You are on page 1of 9

ISSN : 1693-9883

Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.1, April 2006, 38 - 46

EKSPLORASI PELAYANAN INFORMASI


YANG DIBUTUHKAN KONSUMEN APOTEK
DAN KESIAPAN APOTEKER MEMBERI
INFORMASI TERUTAMA UNTUK
PENYAKIT KRONIK DAN DEGENERATIF
Rini Sasanti Handayani, Retno Gitawati, S.R Muktiningsih, Raharni
Puslitbang Farmasi dan Obat Trodisional Badan Litbangkes

ABSTRACT
Currently, the prevalence of degenerative diseases in Indonesia is increased. The
degenerative and chronic diseases need life-long treatment as well as changes in life
style. On the other hand, long-life treatment using drugs will develop risks of adverse
drug reactions or the possibilities of drug-drug interactions. In these circumstances,
the role of a pharmacist is important to providing drug information and counselling,
and patient education.
However, there is evidence that pharmaceutical care in almost all pharmacies
(drug dispensaries) in Indonesia is still “drug-oriented”. Drug information is not
adequate and is provided by pharmacy assistants (technicians).
In order to implement pharmaceutical care practice that meets the “Standard
Competence for Pharmacy Practice” as well as consumer’s expectation, we need to
know what is the exactly consumer’s expect in pharmaceutical care, particularly in
drug information, and how is the commitment of the pharmacists to provide drug
information of degenerative and chronic diseases in pharmaceutical care.
For those reasons, a field survey has been carried out in Jakarta, Yogyakarta and
Makassar to explore the consumer/patient’s opinions and needs for pharmaceutical
care. A focus group discussion has also been done to explore the pharmacist commit-
ment to provide drug information in pharmaceutical care practice.
As a result, there is an indication of a discrepancy between the consumer/patient’s
need for drug information and the commitment of pharmacists to provide drug infor-
mation. Consumers have need for more drug information for all aspects including
adverse drug reactions, drug interaction, what to do if adverse reaction occurred,
duration of any treatments etc., not only drug indication and administration. On
the other hand, pharmacists still need more knowledge and continuing education,
particularly in pharmacotherapy and pharmacology of drugs used for degenerative
and chronic diseases.
Key words : pharmacy, pharmacist, pharmaceutical care.

38
PENDAHULUAN valensi penyakit kronik dan dege-
neratif (DepKes RI 2001). Penyakit
Penyelenggaraan pelayanan kronik dan degeneratif memerlukan
kefarmasian di Indonesia hendaklah terapi seumur hidup selain perubahan
sesuai dengan peraturan perun- pola hidup. Terapi seumur hidup
dangan yang berlaku antara lain dengan menggunakan obat akan
undang-undang obat keras tahun meningkatkan resiko adanya efek
1949 tentang penyerahan obat keras, samping obat dan interaksi dengan
peraturan pemerintah no 25 tahun obat penyakit lain atau obat bebas
1980 tentang apotek, undang undang yang mungkin digunakan. Dalam hal
no 23 tahun 1992 tentang kesehatan, ini peran apoteker untuk memberi
peraturan menteri kesehatan 922/ konsultasi informasi obat dan edu-
MenKes/Per/X/1993 tentang tugas kasi kepada pasien sangat penting.
dan fungsi apoteker pengelola apo- Kenyataan di lapangan saat ini pela-
tek. Di negara maju seperti Amerika yanan kefarmasian yang berupa
Serikat pelayanan farmasi meliputi pemberian informasi biasanya hanya
antara lain mendidik pasien tentang mengenai cara dan aturan pakai obat
kebiasaan / pola hidup yang mendu- yang diberikan oleh asisten apoteker,
kung tercapainya keberhasilan bukan oleh apoteker.
pengobatan, memberi informasi Meningkatnya arus globalisasi,
mengenai program pengobatan yang semakin canggihnya teknologi far-
harus dijalani pasien, memonitor masi dan kedokteran, pasar terbuka,
hasil pengobatan dan juga bekerja perubahan gaya hidup menyebabkan
sama dengan profesi lainnya (dokter) perubahan tuntutan masyarakat
untuk mencapai kualitas hidup yang terhadap pelayanan kefarmasian di
optimal bagi pasien ((Am J Hosp apotek yang tidak lagi hanya ber-
Pharm 1993),(Morgan PP., Cohan L., orientasi pada obat tetapi lebih ber-
1995),(Sierralta OE., Scott DM., orientasi kepada pasien, sehingga
1995)). Untuk menindaklanjuti per- apotek diharapkan memberi pelayan-
aturan perundangan dan melihat an prima sesuai standar kompetensi
perkembangan pelayanan farmasi di farmasis komunitas yang disusun
negara maju Badan Pimpinan Pusat BPP-ISFI.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia Dalam makalah ini dikemukakan
(BPP-ISFI) membuat standar kompe- pelayanan kefarmasian yang dibu-
tensi farmasis komunitas tahun 2002 tuhkan konsumen dan kesiapan
yang diantaranya meliputi kompe- apoteker memberi pelayanan kefar-
tensi pelayanan kefarmasian dan masian yang berupa informasi obat
komunikasi farmasi (BPP-SFI 2002). terutama kepada pasien penyakit
Perubahan gaya hidup menye- kronik dan degeneratif. Makalah ini
babkan perubahan pola penyakit di merupakan bagian dari penelitian
masyarakat yaitu meningkatnya pre- pengembangan model pelayanan

Vol. III, No.1, April 2006 39


prima di apotek yang dilakukan oleh yang berpendidikan minimum seko-
Puslitbang Farmasi dan Obat Tradi- lah lanjutan tingkat atas, usia lebih
sional Badan Litbangkes tahun 2003. dari 18 tahun.
Pengumpulan data dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu de-
METODA PENELITIAN ngan membagikan angket (kuesio-
ner) kepada konsumen apotek dan
Jenis penelitan adalah penelitian melakukan diskusi kelompok terarah
lapangan dan desain penelitian (Focus group discussion = FGD)
adalah eksplorasi pendapat, kei- dengan peserta apoteker yang sesuai
nginan serta kebutuhan konsumen kriteria, melibatkan peserta diskusi
dan kesiapan apoteker di apotek antara 4 - 10 orang setiap kelompok.
dalam pelayanan kefarmasian teru- Sebagai moderator adalah peneliti
tama informasi obat kepada pasien pusat penelitian dan pengembangan
penyakit kronik dan degeneratif. farmasi dan obat tradisional Badan
Penelitian dilakukan di kota Litbangkes.
Jakarta, Yogyakarta dan Makassar, Analisis data dilakukan secara
dengan sampel adalah konsumen deskriptif.
apotek serta apoteker yang bekerja
di apotek di kota-kota tersebut.
Sampel konsumen apotek diam- HASIL PENELITIAN DAN
bil secara acak sebanyak 224 konsu- PEMBAHASAN
men, sampel apoteker diambil secara
purposif masing-masing wakil kota Salah satu materi diskusi ke-
yakni sebanyak 30 apoteker, yang lompok adalah mengenai kegiatan
dibagi menjadi 3 kelompok : Kelom- APA di apotek, antara lain meliputi
pok I. Apoteker pengelola apotek manajemen obat dan pelayanan resep.
(APA) yang merangkap sebagai pega- Pada saat diskusi tentang topik
wai negeri sipil / TNI-POLRI, kelom- tersebut, tidak ada komentar dari
pok II APA yang bukan pegawai ketiga kelompok peserta diskusi di
negeri sipil /TNI-POLRI/ pemilik Kota Makassar, sedangkan ketiga
sarana apotek dan kelompok III APA kelompok peserta diskusi di Kota
yang merangkap sebagai pemilik Yogyakarta menyatakan kegiatan
sarana apotek (PSA). mereka di apotek meliputi semua ke-
Kriteria apotek yang menjadi giatan manajemen obat dan melayani
tempat pengumpulan data adalah resep. Pada diskusi di Kota Jakarta,
berlokasi di pemukiman penduduk, kelompok APA yang merangkap
sudah berdiri lebih dari satu tahun, sebagai PNS menyatakan kegiatan
jumlah resep rata-rata per hari mini- yang dilakukan adalah manajemen
mal 10 lembar dan kriteria konsumen apotek dan melakukan pembinaan
apotek adalah pengunjung apotek pada asisten apoteker. Sedangkan

40 MAJALAH ILMU KEFARMASIAN


kelompok APA merangkap PSA pelayanan dengan pendekatan per-
melakukan semua kegiatan apotek. sonal kepada pasien (orientasi
Standar kompetensi pelayanan pasien) belum dikenal masyarakat.
kefarmasian meliputi kemampuan Hasil diskusi tentang pelayanan
memberikan pelayanan farmako- salinan resep penyakit kronik dan
terapi kepada penderita baik secara degeneratif menunjukkan bahwa
lisan maupun tertulis, advokasi pada umumnya mereka melayani
kepada penderita atau masyarakat salinan resep tersebut dengan per-
yang ingin melakukan swa-medikasi, timbangan antara lain tidak mengan-
menyediakan informasi obat dan dung narkotika atau obat keras
promosi cara hidup sehat, memberi- tertentu, konsumen sudah menjadi
kan konsultasi obat, membuat formu- pelanggan apotek dan alasan lainnya.
lasi sediaan khusus yang mendukung Tetapi beberapa apoteker menyata-
proses terapi, melakukan monitoring kan melayani tanpa pertimbangan,
efek samping obat, evaluasi terhadap dan ada juga apoteker di kota Yogya-
penggunaan obat yang rasional. karta yang menyatakan tidak mela-
Sedangkan kompetensi komunikasi yani dengan alasan apapun.
farmasi meliputi kemampuan men- Penggunaan obat penyakit kro-
ciptakan hubungan professional nik dan degeneratif perlu diimbangi
antara farmasis dengan pasien dan dengan informasi yang lengkap dan
keluarga, antara farmasis dengan jelas karena penggunaan obat-obat ini
tenaga kesehatan lain, maupun berlangsung dalam jangka lama.
sesama farmasis berdasarkan saling Informasi ini sebaiknya meliputi
menghormati dan mengakui kemam- antara lain lama pengobatan/peng-
puan profesi demi tegaknya marta- gunaan obat, cara penyimpanan obat,
bat profesi (BPP-SFI 2002). Hasil efek samping yang mungkin timbul,
diskusi terarah ini menunjukkan tindakan bila ada efek samping/
bahwa kegiatan apoteker belum se- keracunan obat dan bila terjadi salah
suai dengan standar kompetensi dosis, pantangan obat dengan penya-
farmasis komunitas terutama kompe- kit tertentu atau makanan saat makan
tensi pelayanan kefarmasian dan obat tersebut. Konsumen apotek
kompetensi komunikasi yang disusun belum mendapat informasi tersebut
oleh BPP-ISFI sebagai tindak lanjut terutama di Kota Jakarta, tampak
peraturan perundang-undangan dan pada tabel 1 dan 2.
melihat perkembangan pelayanan Kebutuhan informasi pengun-
farmasi di negara maju. jung apotek terutama untuk penyakit
Disimpulkan semua apotek yang kronik dan degeneratif ini belum
disurvei belum memprioritaskan diimbangi dengan kesiapan apoteker
pelayanan kefarmasian dengan pen- dalam memberikan pelayanan infor-
dekatan personal kepada pasien masi sesuai kebutuhan pengunjung
(masih berorientasi pada obat) atau apotek. Hal ini tampak pada saat

Vol. III, No.1, April 2006 41


Tabel 1. Persentasi pengunjung apotek yang tidak memperoleh informasi
yang dibutuhkan berdasarkan jenis informasi di kota Makassar,
Yogyakarta dan Jakarta (N = 224)

MAKASSAR YOGYAKARTA JAKARTA


NO JENIS INFORMASI
(n = 62) (n = 73) (n = 89)
1 Cara dan aturan pakai obat 0 1,4 9,0
2 Guna/khasiat obat
3,2 6,9 31,5
(indikasi obat)
3 Lama pengobatan/
21,0 13,6 54,0
penggunaan obat
4 Cara penyimpanan obat 12,9 23,3 58,4
5 Efek samping yang
25,8 28,7 70,8
mungkin timbul
6 Tindakan bila ada efek
29,0 26,0 60,7
samping obat / keracunan obat
7 Tindakan bila terjadi
38,1 22,0 57,3
salah dosis
8 Pantangan obat tersebut
27,5 26,0 61,8
untukpenyakit tertentu
9 Pantangan makanan
25,8 20,6 61,8
saat makan obat tersebut

FGD dimana ada pengetahuan APA an, majalah, buku dan mencari dari
mengenai obat untuk penyakit kronik berbagai media seperti internet
dan degeneratif terbatas hanya (tabel 3).
meliputi nama obat dan indikasinya Alasan peserta FGD yang menya-
saja (sebatas yang ada di Informasi takan keterbatasan untuk mendapat
Spesialite Obat). Namun, Apoteker / mencari informasi obat adalah
yang bekerja di rumah sakit lebih karena kendala waktu. Walaupun
baik pengetahuannya dibidang demikian, peserta FGD mengakui
farmakologi/farmakokinetik. bahwa informasi obat merupakan
Sumber informasi obat kebanyakan komponen apotek ideal seperti
berasal dari pedagang besar farmasi tampak pada tabel 4.
(PBF), brosus/leaflet dan Informasi Hasil FGD dengan APA me-
Spesialite Obat (ISO), IIMS. Sebagian nyimpulkan bahwa apoteker menye-
APA lainnya mendapatkan informasi pakati aspek pelayanan kefarmasian
obat dari sumber lain yaitu Bulletin prima yang meliputi keharusan
Balai Pengawasan Obat dan Makan- adanya informasi obat yang benar

42 MAJALAH ILMU KEFARMASIAN


Tabel 2. Persentasi pengunjung apotek yang membeli obat penyakit kronik /
degeneratif yang tidak memperoleh informasi yang dibutuhkan
berdasarkan jenis informasi (n=87)

NO JENIS INFORMASI JUMLAH %


1 Cara dan aturan pakai obat 3 3,5
2 Guna/khasiat obat (indikasi obat) 17 19,6
3 Lama pengobatan/penggunaan obat 29 43,7
4 Cara penyimpanan obat 50 56,3
5 Efek samping yang mungkin timbul 50 56,3
6 Tindakan bila ada efek samping obat /
keracunan obat 60 67,8
7 Tindakan bila terjadi salah dosis 61 69,0
8 Pantangan obat tersebut untuk penyakit tertentu 46 51,7
9 Pantangan makanan saat makan obat tersebut 48 54,1
10 Harga obat 16 17,3

! dari total responden pengunjung apotek, 87 responden yang membeli obat


penyakit/degeneratif

dan jelas, kesiapan apoteker dalam / pengobatan, tindakan lanjutan dan


memberikan pelayanan, keharusan evaluasi serta dokumentasi (Am J
apoteker mengusai pengetahuan Hosp Pharm, 1993).
tentang obat dan menjadi nara- Hal lain yang perlu dipertim-
sumber informasi obat serta ke- bangkan adalah pembentukan pusat
harusan apoteker mempunyai catatan informasi obat yang dapat diakses
/ data pasien. Berbagai aspek pela- melalui internet oleh apoteker (lebih
yanan farmasi prima tersebut telah kurang setengah apotek yang apo-
menjadi standar kompetensi farmasi tekernya menjadi peserta diskusi
komunitas, khususnya aspek kompe- memiliki fasilitas komputer), pem-
tensi pelayanan kefarmasian dan buatan buku pedoman tentang
komunikasi. pengobatan penyakit kronik/dege-
Model pelayanan kefarmasian di neratif dan metoda pelatihan yang
Amerika Serikat untuk penyakit sesuai untuk meningkatkan penge-
kronik/degenertaif bagi pasien rawat tahuan tentang obat khususnya obat
jalan berdasarkan American Society of penyakit kronik/degenertif. Selama
Hospital Pharmacists meliputi “asses- ini konsumen apotek lebih mengenal
ment” pengobatan, rencana pelayanan dan mendapatkan informasi dari

Vol. III, No.1, April 2006 43


Tabel 3. Pengetahuan apoteker tentang obat penyakit kronik /degeneratif dan
sumber informasi obat di kota Makassar, Yogyakarta dan Jakarta (N = 66)

URAIAN MAKASSAR YOGYAKARTA JAKARTA


(n = 25) (n = 26) (n = 15)

Pengetahuan apoteker
tentang obat tu obat penyakit
kronik/degeneratif
- nama obat dan indikasinya 10 2 2
sebatas yang ada di Informasi 6
spesialite obat
- apoteker di RS lebih baik 1 1
pengetahuan dibidang
farmakologi /farmakokinetik,
nama obat dan indikasinya
- tidak memahami secara 6 6
mendalam

Sumber informasi obat


Pedagang Besar Farmasi 2 3
Bulletin 1 1
Brosur/leaflet obat 10 3 5
ISO (informasi spesialite obat) 12 3 3
Bulletin BPOM 1
mencari di berbagai media 1 1
Buku 1 2 1
Majalah brataco 3
IIMS 9 1
Dokter penulis resep 3
Internet 2
Medical representatif 2

* skor dihitung berdasarkan jumlah apoteker

asisten apoteker dari pada apoteker kecil (13,4 %). Dengan melihat kenya-
terutama di kota Jakarta seperti yang taan tersebut diatas, hal penting
tampak pada tabel 5. lainnya adalah perlunya mening-
Persentase apoteker sebagai katkan kemampuan berkomunikasi
sumber informasi obat menurut baik dengan konsumen maupun
pengunjung apotek di kota Makassar dengan tenaga kesehatan lain, serta
dan Yogyakarta besar (72,6 % dan memotivasi apotek/apoteker untuk
72,6 %), sedangkan di kota Jakarta mengubah citranya.

44 MAJALAH ILMU KEFARMASIAN


Tabel 4. Komponen apotek ideal menurut apoteker di kota Makassar (I),
Yogyakarta (II) dan Jakarta (III) (N = 66)

KOMPONEN APOTEK IDEAL I (n = 25) II (n = 6) III (n = 15)


- informasi obat yang benar dan jelas 7
- jadi sumber/sistem informasi obat 7
- apoteker siap malayani pasien 2 3
- apoteker kuasai pengetahuan tentang 2
obat
- harga obat murah 3 2
- pelayanan resep cepat 4
- pengadaan obat lengkap 7 5
- sesama apotek saling membantu 2
- tempat/ruang tunggu nyaman 3
- memberikan pelayanan yang lengkap 2
- milik apoteker sendiri 5
- apoteker di apotek selama buka 2 3
- keberadaan apoteker min 3 X seminggu 3
- ada jam konsultasi dengan apoteker 2
- ada catatan tentang pasien 2
- ada tenaga pemasaran 2

Tabel 5. Sumber informasi di apotek


NO SUMBER MAKASSAR YOGYAKARTA JAKARTA TOTAL
INFORMASI (%) (%) (%) (%)
1 Apoteker 45 (72,6) 53 (72,6) 12 (13,4) 110 (49,1)
2 Asisten 53 (85,5) 48 (65,8) 50 (56,2) 151 (67,4)
apoteker
3 Kasir 1 (1,6) 5 (6,8) 6 (6,7) 12 (5,3)
4 Pemilik apotek 17 (27,4) 6 (8,2) 7 (7,9) 30 (13,4)
5 Karyawan
apotek 9 (14,5) 21 (28,8) 34 (38,2) 64 (28,6)
lainnya
6 Tidak tahu 1 (1,6) 0 (0) 12 (13,5) 13 (5,8)
7 Tidak diberi 1 (1,6) 3 (4,1) 3 (3,4) 7 (3,1)
penjelasan

Vol. III, No.1, April 2006 45


KESIMPULAN DAN SARAN Journal Hospital Pharmacists, 50,
1720-3.
Kesimpulan Badan Penelitian dan Pengembangan
- Ada indikasi kesenjangan antara Kesehatan Departemen Kese-
kesiapan apoteker untuk memberi hatan RI, 2001, Survei Kesehatan
informasi obat dengan kebutuhan Rumah Tangga.
informasi konsumen apotek. Badan Pimpinan Pusat Sarjana Far-
- Faktor-faktor kelemahan / keku- masi Indonesia, 2002, Standar
rangan apoteker ada yang sangat Farmasis Komunitas.
ironis yaitu ada apoteker yang Ika Puspita Sari, 2001, Motivasi
menyatakan pengetahuan tentang Konsumen terhadap Layanan
obat / farmakologi kurang mema- Informasi dan Konsultasi Obat di
dai termasuk pengetahuan apo- Apotik Kota Yogyakarta, Majalah
teker tentang obat baru juga Farmasi Indonesia, 12 (2), 80-84.
kurang memadai. Morgan, PP., Cohan, L., 1995, Off the
Prescription Pad and Over the
Saran Counter: the Trend toward Drug
Perlu adanya pelatihan atau regulation Grows, Can.Med.
pendidikan berkelanjutan untuk Assoc., 152 (3): 387-389
meningkatkan kemampuan apoteker Rini Sasanti Handayani dkk, 2003,
melakukan komunikasi dan penge- Laporan Akhir Penelitian Pengem-
tahuan tentang obat terutama obat- bangan Mode Pelayanan Prima di
obat baru. Apotek Terutama dari Aspek Infor-
masi Obat kepada Pasien Penyakit
Kronik dan Degeneratif (Tahap I),
DAFTAR PUSTAKA Puslitbang Farmasi dan Obat
Tradisional Badan Litbangkes.
American Society of Hospital Phar- Sierralta, OE., Scott, DM., 1995, Phar-
macists, 1993, ASHP Statement macists as Nonprescription Drug
on Pharmaceutical care, American Advisors, Am. Pharm: 36-38.

46 MAJALAH ILMU KEFARMASIAN

You might also like