You are on page 1of 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2.1.1. Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu
A. Anatomi
1. Kandung Empedu
Kandung empedu (vesica billiaris) merupakan kantong berongga
berbentuk pir yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu
yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu
membentuk dua saluran lebih besar yang keluar dari permukaan
bawah hati sebagai ductus hepatikus dextra dan sinistra, yang segera
bersatu membentuk ductus hepatikus komunis. Ductus hepatikus
bergabung dengan ductus cysticus membentuk ductus choledochus.
Pada banyak orang, ductus choledocus bersatu dengan ductus
pancreaticus membentuk ampula vateri (bagian duktus yang melebar
pada tempat menyatu) sebelum bermuara ke usus halus. Bagian
terminal dari kedua saluran dan ampula dikelilingi oleh serabut otot
sirkular yang dikenal sebagai sfingter oddi (Lindseth, 2013).
Kandung empedu mempunyai kemampuan menyimpan dan
menampung empedu sebanyak 30-50 ml, serta memekatkan empedu
dengan cara mengabsorpsi air. Untuk mempermudah deskripsi,
kandung empedu dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus
berbentuk bulat dan biasanya menonjol di bawah margo inferior
hepatis, dimana fundus bersentuhan dengan dinding anterior abdomen
setingi ujung cartilago costali IX dekstra. Corpus kandung empedu
terletak dan berhubungan dengan facies visceralis hepar dan arahnya
ke atas, belakang, dan kiri. Collum melanjutkan diri sebagai ductus
cysticus, yang berkelok ke dalam omentum minus dan bergabung
dengan sisi kanan ductus hepaticus communis untuk membentuk

6 Universitas Muhammadiyah Palembang


7

ductus choledocus. Peritoneum meliputi seluruh bagian fundus dan


menghubungkan corpus dan collum kandung empedu dengan facies
fisceralis hepatis (Snell, 2015).

Gambar 2.1 Anatomi Kandung Empedu


(sumber : Paulsen, 2013)

2. Duktus Biliaris
Duktus biliaris ekstrahepatal terdiri atas duktus hepatikus kiri
dan kanan, duktus hepatikus komunis (common hepatic duct), duktus
sistikus, dan duktus koledokus (common bile duct). Duktus hepatikus
kanan dan kiri keluar dari hati dan bergabung dengan hilum
membentuk duktus hepatikus komunis, umumnya disebelah depan
bifurkasio vena porta dan proksimal dekat dengan arteri hepatica
kanan. Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara
1-4 cm. Bagian duktus ekstrahepatikus kiri cenderung lebih panjang.
Duktus hepatikus komunis membangun batas kiri dari segitiga Calot
dan berlanjut dengan duktus koledokus. Pembagian terjadi pada
tingkat duktus sistikus. Duktus koledokus panjangnya sekitar 8 cm
dan terletak antara ligamentum hepatoduodenalis, ke kanan dari arteri
hepatica dan anterior terhadap vena porta. Segmen distal dari duktus
koledokus terletak di dalam substansi pankreas. Duktus koledokus

Universitas Muhammadiyah Palembang


8

mengosongkan isinya ke dalam duodenum sampai ampula Vateri,


orifisiumnya dikelilingi oleh muskulus dari sfingter Oddi. Secara
khas, ada saluran bersama dari duktus pankreatikus dan duktus
koledokus distal (Debas, 2004; Sherlock, 2002; Toouli, 2006;
Shaheen, 2004).

3. Fisiologi Kandung Empedu


Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan
memekatkan empedu. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar
40-60 ml cairan empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke
duodenum; akan tetapi setelah melewati ductus hepaticus, empedu
masuk ke ductus cysticus dan ke kandung empedu. Dalam kandung
empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsopsi air dan
garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu
kira-kira 5 kali lebih pekat dibandingkan dengan empedu hati. Secara
berkala kandung empedu mengosongkan isinya ke dalam duodenum
melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter oddi.
Hormon cholesistokinin (cck) dilepaskan dari sel duodenal akibat
hasil pencernaan dari protein dan lipid, dan hal ini merangsang
terjadinya kontraksi kandung empedu (Lindseth, 2013).

2.1.2. Batu Empedu


A. Definisi
Batu empedu umumnya ditemukan dalam kandung empedu,
tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui ductus cysticus ke dalam
saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut batu saluran
empedu sekunder. Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum
jelas benar, tetapi komplikasi akan lebih sering dan berat
dibandingkan batu kandung empedu asimtomatik. Sebagian besar
pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan. Risiko
penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi
relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai

Universitas Muhammadiyah Palembang


9

menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka risiko untuk


mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat (Lesmana,
2014).

B. Patogenesis dan Tipe Batu Empedu


Berdasarkan gambaran makroskopik dan komposisi kimianya,
batu saluran empedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori
mayor, yaitu: 1) Batu kolesterol dimana komposisi kolesterol melebihi
70%, ada tiga faktor penting dalam patogenesis batu kolesterol, yaitu
hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu, percepatan
terjadinya kristalisasi kolesterol serta gangguan motilitas kandung
empedu dan usus. 2) Batu pigmen coklat atau batu calcium
bilirubinate yang mengandung Ca-bilirubinate sebagai komponen
utama, 3) Batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak
terekstraksi (Lesmana,2014).
Menurut Linseth (2013), batu empedu hampir selalu dibentuk
dalam kandung empedu dan jarang dibentuk pada bagian saluran
empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum diketahui
sepenuhnya. Akan tetapi, tampaknya faktor predisposisi terpenting
adalah gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung
empedu.
1. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor
terpenting dalam pembentukan batu empedu. Sejumlah
penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita empedu
kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan
kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam
kandung empedu (dengan cara yang belum dimengerti
sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu.
2. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan
pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu

Universitas Muhammadiyah Palembang


10

atau spasme sfingter oddi, atau keduanya dapat menyebabkan


terjadinya stasis. Faktor hormonal (terutama selama kehamilan)
dapat dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung
empedu dan menyebabkan tingginya insidensi dalam kelompok ini.
3. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam
pembentukan batu. Mukus meningkatkan viskositas batu empedu,
dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi.
Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai akibat
dari terbentuknya batu empedu, dibandingkan sebagai penyebab
terbentuknya batu empedu.
Menurut Lesmana (2014), kelebihan aktifitas enzim β-
glucoronidase bakteri dan manusia (endogen) memegang peran kunci
dalam patogenesis batu pigmen pada pasien di negate timur. Hidrolisis
bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak
terkonjugasi yang akan mengendap sebagai kalsium bilirubinate.
Enzim β-glucoronidase bakteri berasal dari kuman E.coli dan kuman
lainnya di saluran empedu.

C. Etiologi
1. Supersaturasi kolesterol
Secara umum komposisi komposisi cairan empedu yang berpengaruh
terhadap terbentuknya batu tergantung keseimbangan kadar garam
empedu, kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol atau
semakin rendah kandungan garam empedu akan membuat keadaan
didalam kandung empedu menjadi jenuh akan kolesterol
(Supersaturasi kolesterol).
2. Pembentukan inti kolesterol
Kolesterol diangkut oleh misel (agregat/gumpalan yang berisi
fosfolipid, garam empedu dan kolesterol). Apabila saturasi kolesterol
lebih tinggi maka ia akan diangkut oleh vesikel yang mana vesikel
dapat digambarkan sebagai sebuah lingkaran dua lapis. Apabila
konsentrasi kolesterol banyak dan dapat diangkut, vesikel

Universitas Muhammadiyah Palembang


11

memperbanyak lapisan lingkarannya, pada akhirnya dalam kandung


empedu, pengangkut kolesterol, baik misel maupun vesikel
bergabung menjadi satu dan dengan adanya protein musin akan
membentuk kristal kolesterol. Kristal kolesterol terfragmentasi dan
pada akhirnya akan dilem atau disatukan.
3. Penurunan Fungsi Kandung Empedu
Menurunnya kemampuan menyemprot dan kerusakan dinding
kandung empedu memudahkan seseorang menderita batu empedu,
kontraksi yang melemah akan menyebabkan statis empedu dan akan
membuat musin yang diproduksi dikandung empedu terakumulasi
seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung
empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin pekat
sehingga semakin menyulitkan proses pengosongan cairan empedu.
Beberapa keadaan yang dapat mengganggu daya kontraksnteril
kandung empedu, yaitu: hipomotilitas empedu, parenteral total
(menyebabkan cairan asam empedu menjadi lambat), kehamilan,
cedera medula spinalis, penyakit kencing manis (Cahyono,2014).

D. Manifestasi Klinis
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu pasien dengan batu asimtomatik, pasien dengan batu
empedu simtomatik, dan pasien dengan komplikasi batu empedu
(cholesistitis akut, icterus, cholangitis, dan pankreatitis). Sebagian
besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu
diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari
1307 pasien dengan batu empedu selama 20 tahun memperlihatkan
bahwa sebanyak 50% pasien tetap asimtomatik, 30% mengalami kolik
bilier, dan 20% mendapat komplikasi. Gejala batu empedu yang dapat
dipercaya adalah kolik bilier. Keluhan ini didefinisikan sebagai nyeri
di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam.
Biasanya lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di
kiri dan prekordial (Lesmana, 2014).

Universitas Muhammadiyah Palembang


12

Sedangkan menurut Linseth (2013), sebanyak 75% orang yang


memiliki batu empedu tidak memperlihatkan gejala. Sebagian besar
gejala timbul bila batu menyumbat aliran empedu, yang sering kali
terjadi karena batu yang kecil melewati kedalam ductus choledocus.
Penderita batu empedu sering memiliki gejala cholesistitis akut atau
kronik. Bentuk akut ditandai oleh nyeri hebat mendadak pada
epigastrium atau abdomen kuadran kanan atas; nyeri dapat menyebar
ke punggung dan bahu kanan. Penderita dapat berkeringat banyak atau
berjalan mondar-mandir atau berguling ke kanan dan ke kiri di atas
tempat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat
berlangsung selama berjam-jam atau dapat kambuh kembali setelah
remisi parsial bila penyakit mereda, nyeri dapat ditemukan diatas
kandung empedu. Cholesistitis akut sering disertai sumbatan batu
dalam ductus cysticus dan sering disebut kolik bilier. Gejala
cholesistitis kronis mirip dengan gejala cholesistitis akut, tetapi
beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Pasien sering
memiliki riwayat dyspepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati, atau
flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat
berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak
menimbulkan masalah, atau dapat menyebabkan timbulnya
komplikasi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi
kandung empedu (cholecystitis) dan obstruksi ductus cysticus atau
ductus choledocus. Obstruksi seperti ini dapat bersifat sementara,
intermiten, atau permanen. Kadang-kadang, batu dapat menembus
dinding empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering
menyebabkan terjadinya peritonitis, atau menyebabkan ruptur dinding
kandung empedu.
Menurut Chari (2007), nyeri dapat berhubungan dengan mual
dan muntah dan biasanya dipicu oleh makanan berlemak atau timbul
secara spontan. Nyeri yang berhubungan dengan makanan terdapat
hanya pada 50% pasien dan pada pasien ini nyeri timbul lebih dari
satu jam setelah makan.

Universitas Muhammadiyah Palembang


13

E. Diagnosis
Diagnosis kolesistitis dan kolelitiasis akut atau kronis sering
didasarkan pada ultrasonography yang dapat menunjukkan adanya
batu atau malfungsi kandung empedu. Cholecstitis akut juga dapat
didiagnosis menggunakan koleskintigrafi, yaitu suatu metode
menggunakan agen radioaktif IV. Selanjutnya pemindaian dilakukan
pada saluran empedu untuk melihat adanya kandung empedu dan pola
bilier. Bila tidak tersedia peralatan USG, digunakan kolesistografi
oral. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreato Graphy)
dapat digunakan untuk mendeteksi adanya batu dalam ductus. Batu
empedu dapat terlihat pada foto polos bila mengalami kalsifikasi
secara bermakna (Lindseth, 2013).
Sebelum dikembangkannya pencitraan mutakhir seperti
ultrasound (US), sejumlah pasien dengan penyakit batu empedu
sering salah didiagnosis sebagai gastritis atau hepatitis berulang
seperti juga didapatkan sebanyak 60% pada penelitian di Jakarta yang
mencakup 74 pasien dengan batu saluran empedu. Dewasa ini, US
merupakan pencitraan pilihan pertama untuk mendiagnosis batu
kandung empedu dengan sensitifitas tinggi melebihi 95% sedangkan
untuk deteksi batu saluran empedu sensitifitasnya relative rendah
berkisar antara 18-74%. Pada satu study di Jakarta yang melibatkan
325 pasien dengan dugaan penyakit bilier, nilai diagnostic ultrasound
dalam mendiagnosis batu saluran empedu telah dibandingkan dengan
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreato Graphy (ERCP) sebagai
acuan metode standar cholangiography direk. Secara keseluruhan
akurasi/ultrasound untuk batu saluran empedu adalah sebesar 77%.
ERCP sangat bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu
engan sensitifitas 90%, spesifisitas 98%, dan akurasi 96%, tetapi
prosedur ini invasif dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis
dan cholangitis yang dapat berakibat fatal.

Universitas Muhammadiyah Palembang


14

1. Endoscopic Ultrasonography (EUS)


EUS adalah suatu metode pemeriksaan dengan memakai
instrument gastroskope dengan echoprobe diujung skop yang dapat
terus berputar. Dibandingkan dengan ultrasound transabdominal,
EUS akan memberikan gambaran pencitraan yang jauh lebih jelas
sebab echoprobe-nya ditaruh di dekat organ yang diperiksa. Peran
EUS untuk mendiagnosis batu saluran empedu pertama kali
dilaporkan pada tahun 1992. Hasil penelitian ini dan study
berikutnya memperlihatkan bahwa EUS mempunyai akurasi yang
sama dibandingkan ERCP dalam mendiagnosis dan menyingkirkan
choledocolithiasis. Pada satu study, sensitivitas EUS dalam
mendeteksi batu saluran empedu adalah sebesar 97% dibandingkan
dengan ultrasound yang hanya sebesar 25%, dan CT 75%.
Selanjutnya EUS mempunyai nilai prediktif negative sebesar 97%
dibandingkan dengan sebesar 56% untuk US dan sebesar 75 untuk
CT. Dalam studi ini EUS juga lebih sensitif dibandingkan dengan
US dan CT dalam mendiagnosis batu saluran empedu bila saluran
tidak melebar. Selanjutnya EUS lebih sensitif dibandingkan US
transabdominal atau CT untuk batu dengan diameter kurang dari 1
cm. Beberapa studi memperlihatkan EUS dan ERCP tidak
menunjukkan perbedaan dalam hal nilai sensitivitas, spesifisitas,
nilai prediktif negatif maupun positif. Secara keseluruhan, akurasi
EUS dan ERCP untuk batu saluran empedu juga tidak
memperlihatkan perbedaan bermakna. Walaupun demikian, angka
kejadian komplikasi ERCP lebih tinggi bermakna dibandingkan
EUS. Kesulitan pemeriksaan EUS dapat terjadi bila ada striktur
pada saluran cerna bagian atas atau pasca reseksi gaster. Sayangnya
teknik pencitraan ini belum banyak diitukti oleh praktisi
kedokteran di Indonesia sebab hal ini berhubungan dengan masalah
latihan, penglaman, dan terjadinya instrumen EUS.

Universitas Muhammadiyah Palembang


15

2. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)


MRCP adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa
menggunakan zat kontras, instrument, dan radiasi ion. Pada MRCP
saluran empedu akan terlihat sebagai struktur yang terang karena
mempunyai intensitas sinyal tinggi sedangkan batu saluran empedu
akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang dikelilingi
empedu dengan intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok
untuk mendiagnosis batu saluran empedu. Studi terkini MRCP
menunjukkan nilai sensitivitas antara 91% sampai dengan 100%,
nilai spesifisitas antara 92% sampai dengan 100% dan nilai
prediktif positif antara 93% sampai dengan 100% paa keadaan
dengan dugaan batu saluran empedu. Nilai diagnostic MRCP yang
tinggi membuat teknik ini makin sering dikerjakan untuk diagnosis
atau eksklusi batu saluran empedu khususnya pada pasien dengan
kemungkinan kecil mengandung batu. MRCP mempunyai
beberapa kelebihan dibandingkan dengan ERCP. Salah satu
manfaat yang besar adalah pencitraan saluran empedu tanpa risiko
yang berhubungan dengan instrumentasi, zat kontras, dan radiasi.
Sebaliknya MRCP juga mempunyai limitasi mayor yaitu bukan
merupakan modalitas terapi dan juga aplikasinya bergantung pada
operator, sedangkan ERCP dapat berfungsi sebagai sarana
diagnostik dan terapi pada saat yang sama (Lesmana, 2014).

F. Tatalaksana
Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimtomatik tidak
dianjurkan. Sebagian besar pasien dengan batu asimtomatik tidak
akan mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak
berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan.
Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga
penanganan dapat elektif. Hanya sebagian kecil yang akan mengalami
simtom akut (cholecystitis akut, cholangitis, pancreatitis, dan
karsinoma kandung empedu). Untuk batu kandung empedu

Universitas Muhammadiyah Palembang


16

simtomatik, teknik kolesistektomi laparoskopik yang diperkenankan


pada akhir dekade 1980 telah menggantikan teknik operasi
kolesistektomi terbuka pada sebagian besar kasus. Kolesistektomi
terbuka masih dibutuhkan apabila kolesistektomi laparoskopik gagal
atau tidak memungkinkan. Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik
pembedahan invasive minimal di dalam rongga abdomen dengan
menggunakan pneumoperitoneum, sistim endokamera dan instrument
khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh langsung
kandung empedunya. Sejak pertama kali diperkenalkan, teknik bedah
laparoskopik ini telah memperlihatkan keunggulan yang bermakna
dibandingkan dengan teknik bedah konvensional. Rasa nyeri yang
minimal, masa pulih yang cepat, masa rawat yang pendek, dan luka
parut yang sangat minimal merupakan kelebihan dari bedah
laparoskopik (Lesmana, 2014).
Sedangkan menurut lindseth (2013), pengobatan paliatif untuk
pasien batu empedu adalah dengan menghindari makanan yang
dengan kandungan lemak tinggi. Pada fase akut, banyak pasien
dengan kolesistitis pada awalnya mencapai remisi dengan istirahat,
cairan IV, isap nasogastrik, analgetik dan antibiotic. Asam empedu
oral dapat digunakan untuk melarutkan kolesterol pada batu empedu
campuran. Berdasarkan penelitian, pelarutan parsial atau komplet batu
tersebut berhasil 50-60% kasus. Batu empedu dapat dipecah dengan
gelombang syok ekstrakorporeal, melalui metode yang disebut
litotripsi, yang ditimbulkan dengan jenis elektromagnetik alat-alat
pada pasien dengan kolik bilier, batu radiolusen, fungsi kandung
empedu dengan pengosongan normal, sampai maksimum ketiga batu
dan ada tidaknya komplikasi seperti infeksi, obstruksi dan
pankreatitis.

G. Komplikasi Batu Empedu


Menurut Lesmana (2014), ada beberapa komplikasi yang dapat
disebabkan oleh batu empedu, yaitu:

Universitas Muhammadiyah Palembang


17

1. Kolesistitis akut
Kurang lebih 15% pasien dengan batu simtomatik mengalami
kolesistitis akut. Gejalanya meliputi nyeri perut kanan atas dengan
kombinasi mual, muntah dan panas. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya nyeri tekan pada perut kanan atas dan sering
teraba kandung empedu yang membesar dan tanda-tanda
peritonitis. Pemeriksaan laboratorium akan menunjukan selain
leukositosis kadang-kadang juga terdapat kenaikan ringan bilirubin
dan faal hati kemungkinan akibat kompresi local pada saluran
empedu. Pathogenesis kolesistitis akut akibat tertutupnya duktus
sistikus oleh batu terjepit. Kemudian terjadi hidrops dari kandung
empedu. Penambahan volume kandung empedu dan edema
kandung empedu menyebabkan iskemi dari dinding kandung
empedu yang dapat berkembang ke proses nekrosis dan perforasi.
Jadi pada permulaannya terjadi peradangan steril dan baru pada
tahap kemudian terjadi superinfeksi bakteri. Kolesistitis akut juga
dapat disebabkan oleh lumpur empedu (kolesistitis akalkulus).
2. Kolangitis akut
Kolangitis akut dapat terjadi pada pasien dengan batu saluran
empedu karena adanya obstuksi dan invasi bakteri empedu.
Gambaran klinis kolangitis akut yang klasik adalah trias Charcot
yang meliputi nyeri abdomen kuadran kanan atas, icterus, dan
demam yang didapatkan pada 50% kasus. Kolangitis akut supuratif
adalah trias charcot yang disertai hipotensi, oliguria, dan gangguan
kesadaran.
3. Pankreatitis
Pankreatitis bilier akut atau pakreatitis batu empedu akut baru akan
terjadi bila ada obstruksi transien atau persisten di papilla vater
oleh sebuah batu. Batu empedu yang terjepit dapat menyebabkan
sepsis bilier atau menambah beratnya pankreatitis.

Universitas Muhammadiyah Palembang


18

2.1.3. Faktor Risiko Batu Empedu


Faktor risiko yang berkaitan dengan timbulnya batu empedu adalah
obesitas, multiparitas, pertambahan usia, jenis kelamin perempuan, dan
ingesti segera makanan yang mengandung kalori rendah atau lemak rendah
(puasa) (price, 2013). Sedangkan, beberapa faktor risiko kejadian batu
empedu lainnya, yaitu:

a. Jenis Kelamin Wanita


Penyakit batu empedu selalu lebih banyak pada perempuan
dibandingkan laki-laki 9:5 (Nuhadi, 2011). Hal ini disebabkan karena pada
perempuan lebih mungkin mengembangkan batu empedu dibandingkan pria.
Ekstra estrogen dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam empedu dan
mengurangi kontraksi kandung empedu, yang dapat menyebabkan batu
empedu terbentuk. Perempuan mungkin memiliki estrogen ekstra karena
kehamilan, terapi sulih hormon, atau pil KB (Tsai, 2004). Menurut Hung S-
C et al (2011), estrogen dapat menstimulasi reseptor lipoprotein hepar dan
meningkatkan pembentukan kolesterol empedu serta meningkatkan diet
kolesterol.
Estrogen menstimulasi enzim hydroxy methylglutaryl coenzyme A
(HMGCoA) reduktase sehingga menyebabkan peningkatan sintesis
kolesterol. Sedangkan progesteron berperan dalam pembentukan batu
empedu dengan menghambat kontraksi kandung empedu sehingga
menyebabkan hipomotilitas dan stasis empedu (Bajwa, 2010).

b. Usia
Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu
benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati (Depkes, 2009).
Depkes (2009), mengklasifikasikan usia dalam beberapa kategori,
yaitu:
1. Masa balita = 0 – 5 tahun,
2. Masa kanak-kanak = 5 – 11 tahun.
3. Masa remaja Awal =12 – 1 6 tahun.

Universitas Muhammadiyah Palembang


19

4. Masa remaja Akhir =17 – 25 tahun.


5. Masa dewasa Awal =26- 35 tahun.
6. Masa dewasa Akhir =36- 45 tahun.
7. Masa Lansia Awal = 46- 55 tahun.
8. Masa Lansia Akhir = 56 – 65 tahun.
9. Masa Manula = 65 – sampai atas
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia
menjadi 4 yaitu : Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia
(elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua
(very old) diatas 90 tahun.
Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan
DNA manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus,
dan organisme lain; serta menghasilkan antibodi (sejenis protein yang disebut
imunoglobulin) untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam
tubuh. Tugas system imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu)
yang membahayakan tubuh manusia (Aspinall, 2005).
Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai
umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk
kecepatan respons imun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti
manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka
resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan
autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah
penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat
sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu, produksi imunoglobulin
yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya. Masalah lain
yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk
membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda
itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri (Aspinall, 2005).
Di Asia Tenggara, batu empedu sering ditemukan pada usia rata – rata
40 – 50 tahun. Sedangkan pada usia 60 tahun lebih sering terjadi batu saluran
empedu. Pada usia ini lebih mudah terbentuk batu empedu karena tubuh
cenderung mengeluarkan lebih banyak kolesterol ke dalam cairan tubuh

Universitas Muhammadiyah Palembang


20

(Tsai, 2004). Usia >40 tahun merupakan usia faktor risiko terkena kolelitiasis
dan risiko ini akan bertambah seiring dengan pertambahan usia. Hal ini terjadi
karena batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan
bertambahnya usia. Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin
bertambah (Greenberger, 2005).

c. Obesitas
Kegemukan atau obesitas berhubungan dengan kelebihan berat badan
(Moore, 1997). Obesitas merupakan penyakit multifaktorial yang terjadi
akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat mengganggu
kesehatan. Bila seseorang bertambah berat badannya maka ukuran sel lemak
akan bertambah besar dan kemudian jumlahnya bertambah banyak
(Sidartawan, 2006).
Seseorang dapat dikatakan obese melalui berbagai macam metode dan
standar pengukuran distribusi lemak tubuh, salah satu cara adalah dengan
metode pengukuran antropometrik. Klasifikasi internasional pada metode
pengukuran antropometrik untuk menentukan derajat obesitas didasarkan
pada Indeks Massa Tubuh (IMT) (Bray, 1998). Pada klasifikasi obesitas
berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut kriteria Asia Pasifik, obesitas
terbagi menjadi dua bagian yaitu obese tingkat I (IMT≥25 kg/m2) dan obese
tingkat II (IMT≥30 kg/m2) (Seidell, 2008).
Bedasarkan definisi, obesitas pada wanita adalah kandungan lemak
dalam tubuh yang lebih dari 30%, sedang pria batas bawahnya lebih rendah
yaitu antara 20 -25%. Adanya perbedaan ini disebabkan karena per bobot total
tubuh pada wanita lebih banyak dari pada pria (Budiyanto, 2002).
Shaffer AE (2005), mengungkapkan bahwa terjadinya peningkatan
kejadian batu empedu pada orang yang obesitas disebabkan oleh peningkatan
kadar supersaturasi kolesterol. Sedangkan pada obesitas terjadi gangguan
metabolisme lemak dan hormonal yang mengakibatkan penurunan motilitas
dari kandung empedu yang dapat meningkatkan terbentuknya batu empedu.

Universitas Muhammadiyah Palembang


21

Timbulnya batu empedu disebabkan oleh peningkatan sekresi kolesterol


empedu.

d. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia adalah meningkatnya konsentrasi berbagai lipid di
dalam darah, yaitu trigliserida atau kolesterol total dalam plasma atau
keduanya. Terdapat beberapa teori yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan
atau lingkungan. Proses pertama dalam pembentukan batu empedu adalah
sekresi empedu jenuh dengan kolesterol oleh hati. Langkah kedua dalam
pembentukan batu empedu adalah kristalisasi. Pengendapan kristal kolesterol
memulai pembentukan batu empedu. Ketika empedu pada kandung empedu
menjadi jenuh dengan kolesterol, maka terjadi nukleasi, flokulasi, dan
pengendapan kristal kolesterol. Keadaan ini menyebabkan inisiasi
pembentukan batu empedu. Terdapatnya promotor kristalisasi yang
berlebihan dan kekurangan relatif dari inhibitor kristalisasi juga penting
dalam inisiasi dan pembentukan nukleasi kristal batu empedu. Promotor dan
inhibitor sebagian besar berupa protein seperti glikoprotein lender (Hung et
al, 2011).
Hampir semua pasien dengan hipertrigliseridemia memiliki cairan
empedu jenuh yang tinggi pada kandung empedunya meskipun pasien
tersebut kurus. Hal ini mungkin merupakan salah satu penyebab
meningkatnya kejadian batu empedu pada pasien dengan hipertrigliserida
(Hung et al, 2011).

e. Riwayat Diabetes Mellitus


Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang
dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin,
kerja insulin maupun keduanya (WHO, 2006).
Diabetes Mellitus disebut dengan the silent killer karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. Penyakit yang akan ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan

Universitas Muhammadiyah Palembang


22

mata, katarak, penyakit jantung, sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit
sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-paru, gangguan pembuluh
darah, stroke, gangguan empedu dan sebagainya (Depkes, 2005).
Menurut Saxena (2005), cairan empedu orang dengan DM mudah jenuh
dengan kolesterol, volume kandung empedu pada keadaan puasa lebih besar
pada pasien dengan DM, ejeksi fraksi kandung empedu berkurang pada kasus
diabetes, serta terdapat faktor yang memodifikasi nukleasi kristal dan sekresi
lendir dari kandung empedu yang dapat membentuk batu empedu.

f. Genetik
Pada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa pembentukan batu
empedu dapat bersifat genetik. Risiko pembentukan batu empedu lebih tinggi
2-4 kali lipat pada pasien dengan riwayat keluarga dengan batu empedu. Pada
kasus-kasus batu empedu familial, faktor genetik diduga memiliki peran yang
besar dan ditemukan bersifat autosomal dominan. Kerentanan genetik dapat
berkontribusi terhadap pembentukan batu empedu, sebagaimana telah
ditunjukkan dalam berbagai penelitian epidemiologi. Penelitian pada tikus
menunjukkan adanya gen litogenitas. Sebuah lokus utama kerentanan
pembentukan batu empedu (Lith6) berhasil diidentifikasi pada tahun 2003
melalui proses mapping kuantitatif alur lokus tikus. Terdapat dua gen
posisional dan fungsional yaitu apolipoprotein B mRna-editing protein
(APO-BEC1) dan peroxisome proliferator-activated receptor gamma
(PPARG) pada interval ini. Pada penelitian sampel di Jerman, tidak
ditemukan hubungan antara APO-BEC1 dan PPARG dengan kerentanan
pembentukan batu empedu. Mapping sistematik pada region lengkap Lith6
dibutuhkan untuk mengidentifikasi variasi genetik kausatif pada tikus dan
manusia. Pada penelitian mapping lokus tikus, Kovacs P et al (2008),
mengidentifikasi gen Nr1h4 yang mengkode reseptor garam empedu FXR
(farnesoid X reseptor) sebagai gen yang berhubungan dengan lokus
kerentanan batu empedu Lith7. Pemeriksaan genome luas pada tikus
menemukan hubungannya dengan gen yang mengkode transport
hepatokanalikular dan transporter kolesterol. ATP binding cassette (ABC) G5

Universitas Muhammadiyah Palembang


23

dan G8 (ABCG5/G8) merupakan pompa expor sterol yang bertugas untuk


regulasi absorpsi dan ekskresi kolesterol pada sitem bilier. Supersaturasi
kolesterol pada empedu merupakan tahap utama dalam pembentukan batu
empedu. Fungsi dari transporter ini serta hasil-hasil penelitian genetik
menunjukkan bahwa karier alel ABCG8 19H akan memiliki kerentanan
kolelitiasis akibat peningkatan sekresi kolesterol hepatobilier (Reshetnyak
VI, 2012).
Pembentukan batu empedu akibat supersaturasi kolesterol ditentukan
oleh faktor genetik dan lingkungan. Penelitian-penelitian telah menunjukkan
adanya hubungan antar transporter kolesterol ABCG5/G8 sebagai determinan
pembentukan batu empedu atau gen LITH pada manusia (Reshetnyak VI,
2012).

Universitas Muhammadiyah Palembang


24

2.2. Kerangka Teori

Faktor Risiko Kejadian Batu


Empedu

Genetik Jenis kelamin Obesitas Hiperlipide Usia >40 Diabetes


mia tahun Melitus

Perempuan
↓ motilitas Cairan
kandung empedu
empedu mudah
Stimulasi Supersaturasi
jenuh
reseptor kolesterol ↑
dengan
lipoprotein kolesterol
hepar dan Cairan empedu
meningkatkan Gangguan di kandung
pembentukan metabolisme empedu ↑
Nukleasi
kolesterol lemak Kristal
empedu
dan
Kristalisasi bahan sekresi
↓ motilitas pembentuk lendir
Kristalisasi kandung empedu empedu (kalsium,
kolesterol kolesterol, dll)

Cholelitiasis

Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
Sumber = Park, 2004 ; Hung S-C et al, 2011 ; Saxena R, 2005 ;
Shaffer, 2005.

Universitas Muhammadiyah Palembang

You might also like