You are on page 1of 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak


dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring
temasuk dalam lima besar tumor ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor
ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit),
sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF mendapat
persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas
hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam persentase rendah).
Santoso (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK
Unair Surabaya (1973-1976) diantara 8463 kasus keganasan diseluruh tubuh. Di
bagiam THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000-2002. Survei
yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology
based” mendapatkan angka pravalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000
penduduk atau diperkirakan 7000-8000 kasus per tahun diseluruh Indonesia.
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak
khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh
mereka yang bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya
metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya
diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.
Dengan melihat hal tersebut, diharapkan tenaga kesehatan khususnya
perawat dapat berperan dalam pencegahan, deteksi diri, terapi maupun rehabilitasi
dari karsinoma nasofaring ini. Penulis berusaha untuk menuliskan aspek-aspek
yang dirasakan perlu untuk dipahami melalui tinjauan pustaka dalam referat ini dan
diharapkan dapat bermanfaat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Asuhan keperawatan pada klien dengan karsinoma nasofaring ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan karsinoma nasofaring
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian karsinoma nasofaring


Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel
ephitalial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan
metastasis (Mangan, 2009).
Nasofaring adalah suatu rongga dengan dinding kuku di atas, belakang dan
lateral yang anatomi termasuk bagian faring (Pearce, 2009).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada ephitalial
pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang langit-langit rongga
mulut dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas daerah kepala dan leher
merupakan kanker nasofaring., kemudian diikuti tumor ganas hidung dan paranasal
(18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam
prosentase rendah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013).
Karsinoma Nasofaring sebagian besar adalah tipe epidermoid dengan
potensi invasi ke dasar tulang tengkorang yang menyebabkan neuropati kranial
(Lucente, 2011).
Pada banyak klien, karsinoma nasofaring banyak terdapat pada ras
monggoloid yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Thailand, Malaysia,
dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker
jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang ditemukan
secara genetik (Mangan, 2009).

2.2 Etiologi karsinoma nasofaring


Kanker ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio
2-3-1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada
hubugannya dengan faktor genetic, kebebasan hidup, pekerjaan dan lain-lain.
Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yang
bervariasi. Pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30
tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya (Ernawati,
Kadrianti, & Basri, 2004).
Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah
(Mangan, 2009):
1. Kerentanan Genetik
Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap
Ca Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki
fenomena agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA ( Human
luekocyte antigen ) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan
dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian menunjukkan bahwa
kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan, sehingga lebih
rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul
penyakit.
2. Virus Epstein Barr
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti
antigen kapsid virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini (EA), antigen
nuklir (EBNA), dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , menurut
(Zulkarnain Haq, 2011) alasannya adalah:
a. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB (
termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun rata-
rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita
jenis kanker lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer
antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali
meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk.
b. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA
virus dan EBNA.
c. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus
EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran
pembelahan inti juga banyak.
d. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat
menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus
manusia.
Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya
penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa
menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan
virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin
secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak. Mediator yang berpengaruh
untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia,
asap industri, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
4. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5. Radang kronis nasofaring
6. Profil HLA
(Huda Nurarif & Kusuma, 2013)
3. Faktor Lingkungan (Zulkarnain Haq, 2011)
Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat
berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
1. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring ,
kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 ug, jelas lebih
tinggi dari keluarga di area insiden rendah.
2. Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses timbulnya
kanker nasofaring.
3. Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan
kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin
volatil yang berefek mutagenik.
Pembagian Karsinoma Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013)
- Menurut Histopatologi :
1. Well differentiated epidermoid carconoma
 Keratinizing
 Non Keratinizing
2. Undiffentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
3. Adenocystic carcinoma
‐ Menurut bentuk dan cara tumbuh
1. Ulseratif
2. Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip
3. Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar
‐ Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
Tipe WHO 1
 Karsinoma sel skuamosa (KSS)
 Deferensiasi baik sampai sedang
 Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan)
Tipe WHO 2
 Karsinoma non keratinisasi (KNK)
 Paling banyak pariasinya
 Menyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3
 Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD)
 Seperti antara lain limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, “Clear Cell Carsinoma”,
varian sel epitel
 Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik

2.3 Anatomi fisiologi nasofaring


Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan
lateral, terletak di bawah dasar tengkorak, belakang naris posterior, dan di atas
palatum mole (Pearce, 2009). 4 batas nasofaring (Gibson, 2002) :
 Superior : Basis krani, diliputi oleh mukosa dan fascia
 Inferior : Bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat
subjektif karena tergantung dari palatum durum
 Anterior : Choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri
 Posterior : vertebra servicalis I dan II, Fascia space rongga yang berisi jaring
longgar, Mukosa lanjutan dari mukosa atas
 Lateral : Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang, Muara tuba eustachii,
Fossa rosenmulleri
Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang
konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas
muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarus dan
dibelakannya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas
posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi
pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga
mengganggu ventilasi udara telinga tengah (Anas, 2008).
Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh
lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior.
Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale,
foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting
diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial (Pratiwi,
2012).
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi
karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.
Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada
waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu (Pratiwi, 2012).
Struktur penting yang ada di Nasofaring (Gunardi & Saputra, 2012)
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan
karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum yang disebabkan karena
musculus levator veli palatini
4. Plica salpingopalatina. Lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan
dari musculus salpingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium
faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi
Karsinoma Nasofaring
7. Tonsila Pharingea, dibentuk oleh jaringan limfoid yang terbenam di dinding
posterior nasopharing. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada
inflamasi disebut adenoiditis
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus
9. Isthmus pharinggeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan
oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

Fungsi nasofaring
 Sebagai jalan udara pada respirasi
 Jalan udara ke tuba eustachii
 Resonator
 Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

2.4 Tanda dan gejala karsinoma nasofaring


Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari
nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam
ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar
tulang tengkorok atau palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya
ke kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru,
mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah
yang terkena. Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar
10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri
merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Gejala dini karsinoma nasofaring
sulit dikenali oleh karena mirip dengan saluran nafas atas (Lucente, 2011).
Pada Karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi
awal. Karena lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan
tuba dengan tuli konduktif sebagai keluhan. Perluasan infiltratif karsinoma
nasofaring berikutnya membangkitkan perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan
napas melalui hidung. Setelah itu, pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan
menelan dan kelumpuhan otot mata luar (paralisis okular) (Muttaqin, 2008).
Gejala nasofaring yang pokok adalah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
1. Gejala Hidung
 Epiktasis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan
 Sumbatan Hidung : sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga
nasofaring dan menutupi koana, gejalanya adalah pilek kronis, ingus kental,
gangguan penciuman
2. Gejala Telinga
 Kataralis/Oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula pada fossa rosenmuler,
pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba (berdengung,
rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)
 Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
 Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan dengan
tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif
3. Gejala Mata
 Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda)
akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan
kebutaan
4. Gejala Lanjut
 Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapt mencapai
kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang
biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjola di leher bagian samping, lama-
kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot
sehingga sulit digerakkan
5. Gejala Kranial
Gejala Kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf
kranialis. Gelajanya antara lain :
 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen
 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang
 Kerusakan pada waktu menelan
 Afoni
 Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N.
XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada Lidah, palatum, Faring atau
laring, M. Sternocleidomastoideus, dan M. trapezeus

2.5 Patofisiologi karsinoma nasofaring


Sel-sel epitel ganas nasofaring adalah sel poligonal besar dengan komposisi
syncytial. Sel-sel tidak menunjukkan parakeratosis atau kornifikasi dan sering
bercampur dengan sel-sel limfoid di nasofaring, sehingga dikenal sebagai
lymphoepithelioma. Sudah hampir dipastikan ca nasofaring disebabkan oleh virus
eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten
pada penderita ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan
protin tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus di dalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai
tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1
adalah protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV
tersebut mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta
pemaparan zat-zat karsinogen yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel
abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein
laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring,
dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller (Wei & Sham, 2005).
Penggolongan Ca Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
Tumor Size (T)
1. T : Tumor primer
2. T0 : Tidak tampak tumor
3. T1 : Kanker terbatas di rongga nasofaring
4. T2 : Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah parafaring di
anterior dari garis SO ( garis penghubung prosesus stiloideus dan margo
posterior garis tengah foramen magnum os oksipital ).
5. T3 : Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis kranial,
fosa pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf kranial kelompok
anterior atau posterior.
6. T4 : Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau kanker
mengenai sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-temporal.
Regional Limfe Nodes (N)
7. N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .
8. N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter < 4 cm.
9. N2 : Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm.
10. N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter > 7 cm
Metastase Jauh (M)
11. M0 : Tak ada metastasis jauh.
12. M1 : Ada metastasis jauh.
Penggolongan stadium klinis, antara lain :
1. Stadium I : T1N0M0
2. Stadium II : T2N0 – 1M0, T0 – 2N1M0
3. Stadium III : T3N0 - 2M0, T0 – 3N2M0
4. Stadium Iva : T4N0 – 3M0, T0 – 4N3M0
5. Stadium Ivb : T apapun, N Apapun, M1
2.6 Pencegahan Karsinoma nasofaring
1. Ciptakan lingkungan hidup dari lingkungan kerja yang sehat, serta usahakan agar
pergantian udara lancar.
2. Hindari polusi udara, seperti kontak dengan gas hasil kimia, asap industri, asap
kayu, asap rokok, asap minyak tanah, dan polusi lain yang mengaktifkan virus
Epstein Bar.
3. Hindari mengkonsumsi makanan yang diawetkan, makanan yang panas, atau
makanan yang merangsang selaput ledir.
(Mangan, 2009)

- Geografis - infeksi
- Jenis kelamin - Genetik
- Pekerjaan - Gaya Hidup
- Makanan diawetkan
Virus Eistain Barr
2.6 Patway Karsinoma Nasofaring
Metastasis sel-sel kanker getah bening melalui aliran limfe
Nyeri
Penyumbatan Muara tuba
Karsinoma Nasofaring
Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel kanker di kelenjar getah bening
Pertumbuhan sel abnormal
Kelenjar melekat pada otot dan sulit digerakkan
Penekanan pada tuba eustacius
Benjolan massa pada leher bagian samping
Menembus kelenjar dan mengenai otak dibawahnya
Obstruksi jalan nafas
Hidung tersumbat dan adanya sekret
Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Mengiritasi sel nasofaring
Hambatan komunikasi verbal
Gangguan Pendengaran

Infeksi dan menutupi koana


Tumor mula-mula pada fossa rosenmuler
Gangguan harga diri rendah
Perubahan sel pada nasofaring
Obstruksi pada waktu menelan
Suplai nutrisi jaringan menurun
Intake kurang
BB menurun
Ketidakseimbangan nutrisi kuramg dari kebutuhan tubuh
Berdengung
Resiko infeksi
ketidakkuatan pertahanan sekunder imunosupresi
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut (Lucente,
2011) :
1. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.
Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral,
limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang
tak jelas, dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan
nasofaringoskop indirek atau elektrik.
2. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.
3. Pemeriksaan saraf kranial
Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai
prosedur rutin satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot
kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan hasil
yang positif
4. Pemeriksaan serologi virus EB
Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring
adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring
berkaitan dengan kadar dan perubahan antibodi tersebut. Bagi yang termasuk salah
satu kondisi berikut ini dapat dianggap memilki resiko tinggi kanker nasofaring :
i. Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80
ii. Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara
tiga indikator tersebut positif.
iii. Dua dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan
titer yang tinggi kontinyu atau terus meningkat.
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan
nasofaringoskop elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan
adalah perubahan serologi virus Eb dapat menunjukkan reaksi positif 4 – 46 bulan
sebelum diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.

 Diagnosis pencitraan (Lucente, 2011).


1. Pemeriksaan CT Scan : makna klinis aplikasinya adalah membantu
menggambarkan invasi baik ke bidang fasial paranasofaringeal dan invasi tulang
tengkorak tanpa kelumpuhan nervus kranialis, memastikan luas lesi, penetapan
stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan zona target terapi, merancang
medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan
tingkat lanjut (Schwartz, 2000).
2. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat
serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari
pada CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan
luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam
membedakan antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor , MRI juga lebih
bermanfaat .
a. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring
dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT,
umumnya lebih dini 4-6 bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan,
lesi umumnya tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak
sebagai area defek radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk metastasis tulang,
namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi radioaktivitas ,
harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan rudapaksa operasi, fruktur,
deformitas degeneratif tulang, pengaruh radio terapi, kemoterapi, dll.
b. PET (Positron Emission Tomography) : disebut juga pencitraan biokimia
molukelar metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme
glukosa dari zat kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan
hingga mendapat gambar PET-CT . itu memberikan informasi gambaran biologis
bagi dokter klinisi, membantu penentuan area target biologis kanker nasofaring ,
meningkatka akurasi radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan rudapaksa
radiasi terhadap jaringan normal berkurang.
 Diagnosis histologi (Zulkarnain Haq, 2011)
Pada pasien kanker nasofaring sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer
nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh
diagnosis histologi yang jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan
diagnosis patologik pasti barulah dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.
Pemeriksaan adanya kanker nasofaring dapat dilakukan dengan
pemeriksaan nasofaringoskopi, Rinoskopi anterior dan posterior menujukkan tumor
pada nasofaring. Selanjutnya untuk menentukan jenis tumor perlu diadakan biopsi
dan pemeriksaan patologi. Foto rontgen kepala dan CT-scan jika perlu dibuat untuk
melihat metastasis ke intrakranial (Herawati & Rukmini, 2000).

2.8 Penatalaksaan Karsinoma Nasofaring


a. Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan standar untuk karsinoma nasofaring. Tetapi hal ini
dapat menghasilkan komplikasi yang tidak diinginkan karena lokasi tumor di dasar
tengkorak dan organ yang rentan terhadap radiasi termasuk batang otak, sumsum
tulang belakang, hipofisis hipotalamus axis, temporal lobus, mata, telinga tengah
dan dalam, dan kelenjar parotis (Wei & Sham, 2005).
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut, bila
ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat
berupa diseksi leher (benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau
timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih
dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor
transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus (Pratiwi, 2012).

b. Kemoterapi
Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan
kemoradioterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF
( DDP + 5FU ), kaboplatin+5FU, paklitaksel +DDP, paklitasel +DDP +5FU dan
DDP gemsitabin , dll (Wei & Sham, 2005).
DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum kemoterapi ,
lakukan hidrasi 3 hari )
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinyu intravena.
Ulangi setiap 21 hari atau:
Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.
5FU : 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu.
Ulangi setiap 21 hari.
c. Terapi Biologis
Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.
d. Terapi Herbal TCM
Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi
radiokemoterapi , fuzhengguben ( menunjang, memantapkan ketahanan tubuh) ,
kasus stadium lanjut tertentu yang tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi masih
dapat dipertimbangkan hanya diterapi sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM
dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini masih dalam penelitian lebih
lanjut.
e. Terapi Rehabiltatif
Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat
bervariasi. Oleh karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan
memperbaiki kualitas hidupnya.
f. Rehabilitas Psikis
Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang
untuk disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari situasi emosi
depresi.
g. Rehabilitas Fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya merasakan
kekuatan fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun. Harus
memperhatikan suplementasi nutrisi , berolahraga fisik ringan terutama yang statis,
agar tubuh dan ketahanan meningkat secara bertahap.
h. Pembedahan
Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :
1. Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif terlokalisasi.
2. 3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer nasofaring
3. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
4. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa
grade I, II, adenokarsinoma.
5. Komplikasi radiasi.
(Zulkarnain Haq, 2011)

2.9 Proknosis dari karsinoma nasofaring


Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa)
memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring
tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, metastasis
lebih mudah terjadi (Pratiwi, 2012). Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5
tahun adalah 45%, tetapi pada stadium lanjut kurang dari 3 tahun. Prognosis
diperburuk oleh beberapa faktor, seperti:
 Stadium yang lebih lanjut
 Usia lebih dari 40 tahun
 Laki-laki dari pada perempuan
 Ras Cina dari ras kulit putih
 Adanya pembesaran kelenjar leher
 Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
 Adanya metastasis jauh 12,16

2.10 Komplikasi pada Karsinoma Nasofaring


Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu
komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah
nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk (Pratiwi, 2012) :
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas tengkorok lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus
menekan saraf N. III. N. IV, N.VI juga menekan N.II yang menekan kelainan :
 Neuralgia trigeminus (N.V) : Trigeminal neuralgia meupakan suatu nyer pada
wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas
pada daerah disribusi dari nervus trigeminus.
 Plosis palpebra (N. III)
 Ophthalmoplegia (N. III, N. IV)

2. Retropariden sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah retropharing
dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N.
XII dengan manifestasi gejala.
 N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta
gangguan pada sepertiga belakang lidah.
 N. X : hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring, disertai
gangguan respirasi dan saliva.
 N. XI : kelumpuhan/atrofi oto trapezius, otot SCM serta hemiparese palatum mole.
 N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
 Sindrom horner : kelumpuhan N, simpaticus servicalis, berupa penyempitan disura
palpebralis, Onoftalmus dan miosis.

Sel-sel kanker dapat mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati,
dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam
penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan
metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20% sedangkan ke hati
10%, ginjal 0,4%, dan tiroid 0,4%.

BAB III
Asuhan Keperawatan Karsinoma Nasofaring
3.1 Pengkajian
A. Identitas
1. biodata klien
a. Nama : tidak mempengaruhi
b. Tempat tanggal lahir : tidak mempengaruhi
c. Umur : meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan
menurun setelahnya
d. Jenis Kelamin : Lebih dominan Laki-laki daripada perempuan
e. Suku Bangsa : lebih dominan ras cina
f. Status Perkawinan : tidak mempengaruhi
g. Pendidikan : bagi orang yang tingkat pendidikan rendah/minim mendapatkan
pengetahuan penyakit ini maka akan mengabaikan bahayanya penyakit ini
h. Pekerjaan : bagi orang yang tempat kerjaannya sering kontak dengan zat karsinogen
dan penghasilan kurang sehingga kebutuhan sosial ekonomi rendah maka akan
menyebabkan dan memperparah penyakit ini
i. Status Ekonomi : Lebih banyak dimiliki status ekonomi menegah ke bawah yang
sering mengkonsumsi ikan asin
j. Alamat : mungkin dipengaruhi lingkungan dan kebiasaan hidup di rumah yang
kurang sehat
k. Tanggal Masuk : tidak mempengaruhi
l. No. Register : tidak mempengaruhi
2. Penanggung Jawab
a. Nama :
b. Alamat :
c. Umur :
d. Jenis Kelamin :
e. Pendidikan :
f. Tempat/Tanggal Lahir :
g. Hubungan dengan klien :

B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama (keluahan yang pertama kali dirasakan dan diucapkan klien) Leher
terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan, hidung terasa
tersumbat, telinga seperti tidak bisa mendengar, penglihatan berkunang-kunang,
badan merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu singkat.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang (Tanyakan keluhan yang dirasakan sekarang)
P : Nyeri karena gangguan pada nasofaring
Q : Nyeri tak terbayangkan dan tak dapat diungkapkan, terlihat membesar pada
bagian leher dan terasa banyak gangguan pada hidung, telinga, dan mata, nyeri
dirasakan setiap waktu
R : Keluhan dirasakan pada bagian dalam hidung, telinga, mulut dan menyebar
S : Keluhan yang dirasa mengganggu aktivitas, skala nyeri 10
T : Nyeri hilang timbul dan lebih sering saat bernafas dan menelan, keluhan muncul
secara bertahap
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu (Tanyakan apakah klien pernah menderita penyakit
yang mempermudah terjadinya ca nasofaring)
Mempunyai profil HLA, pernah menderita radang kronis nasofaring
4. Riwayat Kesehatan Keluarga (Tanyakan apakah ada kluarga yang menderita
penyakit yang menyebabkan ca nasofaring)
5. Riwayat Kesehatan Lingkungan (Tanyakan tentang lingkungan klien)
Terbiasa terhadap lingkungan karsinogen

C. Pola Kesehatan Fungsional (Hidayat & Alimul, 2007)


1. Pola persepsi kesehatan – pemeliharaan kesehatan
Pada klien ca nasofaring terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat
karena kurangnya pengetahuan tentang dampak sehingga menimbulkan presepsi
yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang
benar dan mudah dimengerti pasien.
2. Pola metabolisme nutrisi
Akibat adanya pembekakan pada saluran pernafasan atas shingga menimbulkan
keluahan nyeri pada leher, susah menelan, berat badan menurun dan lemas.
Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan
metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan penderita.
3. Pola eliminasi
Akibat kurangnya konsumsi air putih menyebabkan volume kencing berkurang,
susah kencing. Pada eliminasi alvi terdapat gangguan, klien buang air besar tidak
teratur.
4. Pola aktivitas
Adanya Ca Nasofaring menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan
aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami lemah dan letih.
Klien biasanya bekerja diluar rumah, tapi saat ini klien hanya beristirahat di Rumah
Sakit.
5. Pola istirahat – tidur
Adanya Ca nasofaring membuat klien mengalami perubahan pada pola tidur. Klien
kurang tidur baik pada waktu siang maupun malam hari. Klien tampak tergangu
dengan kondisi ruang perawatan yang ramai. Dan adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur misalnya nyeri, ansietas, berkeringat malam.
6. Pola kognitif – persepsi
Klien mampu menerima Pengetahuan, ide persepsi, dan bahasa. Klien mampu
melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa dengan baik.
7. Pola persepsi diri – konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan
gangguan peran pada keluarga. Klien mengalami cemas karena kurangnya
pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan
yang diprogramkan.
8. Pola hubungan – peran
Ca nasofaring yang sukar sembuh menyebabkan penderita malu dan manarik diri
dari pergaulan.
9. Pola seksual – reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta
memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Selama dirawat di rumah
sakit klien tidak dapat melakukan hubungan seksual seperti biasanya.
10. Pola penanganan masalah – strees – toleransi
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit kronik, perasaan tidak berdaya
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung, kehilangan kontrol, dan menarik diri dapat
menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang
konstruktif/adaptif. Klien merasa sedikit stress menghadapi tindakan
kemoterapi/sitotraktika karena kurangnya pengetahuan.
11. Pola keyakinan – nilai-nilai
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta Ca nasofaring
tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi
pada ibadah penderita.

D. Pemeriksaan Fisik
1. Penampilan atau keadaan umum
Secara keseluruhan keadaan tidak baik, BB menurun
2. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien tidak begitu terkontrol, mata : 2, Respon Verbal : 5, Respon motor
: 4, indra penciuman terganggu, ketajaman terganggu, berjalan sempoyongan, tidak
bisa seimbang
3. Tanda-Tanda Vital
1. Suhu Tubuh : 37,5oC
2. Tekanan Darah : 140/90 mmHg
3. Nadi : 94 x/menit
4. RR : 24 x/menit
4. Pemeriksaan Head to Toe
a. Pemeriksaan Kepala
1. Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, bulat sempurna,
tidak ada deformitas, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala) Palpasi
(tidak ada nyeri tekan)
2. Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala bersih, tidak ada lesi, tidak ada skuama, tidak
ada kemerahan, tidak ada nevus)
3. Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah bingung, keadaan simetris, tidak ada edema, dan
tidak ada massa) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)
4. Rambut : Inspeksi (rambut kotor, ada ketombe, ada uban) Palpasi (rambut rontok)
5. Mata : Inspeksi (bulat besar, bersih tidak cowong, simestris, konjungtiva tidak
anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 3 mm, reflek cahaya positif,
gerakan mata tidak normal, fungsi penglihatan tidak terlalu baik) Palpasi (bola
mata normal, tidak ada nyeri tekan)
6. Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada lendir, ada polip, ada pernafasan
cuping hidung, ada deviasi septum, mukosa lembab, kesulitan bernafas, warna
cokelat, tidak ada benda asing) Palpasi (tidak ada nyeri tekan)
7. Telinga : Inpeksi (Simetris, bersih, fungsi pendengaran kurang baik, tidak
ada serumen, tidak terdapat kelainan bentuk) Palpasi (normal tidak ada lipatan,
ada nyeri)
8. Mulut : Inspeksi (kotor, tidak ada stomatitis, mukosa bibir lembab, lidah
simetris, lidah kotor, gigi kotor, ada sisa makanan, berbau, gigi atas dan bawah
tanggal 3/2, sebagian goyang, faring ada pembekakan, tonsil ukuran tidak
normal, uvula tidak simetris) Palpasi (tidak ada lesi)
9. Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp, ada
pembesaran limfe, leher panas)
b. Pemeriksaan Dada dan Thorak
1. Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada tidak normal, tidak ada batuk, nafas
dada, frekuensi nafas 24 x/menit.
Palpasi : Suara fremitus kanan-kiri, tidak ada nyeri tekan, .
Perkusi : Sonor pada saluran lapang paru.
Auskultasi : Suara dasar paru vesikuler, tidak ada weezing.
2. Jantung :
Inspeksi : Normal (Iktus kordis tidak tampak).
Palpasi : Normal (Iktus kordis teraba pada V±2cm)
Perkusi : Normal (Pekak)
Auskultasi : Normal (BJ I-II Murni, tidak ada gallop, tidak ada murmur)
c. Pemeriksaan Payudara
Inspeksi : Bersih, tidak ada pembekakan, bentuk simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
d. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut datar, tidak ada bekas post operasi, warna cokelat, permukaan
normal
Auskultasi : Bising usus 10x/menit
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak teraba, limpa
tidak teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada Titik Mc.
Burney
Perkusi : Timpani, tidak ada cairan atau udara
e. Pemeriksaan Anus dan Genitalia
1. Anus
Inspeksi : Warna cokelat, tidak ada bengkak atau inflamasi
Palpasi : Feses keras, tidak ada darah, tidak ada pus, tidak ada darah
2. Genitalia
Wanita
Inspeksi : Warna merah muda, tidak berbau, tidak ada lesi, nodul, pus, daerah
bersih, bentuk simetris, tidak varices
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, Fungsi Reproduksi baik, tidak terpasang DC
Laki-Laki
Inspeksi : Ada rambut pubis, kulit penis normal, lubang penis ditengah, kulit
skrotum halus, tidak ada pembekakan, posisi testis norma
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada batang penis dan skrotum
f. Pemeriksaan Ekstremitas
1. Ekstremitas Atas :
Inspeksi : Jari tangan lengkap, kuku bersih, bentuk simetris, tidak ada sianosis di
lengan kanan atas, tidak ada edema.
Palpasi : Denyut nadi 94 x/menit, kuku normal, kekuatan menggenggam normal
2. Ektremitas Bawah :
Inspeksi : bentuk simetris, warna kulit cokelat, kuku bersih, ada bulu, tidak ada
lesi, tidak ada edema, tidak ada sianosis, persendian normal.
Palpasi : Nadi 94 x/menit, tidak ada nyeri tekan
3. Tulang Belakang :
Inspeksi : Postul normal, vertebra normal, lengkungan normal
Palpasi : Otot bekerja baik
g. Pemeriksaan Kulit
Inspeksi : Kulit bersih, Kulit pucat, kulit kering, tidak ada lesi
Palpasi : Tekstur tidak normal pada bagian leher, ada turgor

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Labolatorium
o Hb : 11,9 g/dl
o Leukosit : 3000 sel/mm3
o Trombosit : 556000/mm3
o Ht : 35,4%
o Eritrosit : 4,55 x 106/mm3
o LED : 10

Pemeriksaan Diagnostik
1. Otoskopi : Melihat Liang telinga, membran timpani
2. Nasofaringoskopi : Ada massa di hidung atau nasofaring
3. Rinoskopi anterior : Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung
mungkin hanya banyak sekret. Sedangkan pada tumor eksofilik tampak tumor di
bagian belakang rongga hidung, tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum
mole negatif.
4. Rinoskopi posterior : Pada tumor endofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring
tampak lebih menonjol, tak rata, dan puskularisasi meningkat. Sedangkan pada
tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
5. Biopsi multiple
6. Radiologi : Thorak PA, Foto tengkorak, CT Scan, Bone Scantigraphy (bila
dicurigai metastase tulang)
7. Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor kejaringan
sekitar yang menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak, manifestasi
tergantung dari saraf yang dikenai

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut b.d metastase sel kanker
2. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas b.d adanya bendaa asing (tumor ganas)
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan yang
kurang
4. Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan status organ sekunder metastase tumor
5. Resiko infeksi b.d ketidakkuatan pertahanan sekunder imunosupresi
6. Harga diri Rendah b.d perubahan perkembangan penyakit

3.3 Contoh Intervensi Keperawatan


Tgl/J
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional TTD
am
Setelah dilakukan O: Observasi reaksi  Informasi
tindakan keperawatan nonverbal dari memberikan data
selama 2 x 24 jam klien ketidaknyamanan dasar untuk
diharapkan nyeri dapat O: Kaji dan monitor mengevaluasi
1.
berkurang dan terkontrol. berapa skala nyeri kebutuhan/keefektifan
KH : O: Lakukan dengan intervensi
K : Klien mampu komunikasi terapeutik  Untuk menjaga
menunjukkan tingkat kenyamanan pasien
nyeri dengan N: Pantau aktivitas  Meningkatkan
menunjukkan skala nyeri klien, cegah hal-hal relaksasi dan
(0-10) yang bisa memicu pengalihan perhatian
A : Klien mampu terjadinya nyeri  Mengurangi rasa
mengutarakan N: Bantu klien untuk ketidaknyamanan
ketidaknyamanan dengan lebih berfokus pada karena nyeri
yang dikeluhkan aktivitas bukan pada  Membantu
P : Klien merasa nyeri menurunkan ambang
nyerinya sudah N: Lakukan presepsi nyeri
berkurang penanganan nyeri  Mengurangi rasa
P : Setelah dilakukan dengan relaksasi nyeri
tindakan keperawataan E: Berikan sokongan
klien dapat melakukan (support) pada
aktifitas dengan normal. ektremitas yang luka.
Skala nyeri : 6 C: Kolaborasi
pemberian obat-obatan
analgesik
Setelah dilakukan O: Monitor TTV, Klien  Untuk mengetahui
tindakan keperawatan dianjurkan untuk napas TTV dan
selama 2 x 24 jam klien dalam sebelum memudahkan tindakan
diharapkan dapat dilakukan tindakan  Untuk mengetahui
mempertahankan jalan O: Kaji kebutuhan oral sumbatan
nafas tetap terbuka dan O: Klien dianjurkan  Untuk meringankan
bersihan jalan nafas untuk istirahat dan bebab klien
2.
paten. napas dalam setelah  Memungkinkan untuk
KH : dilakukan tindakan pengembangan
K : Klien dapat N: Atur posisi klien maksimal rongga dada
menunjukkan jalan nafas dengan bagian kepala
 Membedakan suara
yang paten tempat tidur ditinggikan
nafas
0
A : Klien mampu 45
mengidentifikasi dan
mencegah faktor yang N: Auskultasi suara  Supaya tidak terjadi
dapat menghambat jalan nafas sebelum dan infeksi
nafas sesudah suctioning  Untuk memudahkan
P : Klien mampu batuk N: Menggunakan alat pengeluaran sekret
efektif dan suara nafas yang steril  Untuk memudahkan
yang bersih, tidak ada N: Menginstruksikan pengeluaran sekret
sianosis, dan dyspneu klien tentang batuk dan  Jalan napas tetap
P : Nasofaring dapat teknik napas dalam stabil
bekerja dengan baik, N: Penghisapan
 Kelembaban
respirasi dalam batas nasofaring untuk
menurunkan
normal 16-20x/menit mengeluarkan sekret
kekentalan sekret
TTV N: Monitor respirasi
 Supaya pasien
Suhu : 36,00C dan status O2
mengerti
TD : 140/90 mmHg N: Berikan
 Untuk memudahkan
Nadi : 70 x/menit udara/oksigen yang
pengobatan
RR : 20 x/menit telah dihumidifikasi
E: Jelaskan pada klien
tentang suctioning
C: Kolaborasi
melakukan fisioterapi
dada, melakukan
suction, memberi
bronkodilstor bila perlu
Setelah dilakukan O: Kaji dan hitung  Untuk mengetahui 
tindakan keperawatan kadar nutrisi pada klien tentang keadaan dan
selama 2 x 24 jam klien O: Kaji kemampuan kebutuhan nutrisi
3.
diharapkan mendapatkan klien untuk pasien sehingga dapat
nutrisi yang seimbang. mendapatkan nutrisi diberikan tindakan
KH : yang dibutuhkan dan pengaturan nutrisi
K : Klien mengetahui O: Monitor  Untuk mencegah
penyebab kekurangan pertumbuhan dan kekurangan nutrisi
nutrisi perkembangan nutrisi  Untuk memenuhi
A : Klien dapat N: Berikan makanan kebutuhan asupan
menutarakan sedikit dan sering kalori yang adekuat
ketidaknyamanan dengan bahan makanan  Kebutuhan terhadap
keadaan sekarang yang tidak bersifat diet dapat mencegah
P : Klien mampu iritatif komplikasi
mengatur pola makan N: Anjurkan pasien  Mengetahui
dan kebutuhan nutrisi untuk mematuhi diet perkembangan berat
P : Klien tidak mersakan yang telah badan
tubuh lemas, berat badan diprogramkan
 Untuk memudahkan
naik, dan nafsu makan N: Berikan substansi
klien menelan
bertambah gula
 Kebutuhan pasien
N: Timbang klien pada
teratasi
A= BB : menurun interval yang tepat
 Untuk memenuhi
B= HB : turun N: Ubah posisi pasien
kebutan nutrisi
C= Klien biasanya semi fowler atau fowler
 Untuk memberikan
tampak lemas dan pucat, tinggi
nutrisi maksimal
kulit kering E: Ajarkan klien
dengan upaya minimal
D= Porsi makan bagaimana membuat
pasien / penggunaan
berkurang biasanya 3 kali catatan makanan harian
energi
menjadi 1 kali E: Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi
E: Jelaskan bagaimana
tanda-tanda kekurangan
nutrisi
C: Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan klien
Setelah dilakukan O: Kaji kemampuan  Untuk memudahkan 
tindakan keperawatan klien untuk intervensi kepada
selama 2 x 24 jam klien menghindari infeksi klien
diharapkan tidak terjadi O: Monitor TTV, tanda  Merupakan tanda
infeksi. dan gejala infeksi adanya infeksi apabila
KH : sistemik dan lokal terjadi peradangan
K : Klien mengetahui O: Monitor kerentanan  Untuk melindungi
proses penularan terhadap infeksi tubuh terhadap infeksi
penyakit dan faktor N: Intruksikan untuk  Meminimalkan
penularan menjaga hygiene penyebaran dan
A : Klien menunjukkan personal penularan agens
suhu norma dan tanda- N: Berikan perawatan infeksius
tanda vital normal kulit pada area epidema
 Untuk Mencegah
P : Klien mampu N: Inspeksi kulit dan
infeksi semakin
4. mencegah infeksi dan membran mukosa
bertambah
melakukan hidup sehat terhadap kemerahan,
 Supaya personal
P : Klien bernafas panas, drainase
hygiene terjaga
normal, melakukan nafa E: Batasi pengunjung
 Untuk menjaga
dalam untuk mencegah E: Pertahankan
penularan infeksi
disfungsi dan infeksi lingkungan aseptik
 Antibiotik dapat
respiratori E: Ajarkan klien dan
mencegah sekaligus
TTV keluarga tanda dan
membunuh kuman
Suhu : 36,00C gejala infeksi serta cara
penyakit untuk
TD : 140/90 mmHg menghindari infeksi
berkembangbiak
Nadi : 70 x/menit E: Ajakan pengunjung
RR : 20 x/menit untuk mencuci tangan
C: Memberi terapi
antibiotik bila perlu
Infection Protection
Setelah dilakukan O: Kaji  Untuk mengetahui 
tindakan keperawatan ketidakmampuan klien tingkat kemampuan
selama 2 x 24 jam dalam kemampuan dan ketidakmampuan
ganguan komunikasi untuk berbicara, klien dalam
verbal dapat teratasi. mendengar, menulis berkomunikasi
KH : membaca, dan  Untuk membantu
K : Klien mengerti memahami pasien agar cepat/
penyebab tidak bisa N: Berdiri didepan mudah berkomunikasi
berkomuunikasi pasien saat berbicara  Alat bantu dengar
A : Klien dan bicara agak keras dapat membantu
mengungkapkan tidak N: Dorong klien untuk pendengaran sehingga
bisa mengontrol respon berkomunikasi secara dalam berkomunikasi
ketakutan dan kecemasan perlahan dan klien dapat
5.
terhadap ketidakmapuan mengulangi permintaan melakukannya
mendengar E: Anjurkan kepada  Untuk memelihara
P : Klien merasa nyeri pasien dan keluarga kepercayaan dan
saat berkomunikasi tentang alat bantu mengurangi frustasi
hilang mendengar
 Untuk membantu
P : Klien mampu E: Anjurkan keluarga
pasien mudah
mengontrol respon, untuk memberi stimulus
berkomunikasi
memanajemen komunikasi
kemampuan fisik yang C: Konsultasikan
dimiliki, dengan dokter
mengkomunikasikan kebutuhan mendengar
kebutuhan dengan
lingkungan sosial
Setelah dilakukan O: Monitor frekuensi  Untuk mengetahui 
tindakan keperawatan komunikasi verbal klien seberapa lancar
6. selama 2 x 24 jam negative berkomunikasi
gangguan harga diri O: Kaji alasan untuk
pasien teratasi. mengkritik atau
KH : menyalahkan diri  Supaya klien tidak
K : Klien mampu sendiri lagi menyalahkan diri
mengenali kekuatan diri N: Dorong klien sendiri
A : Klien mengidentifikasi  Untuk menguatkan
mengungkapkan kekuatan dirinya diri klien
perubahan gaya hidup N: Dukung peningkatan  Untuk meningkatkan
tentang perasaan tidak tanggung jawab diri rasa tanggung jawab
berdaya, dan keinginan N: Dukung Klien untuk dan bisa menerima
untuk mendapatkan menerima tantangan keadaan
konseling baru  Untuk meningkatkan
P : Klien mampu E: Ajarkan rasa percaya diri
menerima diri, menerima Keterampilan perilaku
 Untuk Menambah
kritik dari orang lain dan yang positif
rasa percaya diri pada
komunikasi terbuka E: Tunjukkan rasa
klien dan lebih mudah
P : Klien dapat percaya diri terhadap
untuk
beradaptasi terhadap kemampuan klien
mengaplikasikannya
penyakit, percaya diri, C: Kolaborasi dengan
optimis tentang masa sumber-sumber lain
depan, dan merubah (petugas dinas social,
hidup perawat spesialis klinis,
dan layanan keagamaa)

3.5 Contoh Implementasi Keperawatan


Tgl/jam No. Dx Implementasi Respon Pasien TTD
Senin, Mengkaji keluhan utama DS : Klien
1/06/2015 Mengkaji tingakat nyeri mengatakan nyeri
07.15 Dan monitor TTV pada bagian leher
1
P : Nyeri karena
07.20 Memberikan cairan infuse gangguan pada
nasofaring
07.25 Memberian obat-obatan Q : Nyeri seperti
analgesik ditekan-tekan, terlihat
membesar pada
07.30 Lakukan penanganan nyeri bagian leher
dengan relaksasi dan R : Nyeri pada hidung,
memberi sokongan telinga, mulut dan
(support) pada ektremitas menyebar
07.45 yang luka S : Skala nyeri 5
T : Mulai 3 bulan
yang lalu, nyeri hilang
timbul dan lebih
sering saat bernafas
dan menelan
DO : Klien terlihat
menahan sakit, prilaku
hati-hati, dan merintih
08.00 Memposisikan pasien semi DS : Klien
fowler mengatakan kesulitan
2 bernafas pada hidung
08.15 Auskultasi suara nafas DO : Klien terlihat
Irama ireguler, sesak
08.30 Pemberian oksigen nanaf, Sianosis,
Adanya sputum, suara
08.45 2 Menginstruksikan klien serak
untuk batuk dan teknik
napas dalam
09.15 4, 5, 6 Melakukan pendekatan DS : Klien
therapeutik pada klien dan mengatakan telah
berkomunikasi dengan dekat mengerti tentang
2 Memberikan penjelasan penyakit yang di
09.30 sebab-sebab dan akibat derita
terjadinya nyeri DO : Paham dan
mengerti
10.00 Melakukan penimbangan DS : Klien
3 berat badan mengatakan pada
leher terasa gatal
DO :
10.30 4, 5 Mengajarkan klien menjaga BB : menurun
personal hygiene Kebersihan terjaga
11.00 Ubah posisi pasien semi DS : Klien
fowler atau fowler tinggi mengatakan
11.10 2, 3 Menganjurkan pasien kekurangan asupan
mencuci tangan gizi dan nyaman pada
11.15 Pemberian makanan yang posisi semi fowler
lunak
11.30 Pemberian makanan sedikit DO : Sedikit kuat
dan sering karena kebutuhan gizi
11.45 Menganjurkan klien untuk terpenuhi sesuai
3, 4, 5 memperbanyak kebutuhan
mengkonsumsi buah dan BB : sedikit
sayuran. meningkat
12.00 Monitor respirasi dan status DS : Klien merasa
O2 masalah sebagian
12.15 Monitoring TTV teratasi
12.30 Pantau aktivitas klien, cegah
1, 2
hal-hal yang bisa memicu DO :
terjadinya nyeri Suhu : 36,50C
12.45 TD : 110/90 mmHg
Nadi : 60 x/menit
Bantu klien untuk lebih RR : 18 x/menit
berfokus pada aktivitas
bukan pada nyeri
13.00 Berikan perawatan kulit DS : Klien
Membersihkan, memantau, mengatakan kulit
dan meningkatkan proses terasa gatal, masih
penyembuhan luka nyeri
4, 5, 6
Pantau kegiatan pasien yang
13.30 menyebabkan nyeri DO : Kulit tidak
merasa gatal, nyeri
berkurang
14.00 Melakukan kolaborasi DS :
1, 2, 3,
dengan dokter pemberian DO : Klien mulai
4, 5, 6
obat berkurang keluhan

3.6 Evaluasi
Hari/Tgl/Jam No. Dx Evaluasi TTD
S : pasien mengatakan nyeri pada leher
P : Nyeri karena gangguan pada nasofaring
Q : Nyeri seperti ditekan-tekan, terlihat membesar
pada bagian leher
R : Nyeri pada hidung, telinga, mulut dan
Senin,
menyebar
1/06/2015 1.
S : Skala nyeri 5
T : Mulai 3 bulan yang lalu, nyeri hilang timbul
dan lebih sering saat bernafas dan menelan
O : terlihat menahan nyeri
A : Masalah belum teratasi
P : intervensi di lanjutkan (1, 2, 3, 4, 5, 6)
S: Klien mengatakan masih merasakan gangguan
pernafaan
O: Klien terlihat tidak merasa nyaman, RR:
2.
20x/menit, S: 37,50C
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
S : pasien mengatakan kondisinya sedikit kuat
O : pasien kuat berdiri
3.
A : masalah sebagian teratasi
P : intervensi dilanjutkan
S : Klien mengatakan masih sedikit gatal
O : Klien merasa kurang nyaman
4.
A : Masalah sebagian teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
S : klien mengatakan susah bergaul/berkomunikasi
dengan orang lain
O : Klien tidak dapat melakukan komunikasi
5.
verbal dengan baik
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
S : Klien mengatakan leher masih besar
O : Klien masih menahan diri
6..
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada
ephitalial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang langit-
langit rongga mulut dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring.
Kanker ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3-1
dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada
hubugannya dengan faktor genetic, kebebasan hidup, pekerjaan dan lain-lain.
Karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan tuli
konduktif sebagai keluhan. Perluasan infiltratif karsinoma nasofaring berikutnya
membangkitkan perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan napas melalui
hidung. Setelah itu, pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan
kelumpuhan otot mata luar (paralisis okular). Untuk mencapai diagnosis harus
melaksanakan Pemerksaan fisik maupun Pemeriksaan Diagnostik diantaranya CT
Scan, MRI, dll. Pada Karsinoma nasofaring biasanya dilakukan pengobatan
Radioterapi maupun Kemoterapi.

4.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami tentang
Karsinoma Nasofaring yang sangat berbahaya. Lalu dapat mendeteksi awal
terhadap gejala karsinoma nasofaring karena seringkali penderita karsinoma
nasofaring terdeteksi pada stadium lanjut. Dan bagi pembaca yang berprofesi
sebagai perawat atau tenaga medis lainnya agar lebih memahami tentang
Karsinoma Nasofaring sehingga dapat lebih memahami kebutuhan klien, memberi
motivasi, memberi pengetahuan, dan memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anas, T. (2008). Klien Gangguan Pernapasan : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Ernawati, Kadrianti, E., & Basri, H. M. (2004). Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis
Volume 4 Nomor 2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Karsinoma
Nasofaring (KNF), 224.
Gibson, J. (2002). Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Jakarta: EGC.
Gunardi, d. S., & Saputra, d. L. (2012). Quick Review Anatomi Klinik, Edisi Kedua.
Tanggerang Selatan: Binapura Aksara Publisher.
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi 3.
Jakarta: Salemba Medika.
Huda Nurarif, A., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc, Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Lucente, F. F. (2011). Ilmu THT Esensial. Jakarta: EGC.
Mangan, Y. (2009). Solusi Sehat Mencegah dan Mengatasi Kanker. Jakarta: Agromedia
Pustaka.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Pratiwi, N. (2012, September 28). Makalah Ca Nasofaring. Dipetik Mei 16, 2015, dari
Makalah Ca Nasofaring Web site: http://www.scrib.com
Wei, W. I., & Sham, J. S. (2005). Nasopharyngeal carsinoma. carsinoma Nasofaring, 2-3.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Zulkarnain Haq, N. (2011, Oktober 12). Askep Kanker Nasofaring. Dipetik Mei 16, 2015,
dari Askep Kanker Nasofaring Web Site: http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id

You might also like