You are on page 1of 14

I.

SINOPSIS
a. Judul buku : Ranah 3 Warna
b. Pengarang : Ahmad Fuadi
c. Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
d. Tebal buku : 473 halaman
e. Tahun terbit : Tahun 2011

Alif dan Randai adalah kawan semasa kecil. Mereka sangatlah dekat satu sama lain.
Namun, di lain sisi mereka juga saling bersaing. Menjadi mahasiswa ITB adalah impian Alif
sejak dulu. Kini ia telah menyelesaikan pendidikan agamanya di Pondok Madani. Namun, ia
tidak memiliki ijazah SMA. Banyak teman di kampungnya yang meragukan kemampuannya
untuk bisa tembus UMPTN, termasuk Randai. Namun Alif tidak berkecil hati, ia tetap pada
mimpinya.
Akhirnya, ia halau banyak remehan, ia tutup telinga dengan semua perkataan yang
melukai hatinya untuk tetap meraih mimpi. Ia bulatkan tekad dengan belajar keras setiap hari,
dengan bantuan teman-teman yang bersimpati dengannya. Akhirnya, ia berhasil lulus ujian
persamaan SMA meskipun dengan nilai yang pas-pasan. Namun ia bersyukur dan berjanji akan
belajar lebih keras lagi dalam menempuh UMPTN dengan mantra sakti yang ia peroleh selama
belajar di Pondok Madani; man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses.
Dalam persiapan menuju UMPTN, ia belajar segenap daya dan upaya. Tak lupa ia memohon
doa dan restu orang tuanya agar dapat lulus UMPTN
Akhirnya, ujian itu pun tiba. Alif telah memaksimalkan usahanya untuk UMPTN ini..
Beberapa hari setelah itu, ia mengajak ayahnya untuk melihat hasil UMPTN yang dimuat di
koran Haluan. Pagi-pagi benar ia menunggu bus bersama ayahnya. Akhirnya setelah bus
datang, ia cepat-cepat membuka halaman yang memuat pengumuman UMPTN. Dalam harap dan
doa yang tiada putus, ia mencari nama dan nomor ujiannya. Ia bersyukur sekali ketika
mengetahui dirinya lulus UMPTN dan berhasil masuk menjadi mahasiswa HI UNPAD. Ia
bahkan mengabari teman-temannya para shahibul Menara yang dekat dengannya selama di
Pondok Madani dulu. Ia berbagi kabar bahagia sekaligus berbagi semangat hidup.
Tiba waktunya ia harus ke Bandung, memulai kuliah. Sejak saat itu, ia tinggal bersama
Randai dalam satu kamar kos. Ia berjanji sampai mendapatkan kos yang baru, baru ia akan
tinggal di tempat yang lain. Alif memasuki masa yang baru, menjadi seorang mahasiswa. Alif
harus melewati serangkaian ospek untuk bisa lebih mengenali kampus dan berkenalan
dengan teman-temannya yang baru. Ada Wira, Agam, dan Memet. Pada masa-masa perkenalan
kampus itulah berminat untuk memasuki dunia tulis-menulis. Ia mengenal Bang Togar, seorang
senior yang berbakat dalam dunia jurnalisme. Ia berusaha untuk berguru kepadanya, meskipun
sebenarnya Bang Togar adalah seorang yang sangat keras. Ia harus bersabar ketika hasil
menulisnya harus dicoret besar-besar dengan spidol merah dan harus bolak-balik ke rumah kos
Bang Togar ketika ada deadline yang harus ia serahkan langsung. Pernah suatu ketika ia
merasa jenuh dan tak kuat dengan tuntutan Bang Togar yang keras, namun ia harus menguatkan
hatinya dan tetap bersemangat karena ia menganggap bahwa itu merupakan bagian dari belajar.
Ia juga berkenalan dengan Raisa, cewek yang dikenalinya sehabis turun dari angkot waktu
itu. Entah mengapa ia merasa ada yang lain dengan dirinya ketika berpapasan dengan gadis yang
memesona itu.
Alif telah melewati semester satu. Ia senang ketika mendapatkan hasil belajar yang baik
dan tulisannya di muat di majalah dinding kampus. Ketika itu, Ayah dan Amaknya yang ada di
kampung ingin mengunjunginya ke Bandung. Ia merasa senang sekali. Telah ia uasahakan untuk
tempat tinggal orang tuanya di Bandung dengan merayu Randai untuk bersedia meminjamkan
kasur. Namun saat itu, ada telegram dari Amak yang mengabarkan bahwa Ayah sedang sakit. Ia
menyuruh Alif untuk segera pulang. Dengan seketika, ia bergegas menuju Sulawesi dengan
menaiki bus. Sesampainya di rumah, Alif segera menemui ayahnya yang ternyata sedang
terbaring lemas di bangsal ekonomi rumah sakit. Ayahnya yang melihatnya senang, karena anak
bujangnya itu pulang. Namun Alif tak sampai hati melihat ayahnya itu. Ayahnya kini semakin
kurus, cincin di jarinya pun longgar. Ayah merasa bangga kepada Alif. Pun suatu ketika, ayah
memintanya untuk berfoto bersama dalam ruangan rumah sakit itu, sekeluarga berlima. Hari
demi hari Alif telaten dan bersedia mengurus ayahnya selama di rumah sakit. Hingga kesehatan
ayahnya benar-benar pulih dan akhirnya dipersilakan pulang ke rumah oleh dokter.
Alif senang mendengar pernyataan dokter yang memperbolehkan ayahnya kembali
pulang ke rumah. Kesehatan ayahnya memang berangsur-angsur pulih. Ia pun ingin segera
kembali ke Bandung. Namun, hari itu pula ia harus menyaksikan ayahnya yang batuk-batuk,
kedinginan, dan sungguh di luar dugaan, hari itu sang ayah harus menghadap sang Khalik,
meninggalkan Alif, Amak, beserta adik-adiknya untuk selamanya. Betapa sedih hati Alif, ia
masih tak percaya jika sang ayah benar-benar telah tiada. Namun, ia harus menerima kenyataan
dan ketentuan dari sang Khalik, tiada yang sempurna di dunia ini. Akhirnya ia harus berlapang
dada dan benar-benar berjanji untuk melakukan apa yang diperintahkan ayah: tetap lanjut kuliah
dan menjaga Amak dan adik-adiknya.
Selama beberapa hari berkabung itu, Alif harus benar-benar ikhlas merelakan kepergian
sang ayah. Ia harus kembali ke Bandung. Dengan meminta izin kepada Amak yang
disayanginya, ia harus segera kembali ke Bandung dan tetap melanjutkan kuliahnya,
meskipun ia tak tahu harus bagaimana hidup di rantau dalam posisi sebagai anak yatim.
Setibanya di Bandung, ia disambut hangat oleh teman-temannya, termasuk Randai.
Mereka mengucapkan rasa belasungkawa atas meninggalnya ayah Alif. Alif kini harus melewati
hari-hari normal dalam berkuliah. Namun ia sadar, amaknya di kampung sana bekerja keras
untuk dapat membiayai Alif. Ia tak sampai hati dan merasa terlalu memberatkan Amaknya. Ia
tak tega. Dan sejak saat itu, ia mulai merambah usaha-usaha. Ia bahkan menjual produk-produk
yang digemari ibu-ibu. Ia berjualan songket, kain tenun, mukena, bahkan aksesoris lainnya. Ia
menekan segenap ego dan gengsi. Sejak saat itu ia berusaha bagaimana caranya untuk bisa
membiayai diri sendiri dan juga Amaknya. Nilai-nilai kuliah Alif sempat turun, bahkan beberapa
ada nilai yang C dan D. Ia sangatlah fokus kepada produk yang dijualnya. Hingga akhirnya ia
sampai jatuh sakit. Ia terkena tifus selama tiga minggu. Ia semakin tak berdaya ketika ia
dirampok beberapa orang tak dikenalnya.
Saat dalam keadaan yang hampir putus asa, Alif teringat pada mantra sakti yang ia
dapatkan selama belajar di Pondok Madani dulu, man shabara zhafira: siapa yang bersabar akan
beruntung. Sejak saat itu, ia menyerahkan segenap hidupnya pada Allah, dengan kesabaran dan
keikhlasan hatinya. Mengingat mantra sakti itu, Alif berusaha bangkit. Ia kembali menemui bang
Togar untuk belajar menulis seperti dulu. Walaupun ditempa habis-habisan Alif harus bersabar
ketika tulisannya dicoret, dan akhirnya beberapa tulisannya pun di muat di surat kabar. Ia senang
sekaligus bangga karena saat itu ia mulai dikenal orang. Alif terus memulai langkah hidup baru.
Ia kini semakin focus pada kegiatan tulis-menulisnya. Ia kini bahkan mampu mengirimi uang
kepada Amak di kampung.
Suatu ketika, Alif berselisih paham dengan sahabat karibnya, Randai. Gara-gara
meminjam komputer itu, hubungan persahabatan mereka nampak renggang. Akhirnya, sejak saat
itu Alif memutuskan untuk mencari kos baru dan ia pun berjanji dalam hati untuk tidak
meminjam barang kepada orang lain.
Alif semakin bersemangat menjalani hidupnya. Impiannya sudah banyak yang terkabul.
Kini ia punya mimpi yang besar: mendapat beasiswa ke luar negeri. Dalam perjalanan kuliahnya,
Alif mencoba mengikuti tes pertukaran pelajar ke Amerika, bermodalkan niat dan tekad, Alif
pun berhasil lolos dengan berbagai pertimbangan yang diberikan oleh panitia. Kanada! Ya itu
tempat yang akan Alif tuju, impiannya untuk menginjakkan kaki di Amerika akhirnya tercapai.
Raisa yang merupakan perempuan yang Alif sukai lolos seleksi pertukaran pelajar. Alif
menambah banyak teman, dari rombongan pertukaran pelajar tersebut.
Tiba waktunya Alif beserta segenap duta Indonesia pergi ke Kanada untuk melaksanakan
misi pertukaran mahasiswa. Ia bertemu dengan teman-teman yang unik, temasuk Rusdi sang
kesatria berpantun. Ketika sesampainya di Kanada, ia dibagi oleh sang kakak yang memandu.
Alif ditempatkan di Quebec, bersama Franc Pepin. Mereka pun sangat beruntung memiliki
keluarga asuh yang baik. Frandinand dan Mado.
Sejak mengikuti pertukaran itu, Alif pun semakin berambisi untuk bisa mempersembahkan
medali emas dan menunjukkan kepada dunia bahwa ia bisa berprestasi. Ia ingin mengalahkan
Rob, pemuda berkebangsaan Kanada yang arogan itu. Akhirnya, dengan kerja keras dan
memantapkan segenap daya dan upayanya berdasarkan man jadda wa jadda ia berhasil bersama
Francois Pepin merebut medali emas. Ia pun berhasil menarik perhatian Raisa. Semakin hari,
nampaknya ia semakin jatuh hati kepada gadis itu. Pernah ia datang ke kantor Raisa, namun lagi-
lagi ia tak berhasil menyampaikan maksudnya itu.
Bersama duta Indonesia yang lain di Kanada, Alif berhasil membawa nama Indonesia.
Mereka sukses mempertunjukkan kebolehan mereka memainkan tarian adat dan memasak
makanan asli Indonesia yang memikat. Selain itu, berdesir dalam darah mereka nama Indonesia,
negeri tercinta yang kini mampu sejajar dengan bangsa yang lain. Semakin menggelegak
semangat mereka memperjuangkan tanah sendiri di rantau.
Setahun berlalu, Alif dan rombongan pertukaran pelajar kembali ke Indonesia. Beberapa
tahun kemudian, Alif lulus, tapi di hari kelulusan itu, saat dia ingin menyerahkan surat tersebut
ke Raisa, hal yang tidak disangka terjadi, Raisa telah bertunangan dengan Randai, kawan
karibnya! Dengan perasaan yang campur aduk dia berusaha mencoba untuk menerimanya.
Setelah 10 tahun, Alif menepati janjinya ke Franco Peppin untuk mengunjungi dia kembali di
Kanada dengan seorang istrinya. Di puncak bukit kota itu dia menatap terbitnya matahari dengan
istrinya, dia bernostalgia dengan perjuangannya yang keras dia bisa menjadi besar seperti ini,
berkat 2 mantra dari Pondok Madani “man jadda wa jadda” dan “man shabara zhafira.”. Alif
berhasil melalui ranah 3 warna dalam hidunya. Bandung, Amman, dan Saint Raymond.

II. UNSUR INTRINSIK


1. Tema Umum : Cita-cita
2. Tema Khusus : Perjuangan dalam meraih cita-cita
3. Tokoh dan penokohan :
- Alif :
Pekerja keras  “Pintu kamar pun aku kunci dan sudah berhari-hari aku mengurung diri, hanya
ditemani bukut-bukit buku. Bahkan kalau adiku diam-diam mengintip dari balik pintu, aku halau
mereka...” (Hal. 296)
Tidak mudah putus asa, ikhlas  “Akhirnya aku memilih untuk ikhlas saja, walau diperlakukan
dengan keras. Hari ini aku sibuk sekali karena harus memperbaiki naskah, mengetik ulang,
mengantar dan dicoret Bang Togar. Sampai berulang-ulang.”
Selalu bersyukur  “Aku mendapatkan teman yang baik dan pengalaman yang sangat aku
impikan sejak dulu. Sudah seharusnya aku selalu bersyukur..” (hal.425)
Sabar dalam menghadapi banyak cobaan  “Surat ini sesungguuhnya mewakili sebuah
pelabuhan keberuntungan yang bahagia setelah berkayuh melalui laut penuh badai dan
gelombang ganas hanya bermodalkan baju sabar. Man shabara zhafira.” (hal. 348)
Bertawakal  Aku mencoba menghibur diriku. Toh aku telah melakukan usaha diatas rata-rata.
Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan pada Tuhan.
Aku coba ikhlaskan semuanya. (hal. 28)
Patuh kepada orangtua  “Nak, sudah wa’ang patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini
pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu...” kata Amak. (hal.41)
- Randai :
Merendahkan orang lain  “Hmm, kuliah di mana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa
kuliah ilmu umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?”.(hal.4)
Setia kawan, baik hati, mau menolong  “Lif, kita kan kawan, tinggal saja dulu di sini sampai
ketemu kos yang pas.”
“Atau begini saja. Bagaimana kalau gabung saja dengan aku di sini, kita bisa patungan bayar
berdua kamar ini.” (hal.62)
Pemarah  “Mana mungkin wa’ang bisa bantu. Ini kan pelajaran Teknik, pasti nggak ngerti!”
suaranya meninggi “Tadi diapakan ini? Bertahun-tahun komputer ini tidak pernah rusak!”
Tangannya sekarang membuka kap CPU dengan kasar, mencabut beberapa kabel sekali renggut
dengan keras.” (hal 168)

- Raisa :
Ramah, penuh senyum, adil  “Dalam pandanganku, Raisa dengan adil membagi perhatia,
senyum, dan tawa yang sama kepada cerita aku dan Randai”
Percaya diri  “Acara ditutup dengan Raisa tampil di depan. Seragam jas biru tua semakin
menambah aura percaya dirinya yang besar.” (hal. 228)
- Amak :
Baik hati, bijaksana, penyayang  “Nak, sudah wa’ang patuhi perintah Amak untuk sekolah
agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu. Niatkanlah untuk ibadah, insya Allah
selalu dimudahkanNya. Setiap bersimpuh setelah salat, Amak selalu berdoa untuk wa’ang,” kata
Amak. (hal.41)
- Ayah :
Menepati janjinya  “Alif, ini semua formulir yang harus diisi. Waktu ujian persamaan SMA
tinggal 2 bulan lagi. Sekarang tugas wa’ang untuk belajar keras. (hal.6)
Penuh perhatian  “Ayah dan Amak akan doakan dengan sepenuh hati,” kata Ayah menatapku.
Tangannya mengusap kepalaku sekilas. (hal.25)
Keras kepala  “Sebetulnya, Pak Mantri Pian sudah menganjurkan Ayah untuk banyak
beristirahat, tapi dia tetap juga keras kepala untuk batanggang menonton Piala Eropa bersamaku
sampai subuh” (hal.31)
Bijaksana  “Nak, ingat-ingatlah nasihat para orangtua kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung jangan lupa membawa nama baik dan kelakuan. Elok-elok di negeri orang. Jangan
sampai berbuat salah.” (hal.41)
- Kiai Rais :
Teladan, bijaksana  “...Cobalah bayangkan. Kalian yang dikaruniai bakat hebat dan otak
cerdas adalah bak golok tajam yang berkilat-kilat. Kecerdasan kalian bisa menyelesaikan
beberapa masalah. Tapi kalau kalian tidak serius, tidak sepenuh tenaga dan niat, maka kaliat
tidak akan maksimal, misi tidak akan sampai, usaha tidak akan berhasil, kayu tidak akan patah...”
- Bang Togar :
Berbakat menulis  “Dia bercerita, Togar masih mahasiswa tapi telah menjadi penulis tetap di
berbagai media, bahkan menjadi kontributor reguler di kompas.”(hal. 65)
Keras, agak sombong  “Tapi dia sangat keras dan agak sombong. Banyak yang mau belajar
menulis sama dia, tapi sering ditolak atau orang itu gagal di jalan.” Kata Mitra berbisik (hal. 66)
- Rusdi :
Percaya diri  “...Tapi kitalah, ya kita, yang sebetulnya berkualitas laki-laki terbaik. Kitalah
manusia unggul,”
“ Kita seperti sedang menyamar. Sayang sekali mereka, para gadis, itu tidak tahu. Rugilah
mereka. It’s their loss, not ours,” (hal.424)
Mudah bergaul  “Tidak jauh dariku, Rusdi juga sedang berkenalan dengan beberapa orang
lain. Tidak butuh waktu lama untuk membuat anak-anak Kanada ini mengrubung Rusdi.”
- Francolin Pepin
Lucu, murah senyum, baik hati  “Aku kembali tertawa melihat mimiknya, mulut tersenyum
lebar, alis terkembang, mata terbelalak. Mungkin aku tidak dapat mitra bahasa Inggris, tapi
setidaknya aku mendapat seorang kawan yang baik dan lucu.” (hal. 356)
- Mado :
Baik hati, berhati lembut, penuh perhatian  “Mado, perempuan berambut pirang yang lembut
hati ini selalu telaten membakar roti isi omelet yang gurih buat sarapanku. Sering dia berlari-lari
tiba-tiba menyusulku yang sudah naik ke sadel sepeda, hanya untuk memasukkan lagi sebungkus
biskuit.” ( hal.428)
- Ferdinand :
Banyak berbuat daripada bicara, perhatian, baik hati  “Sedangkan Ferdinand banyak berbuat
daripada bicara. Aku pernah bilang harus mengirim artikel setiap minggu ke koran di Bandung.
Diam-diam dia menghubungi anak sulungnya, Jeaninne yang sudah bekerja di Quebec City,
menanyakan apakan punya komputer yang tidak dipakai.” (hal.429)
- Kak Marwan :
Bijaksana  “Tugas kalian adalah sebagai duta muda bangsa di mata orang Kanada. Jadilah
cerminan orang Indonesia yang terbaik. Gunakan setiap kesempatan untuk menjadi yang
terbaik,” hal.264)
- Wira :
Pemarah, pemberani  “Di kananku, Wira si kera ngalam yang berparas putih ini telah
menjelma seperti udang rebus. Merah padam. Matanya tak lepas-lepas menantang telunjuk
Jumbo yang menghardiknya.” (hal. 55)
- Agam :
Mudah bergaul, humoris, baik hati, usil  “Agam adalah perekat kami. Dia selalu punya humor
heboh untuk diceritakan. Agam suka mengikat sepatu orang lain atau melempat bola kertas untuk
mengusili teman yang mengantuk.” (hal.59)
- Memet :
Cinta damai, suka membantu  “Memet juga berbadan subur, tapi kebalikan dari Agam. Dia
pecinta damai dan selalu melarang Agam berbuat usil. Kegiatan utama memet adalah sibuk
membantu siapa aja. Kalau kami kehausan, dia akan dengan senang hati mengangsurkan botol
minum.” (hal. 60)
Latar tempat :
- Danau maninjau  “Batu sebesar gajah ini menjorok ke Danau Maninjau, dianungi sebatang
pohon kelapa yang melengkung seperti busur.” (hal. 1)
- Kamar Alif  Kamarku kini seperti toko barang bekas (hal. 9)
- Kampus  “Kampusku, jurusan Hubungan Internasional, terletak di perbukitan Dago,
menempel dengan Dago Tea Huiss.” (hal. 64)
- Depan kos Bang Togar  “Dengan terengah-engah aku sampai juga di depan kos Bang Togar.”
(hal. 73)
- Bandung  “Hampir setahun aku di Bandung.” (hal. 83)
- Rumah kos Randai  “Akhirnya aku sampai di rumah kos Randai, sebuah rumah yang terjebak
diantara rumah-rumah penduduk di salah satu ujung gang.” (hal.44)
- Maninjau  “Dengan duit pinjaman dari Randai, malam itu juga aku pulang ke Maninjau.”
(hal. 86)
- Cibubur ”Begitu menginjakkan si Hitam di gerbang kamp persiapan Cibubur.” (hal. 218)
- Kota Amman  “Begitu satu bus besar kami membelah Kota Amman, Semua mata kami kini
terbuka lebar.” (hal. 238)
- Montreal  “Setelah beberapa hari di Montreal, aku mulai berani untuk berjalan-jalan sendiri.”
(hal. 261)
- Kanada ”Ternyata berburu di Kanada merupakan sebuah olahraga dan budaya.”
Latar waktu :
- Setahun Lalu  “Setahun lalu, beliaulah yang datang...” (hal. 5)
- Sudah beberapa minggu  “Sudah beberapa minggu Ayah terserang batuk.” (hal.31)
- Seminggu ini  “Seminggu ini aku rasanya ingin terus mengulum senyum.” (hal. 32)
- Empat tahun lalu  “Empat tahun lalu aku merantau ke Pondok Madani.” (hal. 37)
- Pada suatu pagi  “Pada suatu pagi, Bandung begitu gelap seperti sudah malam.” (hal. 81)
- Hampir setahun  “Hampir setahun aku di Bandung.” (hal. 83)
- Seminggu berlalu  “Seminggu berlalu”. (hal. 209)
- Hari Minggu pagi  “Hari Minggu pagi ini, Mado dan Ferdinand terus mondar mandir di
dapur.” (hal. 313)
- Lebih dari setengah jam  “Lebih dari setengah jam, Rusdi melampiaskan kegembiraannya
sampai aku iri dengan nasib baiknya ini.” (hal. 362)
- Beberapa bulan  “Tidak terasa sudah beberaoa bulan aku tinggal di tanah berbahasa Prancis
ini.” (hal. 420)
- Dalam hitungan bulan  “Dalam hitungan bulan, pelan-pelan, kami anak-anak Indonesia
menjelma menjadi selebriti lokal di Saint-Raymond.” (hal. 433)
Latar suasana :
- Menegangkan :
“Sepatu perahu Jumbo beringsut maju dan nyaris menginjak sepatu Wira. Tiba-tiba, entah dari
mana datangnya komando, aku melihat Wira berkelebat cepat. Dia bangkit dari jongkok,
menyergap dan menelikung tangan Jumbo. Agam yang jongkok di kiriku, tak disangka-sangka
juga bergerak.”
“Semakin dekat waktu pengumuman semakin kacau mimpiku dan semakin tidak enak
makanku.”
- Menyedihkan :
“Lalu beberapa isakan pecah pelan-pelan. Terbit dari arah Amak dan Adik-adikku. Pikiran-
pikiran aneh muncul silih berganti. Safya di bungsu yang sangat lengket dengan Ayah terus
memegang lengan Ayah.”
- Mengharukan :
“Rasanya setiap helai bulu di badanku berdiri tegak, seakan ingin ikut menghormat bendera.”
“Aku hanya bisa mengangguk-angguk sambil mengeratkan peganganku di tangan Amak yang
kurus dan mulai keriput. Aku bungkukan badan mencium tangan beliau.”
- Menyenangkan :
“Aku kini sudah jadi pemuda dewasa, lengkap dengan semua syarat yang disampaikan Raisa.
Saatnya aku akan sampaikan surat penting..”

Sudut pandang : orang pertama pelaku utama


 “..Aku duduk di bagian batu yang landai sambil menjuntaikan kaki.”
Gaya Bahasa : Resmi
Alur : Campuran
Alif, lulusan Pondok Madani yang bercita-cita ingin masuk universitas negeri. Ia
berjuang sangat keras sampai harus mengulang pelajaran SMA. Akhirnya, ia berhasil masuk
UNPAD lewat UMPTN. Banyak rintangan yang ia lalui dalam menempuh hidupnya, apalagi
setelah kematian Ayahnya yang membuat Alif hampir putus asa. Tapi buku diarynya semasa di
pondok mebuatnya bangkit kembali. Ingatannya kembali ke masa di mana kyai Rais, sosok
tauladan Pondok Madani, memberi nasihat dan petuah. Beliau selalu memberi jurus ampuh
seperti jurus dua golok dan mantra sakti “man shabara zhafira”. Sejak mengingat mantra itu,
Alif selalu dapat menyelesaikan masalahnya yang terus datang. Sampai akhirnya, semua mimpi
Alif tercapai. Ia berhasil menginjak tanah Aman, ke Amerika mewakili pelajar Indonesia,
menjadi relawan di stasiun TV di Kanada.
Amanat : Kejarlah mimpi dengan kerja keras yang maksimal, berdoa dan
berserah diri kepada Tuhan. Tetap pada prinsip serta tidak mudah menyerah adalah kunci
menuju keberhasilan hidup.

II. UNSUR EKSTRINSIK


1. Nilai Religius :
- Manusia berencana, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Hidup adalah soal
penyerahan diri. Apabila kita telah berusaha dengan segenap daya dan upaya, maka berserah
dirilah dengan tetap mengharap ridha Allah.
Bukti  “Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku
serahkan kepada putusan Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya. “
“Kalau aku sudah bingung dan terlalu capek menghadapi segala tekanan hidup, aku
praktikkan nasihat Kiai Rais, yaitu siapa saja yang mewakilkan urusannya kepada Tuhan, maka
Dia akan ‘mencukupkan’ semua kebutuhan kita.”
- Kita harus sabar dalam menjalani hidup.
Bukti  “Perjuangan tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan keikhlasan
untuk mendapat tujuan yang diimpikan. Kini, terang di mataku, inilah masa paling tepat buatku
untuk mencoba bersabar. Agar aku beruntung. Agar Tuhan bersamaku.”
2. Nilai Moral :
- Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, kita tidak boleh merendahkan dan meremehkan
kemampuan orang lain. Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk meraih
kesuksesan.
Bukti  “Randai hanya melirikku sambil tersenyum timpang seperti tidak yakin. Bola
matanya berputar malas. Lagaknya selalu kurang ajar.”
“Hmm, kuliah dimana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum?
Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?”
“Kalau gitu, jauh panggang dari apilah. Aden saja dua kali mencoba baru tembus. Padahal
NEM aden tinggi”
- Dalam setiap kesempatan dan kondisi tertentu, tetaplah menjadi diri sendiri dan berlaku
baik dalam segala hal, termasuk bersikap jujur.
Bukti  “Joki? Aku menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunanya ajaran Amak dan
Pondok Madani tentang kejujuran dan keikhlasan?”
- Kita harus berbakti kepada orang tua.
Bukti  “Aku mengambil piring bubur dari tangan Amak. Sesendok demi sesendok aku
suapi ayah. Sesekali aku bersihkan sisi bibirnya dengan saputangan.”
“Aku akan mendoakan Ayah dari sini. Aku akan mencoba menjadi anak yang saleh yang
terus mendoakanmu, supaya menjadi amalmu yang tidak akan putus. Aku akan mengingat
selalu nasihat terakhir Ayah.”
“Apa gunanya masa muda kalau tidak untuk memperjuangkan cita-cita besar dan membalas
budi orang tua? Biarlah tulang mudaku ini remuk dan badanku susut. Aku ikhlas mengorbankan
masa muda yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku.”
3. Nilai Sosial
- Sebagai makhluk sosial kita harus saling tolong-menolong dalam setiap keadaan.
Bukti :
“Untunglah Zulman, temanku yang resik menjaga catatannya, dan Elva, yang punya semua
buku SMA , bersedia meminjamiku.”
“Kalau tidak ada penjual bakso yang berbaik hati menunjukkan jalan, aku sudah pasti
tersesat di gang yang berliku-liku ini.”
“Lif, kita kan kawan, tinggal saja dulu disini sampai ketemu kos yang pas.”
“Kami berganti-ganti menjaga Rusdi di rumah sakit. Tapi hanya satu orang setiap kali yang
boleh berjaga dan sisanya menganggur. Melihat kami akan terlunta-lunta 3 hari di Amman, staf
kedutaan, Tyson, dan Kurdi bahu-membahu membantu kami dengan menyusun jadwal jalan-
jalan bagi kami ke sekitar Yordania.
- Mensedekahkan rezeki yang kita miliki kepada orang yang berhak.
Bukti  “Sore itu, aku datangi sebuah panti asuhan di Jalan Nilem. Aku kais-kais
lembar terakhir isi dompetku dan aku serahkan ke bapak pengurus panti itu.”
- Menjaga kepercayaan adalah hal yang penting dalam persahabatan.
Bukti  “Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari hubunganku dan Randai.
Kepercayaan. Dan sialnya masalah kepercayaan ini rusak hanya gara-gara pinjam-meminjam.”

4. Nilai Budaya
- Nilai ini mengandung kebiasaan yang pernah atau sering dilakukan tokoh bersama tokoh
yang lain.
Bukti  “Sejak kecil, kami konco palangkin. Kawan sangat akrab. Pada bulan puasa, kami
bahu-membahu menebang betung untuk membikin meriam bambu. Tapi malamnya kami saling
berlomba membuat meriam yang meletus paling keras.”
“Sejak kecil aku sering diajak Ayah menonton pertandingan sepak bola, mulai dari kelas
kampung sampai kabupaten. Selain berburu durian, menonton sepak bola adalah waktu khusus
aku dengan Ayah. Hanya kami berdua saja.”

5. Nilai Pendidikan
- Dalam hidup ini, manusia harus memiliki mimpi dan kemauan yang keras untuk meraih
mimpinya. Niat adalah awal yang baik dalam memulai mimpi.
Bukti  “Pagi itu, dengan mengepalkan tinjuku, aku bulatkan tekad, aku bulatkan doa: aku
akan lulus ujian persamaan SMA dan berperang menaklukkan UMPTN. Aku ingin membuktikan
kalau niat kuat telah dihunus, halangan apa pun akan aku tebas.”
“Bila aku bosan belajar, aku bisikkan ke diri sendiri nasihat Imam Syafi’i, “berlelah-
lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”
“Awalnya aku kesal, tapi lama-lama aku berpikir kenapa aku tidak menggunakan penolakan
sebagai pecut untuk malah bermimpi lebih besar: berburu beasiswa ke luar negeri.”
- Seberat apapun ujian yang kita dapatkan, maka janganlah bersikap pesimis dan rendah
diri. Tetap optimis, tetap berjuang dan tetap semangat.
Bukti  “Semakin banyak yang melihat aku dengan sebelah mata, semakin menggelegak
semangatku untuk membuktikan bahwa kita tidak boleh meremehkan orang lain, bahkan tidak
boleh meremehkan impian kita sendiri, setinggi apa pun.”
“Dengan segenap jiwa, aku tegaskan bahwa aku tidak mau menjadi pecundang, orang
yang kalah sebelum berjuang. Setiap pikiran sumbang yang mencoba tumbuh di kepalaku, aku
serang balik.”
- Dalam menjalani hidup, kita tidak boleh bermalas-malasan.
Bukti  “Coba kau lihat. Berapa pun mereka bekerja keras, kemungkinan besar mereka
tetap jadi orang miskin. Begitu juga anak keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya. Sedangkan
kau, boleh tidak punya duit, tapi kau ada kesempatan untuk berhasil, bahkan membantu orang
seperti mereka. Mereka tidak punya akses untuk pendidikan, kau punya. Kau orang yang
beruntung. Tidak pantas kau malas!”
“Dulu waktu aku baru merantau ke Bandung, aku tidak punya apa-apa. Hanya
modal nekat. Awalnya aku gampang mengasihani diriku sendiri, lalu malas-malasan dan
menyalahkan nasib. Tak sengaja aku lewat di dekat tempat ini. Aku melihat pedihnya hidup
mereka di kampung ini. Sampai disini aku baru tahu bahwa aku jauh lebih beruntung. Sungguh
tidak pantas aku bermalas-malasan.”
- Kesuksesan dan keberhasilan akan dapat kita raih dengan kesungguhan dan keseriusan
belajar.
Bukti  “Usaha yang sungguh-sungguh dan sabar akan mengalahkan usaha yang biasa-
biasa saja. Kalau bersungguh-sungguh akan berhasil, kalau tidak serius akan gagal. Kombinasi
sungguh-sungguh dan sabar adalah keberhasilan. Kombinasi man jadda wa jada dan man
shabara zhafira adalah kesuksesan.”

6. Nilai Estetika
- Nilai yang berkaitan dengan unsur cita dan keindahan yang nampak dalam kehidupan
tokoh sehari-hari.
Bukti  Langit bersih terang, Bukit Barisan menghijau segar, air Danau Maninjau yang biru
pekat, dan angin danau yang lembut mengelus ubun-ubun.
Kampusku, Jurusan Hubungan Internasional terletak di pinggang perbukitan Dago,
menempel dengan Dago Tea Huiss. Bangunannya tua, bergaya art deco yang lurus-lurus
dinanungi rimbunan pohon-pohon tanjung yang besar. Jalan aspal mendaki ke kampus ini
diseraki daun besar-besar yang gugur. Burung sibuk bercericit di sana-sini.
Begitu sampai di depan terminal kedatangan yang teduh, aku julurkan tanganku untuk
menyentuh daun maple yang selama ini hanya aku lihat di gambar. Daunnya agak lonjong
dengan gerigi besar-besar di sekelilingnya, permukaannya terasa kesat dan bertulang lunak. Ada
yang hijau segar, ada yang kuning, dan ada yang mulai memerah terang, bahkan ada daun yang
memuat kombinasi ketiga warna itu. Indah sekali.

Latar Belakang:
Ranah 3 Warna adalah buku ke-2 dari trilogi Negero 5 Menara. Ditulis oleh Ahmad
Fuadi, mantan wartawan TEMPO dan VOA, menerima 8 beasiswa luar negero dan penyuka
fotografi. Pernah tinggal di Kanada, Singapura, Amerika Serikat, dan Inggris. Alumni Pondok
Modern Gontor, HI Unpad, George Washington University dan Royal Holloway, University of
London ini meniatkan sebagian royalti trilogi ini untuk membangun Komunitas Menara, sebuah
yayasan sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu, yang berbasiskan
sukarelawan.

You might also like