You are on page 1of 4

Keadaan alam di Wunga yang tandus dan kering telah memberikan ciri

pengetahuan dan kehidupan yang khas bagi penduduknya, baik itu dalam
pengetahuan ruang, ragam jenis tanaman dan hewan sebagai kesatuan sistem
ekosistem, hingga memaknai dan merespons alam dan permasalahan-permasalahan
ekologisnya. Dalam sistem pengetahuan itu mereka membentuk pola relasi
kehidupan manusia, alam dan Marapu, yang menunjukkan pula bahwa manusia
menjadi pusat hubungan tersebut.
Marapu adalah kepercayaan asli masyarakat Sumba, Nusa Tenggara Timur,
yang sebagian orang Indonesia menyebut kepercayaan animisme masyarakat
Sumba. Berdasarkan penjelasan L. Onvlee, dikutip penulis (Imanuel, 2017: 7-8),
Marapu terdiri dari dua kata, yakni “ma’ artinya “yang”, “rapu” berarti yang
“dihormati, disembah, didewakan”. Marapu juga diartikan sebagai sesuatu yang
tersembunyi dan tidak bisa dilihat. Para pengikut percaya bahwa Tuhan atau al-
Khalik itu ada, namun tidak bertindak dan tidak punya peran penting dalam
masyarakat Sumba, sedangkan Marapu lah yang berperan penting di Dunia ini.
Istilah lokal penyebutan Tuhan adalah Marappu. Perbedaan jumlah hurup p
menunjukkan perbedaan Marapu (roh-roh nenek moyang) dan Marappu (Ilah
Tertinggi).
Menurut Marcos Imanuel, orang-orang Marapu mempertimbangkan masalah-
masalah ekologi atau bencana alam sebagai hukuman/azab dari Marapu (jiwa
moyang mereka). Bahwa bencana apapun yang menimpa, mereka menerimanya
dengan pasrah. Mereka memandangnya sebagai azab Marapu karena mereka telah
melakukan suatu kesalahan. Meskipun demikian, mereka juga mencoba
menenangkan Marapu dengan memegang beberapa hamayangu (ritual) yang
mensyaratkan korban binatang dan beberapa aktivitas budaya. Orang-orang
Marapu melihat masalah ekologi berkenaan dengan persoalan mereka, hal yang
paling serius dari persoalan serius lain dalam kehidupan mereka. Mereka
mempertimbangkan kelaparan sebagai masalah paling serius dan bencana alam
seperti gempa bumi sebagai masalah yang tak serius.
Konstruksi berbeda terkait bencana alam adalah bahwa orang-orang Marapu
mempunyai definisi lokal bagi kejadian yang dianggap orang adalah bencana. Bagi
orang Marapu, tidak ada istilah tunggal yang mengarah pada bencana alam, tetapi
mereka memiliki definisi happa, hippu, ngangu hippu, yang berarti merusak aturan
Marapu. Ketika masalah ekologi terjadi, atau bencana alam dalam istilah orang luar,
mereka bukanlah korban atau orang yang selamat, melainkan orang yang terhukum.
Mereka seharusnya melakukan ritual untuk meminta maaf pada Marapu untuk
menyeimbangkan hubungan antara Marapu, manusia, dan alam (triangle relation).
Masyarakat Wunga selalu melibatkan Marapu untuk turut ambil bagian dalam
hubungan dan respon mereka terhadap alam. Aktivitas pertanian dan ritual mereka
berjalan bersamaan, satu sama lain tak terpisahkan. Menurut Imanuel paling tidak
ada terdapat 15 jenis hamayangu terkait aktivitas pertanian mereka. Pada tiap
hamayangu mereka harus mengorbankan hewan. Hamayangu juga dilakukan
sebagai respon terhadap “bencana alam” yang mereka alami. Yang termasuk
kategori bencana bagi masyarakat Wunga adalah, kelaparan, kebakaran, hama
belalang, hama ulat, kekeringan, angin puting beliung, hama katak, hama rumput
pengganggu, dan gempa bumi. Di sini terlihat bahwa permasalahan alam yang
menurut mereka paling membahayakan adalah kelaparan, bukan gempa bumi atau
angin puting beliung, karena seperti dijelaskan sebelumnya mengenai gempa bumi
berkaitan dengan kepercayaan kosmologis mereka terhadap alam. Adapun respon
masyarakat Wunga terhadap kejadian-kejadian alam di atas sebagian besar direspon
dengan melakukan hamayangu (ritual) untuk meminta maaf kepada Marapu dan
meminta petunjuk kepada Marapu apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan.
Petunjuk Marapu biasanya bisa dilihat dari hati atau usus hewan (ayam/babi) yang
dikurbankan dalam hamayangu.

Selanjutnya buku Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di
Indonesia ditulis Samsul Maarif tahun 2017. Buku ini memang tidak secara langsung
membahas bencana alam perspektif agama lokal tapi sangat membantu dalam
memahami pasang surut rekognisi pemerintah terhadap agama leluhur di
Indonesia. Buku ini menyajikan sejarah pembedaan dan diskriminasi negara
terhadap penganut agama leluhur yang dilakukan oleh negara atas nama “agama”
atau tepatnya “politik agama.” Agama telah dijadikan sebagai alat legitimasi kuasa
oleh kelompok tertentu dan sekaligus kontrol atas kelompok lain. Politik agama
dilakukan atas nama kepentingan dan identitas (agama) mayoritas dan infiltrasi
terhadap negara melalui kebijakan dan perundang-undangan. Agama didefinisikan
secara eksklusif untuk membedakan kelompok warga negara yang “beragama,”
kemudian dilayani dan diperlakukan secara istimewa, dari mereka yang (diklaim)
“tidak/belum beragama,” kemudian diminta pindah agama untuk dilayani.
Keputusan MK yang telah mengabulkan atas uji materi UU Adminduk diharapkan
menjadi titik sejarah baru bagi pengakuan terhadap penganut agama leluhur sebagai
warga negara yang setara dengan penganut agama lain.

Organisasi masyarakat adat di Indonesia yang konsen terhadap advokasi


masyarakat nusantara adalah AMAN (aliansi masyarakat adat Nusantara) berdiri
pada tahun 1999 ketika kongres pertama dilaksanakan di Jakarta yang dihadiri
sekitar 400 kepala masyarakat adat laki-laki maupun perempuan. Dalam kongres
tersebut AMAN mendefinisikn masyarakat adat sebagai “Komunitas-komunitas yang
hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang
memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh
hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. 1
Menurut Tanner dan Mitchell “environment includes all the natural features of land,
water, flora and fauna which support human life and influence its development and
character”.2
Maka peneliti tidak perlu meneliti seluruh pengetahuan yang ada dalam
sebuah komunitas tetapi cukup fokus mengkaji pengetahuan tentang hal-hal
tertentu saja dalam kehidupan atau dunia mereka. Teori etnosains berasumsi bahwa
setiap manusia memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda, meskipun itu
mengenai hal yang sama. Setiap individu adalah khas, baik dalam pandangan-
pandangannya, nilai-nilai dan norma-norma yang dianutnya, maupun dalam pola-
pola prilakunya sehari-hari. Berkenaan dengan prilaku dan tindakannya, setiap

1
http://www.aman.or.id/profil-aliansi-masyarakat-adat-nusantara/ diakses tanggal 02 Januari 2019,
pukul 06:30.
2
Ralp Tanner and Colin Mitchell. Religion and the Environment (New York: Palgrave, 2002), 1.
individu memiliki alasan-alasan tersendiri, mengapa dia mewujudkan prilaku
tertentu atau melakukan tindakan tertentu.3

3 Ibid, hal. 9.

You might also like