You are on page 1of 6

MONOGAMI, POLIGAMI DAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DALAM

PER-UU-AN DAN MENURUT HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah sebuah istilah yang mengandung nilai kemanusiaan, sosial, dan
kejiwaan, sedangkan perkawinan lebih cenderung pada istilah yang mengandung nilai hewani
(biologis). Pernikahan adalah komitmen untuk membangun mahligai rumah tangga yang
bahagia. Bahagia dalam konteks agama (Islam) dapat dilihat dengan tiga kacamata: sakīnah,
mawaddah, dan rahmah.
Perdebatan pernikahan poligami dengan monogami dalam Islam telah lama berlangsung.
Tentu saja, hal ini terjadi karena banyaknya penafsiran terhadap apa yang telah ditetapkan dalam
Al-Quran sendiri. Rasulullah SAW sendiri hanya melakukan poligami beberapa tahun sebelum ia
meninggal, sedangkan monogami sudah lebih dahulubeliau praktikkan dengan Khadijah Ra.
Sementara perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah adalah perceraian, namun dalam
sebuah rumah tangga pastilah kerap terjadi konflik antara suami dan isteri, dimana banyak hal
yang memicu terjadinya pertengkaran bahkan sampai kepada perceraian.Setiap pertengkaran
pastilah ada penyelesaiannya namun apabila pertengkaran tersebut memicu sebuah keputusan
yang besar seperti perceraian, maka proses melangkah ketahap itupun bukan hal yang mudah dan
singkat untuk dilakukan. Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini saya akan membahas tentang
.Monogami, Poligami dan Perceraian di Pengadilan Agama dalam per-Uu-an dan Menurut
Hukum Islam”.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan monogami dan poligami ?
2. Bagaimanakah monogami dan poligami dalam per-UU-an dan dalam pandangan Islam?
3. Bagaimanakah prosedur perceraian dalam pengadilan agama dan pandangannya dalam Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Monogami dan Poligami


Monogami adalah suatu bentuk perkawinan / pernikahan dimana si suami tidak menikah
dengan perempuan lain dan si isteri tidak menikah dengan laki-laki lain. Jadi singkatnya
monogami merupakan nikah antara seorang laki dengan seorang wanita tanpa ada ikatan
pernikahan lain.[1]
Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang
bersamaan.Berpoligami berarti menjalankan (melakukan) poligami. Menurut Drs. Sidi Ghazalba,
Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita lebih dari satu orang.[2]
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa
asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan
prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran islam dan hak untuk membentuk keluarga,
hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan hak untuk bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam UUD 1945.[3]
Asas Perkawinan dalam Hukum Islam adalah monogami. Ketentuan itu terdapat dalam
al-Qur’an surat an-nisa’ ayat 3, yang artinya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak/wanita yang yatim (bila
kamu mengawininya.). maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kernudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja,
atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak
berbuat zalim”.
Ayat diatas mengingatkan para laki-laki jika laki-laki yang hendak melakukan poligami
tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap wanita yang dinikahinya, maka laki-
laki itu tidak boleh mengawini wanita tersebut. Ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia
senangi, seorang istri sampai dengan empat. dengan syarat ia marnpu berbuat adil terhadap istri-
istrinva. Dan jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka ia hanya boleh
beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat zalim terhadap istrinya.
Ayat diatas menjelaskan hal-hal yang telah dipahami Rasulullah, sahabat-sahabatnya,
tabi’in, dan jumhur ulama muslimin tentang hukum-hukum berikut:
1. Boleh berpoligami paling banyak hingga empat orang isteri.
2. Disyariatkan dapat berbuat adil diantara isteri-isterinya. Barangsiapa yang belum mampu
memenuhi ketentuan diatas, dia tidak boleh mengawini wanita lebih dari satu orang. Seorang
laki-laki yang sebenarnya meyakini dirinya tidak akan mampu berbuat adil, tetapi tetap
melakukan poligami, dikatakan bahwa akad nikahnya sah, tetapi dia telah berbuat dosa.
3. Keadilan yang diisyaratkan oleh ayat diatas mencakup keadilan dalam tempat tinggal, makan
dan minum serta perlakuan lahir batin.
4. Kemampuan suami dalam hal nafkah kepada isteri kedua dan anak-anaknya.[4]

B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Monogami dan Poligami


Asas Monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu
asas dalam Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan
rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan
menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat
cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis.
Rasulullah SAW melakukan monogami dengan Khadijah RA.Rasulullah SAW menikah
selama tiga puluh tahun lebih. Ia setia dengan konsep monogami dalam Islam selama dua puluh
delapan tahun dengan Khadijah di tengah-tengah situasi sosial masyarakat Arab yang waktu itu
menganggap poligami sebagai sebuah hal yang biasa.
Menurut Quraish Shihab, poligami tidak semata dianggap sebagai ibadah murni.
Poligami tak ubahnya seperti aktivitas biasa, sebagaimana halnya ‘makan’. Larangan
berpoligami karena dikhawatirkan akan menimbulkan mudharat dapat dianalogikan dengan
dokter yang melarang pasien untuk makan karena pertimbangan kesehatan. Makan memang
dapat dikategorikan sebagai ibadah ketika diniatkan untuk beribadah namun itu tidak
menjadikannya sebagai ‘ainul ibadah’.Ia menjadi –dianggap– ‘ibadah’ karena niat yang
mengiringinya. Begitu juga dengan poligami, yang tidak benar dikatakan sebagai ibadah yang
sesungguhnya.[5]
C. Perceraian
Islam secara jelas mengatakan, “Perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah adalah
Thalaq/Cerai ", namun dalam sebuah rumah tangga pastilah kerap terjadi konflik antara suami
dan isteri, dimana banyak hal yang memicu terjadinya pertengkaran bahkan sampai kepada
perceraian. Setiap pertengkaran pastilah ada penyelesaiannya namun apabila pertengkaran
tersebut memicu sebuah keputusan yang besar seperti perceraian, maka proses melangkah
ketahap itupun bukan hal yang mudah dan singkat untuk dilakukan. Katakanlah seorang isteri
yang ingin mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya yang dianggap telah melakukan
pengkhianatan terhadap perkawinan mereka. Posisi seperti ini, mungkin membenarkan
pernyataan di atas, dimana sebuah perceraian dihalalkan meski dibenci oleh Allah SWT.
Dan berikut di bawah ini akan dijelaskan secara singkat namun terperinci, mengenai
prosedur yang dapat dilakukan dalam melakukan Gugatan Perceraian di Pengadilan Agama,
yakni sebagai berikut :
a. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah :
1) Mengajukan Gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama, hal ini berdasarkan
Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989;
2) Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama tentang tata cara
membuat Surat Gugatan, hal ini berdasarkan Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989;
3) Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum, namun jika Tergugat
telah menjawab surat gugatan dan ternyata terdapat perubahan, maka perubahan tersebut harus
atas persetujuan Tergugat.
b. Pengadilan tempat Gugatan didaftarkan :
1) Bilamana Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin
Tergugat, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Tergugat, hal ini berdasarkan Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal
32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974;
2) Bilamana Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat, hal ini
berdasarkan Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989;
3) Bilamana Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan
kepada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan
atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat, hal ini berdasarkan Pasal 73 ayat (3) UU No.7
Tahun 1989.
c. Alasan dalam Gugatan Perceraian di Pengadilan Agama :
1) Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
2) Suami meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin ataupun alasan
yang jelas, dengan kata lain perbuatan suami merupakan perbuatan sadar dan sengaja dilakukan.
3) Suami mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih setelah perkawinan
dilangsungkan;
4) Suami melakukan kekerasan terhadap isteri, bertindak kejam dan suka menganiaya;
5) Suami tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit yang
diderita;
6) Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali;
7) Suami melanggar taklik talaq yang diucapkan saat ijab qabul;
8) Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidakharmonisan dalam keluarga.
(ketentuan hal-hal sebagaimana tersebut diatas berdasarkan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam
jo Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975).
d. Saksi dan Bukti
Pihak Penggugat (isteri) wajib membuktikan di Pengadilan kebenaran alasan-alasan tersebut,
dengan hal-hal berikut ini :
1) Salinan Putusan Pengadilan, jika alasan yang dipakai adalah suami mendapat hukuman 5
(lima) tahun atau lebih, hal ini berdasarkan Pasal 74 UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 135 KHI.
2) Bukti hasil pemeriksaan dokter atas perintah dari pengadilan, bila alasan isteri adalah suami
mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak mampu memenuhi kewajibannya,
hal ini berdasarkan Pasal 75 UU No. 7 Tahun 1989.
3) Keterangan dari saksi-saksi, baik saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang dekat yang
mengetahui terjadinya pertengkaran antara isteri (si penggugat) dengan suaminya, hal ini
berdasarkan Pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 134 KHI.
e. Surat-surat yang harus dipersiapkan, antara lain :
1) Surat Nikah asli:
2) Foto copy surat Nikah masing-masing 2 (dua) lembar yang dibubuhi materai dan dilegalisir;
3) Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru dari pihak Penggugat;
4) Foto copy Kartu Keluarga; dan
5) Foto copy akta kelahiran anak (apabila sudah memiliki anak) dengan dibubuhi materai serta
dilegalisir.
f. Permohonan Gugatan harus memuat :
1) Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon.
2) Posita atau fakta kejadian dan fakta hukum.
3) Petitum yakni hal-hal yang dituntut berdasarkan posita.
4) Terkait Gugatan lain seperti halnya penguasaan anak, nafkah anak dan isteri serta harta
bersama, dapat diajukan secara bersama-sama dalam Gugatan Perceraian atau dapat diajukan
setelah putusan perceraian memperoleh keputusan yang berkekuatan hukum tetap, hal ini
berdasarkan Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
g. Biaya Perkara :
1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon.
2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan merupakan penetapan atau
putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau putusan akhir, hal ini berdasarkan Pasal
89 UU No. 7 Tahun 1989.
3) Namun terhadap mereka yang tidak mampu, maka dapat berperkara secara cuma-cuma
(prodeo), hal ini berdasarkan Pasal 237 HIR, 273 R.Bg.
4) Setelah melalui proses diatas dan Penggugat telah mendaftarkan Gugatan Perceraiannya ke
Pengadilan Agama, maka Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan
berdasarkan panggilan pengadilan agama.
h. Tahapan Persidangan :
1) Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan
suami istri harus datang secara pribadi, hal ini berdasarkan Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989;
2) Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu
menempuh mediasi, hal ini berdasarkan Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003;
3) Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan
surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab
menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik),
berdasarkan Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg.
i. Putusan Pengadilan Agama atas Gugatan Cerai :
1) Gugatan dikabulkan. (dalam hal ini bilamana Tergugat tidak puas dapat mengajukan upaya
hukum banding melalui Pengadilan Agama).
2) Gugatan ditolak. (dalam hal ini bilamana tidak menerima putusan hakim maka Penggugat
dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama).
3) Gugatan tidak diterima. (dalam hal ini Penggugat dapat mengajukan gugatan baru).

Dan terhadap hal-hal tersebut diatas, bilamana Putusan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka Panitera Pengadilan Agama akan memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti
cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut
diberitahukan kepada para pihak. Demikian penjelasan mengenai prosedur Gugatan Perceraian
ke Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan yang berlaku.[6]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asas dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan
mudah menetralisasi sifat atau watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan
keluarga yang monogamis. Poligami lebih banyak membawa resiko atau mudharat dari pada
manfaatnya. Karena manusia menurut fitrahnyamempunyai watak cemburu, iri hati, suka
mendalami dalam kehidupan keluarga poligamis, dengan demikian , poligami itu bisa menjadi
sumber konflik dalam keluarga.
Menurut Al-qur’an, Allah SWT telah menetapkan ketentuan bahwa kedua pasangan
suami istri harus segera melakukan usaha antisipasi apabila tiba-tiba timbul gejala-gejala dapat
diduga menimbulkan gangguan kehidupan dalam rumah tangganya, agar tidak sampai terjadi
perceraian yang dihalalkan oleh Allah tetapi sangat dibenci Nya.
B. Saran
Dalam pembahasan ini, penulis menyarankan kepada pembaca agar bisa membaca materi
ini lebih banyak lagi, agar bisa mendapatkan pemahaman yang lebih jelas atau real dari berbagai
sumber, dan penulis mohon kritikan dan saran yang membagun dari pembaca, agar makalah ini
bisa lebih sempurna lagi.
[1]Annisa, jenis-jenis perkawinan, 2008, tersedia (http://organisasi.org/macam-jenis-
bentuk-perkawinan-pernikahan-poligini-poliandri-endogami-eksogami-dll), diakses 28
Februari 2016
[2]MA. Tihami dan Sohari Sahrani, “Masail al Fiqhiyah”,(Jakarta Pusat: Triarga Utama,
2007)hal. 257-258
[3] Tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Poligami, diakses 28 februari 2016
[4] Musfir Husain Aj-jahrani, Penerjemah Muh.Suten Ritonga, “Nazhratun fi ta’addudi
az-zaujat”,(Jakarta: Gema Insani Press, 2002),hal.41
[5]Quraish Shihab, “Poligami bukan Ibadah Murni, Kayak Makan Saja”, tersedia
di:http://ariefhikmah.com/poligami/quraish-shihab-poligami-bukan-ibadah-murni-kayak-makan-
saja/, diakses: 18 Februari 2016
[6]Diakses di : http://www.tanyahukum.com/keluarga-dan-waris/75/prosedur-gugatan-
perceraian-di-pengadilan-agama, diakses: 28 februari 2016

You might also like