir
ditampilkan dalam bentuk peta paparan, kepekaan, Dimana :
kapasitas adaptif, dan kerentanan. i = skala interval
R = selisih skor maksimum dan minimum
.. (2) n = banyaknya kelas penilaian yang dibentuk
Untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat
Dimana:
akurasi/kebenaran peta kerentanan terhadap
K = indeks kerentanan
variabilitas iklim, dilakukan penilaian akurasi
Wie = bobot indikator ke-i pada variabel
(accuracy assessment) dengan meng-overlay peta
keterpaparan
kerentanan dengan peta kejadian bencana. Asumsi
Xie = skor indikator ke-i pada variabel keterpaparan
yang dibangun, jika suatu daerah memiliki tingkat
Wis = bobot indikator ke-i pada variabel sensitivitas
kerentanan yang tinggi berarti daerah tersebut
Xies = skor indikator ke-i pada variabel sensitivitas
sering dilanda bencana.
Wiac = bobot indikator ke-i pada variabel kapasitas
adaptif
Xiac = skor indikator ke-i pada variabel kapasitas
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
adaptif
Nilai indeks kerentanan kemudian diklasifikasi- A. Gambaran Umum Kondisi DAS Aesesa
kan ke dalam 5 (lima) tingkat/kelas kerentanan,
1. Kondisi Biofisik DAS Aesesa
yaitu: tinggi, agak tinggi, sedang, agak rendah dan
DAS Aesesa merupakan salah satu DAS
rendah (Swandayani, 2010). Penentuan skala
Prioritas I yang ada di Provinsi NTT, selain DAS
interval untuk kelas kerentanan dihitung dengan
Benain, Noelmina dan Kambaniru. Prioritas DAS
persamaan 3. Tingkat kerentanan akan dianalisis
disusun berdasarkan sistem skoring seperti luasnya
secara deskriptif per-region, berdasarkan variabel
lahan kritis, tingginya erosi sedimentasi, tekanan

183
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
penduduk yang besar, pengamanan bendungan (Desember-Maret).
vital, daerah miskin dan desa tertinggal (IDT), Laporan BPDAS Benain Noelmina (2012)
rawan banjir, daerah tangkapan air (DTA) bawah menyebutkan bahwa sebagian besar wilayah DAS
tanah, pengamanan hutan lindung. DAS Aesesa Aesesa (sekitar 80%) didominasi oleh fungsi
memiliki luas 122.995,85 ha yang terletak di dua kawasan Areal Penggunaan Lain (APL)/bukan
kabupaten yaitu Kabupaten Ngada seluas 46.915,53 kawasan hutan, sisanya sekitar 20%, terdiri atas
ha dan Kabupaten Nagekeo seluas 76.080,32 ha cagar alam, hutan lindung dan hutan produksi.
(Gambar 2). Sementara untuk penutupan lahan, wilayah DAS
Berdasarkan bentuknya, DAS Aesesa memiliki Aesesa didominasi oleh savana/padang rumput
bentuk membulat. Bentuk DAS yang membulat ini (41%) dan sebagian lainnya berupa hutan primer
menyebabkan bagian hujan yang menjadi limpasan (5%), hutan sekunder (21%), semak belukar (12%),
akan terkumpul secara cepat dan mencapai outlet pertanian lahan kering (19%), sawah (1%), hutan
dalam waktu yang cepat juga. Lebih lanjut dikatakan mangrove (1%) dan tanah terbuka (kurang dari
bahwa bentuk DAS membulat ini akan memberikan 1%). Berdasarkan tingkat kekritisan lahan, wilayah
debit puncak yang tinggi dan mengakibatkan DAS dikategorikan agak kritis (42% dari total
meningkatnya sedimen yang terbawa aliran tersebut wilayah DAS), kritis (45%) dan sangat kritis (13%).
(BPDAS Benain Noelmina, 2013).
2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di DAS
DAS Aesesa memiliki kondisi topografi yang
Aesesa
bervariasi, mulai dari datar sampai terjal. Sebagian
Pada tahun 2011, jumlah penduduk di DAS
besar wilayah DAS didominasi oleh kemiringan
Aesesa tercatat 157.302 jiwa, yang terdiri dari laki-
curam (32%) dan terjal (41%). Dengan dominasi
laki 77.589 jiwa dan perempuan 79.713 jiwa,
topografi terjal, maka wilayah DAS Aesesa menjadi
dengan kepadatan penduduk 92 jiwa/km2 dan
peka terhadap erosi dan hanya sedikit lahan yang
jumlah kepala keluarga sebanyak 22.652 KK. Salah
bisa digunakan sebagai lahan pertanian semusim.
satu permasalahan kependudukan di DAS Aesesa
Untuk bisa memanfaatkan lahan-lahan tersebut
adalah tekanan penduduk terhadap sumber daya
diperlukan upaya-upaya konservasi tanah dan air
alam. Makin besar jumlah penduduk, makin besar
yang tepat (BPDAS Benain Noelmina, 2013).
pula kebutuhan akan sumber daya sehingga
Berdasarkan peta tanah, sebaran jenis tanah di
tekanan terhadap sumber daya alam juga
DAS Aesesa terdiri dari tanah Alluvial, Andosol,
meningkat. Mayoritas tingkat pendidikan
Kambisol, Podsolik dan Regosol. Jenis tanah yang
masyarakat di DAS Aesesa adalah pada tingkat
mendominasi adalah tanah Kambisol Distrik
Sekolah Dasar (sekitar 68% dari masyarakat di
(63%), jenis tanah yang terbentuk dari lereng-lereng
DAS Aesesa). Kondisi ini berakibat pada
vulkanik bagian tengah dan bagian bawah yang
lemahnya atau lambatnya adopsi teknologi dan
mudah lapuk. Jenis tanah ini mempunyai tekstur
pengetahuan dalam pengelolaan DAS. Berkaitan
berkisar dari lempung remah sampai geluh
dengan mata pencaharian, sekitar 50% dari jumlah
berlempung. Kambisol mempunyai potensi untuk
penduduk di DAS Aesesa bermatapencaharian
pertanian dan dapat dipakai untuk penanaman
utama sebagai petani. Terkait dengan tingkat
palawija tadah hujan, tanaman keras dan juga untuk
pendapatan masyarakat, sekitar 50% dari jumlah
budidaya tanaman padi (BPDAS Benain Noelmina,
penduduk di DAS Aesesa memiliki tingkat
2013).
pendapatan rata-rata sekitar Rp. 300.000/ bulan
BPDAS Benain Noelmina (2013) dalam
(BPDAS Benain Noelmina, 2013).
laporannya menyebutkan bahwa, berdasarkan data
time series curah hujan 1985-2012 dan klasifikasi
B. Kecenderungan (Trend) Perubahan Suhu
iklim Scmidt - Fergusson, DAS Aesesa memiliki tipe
Udara dan Curah Hujan
iklim sedang (tipe D) di daerah hulu (Kec. Bajawa
dan sekitarnya) dengan lama musim hujan rata-rata Pengamatan kecenderungan perubahan suhu
sekitar 6 bulan (November-April), agak kering (tipe udara di DAS Aesesa terhambat oleh tidak adanya
E) di bagian tengah (kec.Boawae dan sekitarnya) stasiun meteorologi yang melakukan pengukuran
dengan lama musim hujan rata-rata sekitar 5 bulan terhadap suhu udara di sekitar Kabupaten Ngada
(November-Maret) dan iklim kering (tipe F) di dan Nagekeo. Kendala lainnya, data atau peta
bagian hilir (Kec.Aesesa dan sekitarnya) dengan tentang isotherm sulit untuk didapatkan. Sebagai
lama musim hujan tercatat sekitar 4 bulan antisipasinya, digunakan data pengamatan suhu

184
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
udara di Ruteng, Kabupaten Manggarai sebagai minimum 17,300C dan suhu maksimum 22,100C.
representasi dari suhu udara rata-rata di Bajawa, S ed angk an d i bagia n h ilir DAS, y ang
Kabupaten Ngada (Hulu DAS Aesesa) dan data direpresentasikan oleh data suhu di Maumere pada
pengamatan suhu udara di Maumere, Kabupaten tahun 1983-2011, didapatkan suhu bulanan rata-
Sikka sebagai representasi dari Mbay, Kabupaten rata sekitar 27,440C dengan suhu minimum 25,000C
Nagekeo (Hilir DAS Aesesa). Antisipasi dan dan suhu maksimum 30,400C. Pola suhu bulanan
pendekatan yang dilakukan ini didasarkan atas rata-rata baik di Ruteng maupun di Maumere
pertimbangan kemiripan dalam hal: (a) ketinggian hampir sama pada setiap tahunnya, dimana suhu
dari permukaan laut, (b) tipe bentang lahan maksimum terjadi pada musim hujan (awal musim
(landscape). Hulu DAS Aesesa, Bajawa mempunyai hujan, Oktober-November) dan suhu minimum
ketinggian rata-rata sekitar 1.547 m dan Ruteng terjadi pada musim kemarau (puncak musim
memiliki ketinggian rata-rata sekitar 1.177 m dan kemarau, Juli-Agustus). Suhu rata-rata tahunan di
(BPS Provinsi NTT, 2012). Kedua wilayah ini Ruteng (representasi Hulu DAS Aesesa) selama
memiliki tipe landscape berbukit-bukit bahkan periode 1996-2012 cenderung menurun sekitar
bergunung-gunung dengan dicirikan topografi yang 0,45OC, sebaliknya hasil analisa suhu tahunan rata-
terjal/curam. Sedangkan Hilir DAS Aesesa, Mbay rata di Maumere (representasi Hilir DAS Aesesa)
memiliki ketinggian rata-rata sekitar 55 m, hampir selama 1983-2011 menunjukkan kecenderungan
sama dengan ketinggian kota Maumere yaitu sekitar kenaikan sekitar 0,12 OC (Gambar 4a). Terkait
35 m (BPS Provinsi NTT, 2012). Kedua daerah ini dengan suhu, sebanyak 94% responden di daerah
merupakan tipe kota pantai dengan topografi datar hulu menyatakan bahwa suhu udara dalam 5 atau
sampai landai. 10 tahun terakhir cenderung lebih dingin,
Berdasarkan data suhu selama periode 1996- sementara 70% responden di daerah hilir me-
2012 di Stasiun Meteorologi Ruteng, yang nyatakan bahwa suhu udara cenderung lebih panas.
merepresentasikan hulu DAS Aesesa, didapatkan Jadi persepsi masyarakat tentang perubahan suhu
suhu rata-rata bulanan sekitar 19,990C dengan suhu ini sesuai dengan hasil analisis data suhu udara.

Sumber: Data Pengukuran Suhu di Stasiun Meteorologi Ruteng 1996-2012 dan Data Pengukuran Suhu di Stasiun Meteorologi
Maumere 1983-2011
Sources: Temperature Data in Meteorological Station of Ruteng during 1996-2012 and Temperature Data in Meteorological Station of Maumere
during 1983-2011

Gambar 4.(a) Tren suhu tahunan rata-rata(b) Tren curah hujan tahunan di DAS Aesesa.
Figure 4.(a)Trend of mean annual temperature and (b) trend of annual precipitation in Aesesa Watershed.

185
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
Bagaimana dengan kecenderungan perubahan relatif kecil. Sebagai contoh nilai R2= 0,24
curah hujan? Pengamatan kecender ungan (koefisien determinasi suhu udara di daerah hulu -
perubahan curah hujan dilakukan pada tiga stasiun Gambar 4a), mengindikasikan bahwa sekitar 24%
pengamat curah hujan yang mewakili tiga region variasi peubah suhu rata-rata dapat dijelaskan oleh
DAS, yaitu di: Bajawa (hulu DAS), Boawae (tengah variasi peubah tahun, sedangkan 76% sisanya
DAS) dan Danga (hilir DAS). Curah hujan tahunan dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Persamaan
rata-rata di sekitar Bajawa tercatat sebesar 2.530 regresi dengan nilai R2yang relatif rendah ini masih
mm/tahun, sedangkan di Boawae dan Danga dapat digunakan karena hanya sebagai alat untuk
masing-masing sebesar 1.362 mm/tahun dan 541 menjelaskan, bukan untuk memprediksi (Maletta,
mm/tahun. Seperti suhu udara, curah hujan 2009 dalam Adiyoga et al., 2012).
bulanan dari tahun ke tahun juga menunjukkan pola
yang hampir sama. Pola curah hujan dapat C. Kondisi Sumber Daya Air
diklasifikasikan menjadi 3 pola, yaitu: monsunal
Indikator yang biasanya digunakan untuk
(monsoon), ekuatorial (equator) dan lokal (Tjasyono,
menggambarkan kondisi sumber daya air adalah
2004; Aldrian dan Susanto, 2003; Sipayung et al.,
kuantitas (debit air) dan kualitas air. Dinas
2010). Pola curah hujan di DAS Aesesa dapat
Pekerjaan Umum Kabupaten Nagekeo yang
diklasifikasikan sebagai pola hujan monsoon, karena
mengelola Bendungan Sutami-bendungan sungai
memiliki grafik berbentuk huruf “V”, dimana
Aesesa (sungai utama di DAS Aesesa), menyatakan
terjadi perbedaan yang jelas antara musim hujan
bahwa debit air rata-rata di Sungai Aesesa adalah
dan musim kemarau. Musim kemarau yang
7,5 m3/detik pada musim hujan dan 4,5 m3/detik
ditandai dengan hujan minimum terjadi pada saat
pada musim kemarau pada tahun 2013. Lebih
bulan Juni, Juli dan Agustus atau pada saat
lanjut Dinas PU menyatakan bahwa debit air dalam
terjadinya angin monsoon timur, yaitu pada saat
lima tahun terakhir relatif sama dan tidak
matahari berada di garis balik utara. Sebaliknya pada
mengalami perubahan yang berarti. Data lain yang
saat terjadinya angin monsoon barat (November-
dikeluarkan oleh Ditjen Sumber Daya Air
Januari), terjadi hujan yang berlimpah (Sipayung et
Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2010
al., 2010).
menyebutkan bahwa Sungai Aesesa memiliki debit
Hasil analisa tren curah hujan tahunan
minimum 0,6 m3/detik dan debit maksimum 62,3
menunjukkan kenaikan pada region hulu dan
m3/detik.
penurunan pada region tengah dan hilir (Gambar
BP DAS Benain Noelmina (2012) menyatakan
4b). Pada region hulu terjadi kecenderungan
bahwa salah satu indikator untuk menilai debit air
kenaikan curah hujan tahunan sebesar 938 mm
sungai adalah nilai parameter Koefisien Regim
selama periode 1973-2010 (37 tahun), sebaliknya di
Sungai (KRS). KRS merupakan perbandingan
region tengah terjadi kecenderungan penurunan
antara debit maksimum dan debit minimum,
curah hujan tahunan sebesar 175 mm selama 1976-
semakin besar nilainya, debit air sungai
2004 (28 tahun). Serupa dengan region tengah, di
diklasifikasikan jelek. Nilai KRS DAS Aesesa yang
region hilir juga terjadi kecenderungan penurunan
didapatkan sekitar 103, yang diklasifikasikan
curah hujan tahunan sebesar 359 mm selama 1972-
sedang (klasifikasi nilai KRS: < 50 baik, 50-120
2002 (30 tahun). Terkait dengan perubahan curah
sedang, >120 jelek). Meski dikategorikan sedang,
hujan, hasil wawancara dengan masyarakat
namun nilai KRS ini mendekati ambang batas kelas
menunjukkan bahwa berdasarkan indikator lama
jelek (120), artinya jika tidak dilakukan upaya-upaya
periode musim hujan, 64% responden di bagian
untuk menjaga daerah resapan air, maka pada
tengah dan 67% responden di bagian hilir
musim kemarau daerah di sekitar DAS akan
menyatakan bahwa periode musim hujan dalam
mengalami kekurangan air.
beberapa tahun terakhir semakin pendek, hal ini
Selain KRS, indikator lain yang digunakan untuk
sesuai dengan hasil analisis data curah hujan yang
menilai kondisi sumber daya air adalah Indeks
menyebutkan bahwa pada region hilir dan tengah
Penggunaan Air (IPA). IPA dapat dihitung dengan
terjadi kecenderungan penurunan curah hujan.
membandingkan antara kebutuhan air dengan
Analisis regresi suhu tahunan rata-rata dan curah
persediaan air di DAS. BP DAS Benain Noelmina
hujan tahunan rata-rata pada Gambar 4
(2012) menyatakan bahwa kebutuhan air rata-rata
menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) yang

186
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
Tabel 2. Hasil pemantauan kualitas air di DAS Aesesa tahun 2010-2012
Table 2. Water quality assessments in Aesesa Watershed 2010-2012

Keterangan(Remarks):
- MH : Musim Hujan(Rainy season)
- MK : Musim Kemarau (Dry season)
- Kelas mutu air (Water Quality Class): A (memenuhi baku mutu/ meets standard quality), B (cemar ringan/ lightly polutted), C (cemar
sedang/ moderately polluted)
Sumber (Sources):
- Laporan Pemantauan Kualitas Air BLHD Ngada 2009-2012 (Water Quality Assessment Report BLHD Ngada 2009-2012)
- Laporan Pemantauan Kualitas Air BLHD Nagekeo 2011-2012 (Water Quality Assessment Report BLHD Nagekeo 2011-2012)

di DAS Aesesa untuk hutan, pertanian dan non ringan) dan kelas C (cemar sedang). Penentuan
pertanian adalah sebesar 3.057 mm/tahun, status mutu air menggunakan metode Storet dan
sedangkan ketersediaan air yang diestimasi dari parameter yang digunakan adalah: suhu air, pH,
curah hujan rata-rata adalah sebesar 1.195 mm/ daya hantar listrik, salinitas, turbiditas dan total
tahun. Perbandingan kebutuhan dan ketersediaan padatan terlarut (BLHD Ngada, 2012; BLHD
air ini menghasilkan nilai IPA sebesar 3, yang Nagekeo, 2012). Parameter-parameter ini
diinterpretasikan buruk (klasifikasi nilai IPA: < 0,5 kemudian diskoring dan dibandingkan dengan
baik, 0,6-0,9 sedang, >1 buruk). kriteria mutu air kelas I (sesuai Peraturan
Dari indikator kuantitas atau debit air di DAS Pemerintah - PP 82 tahun 2001), sehingga dapat
Aesesa, dikatakan bahwa secara umum kuantitas air diketahui parameter yang memenuhi baku mutu
tidak mengalami perubahan yang berarti dalam lima air. Selanjutnya ditetapkan kelas mutu air sebagai
tahun terakhir. Namun begitu, nilai KRS yang hasil akhirnya. Hasil pemantauan terakhir tahun
mendekati ambang batas jelek dan nilai IPA yang 2012 menyebutkan bahwa, sungai sampel di hulu
masuk kategori buruk menunjukkan bahwa kondisi DAS Aesesa masuk dalam kategori cemar ringan,
sumber daya air di DAS Aesesa dalam keadaan sementara sungai sampel di hilir DAS masuk
kritis. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Bappenas kategori cemar sedang (Tabel 2). Persepsi
(2010) yang menyatakan bahwa neraca air di Region masyarakat terhadap kualitas air, 61% total
Nusa Tenggara dikaterikan kritis. Sementara hasil responden di semua region, 63% reponden di hulu
wawancara dengan masyarakat menyebutkan DAS dan 50% responden di hilir DAS menyatakan
bahwa sekitar 48% responden menyatakan mereka bahwa kualitas air tidak berubah.
merasa kekurangan air dan 43% responden
menyatakan air yang tersedia masih bisa mencukupi D. Kerentanan Sumber Daya Air terhadap
untuk kebutuhan mereka. Perubahan/Variabilitas Iklim
Terkait dengan kualitas air di DAS Aesesa, Badan
emetaan variabel keterpaparan sumber daya air
Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten
merupakan hasil tumpang tindih (overlay) peta
Ngada dan Nagekeo melaporkan bahwa kondisi
curah hujan, peta penutupan lahan dan peta tingkat
mutu air sungai di DAS Aesesa bervariasi, mulai dari
kekritisan lahan di wilayah DAS Aesesa. Dari hasil
kelas A (memenuhi baku mutu), kelas B (cemar
kajian spasial, didapatkan bahwa region hulu

187
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
memiliki tingkat keterpaparan paling tinggi Kemampuan adaptif pada sektor sumber daya
dibandingkan daerah tengah tengah dan hilir air dikaji dengan kriteria dan indikator: kualitas
(Gambar 5a). Tingginya curah hujan di region hulu, SDM (indeks pendidikan, perilaku konservasi);
terbatasnya penutupan lahan berupa hutan dan sosial ekonomi masyarakat (tingkat kesejahteraan
banyaknya lahan kritis menjadikan region ini masyarakat, konflik dan dukungan pemerintah),
memiliki indeks exposure tertinggi. fasilitas kesehatan dan daerah resapan air. Daerah
Pemetaan kepekaan (sensitivitas) sumber daya hilir memiliki indeks tertinggi, diikuti daerah
air terhadap variabilitas iklim dipengaruhi oleh tengah dan hulu (Gambar 5c). Sebagaimana
tingkat permintaan air (direpresentasikan secara diuraikan di metodologi penelitian bahwa, tingkat
spasial dengan tingkat kepadatan penduduk dan pendidikan yang relatif lebih tinggi pada
akses terhadap air bersih) dan ketergantungan masyarakat di daerah hilir jika dibanding dengan
masyarakat terhadap lahan (proporsi masyarakat daerah hulu dan tengah menjadikan region hilir
yang bergantung pada sektor pertanian). Tingginya memiliki indeks kemampuan adaptif tertinggi,
kepadatan penduduk di daerah hulu dan banyaknya diikuti region tengah dan hulu. Setelah melewati
masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian tahap pemberian bobot, skoring dan overlay,
menjadikan region ini memiliki indek sensitivitas kombinasi dari ketiga variabel, yaitu keterpaparan,
lebih tinggi daripada daerah tengah dan hilir sensitivitas dan kapasitas adaptif, menghasilkan
(Gambar 5b). peta kerentanan (Gambar 5d). Indeks kerentanan

Sumber: Pengolahan data primer, 2013


Sources: Primary data analysis, 2013

Gambar 5. Peta tingkat keterpaparan (a), sensitivitas (b), kapasitas adaptif (c) dan tingkat kerentanan (d) di
DAS Aesesa.
Figure 5. Map of exposure (a), sensitivity (b), adaptive capacity (c) and vulnerability in Aesesa Watershed.

188
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
Tabel 3. Distribusi tingkat kerentanan pada masing-masing region
Table 3. Distribution of vulnerability area by watershed region

Sumber: Pengolahan data primer, 2013


Sources: Primary data analysis, 2013

daerah di region hulu DAS relatif lebih tinggi jika Salah satu kelemahan peta kerentanan adalah
dibandingkan dengan daerah tengah dan hilir sumber data yang dipakai, dimana kebanyakan data
(Gambar 5d; Tabel 3). Dari hasil analisis didapatkan spasial berasal dari data sekunder. Berdasarkan
bahwa sekitar 60% wilayah region hulu masuk review terhadap 45 publikasi ilmiah yang terbit di
dalam tingkat kerentanan agak tinggi sampai tinggi, jurnal terkait dengan peta kerentanan, Preston et al.
sedangkan untuk wilayah region tengah, 50% (2012), menyatakan bahwa hanya sekitar 9% dari
wilayahnya diklasifikasikan ke tingkat kerentanan publikasi tersebut yang menggunakan data primer,
agak tinggi. Sementara pada region hilir, tingkat sehingga tingkat kepercayaannya masih diragukan.
kerentanan sumber daya air sebagian besar (sekitar Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelebihan
80%) dikategorikan rendah. pemetaan kerentanan adalah dalam hal mampu
Sampai sejauh mana tingkat kebenaran atau menampilkannya informasi spasial (Preston et al.,
validasi peta kerentanan di atas? Pada kajian ini, 2012). Terlepas dari segala kelebihan dan
penilaian tingkat kebenaran/validasi peta kekurangan tersebut, pemetaan kerentanan tetap
kerentanan dilakukan dengan meng-overlay peta merupakan cost-effective tools (Harter dan Walker,
kerentanan dengan peta bencana. Terkait dengan 2001) bagi lembaga terkait untuk keperluan
kejadian bencana, data bencana yang dikumpulkan perencanaan tata ruang atau penyusunan rencana
dari berbagai sumber (Badan Penanggulangan adaptasi terhadap variabilitas iklim.
Bencana Daerah/BPBD Kabupaten Ngada dan Hasil penilaian kerentanan ini juga bisa
Nagekeo tahun 2011-2013 serta data kebencanaan dijadikan dasar dalam penyusunan strategi
BPDAS Benain Noelmina tahun 2008-2010) penanganan kerentanan. Alternatif strategi yang
menyebutkan bahwa telah terjadi kurang lebih 50 diusulkan : (1) Penghijauan/reboisasi pada daerah
bencana yang terdistribusi di seluruh Region DAS hulu DAS, terutama di sekitar Cagar Alam Watuata,
dari hulu sampai hilir (Gambar 6). Jenis bencana yang terancam oleh perambahan masyarakat untuk
alam yang paling sering terjadi adalah banjir (52% perkebunan kopi; (2) manajemen tata guna lahan
terhadap total bencana), angin (34%), longsor (12) pada region tengah, terutama terkait banyaknya
dan abrasi (2%). Berdasarkan region atau wilayah alih fungsi lahan dimana savana yang mendominasi
DAS yang terdampak, region tengah merupakan tutupan lahan di region tengah (sekitar 70% dari
region yang paling banyak bencana (42%) diikuti total region tengah) terancam oleh ekspansi lahan
region hulu (30%) dan region hilir (28%). Jika peta pertanian oleh masyarakat; (3) perlindungan
bencana ini dikaitkan dengan peta kerentanan terhadap bencana di semua region DAS, terutama
terdapat kesesuaian dimana pada daerah dengan untuk daerah-daerah dengan tingkat kerentanan
tingkat kerentanan lebih tinggi (region hulu dan tinggi dan selama ini menjadi daerah langganan
tengah) memiliki jumlah kejadian bencana lebih bencana. Strategi-strategi ini dapat dijadikan
banyak daripada daerah dengan tingkat kerentanan alternatif usulan kegiatan/program oleh para
rendah (region hilir). pemangku kepenting an/lembaga terkait

189
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
Sumber: Laporan Kejadian Bencana di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo 2011-2013 (BPBD Kab. Ngada dan Kab,
Nagekeo, 2013) dan Data Kebencanaan 2008-2010 (BPDAS Benain Noelmina, 2012)
Sources : Report of Disaster Events in Ngada & Nagekeo District during 2011-2013 (BPBD Kab. Ngada dan Kab. Nagekeo, 2013) and
Disaster Events during 2008-2010 (BPDAS Benain Noelmina, 2012)

Gambar 6. Peta persebaran bencana berdasarkan jenis bencana dan tahun terjadinya bencana di DAS
Aesesa.
Figure 6. Map of disaster distribution by types and times in Aesesa Watershed.

pengelolaan sumber daya air dan antisipasi dampak 2015). Bendungan Lambo inilah yang berada di
variabilitas iklim. sekitar lokasi kajian, DAS Aesesa.
Kementerian Pekerjaan Umum melalui Balai
E. Kelembagaan terkait Dampak Perubahan/ Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II,
Variabilitas Iklim pada Sektor Sumber Daya menyatakan bahwa kebutuhan air bagi masyarakat
Air NTT adalah 1,3 miliar m3/tahun. Sementara
potensi air di NTT yang belum dimaksimalkan dan
Pemerintah, melalui presiden Joko Widodo
terbuang adalah 16,7 miliar m3 (Pemerintah
menyatakan bahwa masalah utama di Provinsi NTT
Provinsi NTT, 2015). Potensi air yang terbuang
adalah air (Kompas, 2015), untuk itu dalam periode
inilah yang akan dimaksimalkan melalui
waktu lima tahun kedepan (2014–2019), Provinsi
pembangunan bendungan-bendungan. BWS Nusa
NTT mendapat kucuran dana sebesar Rp. 5,6 triliun
Tenggara II menyatakan bahwa pemanfaatan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
bendungan-bendungan ini adalah untuk
(APBN) untuk membangun enam bendungan
persediaan air baku, irigasi pertanian, tenaga listrik
raksasa(Pemerintah Provinsi NTT, 2015). Enam
dan pariwisata (Pos Kupang, 2015).
bendungan raksasa tersebut adalah yaitu
Beberapa rencana strategi yang terkait dengan
Bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang,
sumber daya air adalah adanya upaya konservasi
Bendungan Temef di Kabupaten Timor Tengah
dan rehabilitasi mata air, khususnya di daerah hulu
Selatan (TTS), Bendungan Noktilot di Kabupaten
(dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan dan
Belu, Bendungan Napung–Gete di Kabupaten
Dinas Kehutanan setempat) dan optimalisasi
Sikka, Bendungan Kolhua, dan Bendungan Lambo
pemanfaatan sumber daya air (Kementerian PU,
(Mbay) di Kabupaten Nagekeo (Pemerintah
Kementerian Pertanian). BMKG Provinsi NTT,
Provinsi NTT, 2015; Kompas, 2015; Pos Kupang,
selaku perwakilan dari pemerintah yang berurusan

190
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
dengan iklim dan cuaca, sudah menganalisis data dalam pelaksanaan program. Selain itu dasar
iklim dan cuaca serta memberikan informasi pelaksanaan proyek yang menggunakan unit
tentang perkiraan datangnya musim hujan dan wilayah administrasi terkadang menjadi
musim kemarau untuk mengantisipasi bencana permasalahan tersendiri pada pengelolaan DAS
banjir, tanah longsor dan kekeringan. Balai Aesesa yang terletak di dua wilayah administrasi
Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Pertanian (kabupaten).
NTT bekerjasama dengan Universitas Nusa Permasalahan-permasalahan diatas diharapkan
Cendana Kupang sudah melakukan kajian dan bisa teratasi dengan terbentuknya Forum DAS
penelitian tentang varietas tanaman yang tahan NTT dan tersusunnya Rencana Pengelolaan DAS
kekeringan, sebagai antisipasi kemarau panjang dan (RPDAS) Terpadu pada beberapa DAS Prioritas di
minimnya curah hujan di NTT. NTT, termasuk DAS Aesesa. Forum DAS NTT,
Selain pemerintah, beberapa lembaga swadaya yang merupakan forum gabungan antara
masyarakat (LSM) juga berkontribusi dalam upaya pemerintah, LSM dan masyarakat, diharapkan bisa
penanganan dampak variabilitas iklim pada sektor mengakomodir semua kepentingan (lintas
sumber daya air. Beberapa LSM di wilayah DAS sektoral). Sementara RP DAS Terpadu yang
Aesesa yang teridentifikasi memiliki program disusun pada tahun 2012, yang didalamnya berisi
terkait konservasi dan optimalisasi sumber daya air tentang pembagian peran para pemangku
adalah Plan International dan Yayasan Mitra Tani kepentingan dalam mengelola DAS dan sumber
Mandiri (YMTM). Plan International memiliki daya air diharapkan bisa memadukan kegiatan dan
program penyediaan sarana dan prasarana air meminimalisir overlapping program terkait
bersih, sedangkan YMTM dengan program pengelolaan sumber daya air.
konservasi mata air.
Beberapa badan usaha yang bergerak dalam
usaha yang terkait sumber daya air juga sudah IV. KESIMPULAN DAN SARAN
dilibatkan dalam upaya kelestarian sumber daya air.
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bajawa A. Kesimpulan
(Kabupaten Ngada) dan Mbay (Kabupaten
Berdasarkan data-data klimatologis selama
Nagekeo) yang merupakan badan usaha milik
beberapa puluh tahun terakhir, di DAS Aesesa
daerah yang memberikan jasa penyediaan air bersih
telah terjadi fenomena variabilitas iklim, dimana
di perkotaan memiliki program pelestarian sumber
terjadi kecenderungan kenaikan suhu udara rata-
air baku dan perbaikan instalasi perpipaan demi
rata tahunan di bagian hilir DAS dan
menjamin ketersediaan air bagi masyarakat.
kecenderungan penurunan curah hujan pada
Perusahaan PT Kharisma di Bajawa, produsen air
bagian tengah dan hilir DAS pada sekitar 30 tahun
mineral kemasan, bekerjasama dengan BLHD dan
terakhir. Hasil observasi dalam lima tahun terakhir
Dinas Kehutanan juga terlibat dalam kegiatan
menunjukkan bahwa variabilitas iklim belum
konservasi dan optimalisasi pemanfaatan sumber
berdampak nyata terhadap kuantitas dan kualitas
mata air.
air. Meski demikian, beberapa indikator berupa
Dari paparan sebelumnya dapat dinyatakan
KRS, IPA dan neraca air menunjukkan bahwa
bahwa para pemangku kepentingan di sekitar DAS
kondisi sumber daya air di DAS Aesesa dalam
Aesesa sudah melakukan beberapa upaya untuk
keadaan kritis/rentan. Perpaduan antara konsep
meminimalisir terjadinya bencana/cuaca ekstrem
kerentanan IPCC dan pendekatan spasial yang
dan menanggulangi kekritisan sumber daya air
digunakan untuk menilai sampai sejauh mana
sebagai dampak dari variabilitas iklim. BP DAS
kerentanan sumber daya air menghasilkan peta
Benain Noelmina tahun 2011 melakukan
kerentanan sumber daya air, dimana sekitar 54%
monitoring dan evaluasi sampai sejauh mana
dari total wilayah DAS Aesesa teridentifikasi
tingkat koordinasi dan sinergitas lembaga-lembaga
memiliki tingkat kerentanan tinggi, 13%
terkait. Hasilnya menyatakan bahwa tingkat konflik
diklasifikasikan ke tingkat kerentanan sedang dan
antar lembaga pengelola DAS Aesesa tergolong
33% dikategorikan ke tingkat kerentanan rendah.
sedang. Persoalan yang masih dijumpai adalah
Berdasarkan region DAS, urutan tingkat
belum adanya keterpaduan kegiatan, terjadi
kerentanan berturut-turut dari yang tertinggi ke
overlapping program dan pendekatan keproyekan

191
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
yang terendah adalah region hulu, tengah dan hilir. beberapa hal yang direkomendasikan adalah
Disamping kelebihannya dalam menampilkan p e r c e pa t a n d a n m o n i t o r i n g k e b i j ak a n
informasi kerentanan secara spasial, peta pembangunan be nd ung an di NTT d an
kerentanan juga memiliki kekurangan yaitu dalam implementasi kebijakan pengelolaan DAS yang
penyusunannya banyak menggunakan data berkelanjutan - RPDAS terpadu yang telah
sekunder yang masih diragukan kebenarannya. tersusun. Pelaku utama percepatan dan
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan monitoring kebijakan pembangunan bendungan
tersebut, peta kerentanan tetap merupakan alat yang adalah Kementerian PU yang tujuan utamanya
efektif dan berbiaya rendah yang bermanfaat bagi adalah memastikan bahwa pembangunan
lembaga terkait untuk menyusun strategi, rencana bendungan sesuai rencana dan spesifikasi teknis
dan aksi dalam menanggulangi masalah dampak yang ditetapkan. Sementara itu, Forum DAS NTT
variabilitas iklim terhadap sumber daya air. selaku koordinator stakeholder terkait pengelolaan
DAS, diharapkan menjadi pelaku utama dalam
B. Saran mengawal RPDAS Aesesa yang telah tersusun agar
tepat sasaran.
Rekomendasi yang ditawarkan terkait hasil kajian
meliputi rekomendasi pada aspek teknis dan aspek
kelembagaan/kebijakan. Berdasarkan peta UCAPAN TERIMA KASIH
kerentanan dan terkait dengan aspek teknis,
beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu: optimalisasi Ucapan terima kasih disampaikan kepada
kegiatan reboisasi di region hulu, optimalisasi tata Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang,
guna lahan di region tengah dan optimalisasi Pemerintah Daerah Kabupaten Ngada dan
manajemen bencana di semua region DAS. Pelaku Kabupaten Nagekeo serta warga masyarakat pada
utama dalam optimalisasi kegiatan reboisasi di desa-desa sampel di DAS Aesesa atas segala
region hulu yaitu: Kementerian Kehutanan, melalui kontribusinya, baik berupa dana/ anggaran, ijin,
Balai Besar KSDA NTT Seksi Wilayah Flores, sharing data/ informasi dan bantuan teknis selama
selaku pemangku utama di wilayah hulu DAS serta kegiatan penelitian.
BPDAS Benain Noelmina yang memiliki kegiatan
reboisasi sebagai tupoksinya. Kegiatan ini
diharapkan juga didukung oleh pihak terkait lainnya DAFTAR PUSTAKA
yaitu pemerintah daerah (Dinas Kehutanan dan
BLHD Kab. Ngada dan Kab. Nagekeo); PDAM Adge r, W.N. ( 2006). Vulnerability. Gl obal
melalui kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) Environmental Change, 16, 268-281.
dan pemerintah desa atau masyarakat di sekitar hulu
Adiyoga, W., Basuki, R.S., Djuariah, D., dan
DAS. Untuk kegiatan optimalisasi tata guna lahan di
Safaruddin. (2012). Persepsi Petani dan adaptasi
region tengah, pelaku utamanya adalah Bappeda
Provinsi NTT/Kabupaten Ngada dan Kabupaten terhadap perubahan iklim: Studi kasus sayuran
Nagekeo melalui kegiatan monitoring dan review dataran tinggi dan rendah di Sulawesi Selatan.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten Laporan Akh ir Insentif Peningkatan
yang memastikan bahwa tata guna lahan sesuai Kemampuan Peneliti dan Perekayasa, Kementerian
dengan perencanaan dengan tetap memper- Riset dan Teknologi. Bandung: Balai Penelitian
timbangkan kelestarian lingkungan. Sementara itu, Tanaman Sayuran.
untuk kegiatan optimalisasi manajemen bencana di
Aldrian, E. dan Susanto, R.D. (2003). Identification
semua region DAS, pelaku utamanya adalah Badan
of three dominant rainfall regions within
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melalui
penyusunan database daerah rawan bencana, pe- Indonesia and their relationship to
rencanaan daerah evakuasi bencana, pengembang- seasurface temperature. Int. J. Climatol,
an early warning system (peringatan dini) serta men- 23:1435–1452.
dorong masyarakat untuk membentuk kelompok Asdak, C. (1997). Hidrologi dan pengelolaan daerah
masyarakat tanggap bencana. aliran sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada
Sementara itu terkait aspek kelembagaan,
University Press.

192
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
Bappeda NTT. (2009). Rencana pembangunan jangka BPS Kabupaten Nagakeo. (2011). Kabupaten
menengah daerah provinsi NTT tahun 2009-2013. Nagekeo dalam angka 2011. Mbay: BPS
Kupang: Bappeda NTT. Kabupaten Nagekeo.
Bappenas [Badan Perencanaan Pembangunan BPS Kabupaten Nagakeo. (2012). Kabupaten
Nasional]. (2010). Indonesia climate change Nagekeo dalam angka 2012. Mbay: BPS
sectoral roadmap ICCSR: Sektor sumber daya air. Kabupaten Nagekeo.
Jakarta: Bappenas.
BPS Kabupaten Ngada. (2011).Kabupaten Nagekeo
Benson, C., Twigg, J., and Rosetto, T. (2007). Tools dalam angka 2011. Bajawa: BPS Kabupaten
for mainstreaming disaster risk (Guidance Notes for Ngada.
De vel opme nt Or gani sati ons) . Ge ne va,
BPS Kabupaten Ngada. (2012).Kabupaten Nagekeo
Switzerland: Provention Consortium
dalam angka 2012. Bajawa: BPS Kabupaten
Secretariat.
Ngada.
BLHD [Badan Lingkungan Hidup Daerah]
Bryant, R. L. and Bailey, S. (1997). Third world
Kabupaten Nagekeo. ( 2012 ) . Laporan
political ecology. London: Routledge.
pemantauan kualitas air tahun 2011-2012. Mbay:
BLHD Kabupaten Nagekeo. Davis, A. and Wagner. J. (2003). Who knows? On
the importance of identifying 'experts' when
BLHD Kabupaten Ngada.(2012). Laporan
researching local ecological knowledge.
pemantauan kualitas air tahun 2009-2012.
Human Ecology 31(3):463-489.
Bajawa: BLHD Kabupaten Ngada.
BPBD [Badan Penanggulangan Bencana Daerah] Effendi, M. (2012). Kajian tingkat kerentanan
Kabupaten Ngada. (2013). Laporan kejadian masyarakat terhadap perubahan iklim dan
bencana 2011-2 013. Bajawa : BPBD strategi adaptasi berbasis DAS (Studi kasus: Sub
Kabupaten Ngada. Das Garang Hulu). (Tesis Program Studi
Ilmu Lingkungan), Semarang: Universitas
BPBD [Badan Penanggulangan Bencana Daerah] Dipnegoro.
Kabupaten Nagekeo. (2013). Laporan kejadian
bencana 2011-2013. Mbay: BPBD Kabupaten Faqih, A. (2011). Kajian ilmiah perubahan iklim
Nagekeo. dan hubungannya dengan kejadian iklim
ekstrim di Indonesia. Simposium Penelitian
BPDAS [Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai]
Perubahan Iklim dan launching IPCC Indonesia.
Benain Noelmina. (2011). Buku II data
Bogor: IPB International Convention
lapangan: Optimalisasi pengelolaan DAS dalam
Center.
rangka pemberdayaan masyarakat DAS Gain, A.K., Giupponi, C., and Renaud, F.G. (2012).
Kambaniru. Kupang: Balai Pengelolaan Climate change adapta tion a nd
Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina. vulnerability assessment of water
BPDAS Benain Noelmina. (2012). Laporan akhir resources systems in developing countries:
karakteristik DAS Aesesa. Kupang: BPDAS a generalized framework and a feasibility
Benain Noelmina. study in Bangladesh. Water 2012, 4(2), 345-
366; doi:10.3390/w4020345.
BPDAS Benain Noelmina. (2013). Rencana
pengelolaan DAS terpadu DAS Aesesa provinsi Hamouda, M.A.A. (2006). Vulnerability assessment of
NTT. Kupang: BPDAS Benain Noelmina. water resources systems in the eastern Nile Basin to
environmental factors. (Thesis, Department of
BPS [Badan Pusat Statistik] Provinsi NTT. (2012). Natural Resources, Institute of African
NTT dalam angka tahun 2012. Kupang: BPS Research and Studies). Cairo: Cairo
Provinsi NTT. University.

193
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
Harter, T., and Walker.F.G. (2001). Assessing Pos Kupang. (2015). NTT dapat enam bendungan
vulnerability of ground water. Davis: University raksasa tahun 2014-2019. Diunduh dari
of Carolina & Caroline Department of http://kupang.tribunnews.com/2015/06
Health Science. /21/ntt-dapat-enam-bendungan-raksasa-
IPCC [Intergovernmental Panel on Climate tahun-2014-2019. (20 Agustus 2015)
Change]. (2001): Impacts, a daptation Preston, B.L., Yuen, E.J. and Westaway, R.M.
vulnerability. Contribution of Working Group (2011). Putting vulnerability to climate
II to the Third Assessment Report of the change on the map: a review of
Intergovernmental Panel on Climate Change. approaches, benefits and risks. Sustainability
Geneva: UNEP/WMO. Science. Springer. DOI 10.1007/s11625-
IPCC. (2007). Summary for policy makers: Impacts, 011-0129-1
adaptation and vulnerability. Contribution Putro, Dwi. (2007). Fenomena Alam Tidak Bisa
of Working Group II to the Fourth Ditebak. Diunduh dari
Assesment Report of the h t t p : / / w w w. s u a r a k a r y a -
Intergovernmental Panel of Climate online.com/news.html?id=176970. (23
Change. In Parry, M.L. Canziani, O.F., Mei 2008)
Palukof, J.P., van der Linden, P.J., and Rositasari, R., Wahyu, B., Indarto, H.S.,
Ha nson, C. E. ( Eds). Camb ridg e : Hasanuddin dan Bayu, P., (2011). Kajian
Cambridge University. dan prediksi kerentanan pesisir terhadap
KLH [Kementerian Lingkungan Hidup] RI. (2010). perubahan iklim: Studi kasus di pesisir
Kajian resiko dan adaptasi terhadap variabilitas Cirebon. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
iklim Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Tropis, Vol.3, No.2, Hal. 52-64.
Barat. Laporan Penelitian - Kerjasama antara Sakeng, K. (2008). NTT Rentan Bencana. Diunduh
Kementerian Lingkungan Hidup RI, Kerjasama dari http://www.beritabumi.or.id
antara RI dengan Republik Federal Jerman, diakses.( 23 Mei 2008)
GTZ, WWF dan Pemda NTB. Mataram: Sipayung, B.S., Avia, L.Q.,dan Dasanto B.D. (2010).
NTB. Analisis pola curah hujan indonesia
KLH RI. (2014).Peluncuran sistem inventarisasi data berbasis luaran model sirkulasi global
indeks kerentanan (SIDIK) perubahan iklim. (GCM). Jurnal Sains & Digantara 4 (2).
D i u n d u h d a r i Swandayani, T.H. (2010). Pemetaan kerentanan
http://adaptasi.menlh.go.id/?p=1008. (20 masyarakat terhadap perubahan iklim dan
januari 2015) adaptasi berbasis ekosistem hutan (studi kasus
Kompas. (2012). NTT rawan pangan. Diunduh dari DAS Ciliwung). (Tesis) Bogor: Sekolah
http://cetak.kompas.com/read/2012/08/ Pasca Sarjana IPB.
15/05004499/ntt.rawan.pangan. (10 Mei Tempo. (2013). Banjir genangi ratusan rumah di NTT.
2013) D i u n d u h d a r i
Kompas. (2013). 7 desa di NTT terendam banjir. http://www.tempo.co/read/news/2013/
D i u n d u h d a r i 06/09/058486851/Banjir-Genangi-
http://regional.kompas.com/read/2013/ Ratusan-Rumah-di-NTT. (15 Juni 2013).
06/09/23014635/7.Desa.di.NTT.Terenda Tempo. (2012). 403 Desa di NTT Terancam Rawan
m.Banjir. (15 Juni 2013) Pa n ga n . D i u n d u h d a r i
Kompas. (2015). Pemerintah akan bangun 7 waduk & http://www.tempo.co/read/news/2012/
100 Embung di NTT . Diunduh dari 08/10/173422590/403-Desa-di-NTT-
http://nasional.kontan.co.id/news/pemer Terancam-Rawan-Pangan. (10 Mei 2013).
intah-akan-bangun-7-waduk-100-embung- TERI [The Energy and Resources Institute].
di-ntt/. (20 Agustus 2015) (2009). Climate change and water
Pemerintah Provinsi NTT. (2015). NTT dapat 6 vulnerability: strategies and practices for
b endungan r aksasa. Diunduh dari emerging water management and
http://nttprov.go.id/ntt/ntt-dapat-6- governance challenges - executive
bendungan-raksasa/. (20 Agustus 2015) summary. The Energy and Resources Institute

194
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
TERI in collaboration with Yale University to be Tjasyono, B. (2004). Klimatologi (Cetakan Ke-2).
released during the15th Conference of Parties to the Bogor: IPB Press.
United Nations Framework Convention on Water Aid. (2007). Climate Change and Water
Climate Change UNFCCC, 7–18 December Resources. London: Water Aid..
2009, Copenhagen, Denmark.

195
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)

You might also like