Bab I Pendahuluan
11 Latar Belakang
Sebagaimana tercantum dalam pertimbangan Undang-Uncang Nomor 38 Tahun
2004 tentang Jalan huruf b, “Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional
mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial
dan budaya, serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan
pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan _pemerataan
pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional
untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk
struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional”.
Dengan demikian jalan mempunyai peranan yang sangat strategis untuk melayani
pergerakan arus orang dan barang, sehingga agar prasarana jalan dapat berfungsi
dengan baik dalam melayani lalu-lintas, diperlukan penyelenggaraan terhadap
jaringan jalan yang ada dengan baik dan benar dalam arti sesuai dengan Norma,
Standar, Pedoman, dan Manual (NSPM) yang telah ditetapkan.
Mengingat bahwa prasarana jalan merupakan barang publik yang harus dapat
dirasakan keberadaannya oleh seluruh lapisan masyarakat, maka sebagai
konsekwensinya hak penguasaan dan wewenang pengadaan prasarana jalan
umumnya dilakukan oleh Pemerintah. Hal ini sejalan dengan yang tercantum
dalam pertimbangan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 huruf c, bahwa
untuk terpenuhinya peranan jalan sebagaimana mestinya, Pemerintah mempunyai
hak dan kewajiban menyelenggarakan jalan.
Untuk menjamin tersedianya pelayanan publik bagi masyarakat, maka
berdasarkan pasal 3 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
bahwa “Daerah wajib melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM)”.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan konsekwensi otonomi daerah agar
penyediaan pelayanan bagi masyarakat dapat berada pada suatu level minimum
tertentu yang dapat diterima masyarakat. Pada hakikatnya SPM merupakan tolok
ukur untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan
kewenangan wajib (Baya Haryono-2003), dan dalam spektrum yang lebih luasSPM ini juga merupakan alat dalam menentukan pengalokasian pendanaan dari
pusat ke daerah, maupun bagi daerah dalam menyusun APBD-nya (Departemen
Kimpraswil-2003). Dalam hal Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang jalan,
besarar.-besarannya telah tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri
Kimpraswil Nomor 534/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Penentuan Standar
Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman, dan
Pekerjaan Umum.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, serta Undang-Undang No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan Peraturan
Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, maka sebagian
kewenangan pemerintah yang semula menjadi porsi pusat, mulai diserahkan
kepada daerah. Konsekwensinya banyak keputusan dan kegiatan yang dilakukan
di daerah, dan sumber-sumber keuanganpun harus dibagi secara adil antara pusat
dan daerah. Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas, salah satu
konsekwensinya adalah adanya perubahan pada sistem penganggaran daerah,
terutama pada beberapa sektor pembangunan, termasuk dalam sub sektor jalan.
Sebagai contoh, sebelumnya kegiatan penanganan Jalan Propinsi dan Jalan
Kabupaten sebagian besar dibiayai melalui dana bantuan sektoral berupa Dana
Bantuan Peningkatan Jalan Propinsi (BPJP) dan Dana Bantuan Peningkatan Jalan
Kabupaten (BPJK), dimana seluruh daerah mendapatkan dana bantuan sektoral
tersebut. Dengan peraturan baru pada UU No. 25 Tahun 1999, model bantuan
dana melalui BPJP dan BPJK sudah tidak dimungkinkan lagi. Di era otonomi
daerah sebagian besar dana pembangunan sudah dialokasikan melalui Dana
Alokasi Umum (DAU) dan sebagian melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) yang
sifatnya masih sektoral. Namun untuk DAK harus dilakukan dengan mekanisme
tertentu, hanya untuk daerah tertentu yang membutuhkan dan hanya untuk sektor
tertentu saja.we
Dengan mekanisme pendanaan yang baru ini sebagian daerah merasa kesulitan
dalam melaksanakan kegiatan perencanaan dan pemograman penanganan jalan
yang menjadi kewenangannya. Hal ini sebagai akibat hilangnya sumber
pendanaan yang biasanya sudah ditentukan dari pusat.
Saat ini daerah harus melakukan penyusunan program penanganan jalan sendiri
(sesuai kewenangannya berdasarkan status jalan) dari APBD yang pembagiannya
harus dikompromikan dengan ketersediaan dana dan kebutuhan dana untuk sektor
lain. Sebagai akibatnya memunculkan masalah yakni tidak terpenuhinya semua
kebutuhan dana untuk penanganan jalan, yang, pada akhirnya mengakibatkan
kondisi jalan di daerah mengalami penurunan dengan cepat dalam beberapa tahun
terakhir ini
Scbagai ilustrasi, kebutuhan dan realisasi alokasi dana untuk penanganan Jalan
Propinsi (termasuk Jalan Non Status) di Jawa Barat dalam beberapa tahun
terakhir sebagaimana tercantum pada Tabel I.1.
Tabel I. Daftar Usulan dan Realisasi Alokasi Dana Penanganan
Jalan Propinsi di Jawa Barat
Tahun Usulan Dana Realisasi Dana % Terhadap
Anggaran (Rp) (Rp) Usulan Dana
2001 166.692.155.000,00 | 151.116.752.165,00 90,66
2002 418.722.869.123,00 | 242.316.475.187,00 51,87
2003 426.158.689.000,00 | 258.362.195.083,00 60,63
2004 375.579.404.000,00 | 229.424.042.000,00 61,09
2005 534.711.425.000,00 } 310.248.102.000,00 58,02
Sumber : Dinas Bina Marga Propinsi Jawa Bara (2000 - 2004)
Dalam Kkondisi penyediaan dana yang terbatas, maka kemungkinan tidak semua
kebutuhan penanganan ruas jalan dapat didanai, dengan kata lain dana yang
dialokasikan untuk penanganan jalan kemungkinan besar tidak akan sesuai
dengan kebutuhan yang diusulkan (hal ini termasuk di Propinsi Jawa Barat
sebagaimana tercantum pada Tabel I.1 di atas). Idealnya alokasi untuk
penanganan jalan diprioritaskan untuk menangani ruas-ruas jalan tertentu yang