You are on page 1of 37

LAPORAN KASUS

PROGRAM DOKTER INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD TORABELO – SIGI
PERIODE FEBRUARI 2018-2019

BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA

Disusun oleh:
dr. Hasfiah Jafar

PROGRAM DOKTER INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2018

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 7


BAB II LUSTRASI KASUS.................................................................................................. 8
2.1 Identitas Pasien................................................................................................................. 8
2.2 Anamnesis ........................................................................................................................ 8
2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................................................ 9
2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................................. 11
2.5 Resume ........................................................................................................................... 12
2.6 Diagnosis Kerja .............................................................................................................. 12
2.7 Rencana .......................................................................................................................... 13
2.8 Prognosis ........................................................................................................................ 13
2.9 Follow Up ...................................................................................................................... 13
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 17
3.1 Anatomi kelenjar Prostat ................................................................................................ 17
3.2 Definisi Benign Prostat Hyperplasia .............................................................................. 18
3.3 Etiologi Benign Prostat Hyperplasia .............................................................................. 19
3.4 Patofisiologi Benign Prostat Hyperplasia ...................................................................... 19
3.5 Manifestasi Klinis Benign Prostat Hyperplasia ............................................................. 21
3.6 Penegakkan Diagnosis Benign Prostat Hyperplasia ...................................................... 25
3.7 Diagnosis Banding Benign Prostat Hyperplasia ............................................................ 29
3.8 Penatalaksanaan Benign Prostat Hyperplasia ................................................................ 31
3.9 Komplikasi Benign Prostat Hyperplasia ........................................................................ 34
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................................... 37
BAB V KESIMPULAN ....................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 40

2
BAB I

PENDAHULUAN

Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering

ditemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau Benign Prostat

Hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat

hyperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar. BPH ini dapat dialami oleh

sekitar 70% pria diatas usia 60 tahun. Angka ini akan mennigkat hingga 90% pada

pria berusia diatas 80 tahun.

Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH merupakan keluhan yang

menjengkelkan dan menganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari

pembesaran kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher

buli-buli dan uretra. Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesarankelenjar

prostat. Obtruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-

buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas

maupun bawah.

Keluhan yang sering disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa

LUTS (Lower Urinary Tractus Symptoms) yang terdiriatas gejala obstruksi

maupun irigasi yang meliputi frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia,

pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus serta merasa tidak puas sehabis

miksi kemudian tahap selanjutnya akan terjadi retensi urine.

Pemeriksaan yang penting dilakukan pada pasien BPH adalah Colok dubur

atau Digital Rectal Examination (DRE), disamping pemeriksaan fisik pada region

suprapubik untuk mnari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Mengukur

3
volume prostat dengan menggunakan metode DRE cenderung underestimate

daripada pengukuran dengan dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba

besar hampir pasti bahwa ukurannya memang besar. Terapi yang akan diberikan

pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien, komplikasi yang terjadi,

sarana yang tersedia serta pilihan pasien.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama : Tn. A

Umur : 63 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Sigi biromaru

Tgl pemeriksaan : 9 Maret 2018

B. Anamnesis

Keluhan utama : Susah BAK

Riwayat penyakit sekarang :

Susah BAK sejak ±1 bulan SMRS, awalnya BAK terputus-putus,

kencing lama keluar dan harus mengedan untuk BAK, sering bangun malam

untuk BAK ±5 kali, rasa tidak lampias setelah BAK, ada air kencing menetes

setelah BAK, pancaran kencing tidak kuat, BAK campur darah (-), demam(-),

mual (-), muntah (-), BAB biasa. Terpasang kateter dari Puskesmas.

Riwayat penyakit dahulu:

- Belum pernah mengalami hal yang sebelumnya

- Riwayat pernah kencing batu disangkal

- Hipertensi (-)

- DM (-)

5
Riwayat penyakit keluarga :

Tidak ada keluarga mengalami hal yang sama.

C. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Sakit Sedang

Keasadaran : Compos Mentis

Tanda vital

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Nadi : 84 x/m

Pernapasan : 20 x/m

Suhu : 37 ̊C

Status Generalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Conjugtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks

cahaya (+/+)

Hidung : Rhinore (-)

Telinga: Otore (-/-)

Mulut : Dalam batas normal

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), massa (-)

Thorax

Paru-paru :

Inspeksi : Pergerakan dada simetris bilateral

Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri

6
Perkusi : Sonor

Auskultasi : Vesikuler, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Ictus tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea mid clavicula sinistra

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler

Abdomen :

Inspeksi : Tampak datar

Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Organomegali (-), nyeri tekan epigastrik (-)

Ekstremitas :

Superior : Akral hangat, oedem (-/-)

Inferior : Akral hangat, oedem (-/-)

Genitalia : Dalam batas normal

Rectal Toucher : Sfingter ani menjepit, mukosa rectum licin, teraba massa

dengan konsistensi kenyal, simteris, tidak berbenjol-

benjol, pool atas sulit dicapai, darah (-)

D. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (10 Maret 2018)

WBC : 9.20 103/uL

RBC : 5.40 103/uL

7
Hb : 13.7 g/dl

Ht : 44.9 %

Plt : 434

USG (10 Maret 2018)

Hypertrophy Prostat

E. Resume

Pasien laki-laki umur 63 tahun masuk RS dengan keluhan susah BAK

sejak ±1 bulan, awalnya BAK terputus-putus, kencing lama keluar dan harus

mengedan untuk BAK, sering bangun malam untuk BAK ±5 kali, rasa tidak

lampias setelah BAK, ada air kencing menetes setelah BAK, pancaran

kencing tidak kuat, BAB biasa. Terpasang kateter dari Puskesmas.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah : 130/90 mmHg, nadi: 84

̊ . Pada rectal toucher ditemukan sfingter


x/m, pernapasan : 20 x/m, suhu: 37 C

ani menjepit, mukosa rectum licin, teraba massa dengan konsistensi kenyal,

simteris, tidak berbenjol-benjol, pool atas sulit dicapai, darah (-). Pada

pemeriksaan USG abdomen ditemukan hypertrophy prostat.

F. Diagnosis

Benign Prostat Hyperplasia

G. Diagnosis Banding

- Karsinoma Prostat

8
H. Terapi

Operatif : Open Prostatectomy Transvesical

I. Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

J. Laporan Operasi

(13 Maret 2018)

Diagnosis pra beda : Benign Prostat Hiperplasia

Diagnosis post bedah : Benign Prostat Hiperplasia

Teknik operasi : Open Prostatectomy Transvesical

FOLLOW UP

11 Maret 2018

S / Susah BAK

O/ TD : 130/90 mmHg

N : 84 x/m

P : 20 x/m

S : 37 ̊C

A / Benign Prostat Hiperplasia

P / Rencana operasi besok (12 Maret 2018)

Persiapan operasi:

9
- Inform consent

- Persetujuan tindakan

- Konsul anestesi

- Lapor OK

- Siap darah PRC 1 bag

- IVFD RL 20tpm

- Inj. Ceftriaxone 1 gram/24jam/iv

- Cek Lab (ur, Cr, GDS, ct, bt, HbsAg)

12 Maret 2018

S / Susah BAK

O/ TD : 130/80 mmHg

N : 85 x/m

P : 24 x/m

S : 36,5 ̊C

Lab 11 maret 2018

Gds 113mg/dl

Ur 30mg/dl

Cr 1.11 mg/dl

HbsAg (-)

Ct 6 mnt

Bt 3 mnt

A / Benign Prostat Hiperplasia

10
P / Operasi ditunda besok (13 Maret 2018) karena belum ada persiapan darah

13 Maret 2018

S / Susah BAK

O/ TD : 120/80 mmHg

N : 80 x/m

P : 20 x/m

S : 36,5 ̊C

A / Benign Prostat Hiperplasia

P / Operasi

Instruksi post op:

- Ivfd RL 20 tpm

- Inj. ceftriaxone 1 gr / 12 jam / iv

- Inj. Ketorolac 1amp / 8 jam / iv

- Asam tranexamat amp / 8 jam / iv

- Spooling kateter

- Fiksasi kateter di femur 1x24 jam

- Spooling kateter 80 tetes

- Bed rest

14 maret 2018

S / Nyeri luka post op (+)

O/ TD : 110/70 mmHg

11
N : 90 x/m

P : 24 x/m

S : 36 ̊C

Status lokalis pubis

Inspeksi : Tampak luka ditutupi oleh verband, rembesan darah (-)

Palpasi : Nyeri tekan luka post op (+)

A / Post Op BPH (H+1)

P / - Ivfd RL 20 tpm

- Inj.Ceftriaxone 1 gr / 12 jam / iv

- Inj.ketorolac 1 amp / 8 jam / iv

- Asam tranexamat amp / 8 jam / iv

- Spooling kateter 80 tetes

- Traksi pindah ke sias

15 Maret 2018

S / Nyeri luka post op (+)

O/ TD : 120/70 mmHg

N : 80 x/m

P : 24 x/m

S : 36 ̊C

Status lokalis pubis

Inspeksi : Tampak luka ditutupi oleh verband, rembesan darah (-)

Palpasi : Nyeri tekan luka post op (+)

12
A / Post Op BPH (H+2)

P / - Ivfd RL 20 tpm

- Inj. Ceftriaxone gr / 12 jam / iv

- Inj.ketorolac 1 amp / 8 jam / iv

- Asam tranexamat amp / 8 jam / iv

- Spooling kateter 80 tetes

16 Maret 2018

S / Nyeri luka post op (↓)

O/ TD : 110/70 mmHg

N : 88 x/m

P : 20 x/m

S : 36 ̊C

Status lokalis pubis

Inspeksi : Tampak luka ditutupi oleh verband, rembesan darah (-)

Palpasi : Nyeri tekan luka post op (+)

A / Post Op BPH (H+3)

P / - Ivfd RL 20 tpm

- Inj. ceftriaxone 1 gr / 12 jam / iv

- Inj.ketorolac amp / 8 jam / iv

- Aff spooling kateter

13
17 Maret 2018

S / Nyeri luka post op (↓)

O/ TD : 130/90 mmHg

N : 90 x/m

P : 20 x/m

S : 36,9 ̊C

Status lokalis pubis

Inspeksi : Tampak luka ditutupi oleh verband, rembesan darah (-)

Palpasi : Nyeri tekan luka post op (+)

A / Post Op BPH (H+5)

P / - Ivfd RL 20 tpm

- Inj. ceftriaxone 1 gr / 12 jam / iv

- Ketorolac amp / 8 jam / iv

18 Maret 2018

S / Nyeri luka post op (↓)

O/ TD : 120/70 mmHg

N : 87 x/m

P : 20 x/m

S : 36,5 ̊C

Status lokalis pubis

Inspeksi : Tampak luka ditutupi oleh verband, rembesan darah (-)

Palpasi : Nyeri tekan luka post op (↓)

14
A / Post Op BPH (H+4)

P / - As. Mefenamat 500mg 3x1 tab


- Cefadroxyl 500mg 2x1 caps

15
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kelenjar Prostat

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di

sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar

buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Kelenjar ini

terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa

daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona

fibromuskuler anterior, dan zona periuretra (McNeal, 1976). Sebagian besar

hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional; sedangkan pertumbuhan

karsinoma prostat (70% hingga 80%) berasal dari zona perifer. Secara

histopatologik, kelenjar prostat normal terdiri atas kelenjar dan stroma.

Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblast, pembuluh darah,

saraf, dan jaringan penyanggah yang lain (Purnomo, 2011 ; Robbins, 2007).

Kelenjar prostat menghasilkan suatu cairan encer seperti susu yang

merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan tersebut

mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan

profibronolisin. Volume cairan prostat merupakan ± 25% dari seluruh volume

ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di

uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain

pada saat ejakulasi (Guyton & Hall, 2007 ; Purnomo, 2011).

16
Gambar 2.1 Zona Kelenjar Prostat

(Robbins, 2007)

Sifat cairan prostat yang sedikit basa mungkin penting untuk keberhasilan

fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam

sitrat dan hasil akhir metabolism sperma, dan sebagai akibatnya, akan

menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret vagina bersifat asam

(dengan pH3,5 sampai 4,0). Sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH

sekitarnya meningkat menjadi 6,0 sampai 6,5. Akibatnya, cairan prostat yang

sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan seminalis lainnya

17
selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma

(Guyton & Hall, 2007).

2. Definisi BPH

BPH didefinisikan sebagai proliferasi sel stroma prostat, yang

menghasilkan pembesaran kelenjar prostat. Prostat tersebut mengelilingi

uretra, dan pembesaran bagian periuretral akan menyebabkan obstruksi leher

kandung kemih dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya

aliran kemih dari kandung kemih.

Penyebab BPH kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan disertai

dengan perubahan hormon. Terdapat teori bahwa rasio estrogen/androgen

yang lebih tinggi akan merangsang hiperplasia jaringan. Pada usia 50 tahun,

sampai dengan 50% laki-laki menunjukkan bukti histologis gejala BPH dan

gejala-gejala ini cenderung meningkat dengan bertambahnya usia (Kapoor

Anil, 2012 ; Price, 2005).

Gambar 2.2 Struktur Prostat Normal dan BPH (NCI, 2013)

18
3. Etiologi

Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah:

1. Teori dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron (DHT) merupakan metabolit hormon testosteron

yang merupakan mediator utama pada pertumbuhan kelenjar prostat.

DHT ini dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5 alfa-

reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk

berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-

RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor

yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Kapoor Anil, 2012 ;

Purnomo, 2011).

2. Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan

kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan antara estrogen dan

testosteron relatif meningkat. Beberapa bukti menyatakan bahwa

estrogen dan androgen mempunyai peran dalam terjadinya BPH. Telah

diketahui bahwa esterogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya

proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas

sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan

jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel

prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun

rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron

menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang

19
lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar (Dhingra, 2010

; Purnomo, 2011).

3. Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat

Pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh

sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah

sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel

stroma mensintesis suatu growth factor seperti epidermis growth factor

(EGF) yang berekspresi belebihan, fibroblast growth factor (FGF), dan

atau transforming growth factor-α (TGF-α) yang mengalami penurunan

ekspresi yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri dan

sel-sel epitel. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel

epitel maupun sel strroma (Purnomo, 2011 ; Sjamsuhidajat R, 2010).

4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Program kematian sel (apoptosis) adalah mekanisme fisiologi penting

untuk menjaga homeostasis kelenjar normal. Berkurangnya jumlah sel-

sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel

prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan

pertambahan massa prostat.

Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor

yang dapat menghambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen

berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah

dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar

prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia-usia sel prostat.

20
Selain itu, diduga juga pola pertumbuhan abnormal hiperplastik,

seperti BPH, mungkin disebabkan oleh local growth factor atau

abnormal growth factor receptor, sehingga menyebabkan proliferasi

meningkat atau menurunnya tingkat kematian sel terprogram (Wein,

2012 ; Purnomo, 2011).

5. Teori stem sel

Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang

mempunyai kemampuan berproliferasi sangat cepat. Kehidupan sel ini

bergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon ini

kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan

terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH akibat tidak

tepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel

stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2011).

4. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika

dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan

intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi

lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini

menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,

trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikuli buli-buli. Perubahan

struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada

saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang

21
dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Selain itu, karena pada waktu

miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan dapat

menyebabkan hernia atau hemoroid (Purnomo, 2011 ; Sjamsuhidajat R,

2010).

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli

tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter

ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi

refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan

hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal

ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi (Purnomo, 2011

; Sjamsuhidajat R, 2010).

Obstruksi yang diakibatkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh

adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga

disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul

prostat, dan otot polos pada leher buli-buli (Purnomo, 2011).

5. Manifestasi Klinis

Menurut Ellis Harold (2006), ada tiga macam gejala akibat BPH:

a. Gejala obstruksi

b. Gejala iritasi karena ketidakstabilan otot kandung kemih (ketidakstabilan

detrusor)

c. Infeksi atau gagal ginjal

22
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal berikut

dalam derajat yang berbeda-beda yaitu sering berkemih, nokturia, urgensi

(kebelet), urgensi dengan inkontinensia, tersendat-sendat, mengeluarkan

tenaga untuk mengalirkan kemih, rasa tidak lampias, inkontinensia overflow,

dan kemih yang menetes setelah berkemih. Kandung kemih yang teregang

dapat teraba pada pemeriksaan abdomen, dan tekanan suprapubik pada

kandung kemih yang penuh akan akan menimbulkan rasa ingin berkemih

(Price, 2005).

Menurut Basuki B. Purnomo (2011), obstruksi prostat dapat menimbulkan

keluhan pada saluran kemih maupun di luar saluran kemih, yaitu :

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala

voiding, storage, dan pasca miksi. Timbulnya gejala LUTS merupakan

manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk mengeluarkan urin. Pada

suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh

ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin

akut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk

menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO IPSS (WHO

International Prostate Symptom Score). Skor ini dihitung berdasarkan

jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Tujuh

pertanyaan mengenai gangguan miksi / LUTS yang masing-masing

pertanyaan diberi skor 0 sampai 5 dan satu pertanyaan mengenai kualitas

23
hidup pasien yang diberi nilai 1 sampai 7 (Sjamsuhidajat R, 2010 ;

Kapoor Anil, 2012).

Menurut Barkin Jack (2011), keadaan pasien BPH dapat digolongkan

berdasarkan skor yang diperoleh dari WHO IPSS, yaitu:

Skor 0 – 7 : gejala ringan

Skor 8 – 19 : gejala sedang

Skor 20 – 35 : gejala berat

Tabel WHO IPSS

(FKUI, 2011)

24
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas

berupa gejala obstruksi. Gejala obstruksi tersebut antara lain seperti nyeri

pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari

hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau

urosepsis.

c. Gejala di luar saluran kemih

Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya

hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena

sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan

tekanan intraabdominal.

6. Diagnosa

Selain gejala klinik di atas, diagnosa untuk BPH dapat juga ditegakkan

melalui pemeriksaan sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kandung kemih dapat teraba atau terdeteksi

lewat perkusi. Pada pemeriksaan fisik juga mungkin didapatkan buli-buli

yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat

retensi urin. Kadang-kadang di dapatkan urin yang selalu menetes tanpa

disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari inkontinensia

paradoksa (Purnomo, 2011 ; Davey, 2006).

25
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus otot

sfingter anus, mukosa rektum, kelainan seperti benjolan di dalam rektum

dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur, harus diperhatikan

konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya

kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas

dapat diraba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba

benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat

asimetri dengan bagian yang lebih keras (Sjamsuhidajat R, 2010).

Pemeriksaan digital pada kelenjar per rektum mengungkapkan

adanya pembesaran lobus lateral dan alur median masih teraba. Colok

dubur pada pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi prostat

kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan

tidak didapatkan nodul (Purnomo, 2011 ; Underwood, 2009).

b. Pemeriksaan Laboratorium

Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses

infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin

berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan

sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba

yang diujikan (Purnomo, 2011).

Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit

yang mengenai saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah

dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes

mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli

26
(buli-buli neurogenik). Perlu juga dilakukan pemeriksaan kadar penanda

tumor prostate specific antigen (PSA) jika dicurigai adanya keganasan

prostat karena nilainya akan meningkat pada keganasan prostat. Nilai

normal PSA adalah <4 ng/ml, nilai 4-10 ng/ml seringkali timbul pada

keadaan prostatitis BPH, dan nilai >10 ng/ml timbul pada keadaan

adenokarsinoma prostat. (Davey, 2005 ; Purnomo, 2011).

c. Pemeriksaan Pencitraan

Ultrasonografi dapat dilakukan transabdominal atau transrektal

(transrectal ultrasonography, TRUS). Selain untuk mengetahui

pembesaran prostat, pemeriksaan USG dapat pula menentukan volume

buli-buli, melihat hidronefrosis, mengukur sisa urin setelah berkemih,

dan keadaan patologi lain seperti tumor dan batu. Dengan ultrasonografi

transrektal, dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi

yang tepat (Price, 2005 ; Sjamsuhidajat R, 2010).

Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan

hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria.

Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran kemungkinan tumor di

dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang

dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesika. Selain itu,

sistoskopi juga dapat memberi keterangan mengenai besar prostat dengan

mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat

ke dalam uretra (Sjamsuhidajat R, 2010).

d. Pemeriksaan Lain

27
Residual urin yang merupakan jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa

urin ini dapat dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi

atau ditentukan dengan cara pemeriksaan USG setelah miksi. Sisa urin

lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi

melakukan intervensi pada hyperplasia prosat (Purnomo, 2011 ;

Sjamsuhidajat R, 2010).

Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu

dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi

berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan

gambaran grafik pancaran urin. Angka normal pancaran kemih rata-rata

10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada

obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6-8 ml/detik, sedangkan

maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang (Purnomo, 2011 ;

Sjamsuhidajat R, 2010).

7. Diagnosis Banding

Menurut Sjamsuhidajat R (2010), terdapat beberapa diagnosis banding

obstruksi saluran kemih karena BPH, yaitu:

a. Kelemahan otot detrusor

Dapat disebabkan oleh gangguan neurologik (kandung kemih

neurologik), misalnya:

- Lesi pada medulla spinalis

- Neuropati diabetes melitus

28
- Farmakologi (penggunaan obat penenang dan parasimpatolitik)

b. Kekakuan leher kandung kemih

Disebabkan oleh proses fibrosis.

c. Resistensi uretra

Dapat disebabkan oleh:

- Pembesaran prostat jinak atau ganas

- Tumor di leher kandung kemih

- Batu di uretra

- Striktur uretra

8. Komplikasi

Klasifikasi berdasarkan:

a. Komplikasi prostat

- Retensi akut

- Retensi kronik

- Perdarahan

b. Komplikasi kandung kemih

- Infeksi urinari

- Pembentukan batu

c. Komplikasi ginjal

- Hidronefrosis

- Uremia

29
Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan

dapat menyebabkan hernia atau hemoroid (Sjamsuhidajat R, 2010 ; Ellis

Harold, 2006).

9. Penanganan

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik.

Kadang-kadang mereka yang telah mengeluh LUTS ringan dapat sembuh

sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan

konsultasi saja. Namun, diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan

terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya

semakin parah (Purnomo,2011).

a. Medikamentosa

Tujuan terapi medika mentosa adalah berusaha untuk:

- Mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik

penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat

adrenergik alfa (adrenergic alfa blocker) seperti obat prazosin

(merelaksasi otot polos prostat dan leher kandung kemih).

- Mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara

menurunkan kadar hormon testosteron/dihidrotestosteron (DHT)

melalui penghambat 5α-reduktase seperti obat finasterid

(menghambat konversi testosteron menjadi metabolit aktifnya DHT,

sehingga mengurangi hipertrofi prostat) (Purnomo, 2011 ; Davey,

2005).

30
b. Bedah

Terapi bedah dapat dilakukan dengan cara:

- Operasi terbuka

Prostatektomi terbuka ini dianjurkan untuk prostat yang sangat besar

(>100 gram). Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk

mengangkat batu buli-buli atau divertikulum yang cukup besar. Saat

ini prostatektomi terbuka terbagi menjadi tiga, yaitu:

1) Prostatektomi terbuka transvesikal

Operasi ini dilakukan melalui kandung kemih dengan membuat

sayatan pada perut bagian bawah, kemudian prostat di enukleasi

dari dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat

sekaligus mengangkat batu buli-buli atau divertikelektomi

apabila ada divertikulum yang cukup besar.

2) Prostatektomi terbuka retropubik

Operasi ini dilakukan melalui sayatan kulit dengan membuka

simpai prostat tanpa membuka kandung kemih, kemudian

prostat dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan, yaitu

tanpa membuka kandung kemih sehingga pemasangan kateter

tidak lama seperti bila membuka vesika. Kerugiannya, cara ini

tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus

dikerjakan dari dalam kandung kemih.

3) Prostatektomi terbuka transperineal

31
Saat ini prostatektomi melalui sayatan perineal tidak dikerjakan

lagi.

- Pembedahan endourologi

Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan dengan

memakai tenaga elektrik TURP (Transuretral Resection of the

Prostate) atau dengan memakai energi laser. Operasi terhadap

prostat berupa reseksi (TURP), insisi (TUIP), atau evaporasi

(Purnomo, 2011 ; Sjamsuhidajat R, 2010).

32
BAB III

PEMBAHASAN

Dalam kasus ini, pasien laki-laki umur 63 tahun rujukan dari PKM

biromaru dengan nyeri perut kanan atas dan perut membesar sejak ±1 bulan yang

lalu,demam (+), perut terasa penuh dan kadang seperti terasa sesak, mual (+),

muntah (-), BAK warna pekat seperti teh, BAB biasa. Penurunan berat badan (+).

Riwayat BAB hitam 1 minggu lalu, konsumsi alkohol dan bergonta-ganti

pasangan. Hal ini sesuai dengan teori dimana nyeri perut kanan atas akibat tumor

tumbuh dengan cepat yang menyebabkan regangan pada kapsul hati. Perut yang

membesar terjadi akibat adanya obstruksi vena porta yang menyebabkan distensi

vena mesenterika sehingga tekanan osmotik meningkat dan terjadi perpindahan

cairan.

Pada pemeriksaan Rectal Toucher ditemukan sfingter ani menjepit,

mukosa rectum licin, teraba massa dengan konsistensi kenyal, simteris, tidak

berbenjol-benjol, pool atas sulit dicapai. Hal ini sesuai dengan teori, dimana

dengan pemeriksaan Rectal Toucher dapat dibedakan BPH dan Ca prostat, yaitu

pada BPH ditemukan massa dengan konsistensi kenyal,simetris dan tidak

berbenjol-benjol.

Pada pemeriksaan USG abdomen ditemukan hypertrophy prostat. Hal ini

sesuai dengan teori, dimana salah satu pemeriksaan penunjang untuk BPH adalah

USG abdomen.

33
Penatalaksanaan yang direncanakan pada pasien ini adalah open

prostatectomy transvesical. Operasi ini dilakukan melalui kandung kemih dengan

membuat sayatan pada perut bagian bawah, kemudian prostat di enukleasi dari

dalam simpainya.

34
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien laki-laki umur 63 tahun masuk RS dengan keluhan susah BAK sejak

±1 bulan, awalnya BAK terputus-putus, kencing lama keluar dan harus mengedan

untuk BAK, sering bangun malam untuk BAK ±5 kali, rasa tidak lampias setelah

BAK, ada air kencing menetes setelah BAK, pancaran kencing tidak kuat, BAB

biasa. Terpasang kateter dari Puskesmas.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah : 130/90 mmHg, nadi: 84

x/m, pernapasan : 20 x/m, suhu: 37 ̊C. Pada rectal toucher ditemukan sfingter ani

menjepit, mukosa rectum licin, teraba massa dengan konsistensi kenyal, simteris,

tidak berbenjol-benjol, pool atas sulit dicapai, darah (-). Pada pemeriksaan USG

abdomen ditemukan hypertrophy prostat.

Berdasarkan data tersebut ditegakkan diagnosis Benign Prostat

Hyperplasia. Lalu diberi terapi IVFD Ringer Lactat 20 tpm, Ceftriaxone 1 gram

inj/24jam/iv, asam traneksamat/8jam/iv, Ketorolac 1amp/8 jam/iv. Kemudian

dilakukan operasi open prostatectomy transvesical.

35
DAFTAR PUSTAKA

Alivizatos G. 2006. Guidelines on Benign Prostatic Hyperplsia. European


Association of Urology. Accessed: 04 January 2013. From:http://www.
uroweb.org/fileadmin/user upload/Guidelines/11%20BPH.pdf
Amalia Rizki. 2007. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Barkin Jack. 2011. Benign Prostatic Hyperplasia and Lower Urinary Tract
Symptom: Evidence and Approaches For Best Case Management. The
Canadian Journal of Urology. Accessed: 04 January 2013.
From:http://www.canjurol.com/ pdfs/supplements/update2011/BPH-Dr-
Barkin.pdf
Dahwan. 2005. Karakteristik Penderita Hipertrofi Prostat Rawat Inap di Rumah
Sakit Haji Medan Tahun 2000-2003. USU. Medan.
Data Statistik Indonesia. 2013. Rata-rata Umur Perkawinan menurut Daerah dan
jenis kelamin, Indonesia, 1992-2005 Singulate Mean Age at Marriage by area
and sex, Indonesia, 1992-2005. Accessed: 24 July 2013. From:http://www.
datastatistik-
indonesia.com/portal/index.php?option=com_tabel&task=&Itemid= 168
Davey Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Dhingra Neelima. 2010. Benign Prostatic hyperplasia: An Overview of Existing
Treatment. Indian Journal of Pharmacology. Accessed: 04 January 2013.
From:http://www.medind.nic.in/ibi/t11/i1/ibit11i1pd.pdf
Ellis Harold, et al. 2006. Lecture Notes General Surgery. 11th Edition. Blackwell
Publishing. United Kingdom.
FKUI. 2011. Pembesaran Prostat Jinak. Bedah Umum FKUI. Accessed : 03
March 2013. From:http://www.http://generalsurgery-
fkui.com/2011/12/pembesaran pros tat-jinak.html
Furqan. 2003. Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan
Kateter Menetap: Pertama Kali dan Berulang. USU. Medan.
Garraway M. 1995. Epidemiology of Prostate Disease. Springer. Jerman.
Guyton A. C, Hall J. E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta.
Kapoor Anil. 2012. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Management in the
Primary Care Setting. The Canadian Journal of Urology. Accessed: 04
January 2013. From:http://www.canjurol.com/html/free-articles/V1915SIF-
03-DrKapoor.pdf
Mitchell Richard N, et al. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. EGC.
Jakarta.
National Cancer Institute (NCI). 2013. Prostate Cancer Prevention. The
University of Chicago Medicine. Accessed: 03 March 2013.
From:http://http://www. uchospitals.edu/online-library/content=CDR62853
Price Sylvia A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. EGC. Jakarta.
Purnomo Basuki B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Edisi Ketiga. Sagung Seto.
Malang.

36
Robbins Stanley L, et al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Volume 2. Edisi 7.
EGC. Jakarta.
Sabiston DC. Buku Ajar Bedah. EGC. Jakarta. 1995.
Sastroasmoro S., Ismael S. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Sagung Seto. Jakarta.
Sjamsuhidajat R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
Soekidjo Notoatmodjo. 2010. Metodologi Pnelitian Kesehatan. EGC. Jakarta.
Underwood J. C. E, Cross S. S. 2009. General and Systematic Pathology. Fifth
Edition. Elsevier Limited. China.
Wein Alan J. 2012. Campbell-Walsh Urology 10th ed. Elsevier Saunders. USA.

37

You might also like