You are on page 1of 23

BAB II

PEMBAHASAN

Diagnosis demam berdarah dengue derajat III ditegakkan berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini. Penegakan
diagnosis DBD pada pasien ini berdasarkan adanya lebih dari dua kriteria, yang
memenuhi kriteria klinis dari WHO yakni demam tinggi mendadak tanpa sebab yang
jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, pembesaran hati, terdapat
manifestasi perdarahan berupa uji tourniquet positif serta dari pemeriksaan fisik
didapatkan pasien dalam keadaan syok (terdapat kegagalan sirkulasi), yaitu keadaan
umum yang buruk, gelisah, dengan tekanan darah 98/76 mmHg, nadi yang cepat dan
halus, frekuensi nafas 28 x/menit, akral dingin dan perfusi jelek.
Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil
leukosit yang berada dalam batas normal, nilai hemoglobin dan hematokrit yang
3
cenderung meningkat serta didapatkan trombositopenia yaitu sebesar 60.000/mm
3 3
(pemeriksaan pada tanggal 10/09/2011), 30.000/mm dan 23.000/mm (pemeriksaan
pada tanggal 11/09/2011). Hal ini merupakan salah satu dari kriteria laboratories
DBD. Hemoglobin dan hematokrit yang meningkat menunjukkan adanya
hemokonsentrasi. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran
plasma. Hal ini memperkuat diagnosis demam berdarah dengue. Selain itu pada
pasien ini juga didapatkan tanda-tanda kegagalan sirkulasi seperti nadi yang lemah,
perfusi perifer yang menurun dan akral yang dingin dan lembab. Hal ini menunjukkan
bahwa pasien ini mengalami DBD derajat III.
Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa pada sindrom syok
dengue, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum pasien
dapat tiba-tiba memburuk, yang biasannya terjadi pada saat atau setelah demam
menurun, yakni antara hari sakit ke 3 – 7. Pada sebagian besar kasus ditemukan
tanda-tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba lembab dan dingin, serta nadi menjadi
cepat dan halus. Pasien seringkali akan mengeluh nyeri di daerah perut sesaat
sebelum syok. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan adanya
hemokonsentrasi (peningkatan kadar hematokrit ≥20%) dan trombositopenia

15
3
(trombosit < 100.000/mm ). Terjadinya peningkatan kadar Hb merupakan bukti
terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia sedang sampai berat yuang disertai
dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang khusus untuk DBD.
Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan membedakannya dari
Demam Dengue adalah keluarnya plasma yang bermanifestasi sebagai peningkatan
hematokrit (hemokonsentrasi), efusi serosa, atau hipoproteinemia.

Gambar 1. Pola demam pada DBD yang menyerupai Pelana kuda

Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik
pada penderita DSS menurut Wong adalah sebagai berikut.
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun.
3. Nyeri perut.
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat.
6. Adanya efusi pleura pada toraks foto.
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG

16
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya
perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma
dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya
perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya
syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase
febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga
sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan
kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan
pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit.
Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan
pengobatan.
Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda
syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain,
perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan
umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong.
Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter
untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase
kritis, fase syok) dengan baik.
Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi suportif dan simtomatik.
Terapi suportif yang diberikan adalah pemberian O2 melalui nasal kanul 2 liter
permenit. Pemberian oksigen harus selalu dilakukan pada semua pasien syok. Saturasi
oksigen pada pasien harus dipertahankan > 92%, oleh karena itu untuk pemantauan
diperlukan pemasangan pulse oximetry untuk mengetahui saturasi oksigen dalam
darah.
Selain itu juga dilakukan pemasangan infus cairan intravena berupa ringer laktat (RL)
840 mL dalam 30 menit pertama .Ringer laktat adalah salah satu larutan kristaloid
yang direkomendasikan WHO pada terapi DBD. Pengobatan awal cairan intravena
pada keadaan syok adalah dengan larutan kristaloid 20 ml/kg berat badan dalam 30
menit. Pada pasien ini berat badannya adalah 42 kg sehingga didapatkan jumlah
cairan yang diberikan adalah 840 ml dalam 30 menit dengan tetesan infus sebesar 560
tetes per menit makro {(840/30) x 20}. Apabila syok belum teratasi dan atau keadaan

17
klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan diganti dengan
koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30
ml/kgBB/jam. Segera setelah terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan
kristaloid dengan tetesan 20 ml/kgBB. Pada pasien kondisi membaik setelah
dilakukan pemberian cairan awal sehingga jumlah cairan yang diberikan dikurangi
menjadi 420 ml dalam 1 jam (10 ml/kgBB/jam). Jika kondisi tetap stabil dan
membaik maka cairan diturunkan menjadi 210 ml/jam (5 ml/kgBB/jam) atau Jika
dalam 24 jam kondisi membaik dan stabil maka cairan diturunkan lagi menjadi 126
ml/jam (3 ml/kgBB/jam) atau 42 tpm makro dan dalam 48 jam setelah syok teratasi
pemberian terapi cairan dapat dihentikan.
Oleh karena perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi
lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan
dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan
kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah
plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika
memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke
dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan
edema paru dan distres pernafasan
Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk
mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3 x 500 mg PO (apabila suhu > 38 C).
Karena pasien ini mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati maka juga
diberikan ranitidine dengan dosis 50 mg untuk sekali pemberian yang diberikan 2 kali
sehari. Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder yang mungkin terjadi akibat manipulasi yang dilakukan terhadap pasien
seperti pemasangan jalur infus untuk pemberian cairan, pemasangan Douwer Catheter
dan pengambilan sampel darah yang secara rutin dilakukan. Kesemuanya itu
mempunyai resiko untuk terjadinya infeksi pada pasien ini. Selain itu berdasarkan
hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 September 2011 didapatkan
kecenderungan terjadinya peningkatan leukosit meskipun hanya meningkat sedikit
(dari 11.700 /µL menjadi 13.600/µL).

18
Selain medikamentosa tidak lupa juga diberikan terapi non medikamentosa, yaitu
minum air yang banyak, mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan
pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras, mengubur barang-barang yang
dapat menampung air; menganjurkan agar pasien memakai repellan untuk mencegah
gigitan nyamuk, khususnya saat berada di lingkungan sekolah; dan menjaga asupan
nutrisi yang seimbang, baik kualitas, maupun kuantitasnya.
Pasien dapat dipulangkan apabila sudah tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil,
3
tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit > 50.000/mm dan cenderung
meningkat, serta tidak dijumpai adanya distress pernafasan.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah bonam karena penyakit pada
pasien saat ini tidak mengancam nyawa. Untuk quo ad functionam bonam, karena
organ-organ vital pasien masih berfungsi dengan baik dan tidak terdapat adanya
manisfestasi perdarahan. Untuk quo ad sanactionam bonam karena kekambuhan pada
DBD hanya dapat terjadi jika terdapat reinfeksi oleh virus dengue. Dengan edukasi
yang tepat, maka dapat dilakukan tindakan pencegahan terjadinya infeksi virus
dengue.

19
BAB III
SINDROM SYOK DENGUE

Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang
mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi
virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang
bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak
spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat
(1,2,3)
yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).

2.1 Batasan dan Uraian Umum


Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
(1,2,3)
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.
Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh
dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock
syndrome (DSS).

2.2 Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh
virus dengue, yang termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus
mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-
4; dengan serotipe DEN-3 yang dominan di Indonesia dan paling banyak berkaitan
dengan kasus berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe Dengue dengan Flavivirus
lainnya. Infeksi oleh salah satu serotipe Dengue akan memberikan imunitas seumur
hidup, namun tidak ada imunitas silang dengan jenis serotipe lain.

2.3 Epidemiologi
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling
banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia,
dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka

20
kematian berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh
propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa.
Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD cenderung
(1,2,3,4,5)
menurun hingga 2% tahun 1999.

Gambar 2. Distribusi Virus Dengue, Infeksi dan Daerah Epidemis

Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu
udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya
penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus
dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat
(2)
pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

21
Gambar 3. Infeksi Dengue di Indonesia

2.4 Penularan
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua
jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di tempat-
tempat dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Populasi
nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim hujan, tetapi nyamuk Aedes aegypti
juga dapat hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan air sepanjang
tahun. Satu gigitan nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu untuk menimbulkan
penyakit dengue pada orang yang sehat.
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi Dengue, virus akan
mengalami masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien
akan mengalami gejala demam akut disertai berbagai gejala dan tanda nonspesifik.
Selama masa demam akut yang dapat berlangsung 2-10 hari, virus Dengue dapat
bersirkulasi di peredaran darah perifer. Jika nyamuk A. aegypti lain menggigit pasien
pada masa viremia ini, nyamuk tersebut akan terinfeksi dan dapat mentransmisikan
virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-12 hari.

22
2.5 Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
(1,2,3)
heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement.
Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous
infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan
Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas
(1,2,3)
melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik)
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan
C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga
plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun
(1,2,3)
hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok.

Gambar 4. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue

23
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang
akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan
plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus
dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
(1,2)
potensi untuk menimbulkan wabah.

Gambar 3. Patogenesis Syok pada DBD

24
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi
stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan
FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
(2,3)

Gambar 6. Patogenesis Perdarahan pada DBD

25
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di
sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga
terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan
oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
(2,3)
memperberat syok yang terjadi.
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari
ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi
imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:
1) Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag dan
sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.
2) Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik pada
sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada
permukaan sel fogosit mononukleus.
3) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang
telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah
sel yang terinfeksi.
4) Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-
mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut
berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen
dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta
tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

2.6 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO yang terdiri
dari kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:

26
Kriteria klinis :
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti anoreksia, lemah,
nyeri pada punggung, tulang, persendian , dan kepala, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.
*
2) Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet positif , petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena.
3) Hepatomegali
4) Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi ≤ 20 mmHg, atau hipotensi
disertai gelisah dan akral dingin.
* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset pada
tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif bila
ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci).

Kriteria laboratoris :
1) Trombositopenia (≤ 100.000/µl)
2) Hemokonsentrasi (kadar Ht ≥ 20% dari orang normal)

Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup untuk
menegakkan diagnogsis kerja DBD.

Sindrom Syok Dengue


Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
- Penurunan kesadaran, gelisah
- Nadi cepat, lemah
- Hipotensi
- Tekanan nadi < 20 mmHg
- Perfusi perifer menurun
- Kulit dingin-lembab.

Penentuan Derajat Penyakit


Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis
(2,4)
perlu ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan.

27
Gambar 7. Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut :

DERAJAT GEJALA & TANDA LABORATORIUM


Demam 2-7 hari Leukopenia
DD Disertai > 2 tanda : sakit kepala, Trombositopeni
nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia Kebocoran Plasma (-)

Gejala di atas (+)


DBD I
Disertai uji bendung positif Trombositopeni
(<100.000/ul)
Serologi
Gejala di atas (+)
DBD II Kebocoran Plasma (+) Dengue
Disertai perdarahan spontan
: Positif
Peningkatan Ht > 20
DBD III Gejala di atas (+) %
DSS Disertai tanda kegagalan sirkulasi Penurunan Ht > 20 %
setelah pemberian
DBD Syok berat disertai dengan tekanan cairan yang adekuat.
IV
DSS darah dan nadi yang tidak terukur

Kasus tipikal dari DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinik mayor : demam
tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi.
Trombositopenia sedang sampai berat yuang disertai dengan hemokonsentrasi adalah
temuan laboratorium yang khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan
derajat keparahan DBD dan membedakannya dari Demam Dengue adalah keluarnya

28
plasma yang bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi
serosa, atau hipoproteinemia.
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik
pada penderita DSS menurut Wong:
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun.
3. Nyeri perut.
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat.
6. Adanya efusi pleura pada toraks foto.
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG.

Pembagian renjatan menurut Munir dan Rampengan:


1. Syok ringan/tingkat 1 (impending shock) yaitu gejala dan tanda-tanda syok
disertai menyempitnya tekanan nadi menjadi 20mmHg.
2. Syok sedang/tingkat 2 (moderate shock) yaitu=tingkat 1 ditambah tekanan nadi
menjadi <20mmHg, tetapi belum sampai nol, disertai menurunnya tekanan
sistolik menjadi <80mmHg, tetapi belum sampai nol.
3. Syok berat/tingkat 3 (profound shock) yaitu tekanan darah tidak
terukur/nol,tetapi belum ada sianosis/asidosis.
4. Syok sangat berat/tingkat 4 (moribund cases) yaitu tekanan darah tidak terukur
lagi disertai sianosis dan asidosis.

Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium meliputi :
1. Isolasi virus
Dapat dilakukan dengan menanam spesimen pada :
 Biakan jaringan nyamuk atau biakan jaringan mamalia.

29
Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen yang
ditunjukkan dengan immunoflouresen, atau adanya CPE (cytopathic
effect) pada biakan jaringan manusia.
 Inokulasi/ penyuntikan pada nyamuk
Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen dengue pada
kepala nyamuk yang dilihat dengan uji immunoflouresen.
2. Pemeriksaan Serologi
 Uji HI (Hemaglutination Inhibition Test)
 Uji Pengikatan komplemen (Complement Fixation Test)
 Uji Netralisasi (Neutralization Test)
 Uji Mac.Elisa (IgM capture enzyme-linked immunosorbent assay)
 Uji IgG Elisa indirek

Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi dan USG, Kasus DBD, terdapat beberapa kerlainan yang
dapat dideteksi yaitu :
1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Kardiomegali dan efusi perikard
4. Hepatomegali, dilatasi V. heapatika dan kelainan parenkim hati
5. Caran dalam rongga peritoneum

Diagnosis Banding
1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi bakteri
maupun virus, seperti bronkopneumonia, demam tifoid, malaria, dan sebagainya.
2. Adanya ruam yang akut perlu dibedakan dengan morbili.
3. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis.
4. Penyakit-penyakit darah seperti idiophatic thrombocytopenic purpurae, leukemia
pada stadium lanjut, dan anemia aplastik.
5. Syok endotoksin.
6. Demam Chikunguya.

30
PENATALAKSANAAN
1. Pada DSS segera beri infus kristaloid ( Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20
ml/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2
lt/mnt. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak
terukur) diberikan ringer laktat 20ml/kgBB bersama koloid. Observasi tensi
dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa
elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap
dilanjutkan15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid
(HES) sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid diberikan pada
jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi
keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa
hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah. Pada syok
berat (tekanan nadi < 10 mmHg), penggunaan koloid (HES) sebagai cairan
resusitasi inisial memberi hasil perbaikan peningkatan tekanan nadi lebih
cepat.
3. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit,
tekanan nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi
10ml/kgBB. Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap dipertahankan sampai 24
jam atau sampai klinis stabildan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya
cairan diturunkan menjdi 7ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit
stabil kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5ml dan
seterusnya3ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi, tekanan darah, jumlah urin
dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan
pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum
baik.
4. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun
tetapi masih >40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB. Apabila
tampak perdarahan masif,berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan cairan
kristaloid 10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-

31
8cmH2O) padasyok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan
sonde lambung tidak dianjurkan.
5. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan
cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP
normal (>10cmH2O), maka diberikan dopamin.

32
Bagan 1. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV
[2]
(Sindrom Syok Dengue/SSD)

DBD derajat III & IV

1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit


2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?


Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balance cairan selama pemberian cairan intravena

Syok teratasi Syok tidak teratasi


Kesadaran membaik Kesadaran menurun
Nadi teraba kuat Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi >20 mmHg Tekanan nadi <20 mmHg
Tidak sesak nafas/sianosis Distress pernafasan/sianosis
Ekstrimitas hangat Kulit dingin dan lembab
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah

Cairan dan tetesan disesuaikan 1. Lanjutkan cairan


10 ml/kgBB/jam 15-20 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital 2. Tambahkan koloid/plasma
Tanda perdarahan Dekstran/FFP
Diuresis
Pantau Hb, Ht, Trombosit 3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam

Stabil dalam 24 jam


Tetesan 5 ml/kgBB/jam Syok belum teratasi
Ht stabil dalam 2x Syok teratasi
Pemeriksaan Ht turun Ht tetap tinggi/naik

Tetesan 3 ml/kgBB/jam Transfusi darah segar


10 ml/kgBB Koloid 20 ml/kgBB
dapat diulang sesuai
Infus stop tidak melebihi 48 jam kebutuhan
setelah syok teratasi

33
(2)
Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)
1. Kristaloid
Larutan ringer laktat (RL)
Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran)
1. Koloid
Dekstran 40, Plasma, Albumin

Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD


Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai
keunggulan dan kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl
(2)
starch (HES).
Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka
pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena
akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan
selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10°/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5
jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan
cara menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor
VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak
(2)
boleh diberikan pada pasien dengan KID.
Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang
mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap
(2)
sekitar 2-3 jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah.
Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES
450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah
larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10°/o HES 200/0,5 menetap dalam

34
4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-
12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang
dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung
trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin
(2)
parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD


Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD
seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk
kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas
laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit yang
tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang
perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh keluarga pasien untuk mencatatjumlah
cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung
(2)
urin serta mencatat jumlahnya.

(2)
Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ul
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik

35
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dirawat pasien an. RZ, 11 tahun masuk dengan keluhan utama demam 4
hari SMRS dan didiagnosis sebagai dengue shock syndrome berdasarkan kriteria
klinis dan laboratories dari WHO.
Tatalaksana pada pasien ini berupa suportif dan simptomatik yang berupa
pemberian terapi cairan yang disesuaikan dengan bagan pemberian terapi cairan pada
DSS (sesuai dengan literatur). Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan
parasetamol untuk mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3 x 500 mg PO (apabila
suhu > 38 C). Karena pasien ini mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati
maka juga diberikan ranitidine dengan dosis 50 mg untuk sekali pemberian yang
diberikan 2 kali sehari. Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder yang mungkin terjadi akibat manipulasi yang dilakukan terhadap
pasien.
Pasien pulang dalam kondisi kesehatan yang membaik. Dengan demikian
penegakan diagnosis dan tatalaksana kasus pada pasien ini telah sesuai dengan
tinjauan literature mengenai penanganan pada dengue shock syndrome.
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara paling
memadai saat ini. Maka, diberikan penjelasan dan mengedukasi keluarga pasien
untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras,
mengubur barang-barang yang dapat menampung air; menganjurkan agar pasien
memakai repellan untuk mencegah gigitan nyamuk.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006
2. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI. 2005
3. Dengue Haemorrhagic Fever : Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
Edition II. Geneva : World Health Organization. 2002. Available from
htttp://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication
Accessed December 1, 2009.
4. Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division of
Vector Borne and Infectious Diseases. Atlanta : 2009
5. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T, editor. Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2004.
6. Anonymous. Guidelines for treatment of dengue fever/dengue haemorrhagic
fever in small hospital. World Health Organization Regional Office for South-
East Asia. New Delhi: WHO; 1999.

37

You might also like