You are on page 1of 5

Dwi Indria Anggraini| Tinjauan Kasus Sindrom Hipersensitivitas Obat pada Pasien dalam Pengobatan Morbus Hansen

Erupsi Obat Alergi:


Tinjauan Kasus Sindrom Hipersensitivitas Obat
pada Pasien dalam Pengobatan Morbus Hansen
Dwi Indria Anggraini1
1
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Abstrak
Reaksi simpang obat bervariasi, dapat terjadi hanya pada kulit atau sistemik. Sindrom hipersensitivitas obat (SHO)
jarang terjadi namun merupakan salah satu reaksi simpang obat berat. Tinjauan kasus ini bertujuan mengetahui
diagnosis dan tata laksana erupsi obat alergi, terutama SHO. Kasus, seorang perempuan 37 tahun timbul bercak-
bercak kemerahan seluruh tubuh disertai mata kuning dan demam, buang air kecil berwarna teh gelap, mual, dan
sengkelan di kedua lipat paha. Sejak enam minggu sebelumnya pasien minum obat dapson, rifampisin, klofazimin
untuk pengobatan penyakit Morbus Hansen. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan penunjang, ditegakkan diagnosis
Erupsi Obat Alergi tipe Sindrom Hipersensitivitas Obat dan Morbus Hansen tipe Borderline Tuberculoid. Tatalaksana
medikamentosa berupa metilprednisolon 16-16-8 mg, loratadin 1x10 mg, ranitidin 2x150 mg. Simpulan, SHO
ditandai dengan erupsi kulit, demam, dan keterlibatan organ dalam. Tata laksana SHO berupa identifikasi dan
menghentikan obat penyebab serta direkomendasikanpemberian kortikosteroid sistemik.

Kata kunci: Erupsi obat alergi, Morbus Hansen, Sindrom Hipersensitivitas Obat

Allergic Drugs Eruption:


Case Report of Drug Hypersensitivity Syndrome of Patient during
Morbus Hansen Therapy
Abstract
Adverse drug reactions vary and can manifest only on the skin or systemic. Drug hypersensitivity syndrome (SHO) is
rare but one of the severe reactions. This case review aims to determine the diagnosis and management of allergy
drug eruptions, especially SHO. Case, A 37-year-old woman had eritematous plaques eruptions all over the body,
conjunctiva icteric, and fever, dark tea-colored urine, nausea, and lymphadenopathies in both groin. Since the
previous six weeks the patient has taken dapsone, rifampicin, clofazimine for the treatment of Morbus Hansen's
disease. Based on physical examination and laboratory, the diagnosis was allergydrug eruption type drug
hypersensitivity syndrome and Morbus Hansen type Borderline Tuberculoid. The treatment were
methylprednisolone 16-16-8 mg, loratadine 1x10 mg, ranitidine 2x150 mg. Conclusion, SHO is characterized by skin
eruption, fever, and internal organ involvement. Management of SHO were indentification and cessation of the
causative agent and systemic corticosteroid drugs were recommended.

Keywords: Allergy drug eruption, Morbus Hansen, Drug Hypersensitivity Syndrome

Korespondensi: dr. Dwi Indria Anggraini, MSc., SpKK., alamat Jl. Soemantri Brodjonegoro No. 1, HP 082177351005,
e-mail dwiindriaanggraini@gmail.com

Pendahuluan juta penduduk dan lebih sedikit


Manifestasi reaksi simpang obat dibandingkan reaksi simpang obat berat
bervariasi dan dapat terjadi hanya pada lainnya. Insidensi nekrolisis epidermal
kulit atau merupakan bagian dari penyakit toksik (NET) adalah 1 hingga 1,4 per 1 juta
sistemik.1 Reaksi simpang dapat ringan penduduk, sedangkan sindrom Stevens-
sampai berat atau mengancam nyawa. Johnson (SSJ) 2.9 hingga 6.1 per 1 juta
Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) penduduk. Mortalitas SHO sekitar 10%, SSJ
merupakan salah satu reaksi simpang obat 5%, dan NET 30% hingga 50%. 2
yang berat. Sindrom hipersensitivitas obat Sindrom hipersensitivitas obat sering
ditandai dengan erupsi kulit, demam, dan serupa dengan penyakit lain. Penegakan
keterlibatan organ dalam. 1,2 diagnosis SHO yang cepat dan tepat
Sindrom hipersensitivitas obat jarang merupakan hal penting sehingga dapat
terjadi. Insidensi SHO dilaporkan 0.4 per 1 dilakukan tatalaksana yang tepat untuk

JK Unila | Volume 1 | Nomor 3 | 2017 | 570


Dwi Indria Anggraini| Tinjauan Kasus Sindrom Hipersensitivitas Obat pada Pasien dalam Pengobatan Morbus Hansen

mencegah mortalitas akibat SHO.3,4 medial bilateral, multiple, diameter 0,5-1


Laporan kasus ini bertujuan untuk cm, kenyal, tidak nyeri. Generalisata
menunjukkan diagnosis dan tatalaksana tampak ikterik difus. Pada kedua lengan
kasus SHO pada penderita Morbus Hansen atas dan bawah, kedua tungkai atas, dada,
yang mengkonsumsi beberapa macam perut, punggung tampak makula-plak
obat. eritematosa, multiple, diskret-konfluens,
lentikular-plakat, batas tegas-difus.Regio
Kasus kedua pipi, hidung tampak makula-plak
Seorang perempuan berusia 37 tipishipopigmentasi-sewarna kulit, difus,
tahun datang berobat ke poliklinik kulit dan multipel, lentikular-numular.
kelamin dengan keluhan timbul bercak- Pemeriksaan penunjang
bercak kemerahan di seluruh tubuh menunjukkan penurunan kadar Hb 11,7
disertai mata yang menguning. Satu g/dL, peningkatan serum transaminase
minggu sebelumnya kedua mata SGOT 70g/dL dan SGPT 132g/dL,
menguning dan demam. Pasien berobat ke peningkatan kadar bilirubin
Puskesmas dan diberikan obat parasetamol total/indirek/direk: 7,8 / 7,5 / 0,3g/dL.
diminum tiga kali sehari selama tiga hari. Ureum dan kreatinin dalam batas normal
Keluhan demam perbaikan, namun mata (ureum 19g/dL dan kreatinin 0,80g/dL).
masih menguning.Dua hari sebelumnya Pasien didiagnosis dengan Erupsi
timbul bercak-bercak kemerahan di badan Obat Alergi tipe Sindrom Hipersensitivitas
dan meluas ke lengan dan tungkai disertai Obat (et causa susp. dapson, rifampisin,
rasa gatal. Kedua mata makin tampak klofazimin, parasetamol, cavit D3,
kuning. Pasien juga buang air kecil (BAK) neurobion) dan Morbus Hansen tipe
berwarna teh gelap, mual, dan terdapat Borderline Tuberculoid.
sengkelan di kedua lipat paha. Pasien tidak Tata laksana pada pasien non
demam, tidak ada sariawan atau luka di medikamentosa yang dilakukan adalah: 1)
kelamin. Pasien hanya minum obat dari rencana rawat inap, namun pasien
poliklinik kulit RSCM untuk penyakit menolak karena masalah biaya dan tidak
Morbus Hansen, sedangkan obat dari punya jaminan kesehatan. Pasien
Puskesmas sudah habis. Tidak ada riwayat disarankan untuk istirahat dan tirah baring
pengolesan salap, minyak, atau bahan lain di rumah; 2) menghentikan semua
pada badannya. Pasien mandi dua kali penggunaan obat yang diduga menjadi
sehari dengan menggunakan sabun bayi penyebab erupsi obat alergi atau yang
dan air biasa. berikatan silang; 3) edukasi pasien untuk
Enam minggu yang lalu pasien jaga higiene dan kebersihan kulit, mandi
berobat ke poliklinik kulit RSCM, dua kali sehari dengan air dan sabun
dinyatakan menderita penyakit Morbus berpelembap; 4) melakukan konsultasi ke
Hansen dan mendapatkan obat papan bagian Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam.
berwarna merah yang terdiri atas tiga Terapi medikamentosa yang diberikan
macam obat berupa pil putih dan merah, adalah: 1) Metilprednisolon setara
serta kapsul cokelat. Pasien juga mendapat prednison 50 mg (Metilprednisolon 16-16-
obat prednison, neurobion, dan cavit D3. 8 mg); 2) Loratadine 1x10 mg; 3) Ranitidin
Pasien sudah mendapatkan dua kali obat 2x150 mg. Pasien diminta untuk datang
dan pada pemberian bulan kedua baru kontrol kembali tiga hari kemudian.
diminum selama dua minggu. Pasien masih Pada saat kunjungan lanjutan (28-
tetap minum obat tersebut secara teratur 10-2014) didapatkan bercak merah
hingga kontrol ke poli kulit. meredup, masih terasa gatal terutama
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada bagian perut, mata masih kuning,
konjungtivamata kanan dan kiri tidak demam. Pada pemeriksaan tampak
tampakikterik, sklera pucat, teraba padaregio dada, perut, punggung, kedua
pembesaran kelenjar getah bening inguinal lengan atas dan kedua tungkai atas tampak

JK Unila | Volume 1 | Nomor 3 | 2017 | 571


Dwi Indria Anggraini| Tinjauan Kasus Sindrom Hipersensitivitas Obat pada Pasien dalam Pengobatan Morbus Hansen

makula-plak erite matosa redup- Berdasarkan pemeriksaan hasil uji


hiperpigmentasi multiple diskret- tempel obat, maka obat penyebab alergi
konfluens, lentikular-plakat, sebagian difus. pada pasien adalah dapson, rifampisin,
Terdapat pembesaran kelenjar getah klofazimin, dan parasetamol.
bening (KGB) inguinal bilateral multipel,
ukuran diameter 0,5-1 cm, kenyal, tidak Pembahasan
nyeri Konjungtiva mata kanan dan kiri Diagnosis erupsi obat alergi dapat
ikterik. Pemeriksaan laboratorium ditegakkan berdasarkan anamnesis, klinis,
menunjukkan peningkatan SGOT86 g/dL, dan pemeriksaan penunjang. Reaksi alergi
dan SGPT 211 g/dL. Diagnosis dan terapi obat bervariasi. Sindrom hipersensitivitas
masih tetap sama dan pasien diminta obat (SHO) merupakan salah satu reaksi
kontrol kembali 1 minggu. simpang obat yang berat. Sindrom
Pada saat kunjungan lanjutan (4-11- hipersensitivitas obat ditandai dengan
2014) terdapat perbaikan perbaikan, erupsi kulit, demam, dan keterlibatan
bercak merah sudah tidak ada lagi dan organ dalam. 1,2
tidak gatal. Mata masih kuning namun Penegakan diagnosis erupsi obat
sudah berkurang. Pasien sudah konsul ke alergi tipe sindrom hipersensitivitas obat
hepatologi IPD dan dilakukan USG hati. (SHO) pada pasien ini berdasarkan
Pada pemeriksaan tampak status anamnesis berupa timbul bercak
dermatologikus pada regio dada, perut, kemerahan di badan yang meluas ke
punggung, kedua lengan atas dan kedua lengan dan tungkai disertai mata kuning
tungkai atas tampak makula dan demam. terdapat juga keluhan BAK
hiperpigmentasi multipel, diskret- berwarna teh gelap, mual, dan sengkelan
konfluens, lentikular-plakat, sebagian difus, di kedua lipat paha. Lima minggu sebelum
tampak skuama kering di atasnya. keluhan timbul, pasien minum parasetamol
Pemeriksaan KGB inguinal tidak ada untuk atasi demam. Sejak enam minggu
pembesaran. Konjungtiva mata kanan dan lalu rutin minum obat papan untuk
kiri tampak ikterik minimal. Pemeriksaan penyakit Morbus Hansen. Berdasarkan
laboratorium terjadi penurunan SGOT : 51 pemeriksaan fisik didapatkan kedua
dan SGPT : 159 g/dL. Hasil USG hati konjungtiva ikterik; pembesaran kelenjar
menunjukkan hepatomegali nonspesifik. getah bening inguinal bilateral; pada kedua
Pasien mendapat terapi tambahan lengan atas dan bawah, kedua tungkai
Curcuma 3x1 tablet, dan penurunan dosis atas, dada, perut, punggung tampak
metilprednisolon secara bertahap, yaitu makula-plak eritematosa, multiple, diskret-
metilprednisolon 16-8 mg selama konfluens, lentikular-plakat, batas tegas-
seminggu, metilprednisolon 8-8 mg selama difus.
3 hari, dan metilprednisolon 8 mg/hari Mekanisme terjadinya SHO belum
selama 4 hari. Pasien direncanakan untuk diketahui secara pasti, namun terdapat
dilakukan uji tempel obat 6 minggu setelah beberapa faktor yang mempengaruhinya,
bebas lesi. yaitu: 5-10
Pasien kontrol untuk dilakukan uji 1) Pembentukan metabolit aktif dan
temple obat (15-12-2014). Tidak ada defek genetik pada metabolisme
bercak atau keluhan kulit lainnya. Pasien obat. Beberapa obat yang
tidak minum obat apapun dalam satu menyebabkan SHO akan
minggu terakhir. Pemasangan uji temple dimetabolisme menjadi bentuk
dilakukan terhadap obat yang diduga intermediet reaktif oksidatif.
menjadi penyebab alergi, yaitu dapson, Terbentuk metabolit toksik akibat
rifampisin, klofazimin, neurobion, cavit D3, metabolisme oksidatif obat oleh
dan parasetamol. Evaluasi uji temple enzim sitokrom P450 dan enzim-
dilakukan pada 48 jam, 72 jam, dan 96 jam enzim oksidatif lain. Metabolit
setelah pemasangan. toksik dapat mengalami proses

JK Unila | Volume 1 | Nomor 3 | 2017 | 572


Dwi Indria Anggraini| Tinjauan Kasus Sindrom Hipersensitivitas Obat pada Pasien dalam Pengobatan Morbus Hansen

biotransformasi dan detoksikasi 4) Koinfeksi virus dapat menyebakan


oleh enzim epoxide hydroxylase. stimulasi dan disregulasi sistem
Pada pasien SHO dapat terjadi imun. Beberapa virus yang diduga
mutasi atau defisiensi enzim berkaitan dengan SHO adalah
tersebut. herpes virus HHV-6, EBV, CMV, dan
2) Predisposisi genetik. Reaksi SHO HIV.
dapat berulang pada individu yang
sama terhadap beberapa obat Tata laksana erupsi obat alergi yang
golongan yang sama, contohnya utama adalah mengindentifikasi obat yang
beberapa obat antikonvulsan. menjadi penyebab dan menghentikan
Terjadi peningkatan risiko penggunaan obat yang diduga
terjadinya SHO pada anggota menyebabkan reaksi alergi tersebut.2,5,8
keluarga dari generasi pertama Obat yang dapat menjadi penyebab adalah
yang dikaitkan dengan oabt yang masih digunakan pasien dalam
ketidakmampuan individu dalam satu hingga tiga minggu terakhir sebelum
melakukan metabolisme dan timbul gejala.2 Pada kasus ini telah
detoksifikasi metabolit obat reaktif dilakukan kajian penggunaan obat yang
secara sempurna. Terdapat digunakan berdasarkan kronologis waktu
beberapa variasi farmakogenetik dalam enam minggu terakhir. Obat yang
pada metabolisme obat, antara diduga menjadi penyebab SHO adalah
lain adalah pada proses dapson, rifampisin, klofazimin, neurobion,
metabolisme asetilasi. Enzim N- cavit D3, dan parasetamol.
asetiltransferase merupakan enzim Pemberian kortikosteroid pada SHO
metabolisme obat yang bertujuan untuk mengatasi gejala dan
menentukan proses asetilasi obat. mencegah kerusakan lebih lanjut. Untuk
Variasi genetik enzim tersebut kasus yang ringan dapat diberikan
menunjukkan variasi fenotip kortikosteroid sistemik dosis 0,5 hingga 1
asetilator cepat dan lambat. mg/kg/hari dan diturunkan bertahap dalam
Fenotip asetilator cepat dapat 6 hingga 8 minggu. Pada kasus berat dapat
mencegah individu dari efek tolsol diberikan metilprednisolon 1 hingga 2
metabolit reaktif obat tertentu, mg/kg/hari.2 Pada kasus ini pemberian
misalnya antibiotik sulfonamide. metilprednisolon 0,5 hingga 1 mg/kg/hari
3) Peran sel T obat-spesifik dapat dan diturunkan bertahap sesuai dengan
menyebabkan SHO. Obat mampu perbaikan klinis dan laboratoris pasien.
berikatan secara kovalen dengan
berbagai molekul, termasuk Simpulan
peptida major histocompatibility Sindrom hipersensitivitas obat
complex (MHC).Sel CD4+ obat merupakan salah satu reaksi simpang obat
spesifik dan kadang CD8+ berat yang ditandai dengan erupsi kulit,
berhubungan dengan erupsi demam, dan keterlibatan organ dalam.
tersebut.Klon sel CD4+ dan CD8+ Tata laksana SHO yang utama adalah
menghasilkan interleukin 5 (IL-5) identifikasi dan menghentikan obat
dan interleukin 4 (IL-4). IL-5 dan IL- penyebab, serta direkomendasikan
3 bersama GM-CSF berperan pemberian kortikosteroid sistemik.
dalam menginduksi pertumbuhan,
diferensisasi, aktivasi, serta Daftar Pustaka
merupakan faktor kemotaktik 1. Shear NH, Knowles SR. Dalam:
eosinophil. IL-5 yang dhasilkan Fitzpatrick's Dermatology in General
diduga sebagai penyebab Medicine. Goldsmith LA, Katz SI,
eosinofilia pada SHO. Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff

JK Unila | Volume 1 | Nomor 3 | 2017 | 573


Dwi Indria Anggraini| Tinjauan Kasus Sindrom Hipersensitivitas Obat pada Pasien dalam Pengobatan Morbus Hansen

K, eds. New York: The McGraw-Hill 6. Romano A, Warrington R. Antibiotic


Companies; 2012. hlm. 449-57. Allergy. Immunol Allergy Clin N Am.
2. Hamm RL. Drug-Hypersensitivity 2014; 34: 489–506.
Syndrome: Diagnosis and Treatment. 7. Lee T, Lee YS, Yoon SY, Kim S, Bae YJ,
Journal of the American College of Kwon HS, Dkk. Characteristics of liver
Clinical Wound Specialists. 2012; 3(4): injury in drug-induced systemic
77-81. hypersensitivity reactions. J Am Acad
3. Solensky R, Khan DA. Drug Allergy: an Dermatol. 2013;69:407-15.
Updated Practice Parameter. Annals 8. Phillips EJ, Chung WH, Mockenhaupt
of Allergy, Asthma and Immunology. M, Roujeau JC, Mallal SA. Drug
2010; 105(10): 259-73. hypersensitivity: Pharmacogenetics
4. Deps PD, Nasser S, Guerra P, Simon M, and clinical syndromes. J Allergy Clin
Birshner R, Rodrigues LC. Adverse Immunol. 2011;127:S60-6.
effects from Multi-drug therapy in 9. Ang CC, Wang YS, Yoosuff EL, Tay YK.
leprosy: a Brazilian study. Lepr Rev. Retrospective analysis of drug-induced
2007; 78: 216–22. hypersensitivity syndrome: A study of
5. Kumari R, Timshina DK, Thappa DM. 27 patients. J Am Acad Dermatol.
Drug hypersensitivity syndrome. 2010;63:219-27.
IJDVL. 2011; 77(1): 7-15. 10. Lorenz M, Wozel G, Schmitt.
Hypersensitivity Reactions to
Dapsone: A Systematic Review. Acta
Derm Venereol. 2012; 92: 194-9.

JK Unila | Volume 1 | Nomor 3 | 2017 | 574

You might also like