You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering
diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic
hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia
sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat
dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga
90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
Reseksi kelenjar prostat (TURP) dilakukan transuretra dengan
mempergunakan cairan pembilas agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan
tidak tertutup oleh darah. Cairan yang digunakan adalah berupa larutan non ionic,
yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang
sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang
terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia
relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini
ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah
meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami
edema otak yang akhirnya jatuh ke dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas
sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Selain itu, penyulit saat operasi meliputi
perdarahan, sindroma TURP, dan perforasi. Penyulit pasca bedah dini meliputi
perdarahan dan infeksi lokal atau sistemik. Penyulit pasca bedah lanjut meliputi
inkontinensia urin, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan striktura uretra.

B. ANESTESI
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani, an-“tidak, tanpa”
dan aesthētos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan
pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Srpada tahun 1846.

1
Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi
akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya tersebut.
Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi, epidural anestesi dan blok
perifer. Spinal & anestesi epidural ini telah secara luas digunakan di ortopedi, obstetri
dan anggota tubuh bagian bawah operasi abdomen bagian bawah. Spinal anestesi,
diperkenalkan oleh Bier Agustus 1898, adalah teknik regional pertama utama dalam
praktek klinis.

1. ANESTESI SPINAL
Definisi
Spinal anestesi adalah pemberian obat anestetik lokal dengan cara
menyuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid. Teknik tersebut dinilai cukup efektif
dan mudah dikerjakan (Latief et al., 2008). Spinal anestesi/ Sub-arachnoid block
(SAB) diperkenalkan oleh August Bier pada tahun 1898, teknik ini telah digunakan
untuk anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilicus. Kelebihan
utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal,
memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas
darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta
membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal (Edlin, 2010).
Spinal anestesi dilakukan di bawah lumbal 1 pada orang dewasa dan lumbal 3 pada
anak-anak dengan menghindari trauma pada medulla spinalis (Morgan et al., 2005).

Gambar 1. Spinal anestesi

2
Indikasi
Spinal anestesi dipilih berdasarkan indikasi-indikasi tertentu. Berikut
indikasi penggunaan spinal anestesi (Latief et al., 2008):
a. Indikasi
1) Bedah ekstremitas bawah
2) Bedah panggul
3) Tindakan sekitar rektum-perineum
4) Bedah obstetri ginekologi
5) Bedah urologi
6) Bedah abdomen bawah
7) Bedah abdomen atas dan pediatri (dikombinasikan dengan anestesi umum
ringan)
b. Kontra indikasi absolut
1) Pasien menolak
2) Infeksi pada tempat suntikan
3) Hipovolemia berat; syok
4) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5) Tekanan intrakranial meninggi
6) Fasilitas resusitasi minimal
7) Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anestesia
c. Kontra indikasi relatif
1) Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2) Infeksi sekitar tempat suntikan
3) Kelainan neurologis
4) Kelainan psikis
5) Bedah lama
6) Penyakit jantung
7) Hipovolemia ringan
8) Nyeri punggung kronis

Peralatan dan Teknik


Anestesi spinal menggunakan beberapa peralatan dalam aplikasinya,
seperti peralatan monitor, peralatan resusitasi, dan jarum spinal. Peralatan

3
monitor mencakup alat untuk pengawasan tekanan darah, nadi, oksimetri denyut
(pulse oximeter), dan EKG. Peralatan resusitasi sama seperti peralatan pada
anestesi umum. Sedangkan untuk jarum spinal terdapat dua jenis jarum spinal
berdasarkan ujungnya, yaitu jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing, Quincke-Babcock) dan jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,
Whitecare) (Latief et al., 2008).

Gambar 2. Jenis Jarum Spinal (Edlin, 2010)

Sedangkan obat anestesi yang sering digunakan pada teknik spinal


anestesi adalah Lidocain 1-5% atau Bupivacaine 0,25-0,75% (Latief et al., 2001).

Teknik anestesi spinal umumnya dilakukan langsung di atas meja operasi


tanpa dipindah lagi. Langkah-langkah anestesi spinal (Latief et al., 2008):
a. Pasien diposisikan duduk atau tidur lateral dekubitus.
b. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5 pada vertebra.
Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
vertebra merupakan L4-5.
c. Sterilkan daerah tusukan dengan betadine dan alkohol
d. Cara tusukan dengan median atau paramedian. Tusukkan jarum spinal.
Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar LCS,
pasang spuit berisi obat dan masukkan obat pelan-pelan (0,5 mL/detik)
diselingi sedikit aspirasi, untuk memastikan posisi jarum tetap baik.

4
Faktor-Faktor yang Berpengaruh
Kesuksesan spinal anestesi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
faktor yang mempengaruhi penyebaran anestetik dan faktor yang mempengaruhi
lama kerja anestetik (Latief et al., 2008).
a. Faktor yang mempengaruhi penyebaran anestetik:
1) Faktor utama: berat jenis anestetik (barisitas), posisi pasien, dan dosis
serta volume anestetik.
2) Faktor tambahan: ketinggian suntikan, kecepatan suntikan, ukuran
jarum, keadaan fisik pasien, dan tekanan intraabdominal.
b. Faktor yang mempengaruhi lama kerja anestetik:
1) Jenis anestesia
2) Besarnya dosis
3) Ada tidaknya vasokonstriktor
4) Besarnya penyebaran anestetik

2. ANESTESI UMUM (GENERAL ANESTESI)


Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien.
Tujuan
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi
otonom.
Syarat, Kontraindikasi dan Komplikasi
Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
a. Memberi induksi yang halus dan cepat.
b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
c. Timbulkan keadaan amnesia
d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk tindakan
operasi.
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang
berlangsung lama.

5
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis
derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi
Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol,
infeksi akut, sepsis, GNA.
Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan. Pada
pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang bersifat
hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat – obatan yang mendepresi
miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan.
Pasien dengan gangguan ginjal, obat – obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus
diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada
bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang
merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow karena dapat
menyebabkan peningkatan kadar gula darah.
Sedangkan komplikasi kadang – kadang tidak terduga walaupun tindakan
anestesi telah dilakukan dengan sebaik – baiknya. Komplikasi dapat dicetuskan oleh
tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul pada waktu
pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa
hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari
sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode
induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada
penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan – kebutuhan
miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak
tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar ,
hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.

3. Teknik Anestesi Pada TURP


Anestesi regional sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai teknik anestesi
pilihan pada TURP. Teknik anestesi ini memungkinkan pasien untuk tetap terbangun,
yang memungkinkan diagnosis awal dari sindrom TUR atau ekstravasasi dari irigasi
cairan. Beberapa studi memperlihatkan penurunan hilangnya darah ketika prosedur
TURP dilakukan dengan menggunakan anestesi regional dan anestesi umum.
Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan dengan
anestesi umum, pada pasien yang mengalami TURP dihubungkan dengan kontrol

6
nyeri dan penurunan kebutuhan penyembuhan nyeri postoperatif. Bowman dkk
menemukan bahwa hanya 15 % dari pasien yang mendapatkan anestesi spinal pada
TURP membutuhkan pengobatan nyeri selain daripada acetaminophen tetapi
kebutuhan analgesik meningkat empat kali lipat setelah anestesi umum.
Studi prospektif yang membandingkan efek dari anestesi umum versus
anestesi spinal pada fungsi kognitif setelah TURP ditemukan penurunan yang
signifikan pada status mental pada kedua kelompok pada 6 jam setelah pembedahan,
tetapi tidak memiliki perbedaan pada fungsi mental postoperatif pada kapan saja pada
30 hari pertama setelah pembedahan. Ghoneim dkk juga menemukan tipe anestesi
(regional versus umum) tidak mempengaruhi keadaan pasien yang mengalami
prostatektomi, histerektomi, atau penggantian sendi.
Morbiditas dan mortalitas pada pasien yang berusia lebih dari 90 tahun yang
mengalami TURP tidak bergantung dari tipe anestesi yang digunakan. Sebuah studi
dari kejadian iskemik miokardial perioperatif pada pasien yang mengalami
pembedahan transuretral, ditentukan bahwa kedua insidens dan durasi dari iskemik
miokardial meningkat mengikuti pembedahan TUR tetapi tidak memiliki perbedaan
antara anestesi umum atau anestesi spinal. Studi kedua membuktikan bahwa
penemuan-penemuan ini dan disimpulkan bahwa adanya durasi yang singkat atas
iskemik miokardial tidak berhubungan dengan efek samping pada pasien berusia
lanjut yang mengalami prosedur TURP.
Bila anestesi regional digunakan pada prosedur, tingkat dermatom anestesi
T10 dibutuhkan untuk memblok nyeri dari saluran kemih dengan irigasi cairan.
Bagaimanapun, tingkat S3 dilaporkan adekuat pada 25 % pasien jika saluran kemih
tidak diijinkan untuk terisi penuh. Anestesi spinal merupakan pilihan utama jika
dibandingkan anestesi epidural karena tulang-tulang sakral tidak terblok sepenuhnya
dengan teknik epidural.
Anestesi lokal juga digunakan sebagai prosedural TURP pada pasien dengan
kelenjar prostat stadium ringan hingga sedang. Teknik anestesi ini melibatkan
infiltrasi dari 1-3 ml enceran anestesi lokal (0.25% bupivacaine, 1% lidocaine) ke
dalam kandung kemih dan lobus lateral dari prostat untuk memblok pleksus saraf
hipogastrik inferior kemudian dengan injeksi anestesi lokal transuretral ke dalam
glandula di sekitar uretra prostatikus. Dengan tipe anestesi ini, dokter bedah dapat
memindahkan sejumlah kecil dari jaringan prostat dengan ketidaknyamanan pasien

7
yang seminimal mungkin. Meskipun penulis melaporkan bahwa teknik ini sulit
dilaksanakan dalam skala besar, mereka meyakini bahwa teknik ini dapat berguna
pada pasien dengan resiko tinggi yang tidak dapat ditoleransi dengan anestesi umum
maupun spinal.

8
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 74 tahun
Berat Badan : 57kg
Tinggi Badan : 158 cm
Agama : Islam
Alamat : Kavling Lama, Batu Aji, Batam
No. RM : 000514
Diagnosis : BPH

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan tanggal 20 Desember 2014, pukul 08.00. Informasi
diberikan oleh pasien dan anaknya.
a. Keluhan utama : Sulit buang air kecil
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke poli bedah urologi RSUD dengan keluhan sulit BAK
sejak 1 tahun yang lalu, makin memberat terutama dalam 10 hari terakhir.
Pasien sering mengeluh tidak tuntas saat buang air kecil, terkadang pasien
juga mengeluh nyeri di perut bawah sampai daerah kemaluan. BAK lebih
sering dari biasa, BAK sering mengedan, pada akhir BAK menetes. BAK
tidak berdarah.
c. Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat operasi hemoroid 1 tahun yang lalu
2) Riwayat asma disangkal
3) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
4) Riwayat penyakit jantung disangkal
5) Riwayat penyakit hipertensi disangkal
6) Riwayat penyakit ginjal disangkal
7) Riwayat penyakit DM disangkal

9
8) Riwayat trauma atau kecelakaan disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi, penyakit jantung, ginjal, paru-paru, DM,
hipertensi, dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 20 Desember 2014
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Suhu : 36,8C
Pernafasan : 18 x/menit
Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis,
turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik
dan teraba hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma,
Rambut distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik
d. Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas.
2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid dan kelenjar limfe.
i. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi : Ictus cordis (-)
b) Palpasi : Ictus cordis teraba pelan
c) Perkusi :
i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra
iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra

10
d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan
murmur.
2) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis
serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan
gerak.
b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan
tidak terdapat ketertinggalan gerak.
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonki pada kedua pulmo.
Tidak terdengar suara wheezing
j. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan
massa
b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus
c) Perkusi : Timpani
d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien
tidak teraba.
k. Pemeriksaan Ekstremitas :
 Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
 Turgor kulit cukup, akral hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium
Pemeriksaan 5 Desember 2014 Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 12,0 11,0-16,0 g/dL
Leukosit 3.600 3500-10000/L
Hematokrit 34 35-50%
Eritrosit 3,9 3,8-5,8x106/
Trombosit 259000 150000-500000/L

11
Hitung Jenis Lekosit
Basofil 1 0-1%
Eosinofil 7 0-4%
Netrofil Segment 37 46-73%
Limfosit 38 17-43%
Monosit 17 4-10%
CT 8’30” 6-11 menit
BT 1’30” 1-6 menit
Laju Endap Darah 45 P=<10 W=<20
Gol. Darah 0Rh+
Kimia Klinik
SGOT 25 P=< 40 W=<32 U/L
SGPT 30 P=< 41 W=<33 U/L
Ureum 30 10-50 mg/dL
Creatinin 0,6 P=0,7-1,2 W=2,6-6,0 mg/dL
GDS 118 75-125 mg/dL
Seroimmunologi
HbsAg Negatif Negatif

 Pemeriksaan EKG
Sesuai Bradicardia HR 56x/menit
 Pemeriksaan Foto Polos Abdomen
Tak tampak kelainan pada cavum abdomen dan cavum pelvis, spondilosis
lumbalis.
 Pemeriksaan Foto Thorax
Pulmo dan besar Cor nomal
 Pemeriksaan USG Ginjal Buli
- Sesuai gambaran Hipertrofi Prostat
- Kedua ginjal dan buli dalam batas normal

E. KESAN ANESTESI
Laki-laki 74 tahun menderita BPH dengan ASA II

12
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. IVFD RL 20 tpm
b. Pro TURP
c. Informed Consent Operasi
d. Konsul ke Bagian Anestesi
e. Informed Consent Pembiusan
Dilakukan operasi dengan spinal anestesi dgn status ASA II

G. KESIMPULAN
ACC ASA II

H. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
BPH
2. Diagnosis Pasca Bedah
Post Op TURP
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a Infus Kristaloid 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : TURP
b. Jenis Anestesi : Regional Anestesi
c. Teknik Anestesi : Spinal Anestesi
d. Mulai Anestesi : 20 Desember 2014, pukul 10.10 WIB
e. Mulai Operasi : 20 Desember 2014, pukul 10. 15 WIB
f. Premedikasi : Ondancentron 4 mg
g. Induksi : Bupivacain Spinal 15 mg
h. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg
.i. Maintanance : O2
j. Relaksasi :-
k. Respirasi : Spontan
l. Posisi : Litotomi
m. Cairan Durante Operasi : RL 500 ml

13
n. Pemantauan Tekanan Darah dan HR
Terlampir
o. Selesai operasi : 10.35 WIB
p. Perdarahan : +- 50 cc
q. Lama pembedahan : 30 menit

Pasien penderita BPH yang akan dilaksanakan operasi TURP pada tanggal 20
Desember 2014. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 19 Desember 2014. Dari
anamnesis terdapat keluhan sulit buang air kecil yang dirasakan sejak 1 tahun dan
bertambah berat sejak 10 hari yang lalu. Pemeriksaan fisik dari tanda vital, tekanan
darah 110/70 mmHg; nadi 68x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,8OC. Dari
pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 05 Desember 2014
dengan hasil: HB 12,0 g/dl; golongan darah 0Rh+; AL 7.490 L; ureum 30 mg/dl;
kreatinin 0,66mg/dl; SGOT 25 U/L; SGPT 30 U/L; GDS 118 mg/dL dan HBsAg (-).
Pada pemeriksaan EKG didapat gambaran sesuai bradicardia HR 54x/menit dan kesan
pada pemeriksaan foto thorax, pulmo dan besar cor normal. Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk
dalam ASA II, pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu
2cc/kgBB/jam, Kebutuhan perjam dari penderita 114cc/jam. Sebelum dilakukan
operasi pasien dipuasakan selama 6-8jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya
aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan
anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks
laring mengalami penurunan selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung
dalam terapi cairan ini yaitu 6x maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus
dipenuhi selama 6jam ini adalah 684cc/6jam.
Operasi TURP dilkukan pada tanggal 20 Desember 2014. Pasien dikirim dari
bangsal Flamboyan ke ruang IBS. Pasien masuk keruang OK 1 pada pukul 10.05
dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 115/71mmHg; Nadi 71x/menit,
dan SpO2 99%. Segera pemberian Infus RL. Dilakukan injeksi Ondancentron 8mg.
Pemberian ondancentron sebagai premedikasi bertujuan untuk mengurangi efek mual
dan muntah akibat dari anestesi spinal yang diberikan.

14
Pada pukul 10.10 WIB, mulai dilakukan anestesi, dengan teknik anestesi
regional pada spinal. Dimasukkan obat anestesi spinal yaitu bupivacain spinal 20mg.
dari pantauan monitor TD 120/70 mmHg; Nadi 71x/menit; SpO2 99%. Pasien merasa
kedua kaki mulai rasa kebas dan beberapa menit kemudian kedua kaki tidak dapat
digerakkan. Ini merupakan tanda bahwa obat anestesi sudah mulai menunjukkan
efeknya.
Pada pukul 10.15 WIB, mulai dilakukan tindakan operasi TURP. Pada
pantauan monitor didapat kan TD 114/70mmHg; Nadi 68x/menit; SpO2 99%. Selama
dilakukan operasi TURP pantauan tekanan darah, nadi dan SpO2 tampak stabil.
Pada pukul 10.45 WIB, sebelum selesai pembedahan pemberian analgetik
dilakukan. Pemberian injeksi ketorolac 30mg diindikasikan untuk penatalaksanaan
jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan.
Pada pukul 10.40 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan
akhir TD 120/75mmHg; Nadi 70x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan
selama 30 menit dengan perdarahan +- 50cc.
Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di
ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat
serta kesadaran composmentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi
stabil yaitu 120/70 mmHg.

15
BAB III
PEMBAHASAN
1. Preoperatif
Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang akan di operasi dalam kasus ini
adalah ASA II yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai dengan
sedang. Sesuai dengan pasien yang dikelola. Penderita didiagnosis oleh bedah
urologi adalah Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Pada pemeriksaan fisik
tidak tampak adanya kelainan. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto
thorax tak tampak kelainan pada pulmo dan besar cor, pemeriksaan EKG
sesuai bradicardia HR 54x/menit dan pemeriksaan USG Ginjal Buli sesuai
gambaran hipertrofi prostat. Dari hasil yang didapat disimpulkan bahwa pasien
masuk dalam kriteria ASA II dan akan dilakukan operasi TURP. Selanjutnya
ditentukan rencana jenis anestesi yang akan digunakan yaitu regional anestesi.
Persiapan yang dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :
a. Informed consent
Informed consent ini meliputi penjelasan mengenai penyakit yang
diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan, alasan dilakukannya
tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan, komplikasi, prognosis,
biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kondisi pasien maupun
tindakan yang dilakukan kepada pasien dan keluarga terdekat yang
bertanggung jawab terhadap pasien. Tujuannya untuk mendapatkan
persetujuan dan ijin dari pasien atau keluarga pasien dalam melakukan
tindakan anestesi dan operasi sehingga resiko-resiko yang mungkin akan
terjadi pada saat operasi dapat dipertimbangkan dengan baik.
b. Puasa
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek
samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring
mengalami penurunan selama anestesia. Pada pasien dewasa umumnya
dipuasakan selama 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-4 jam

16
(Latief, 2001). Pada kasus ini, pasien dapat dipuasakan selama 6 jam. Pasien
telah diminta berpuasa sejak pukul 00.00 WIB.
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum baik
sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan laboratorium
pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, kimia klinik, dan sero imunologi.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada tidaknya gangguan
dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan.
Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi
distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida.
Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah
terjadinya syok. Jumlah trombosit,masa pembekuan dan defisiensi faktor
pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi
perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat
meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak
kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. (Kee, 2008).
Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya dalam
berbagai proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang dominan berada di
petak cairan ekstrasel dengan nilai normal 135-145 mEq/L. Keadaan
hiponatremia, bila tidak dikoreksi secara cepat dan tepat dapat
mengakibatkan oedem otak, selanjutnya menimbulkan kerusakan otak yang
ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal sangat efisien
dalam mengeksresikan Na. Hipo dan hiperkalemia merupakan keadaan yang
gawat karena dapat menyebabkan aritmia jantung dan perlu segera dikoreksi
(Mangku, 2010).

2. Teknik Anestesi Pada TURP


Anestesi regional sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai teknik
anestesi pilihan pada TURP. Teknik anestesi ini memungkinkan pasien
untuk tetap terbangun, yang memungkinkan diagnosis awal dari sindrom
TUR atau ekstravasasi dari irigasi cairan. Beberapa studi memperlihatkan

17
penurunan hilangnya darah ketika prosedur TURP dilakukan dengan
menggunakan anestesi regional dan anestesi umum.
Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan
dengan anestesi umum, pada pasien yang mengalami TURP dihubungkan
dengan kontrol nyeri dan penurunan kebutuhan penyembuhan nyeri
postoperatif.
Pada pasien ini dipilih teknik anestesi dengan menggunakan regional
anestesi, yaitu dengan anestesi spinal. Pemilihan anestesi ini berdasarkan dari
pertimbangan keadaan pasien sendiri. Pemilihan teknik anestesi spinal sesuai
dengan indikasi dari teknik spinal. Selain itu teknik anestesi spinal sudah
lama dilakukan untuk mengetahui lebih awal terhadap komplikasi dari
TURP, yaitu sindrom TURP.
3. Durante Operasi
Pada pasien ini dilakukan pembiusan menggunakan teknik anestesi
spinal dengan bucain spinal (Bupivakain HCl) sebanyak 20 mg. Anestesi
lokal amino amida ini menstabilisasi membran neuron dengan menginhibisi
perubahan ionik terus menerus yang diperlukan untuk memulai dan
menghantarkan impuls. Kemajuan anastesi berhubungan dengan diameter,
mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena dengan
urutan kehilangan fungsi sebagai berikut: (1) otonomik (2) nyeri (3) suhu (4)
raba (5) propiosepsi dan (6) tonus otot skeletal.
Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi
spinal dan kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab mual
muntah pada anestesi spinal antara lain adalah penurunan tekanan
darah/hipotensi, hipoksia, kecemasan atau faktor psikologis, peningkatan
aktivitas parasimpatis dimana blok spinal akan mempengaruhi kontrol
simpatetik gastrointestinal. Dosis dewasa intravena yang direkomendasikan
untuk ondansetron sebagai pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4
mg yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi.
Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan pemberian dosis 4 mg,
yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 – 8 jam.
Ketika tensi turun pertama kali pasien diberikan terapi cairan loading
RL dan ephedrine 10 mg . Ephedrine merupakan simpatomimetika atau

18
adrenergika, mekanisme kerjanya langsung terhadap reseptor-reseptor di otot
polos dan jantung yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan curah jantung. Cairan RL diberikan untuk meningkatkan
jumlah cairan intravaskuler. Kerja keduanya mampu meningkatkan tekanan
darah.
Pada pasien ini digunakan cairan infus Ringer Laktat 500 ml untuk
mengganti defisit cairan puasa sebelum pembedahan dan kehilangan cairan
selama pembedahan. Terapi cairan durante operasi dijabarkan sebagai
berikut :
Usia : 74 tahun
Berat badan : 57 kg
Terapi Cairan :
Maintenance = 2x57= 114 cc
Pengganti Puasa (PP) = 6 x maintenance
= 6 x 114
= 684
Stress Operasi = 6cc/kgBB
(Sedang)
= 6cc x 114
= 684cc
Jam I = ½ PP + M + SO
= 342+ 114 + 684
= 1140 cc
Estimated Blood Volume = 65 x BB
= 65 x 57 kg
= 3705cc
Allowed Blood Loss = 20% x EBV = 20% x 3705 = 741cc

Sebelum akhir pembedahan pasien diberikan ketorolac 30 mg iv,


diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut
sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan. Ketorolac adalah anti
inflamasi non steroid dengan durasi kerja sedang dengan waktu paruh 4-6
jam sehingga digunakan sebagai analgesik dalam penggunaan intravena

19
bukan sebagai anti inflamasi. Obat ini mempunyai efektiftas analgesik yang
nyata dan telah dipakai dengan hasil yang baik untuk menggantikan morfin
pada nyeri ringan hingga sedang sesudah operasi. Kebanyakan diberikan
secara intramuskular dan intravena, tetapi terdapat juga dalam bentuk obat
oral
4. Post operatif
Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan
spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Tekanan darah selama
15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/70 mmHg.

20
BAB IV
KESIMPULAN

1. Pada kasus ini, pasien Tn. D dengan diagnosis BPH, dilakukan tindakan TURP.
2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik anestesi spinal menggunakan
bupivacain spinal 20mg. Sebagai premedikasi diberikan ondancentron 4 mg
sebagai anti muntah. Ketrolorac 30mg diberikan beberapa menit sebelum
pembedahan selesai untuk memberikan efek analgetik.
3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah Ringer Laktat sebanyak 500 ml
4. Laporan anestesi
Pembedahan dilakukan pada 20 Desember 2014, pukul 10.15
Waktu Hasil Pantauan Tindakan
10.05 WIB TD 124/75 mmHg Pasien masuk ke ruang OK 1 dan
HR 60x/m dilakukan pemasangan NIBP dan
SpO2 99% saturasi O2. Infus RL terpasang
pada tangan kiri. Dimasukkan
Ondancentron 4 mg iv
10.10 WIB TD 120/70 mmHg Dimulai anestesi dengan RA
HR 59x/m (spinal) dengan bupivacain spinal
SpO2 99% 20 mg

10.15 WIB TD 120/72 mmHg Dimulai pembedahan


HR 68x/m
SpO2 99%
10.40 WIB TD 115/72 mmHg Dimasukkan ketorolac 30 mg,
HR 70x/m Asam tranexamat, dan farsix
SpO2 99%
10.45 WIB TD 120/70 mmHg Selesai pembedahan
HR 70x/m
SpO2 99%

21
5. Lama operasi pada pasien ini adalah 30 menit dengan perdarahan +- 50 cc.
Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di
ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan
adekuat serta kesadaran composmentis.

22
DAFTAR PUSTAKA

Barba M, Leyh H, dan Hartung. New technology in transurethral resection of the


prostate. Curr Opin Urol 10:9-14, 2007.
Besimon H ; ‘Surgery of the Prostat’, in ‘Urologic Surgery’, Mc Graw-Hill, 2007:
260-266.
Donovan JL, Peters TJ, Neal DE, Brookes ST, Gujral S, Chacko KN, Wright M, et al.
A randomised trial comparing transurethral resection of the prostate, laser
therapy and consevative treatment of men with symptoms associated with
benign prostatic enlargement: The ClasP study. J Urol 164: 65-70, 2007
Edlin, 2010. Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah
Anestesia Spinal dengan Jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre. Thesis.
Universitas Sumatera Utara
Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R., 2001. Anestesiologi. Jakarta: FK UI
Monk, Terri.G and B. Craig Weldon. The Renal System And Anesthesia For Urologic
Surgery, chapter 36, page 42 in Clinical Anesthesia. Edition 4. Lippincott
Williams & Wilkin Publishers. 2008.
Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan Miano L. Invasive and minimally invasive
treatment modalities for lower urinary tract symptoms: what are the relevant
differences in randomized controlled trials? Eur Urol 38: 7-17, 2007.
Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. Transurethral incision
compared with transurethral resection of the prostate for bladder outlet
obstruction: a systemic review and meta-analysis of randomised controlled
trials. J Urol 165: 1526-1532, 2008

23

You might also like