Professional Documents
Culture Documents
“ Yaa, setidaknya kau beli kaca yang lebih besar. Sejak kapan murid berani dengan
gurunya ? Hah ! Cepat katakan !” Sahut Seul Bi berdiri dan menggebrak meja.
“ Hahahahaa, yaa sudahlah. Jangan mengingatkanku pada Bu Rin. Dia akan sangat
marah mengetahui perilaku buruk murid kesayangannya. Cih ...”
“ Pekerjaanku mengingatkan bagaimana kerennya masa terakhir kita disekolah.
Tidak ada yang menyangka akan jadi seperti itu.”
Malam itu ku sempatkan berdiskusi dengan teman sebangku paling setia. Selagi
menunggu untuk beberapa hari kedepannya, aku menemaninya mengajar di sebuah
sekolah dasar di desaku. Seul Bi paling mahir membuat suasana tenang dengan suara
emas yang diam-diam dia miliki. Jika suasana mulai tidak menyenangkan di kelas,
mendengar suaranya bernyanyi menjadi pilihan yang tepat. Alhasil ketika ku tanya
anak-anak sekolah dasar didikannya mengenai cita-cita, mereka ingin menjadi
penyanyi bersuara merdu seperti Ibu Guru itu. Sembari menunjuk ke arah Seul Bi.
“ Kau harus tanggung jawab. Yaaa, kau sudah lupa perkataan Pak Shim ?”
“ Jangan bahas masa lalu di kelas, aku sepert menjadi tersangka saja.”
Selamat datang siswa tahun ketiga di kehidupan yang nyatanya melelahkan. Setiap
hari datang dengan semangat palsu, kata Seul Bi itu tidak baik. Akhirnya aku
merubah image ku yang terlalu jujur menunjukkan jika sekolah ini tempat terburuk
menuntut ilmu. Sebelum memasuki pintu gerbang, kita harus menyiapkan
percakapan bahasa inggris untuk latihan mengasah bahasa asing. Sangat lucu
program dari atasan ini. Jadi, setiap hari siswa jatungnya antara sehat dan tidak sehat.
Tapi lumayan sih, itu membantuku dalam bernyanyi bahasa inggris. Olah vokal lah.
Tahun terakhirku sekolah kuhabiskan dengan siswa-siswi teladan. Mereka
kebanyakan anak dari tokoh papan atas yang beredar isu membantu kemajuan
sekolah ini. Tanda kutip melakukan penyogokan. Hanya beberapa saja yang berada
di rantai makanan paling rendah. Tapi semua itu patut disyukuri, dengan begitu aku
pasti juga terkena dampak positifnya. Bukankah semua itu harus difikirkan secara
positif, supaya hasilnya positif. Terlepas apa yang sudah terjadi, sebenarnya mereka
cukup membuat ku merasa tidak nyaman. Setiap hari harus berdebat hanya karena
masalah pelajaran. Tidak ada waktu senggang di usiamu yang sudah 18 tahun. Kata
kata itu yang selalu di lampiaskan ketua kelas untuk manusia rendahan seperti aku
ini.
“ Ya Nam Hong Joo. Aku tidak suka berkata-kata. Jadi jangan buat suasana makin
panas.” Kata ketua kelas sekaligus ketua osis yang sepertinya tidak menyukai
kegiatan Angel Heart di kelas.
“ Uh, jika kau tidak suka berkata-kata. Jangan berkata-kata. Disini banyak ac. Iya
kan teman-teman?”
Beberapa dari golongan rendahan sebutan kami di dalam kelas mengatakan setuju
dengan perkataanku. Selebihnya hanya diam tidak menghiraukan apa yang sedang
terjadi. Akhir-akhir ini sangat sibuk karena Pak Shim selaku mengurusi kegiatan
siswa dengan penuh kehormatan memohon kepada grup Angel Heart untuk
menampilkan sesuatu istimewa di hari penyambutan kepada dinas pendidikan yang
akan berkunjung di sekolah kami. Rasanya melegakan, tidak sia-sia membuat
komunitas Angel Heart selama tiga tahun berada di sekolah. Pertama kalinya pihak
sekolah mengundang kami secara terhormat di acara penting. Secara, kami adalah
satu-satunya komunitas serba bisa kecuali mata pelajaran. Cukup beranggotakan 6
orang kami membentuk tim sukses ini. Tidak akan pernah ada yang melirik apalagi
tertarik dengan komunitas ini. Mereka sibuk memperbaiki nilai-nilai akademik, jadi
untuk apa untungnya mengikuti kegiatan unfaedah. Tiga tahun aku bersama Angel
Heart, begitu bersyukur. Tuhan memberiku takdir yang sempurna. Saat kegagalan
demi kegagalan dalam berprestasi di akademik menimpa ku. Cita cita Ibuku sangat
tinggi, jadi aku berharap bisa menggapainya. Berusaha dengan keras semasa masa
sekolah menengah pertama menjadikanku lulusan terbaik. Nilai-nilai ku sangat
memuaskan semua orang, apalagi bagi seorang Ibu. Alasan itulah yang membuat Ibu
memutuskan untuk meneruskan jenjang pendidikanku di sekolah kota favorit. Ada
ketakutan dalam raut wajah Ibu saat mendaftarkanku menjadi siswa di SMA Berlin.
Bersaing dengan anak-anak kota tidak semudah yang dibayangkan. Mereka memiliki
rumus-rumus tersendiri untuk menggapai bintang paling tinggi. Sedangkan anak-
anak desa, dengan belajar semampunya itu akan cukup memuaskan selagi tidak ada
pengaruh dari luar. Sayangnya kehidupan di perkotaan sangat jungkir balik dengan di
desa. Aku mencoba memberi sejuta keyakinan jika aku akan berhasil melangkahi
mereka. Hanya butuh waktu tiga tahun. Kata Ibu waktu berjalan sangat cepat. Jadi,
ku rasa aku harus bisa.
Waktu sudah berjalan dua semester. Tidak ada kabar menarik yang ingin Ibu dengar
dari mulut anaknya sendiri. Rapat siswa sudah digelar sejak tiga hari yang lalu,
menampilkan hasil evaluasi siswa selama kegiatan pembelajaran. Aku tinggal di
asrama, jadi tidak selalu bisa berkomunikasi baik dengan Ibu. Sejak saat itulah aku
memutuskan berhenti bertekad menjadi siswa dengan nilai terbaik. Anak desa yang
dikirim di kota kebanyakan akan menjadi seperti diriku. Menginjak awal tahun kedua
semester ganjil, nilai mata pelajaran semakin mengenaskan. Nilai point melanggar
tata tertib mencapai puncak final. Menjadi bandel ternyata lebih menantang. Keluar
dari zona nyaman untuk melihat dunia luar adalah sebuah mata pelajaran yang tidak
ada buku panduannya, tidak pula terdaftar sebagai pelajaran di sekolah-sekolah. Aku
hanya penasaran dengan sekolah lebih dalam. Itu lebih menarik daripada belajar di
dalam kelas. Tak disangka rasa penasaran itu berujung pada menumpuknya point
pinalti. Karena point pinalti ku semakin menumpuk, aku bertemu manusia dengan
rantai makanan terendah. Kata Pak Park sebagai guru yang mengatasi siswa-siswi
seperti kami. Dari point pinalti dan hukuman-hukuman untuk mengurangi point
pinaltilah Angel Heart terbentuk.
Jika ada perlombaan lari jarak jauh maupun dekat, Angel Heart paling bisa
diandalkan. Sayangnya tidak ada yang mengandalkan kami. Bagi kami, tidak ada
yang berat untuk dilaksanakan. Seperti halnya ujian, kami bisa menyelesaikan tanpa
belajar keras dalam waktu sebelum ujian selesai. Tapi hasilnya jangan mengharap
lebih, karena metode pembelajaran kami sungguh berbeda dengan mereka golongan
emas atau sebangsanya. Meskipun Angel Heart terbentuk karena latar belakang kami
sebagai seorang siswa dari rantai makanan paling rendah, bukan berarti kegiatan
dalam komunitas tidak bermanfaat. Mengasah kemampuan non akademik demi
mewujudkan pribadi dan hati yang tangguh. Kehidupan bukan tentang seberapa
bagus nilai-nilai yang tertulis di rapor. Bukan sekedar belajar 24 jam full time.
Makna kehidupan tidak bisa ditemukan dalam buku paket pelajaran ataupun berulang
ulang ujian tulis. Jika kamu ingin menemukan makna tentang kehidupan sebenarnya,
keluarlah dari zona nyamanmu. Beranikan dirimu untuk menghadapi masalah, karena
dialah yang akan membentuk pribadi mu di usia 18 tahun. Hidup tidak cukup hanya
dengan ujian tes tulis. Tapi tanpa sekolah hidup tidak akan menjadi bermakna.
Saat itu usia 18 tahunku sungguh berharga. Banyak kejadian yang membentuk
pribadi teguh di usia dewasa. Aku bersyukur di usia 18 tahunku waktu itu, Tuhan
memberi banyak masalah. Tidak ada rasa kecewa jika akhirnya bahagia.
Persahabatan dan cinta di usia 18 adalah saat-saat yang rumit dan membuat
pikiranmu terkuras. Apalagi belum mengurusi nilai-nilai yang katanya akan
membawamu di kehidupan yang layaknya manusia bangsawan. Masuk ke universitas
ternama dengan mengorbankan segalanya. Bahkan orang-orang terdekat yang
membuat kita bahagia. Cinta buta hanya untuk menuntut sebuah nilai-nilai. Di usia
18 tahunku dikelilingi oleh manusia-manusia bertipe kepribadia A. Bagiku mereka
tidak pernah membuatku susah, namun bagi mereka aku adalah sumber kesusahan
kesuksesan mereka. Seseorang yang mengatakan tanpa malu di depan muka
keluargaku.
Ini adalah kisah dari anak-anak usia 18 tahun. Dimana kamu, harus selalu
mengingatnya. Tidak peduli seberapa buruk kisahmu.
Mantan anak pintar. Sebutan untuk orang sepertiku. Menyedihkan setiap kali
mengingat janji ku pada Ibu. Setiap malam bukan malah belajar yang giat untuk
memenuhi janji itu, malah hanya membayangkan saja bagaimana jadinya aku setelah
lulus dari SMA ini. Asrama ini pun tidak kalah seram dengan sekolahnya. Hanya aku
sendiri yang bergelut dengan kasur. Lainnya tidak sedang di kamar meski ini sudah
tengah malam, jam 00:00. Mereka sedang berada di ruang khusus belajar siswa.
Menjadi usia 18 tahun kata Pak Park harus tahan banting fisik maupun batin. Tapi
aku selalu menyangkal moto beliau. Tidak terima saja, masa manusia harus mau
dibanting. Barang-barang saja baik yang sudah kemasan maupun belum tidak boleh
dibanting. Masa kita harus mau dan menahan ketika dibanting. Aku selalu ingin
berdebat dengan Pak Park. Dia itu sangat menjengkelkan. Otaknya perlu masuk
bengkel.
“ Sesuai janjiku kemarin, kau mau dapat catatan si nomor satu tidak ?”
Sial, itu terlalu menggodaku. Karena aku tipe pemalas dalam hal persiapan ujian,
terpaksa aku harus bersekongkol dengan Angel Heart untuk mendapatkan catatan si
nomor satu.
“ Cepat bangun ! “
Rencana yang sempurna untuk menjebak si nomor satu. Malam ini akan menjadi
malam menyedihkan bagi si nomor satu. Kehilangan benda paling berharganya. Dia
harus tahan banting, karena kita akan membanting dengan obat tidur yang sudah
disiapkan geratis oleh Ibu Kantin. Jangan kira kita hanya manusia rendahan. Kita
punya berbagai saluran chanel-chanel yang akan membantu mensukseskan visi-misi
kita.
“ Dasar babi, siapa yang membuat rencana sekeji ini ?!” Gertakku berpura pura
marah.
“ Siapa lagi kalau tidak laki-laki gila ini...” Jawab Seul Bi melirik.
“ Aaaa, aku terharu. Kenapa kau begitu manis dan pintar Jae Chan-a “ Balasku
sembari menunjukkan sikap manis semanis manisnya.
“ Aku bisa gila disini ! Yaa Hye Jin cepat ambil catatan itu.”
“ Baiklah bos.”