Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Kelas 2017 K
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat,
rahmat, dan hidayah-nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Keterkaitan
Isu Kekerasan Dalam Pendidikan Dengan Ke-Pgrian” ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Jati Diri Kanjuruhan.
Makalah ini telah disusun semaksimal mungkin, apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan, penulis mohon maaf. Demikian dari penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca, kritik dan saran kami harapkan agar dapat meningkatkan kualitas pembuatan
makalah berikutnya, terima kasih.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, sering terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan yang sudah
menjadi sorotan masyarakat. Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan verbal
seperti membentak siswa sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai
memukul siswa telah menjadi fenomena di dunia pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut
sudah berlangsung lama, bahkan frekuensinya meningkat seiring dengan meningkatknya
agresifitas siswa didik di lingkungan sekolah.
Tindakan kekerasan dalam pendidikan ini dapat dilakukan oleh siapa saja,
misalnya teman sekelas, kakak kelas dengan adik kelas, guru dengan muridnya dan
pemimpin sekolah dengan staffnya. Tindakan kekerasan tersebut sama sekali tidak bisa
dibenarkan meskipun terdapat beberapa alasan tertentu yang melatarabelakanginya.
B. Rumusan Masalah
1. Berikan contoh dan kronologis kejadian kekerasan dalam Pendidikan ?
2. Mengapa terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan? Dan Apa dampak dari
kekerasan dalam dunia pendidikan ?
3. Bagaimana keterkaitan isu tersebut dengan ke-PGRIan ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui contoh dan kronologis kejadian kekerasan dalam Pendidikan
2. Mengetahui alasan terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan, dan dampak
dari kekerasan dalam dunia pendidikan
3. Mengetahui keterkaitan isu tersebut dengan ke-PGRIan
BAB 11
PEMBAHASAN
"PGRI selalu mengimbau untuk mendidik secara benar. Dan mengedepankan nilai-nilai
pedagogik dan mengerti serta memahami perkembangan anak, juga mengikuti
psikologi perkembangan siswa," kata Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah
Rosyidi saat dihubungi, Jumat (20/4/2018).
Dia mengaku sedih karena dalam beberapa kasus, guru juga jadi korban kekerasan.
Meski demikain, Unifah menegaskan PGRI tak mentolerir adanya kekerasan di
lingkungan pendidikan.
"Tapi saya sedih juga kalau ada pemukulan terhadap guru. Mari kita sama-sama no
violence, tak boleh ada kekerasan di sekolah. Karena relasi antara siswa dan guru relasi
edukasi dan didasari penuh kasih sayang," tutur dia.
Terkait kasus penamparan ini, guru LK telah dilaporkan ke pihak kepolisian. Guru LK
juga sudah diperiksa polisi terkait kasus ini. PGRI akan berupaya memdiasi pihak-pihak
terkait dalam kasus ini.
"(PGRI akan) memediasi. Bertemu antara keluarga, kepolisian, PGRI, dan dewan
kehormatan guru. Kalau bisa damai. Nanti kami akan beri peringatan keras. Guru ini
dikenal sebagai guru yang santun. Sampai kaget semua temannya. Tapi apapun juga,
saya tolak semua kekerasan dan itu tak bisa dibenarkan," ungkapnya.
Peristiwa ini diketahui ketika video penamparan itu viral di medsos. Pihak sekolah
mengaku tidak menduga peristiwa ini akan terjadi. Diketahui ada 9 murid yang jadi
korban penamparan guru LK.(jbr/imk)
Kekerasan dalam pendidikan tidak semata hanya dilakukan oleh guru kepada
siswanya. Tetapi ada juga dari siswa atau orang tua kepada gurunya, masyarakat
kepada sekolah, kepala sekolah kepada guru, dan antara siswa sendiri. Menurut
Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasan (violence)
digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai penggunaan kekuatan
kepada orang lain, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert) atau
bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive).
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan:
1. Kekerasan terbuka (overt) yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati
secara langsung; seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang
berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah pada 2011 yang lalu, yaitu
kasus pengeroyokan 4 siswa SMKI Yogyakarta (SMK Negeri 1
Kasihan), terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga
SMKI yang dianiaya hingga meninggal karena alasan dugaan penipuan
order mendalang.
2. Kekerasan tertutup (covert) yakni kekerasan tersembunyi atau tidak
dilakukan secara langsung; seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-
simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau
tertekan. Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya
mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam
mewujudkan ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi mahasiswa
menolak SK Rektor UGM Yogyakarta pada April 2006 lalu, tentang Biaya
Operasional Pendidikan atau BOP, kedua belah pihak saling mengancam.
Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan sweeping KTP para demonstran,
di pihak lain, mahasiswa mengancam akan melakukan demo besar-besaran.
3. Kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk
mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau
bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk
prilaku kriminal, di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut
hukum tertentu. Contohnya kasus pembobolan mobil di Universitas
Jember. Kaca mobil Kijang Innova (P 1047 RG) pecah saat diparkir di
depan sebuah rumah kos di Jalan Mastrip II Jember.
4. Kekerasan defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai
tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo
dan lainnya, sengketa tanah antara warga dengan pihak dari sebuah sekolah,
dan lain sebagainya.
Dampak kekerasan dalam dunia pendidikan (baik pendidikan formal maupun non
formal) pada anak dapat membawa dampak negatif secara fisik maupun
psikis. Dampak negatif tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara fisik, kekerasan ini mengakibatkan adanya kerusakan tubuh seperti:
luka-luka memar, luka-luka simetris di wajah (di kedua sisi), punggung,
pantat, tungkai, luka lecet, sayatan-sayatan, luka bakar, pembengkakan
jaringan-jaringan lunak, pendarahan dibawah kulit, dehidrasi sebagai akibat
kurangnya cairan, patah tulang, pendarahan otak, pecahnya lambung, usus,
hati, pancreas. Sedangkan pada penganiayaan seksual bisa berakibat
kerusakan organ reproduksi seperti: terjadi luka memar, rasa sakit dan
gatal-gatal di daerah kemaluan, pendarahan dari vagina atau anus, infeksi
saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina, sulit untuk
berjalan dan duduk serta terkena infeksi penyakit kelamin bahkan bisa
terjadi suatu kehamilan.
"Saya mohon, jangan terus menyalahkan guru. Siswa pasti juga dipengaruhi lingkungan
dan pergaulan atau lainnya, nah di situ kami memiliki keterbatasan pengawasan," kata
Ketua umum PGRI Unifah Rosyidi kepada Republika.co.id, Senin (27/11).
"Jadi bagi saya, ya semua pihak ikut melakukan fungsinya sendiri-sendiri. Misal
orangtua, pemerintah setempat dan kami (guru) lakukan fungsi pengawasan juga. Jadi
kita berjalan bersama, tidak saling menyalahkan," tegas Unifah.
Selain itu, dikatakan Unifah, hingga kini profesi guru juga masih berkelindan dalam
permasalahan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan. Karena itu, dia berharap
pemerintah akan lebih mengutamakan kesejahteraan guru yang memiliki peran dan
tanggungjawab yang sentral dalam mendidik anak bangsa.
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir
ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam
kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Kekerasan atau bullying dapat
dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Proses pemberian punishment(hukuman)
yang lebih menekankan pada hukuman fisik dan psikis yang cenderung mencederai tubuh
dan jiwa peserta didik dalam proses pendisiplinan diri, sama sekali tidak dibenarkan
dalam Islam. Sebab Rasulullah saw. sebagai sosok teladan seluruh umat manusia di
bumi-Nya ini telah memberikan bukti-bukti nyata; Bagaimana cara mendidik anak yang
baik dan benar, yaitu diiringi dengan pendekatan kasih sayang, keuletan serta kesabaran,
dan bukan dengan cara kekerasan.
Namun demikian, tentu saja hal ini tidak dapat kemudian dimaknai dengan memanjakan
si anak. Pemberian reward yang tidak pada tempatnya atau berlebihan (apalagi kalau
selalu berbentuk material), justru akan menimbulkan kesan yang negatif pada diri si anak.
Karena hal ini secara langsung akan menggiring mereka untuk berprinsip tidak akan
berbuat baik bila tidak diberikan hadiah.
Di sinilah para pendidik (guru, dosen, ustadz, dan lain-lain) dituntut untuk memahami
jiwa peserta didik. Yang perlu dicatat adalah bahwa tugas dan kewajiban mereka bukan
hanya sebagai penyampai dan pemberi ilmu pengetahuan kepada peserta didik, akan
tetapi juga sekaligus counsellor (pembimbing) dan suri teladan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
https://m.detik.com/news/berita/d-3981628/guru-tampar-murid-di-purwokerto-pgri-tolak-
kekerasan-di-sekolah
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/p02ph4330