You are on page 1of 14

Polyhydramnios in Twin to Twin Transfusion Syndrome

Rimbun Wahyu Gumilar,Yusrawati


Fetomaternal Subdivision, Departement of Obstetrics and Gynecology,
Medical Faculty of Andalas University, Dr. M. Djamil Central General
Hospital Padang

ABSTRAK ABSTRACT

Tujuan: Melaporkan kasus Objectives: To report a case of


polihidramnion pada twin to twin polyhydramnios in twin to twin
transfusion syndrome (TTTS). transfusion syndrome (TTTS).
Bahan dan Metode: Artikel ini Materials and Methods: This article
menggambarkan laporan kasus seorang describes a case report of a woman, 30
wanita berusia 30 tahun dengan diagnosis years old, with diagnosis G2P1A0L1 27-
awal G2P1A0H1 gravid preterm 27-28 28 weeks preterm pregnancy + previous
minggu + bekas sectio caesarea 1 kali + caesarean section + gamely +
gameli + polihidramnion yang dirawat di polyhydramnios who was treated in
bangsal obstetri dan ginekologi RSUP Dr. obstetrics and gynecology ward of Central
M. Djamil Padang. Pasien dirawat dari Public Hospital Dr. M. Djamil Padang.
tanggal 9 November 2018 - 27 Desember She was treated from 9th November 2018
2018 dan mendapatkan intervensi – 27th December 2018 and was intervened
amnioreduksi. Diagnosis TTTS by amnioreduction. TTTS was diagnosed
ditegakkan berdasarkan temuan by findings of ultrasound.
ultrasound. Results: Patient was intervened
Hasil: Pasien mendapatkan intervensi amnioreduction twice with three days
amnioreduksi sebanyak dua kali dengan interval. Clear amnion was discharged
interval tiga hari. Cairan amnion berwarna about ±2.000 cc and ±900 cc. One of fetal
jernih dikeluarkan ±2.000 cc dan ±900 cc. twins was died (IUFD). Caesarean section
Salah satu janin meninggal di dalam was done in 37-38 weeks aterm
rahim setelah amnioreduksi kedua pregnancy. First baby is female, weight
(IUFD). Pada usia kehamilan 37-38 1.800 gr, length: 41 cm, apgar score 7/8.
minggu dilakukan persalinan dengan Second baby is female, weight 500 gr,
sectio caesarea. Bayi pertama berjenis length 35 cm, apgar score 0/0. Twin to
kelamin perempuan, berat 1.800 gram, twin transfusion syndrome was suspected
panjang badan 41 cm, apgar score 7/8. as cause of IUGR and IUFD in this case.
Bayi kedua berjenis kelamin perempuan, Conclusion: Twin to twin transfusion
berat 500 gram, panjang badan 35 cm, syndrome (TTTS) is a specific
apgar score 0/0. Penyebab IUGR dan complication of monozygotic twins with
IUFD pada kasus ini diduga karena monochorionic placentation resulting in
TTTS. high morbidity and mortality of fetal.
Simpulan: Twin to twin transfusion Required careful prenatal examination in
syndrome (TTTS) adalah suatu diagnosis and management of TTTS.
komplikasi dari kehamilan multipel
monokorion yang berisiko tinggi Keywords: Polyhydramnios, twin to twin
menyebabkan kematian fetal/neonatus. transfusion syndrome, gamely
Diperlukan pemeriksaan prenatal yang
cermat dan berkala dalam penegakan
diagnosis dan manajemen TTTS.
Kata kunci: Polihidramnion, twin to twin
transfusion syndrome, gameli

Correspondence:
1. Yusrawati, Fetomaternal Subdivision, Departement of Obstetrics and Gynecology,
Medical Faculty of Andalas University, Padang. Phone: +62811668272, Email:
dr_yusrawati@yahoo.com
2. Rimbun Wahyu Gumilar, Reseident of Departement of Obstetrics and Gynecology,
Medical Faculty of Andalas University, Padang. Phone: +6281276961991, Email:
rimbunwahyugumilar@gmail.com

PENDAHULUAN
Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) adalah suatu komplikasi dari kehamilan multipel
monokorion yang berisiko tinggi menyebabkan kematian fetal/neonatus, terutama pada janin
usia belum mampu hidup dan bila janin berhasil hidup maka janin tersebut berisiko
mengalami gangguan jantung, saraf dan mental (Nora H, 2013; Quintero, 1999; Taylor, 2002;
Nicholas dan Galea, 2002).

TTTS didiagnosis sebelum kelahiran dengan menggunakan ultrasonografi dan membutuhkan


dua kriteria yaitu adanya kehamilan kembar monokorion diamniotik dan adanya
oligohidramnion pada satu kantung dan polihidramnion pada kantung lainnya. TTTS
merupakan kondisi dengan perjalanan yang lambat, dengan dimulai (dilaporkan) pada umur
kehamilan 13 minggu atau trimester kedua. Diagnosis TTTS ditegakkan dengan evaluasi
ultrosonografi yang menunjukkan adanya (Nora, 2013):
1. Kehamilan kembar dengan satu plasenta (monokorion),
2. Jenis kelamin sama dengan dipisahkan oleh membran ketuban,
3. Pengukuran nuchal translucency >3mm pada umur kehamilan 10-14 minggu,
4. Hasil crown-rump length (CRL) yang kurang pada salah satu janin,
5. Polihidramnion pada janin resipien dan oligohidramnion pada janin donor, jumlah air
ketuban diukur dengan maximum vertical pocket (MVP).

Menurut Quintero, klasifikasi TTTS digambarkan dalam 5 stage (Quintero, 2013; SMFM dan
Simpson, 2013).
Tabel 1. Klasifikasi TTTS menurut Quintero
Stage Temuan Ultrasound Kategori Kriteria
1 MVP dari cairan amnion MVP < 2 cm pada kantung donor; MVP > 8 cm pada kantung
resipien
2 Kandung kemih fetus Tidak tervisualisasikan kandung kemih fetus pada donor selama
lebih dari 60 menit observasi
3 Arteri umbilikal, ductus venosus, Tidak ada atau kelainan diastolik arteri umbilikal, ductus
dan gelombang doppler vena venosus, atau vena umbilikal pada pemeriksaan doppler
umbilikal
4 Fetal hydrops/asites Hydrops/ asites pada salah satu atau kedua kembar
5 Tidak ada aktivitas kardiak fetal Kematian salah satu atau kedua kembar

TTTS hanya terjadi pada monokorion diamniotik (1/3 dari kembar monozigot). Pada sebagian
besar kehamilan ini, plasenta tunggal akan memiliki pembuluh darah yang akan
menghubungkan kedua janin. Untuk alasan yang belum diketahui sampai dengan saat ini,
pada 15%-20% dari monokorion diamniotik aliran darah yang melalui pembuluh darah ini
menjadi tidak seimbang menghasilkan kondisi yang disebut twin-twin transfusion syndrome
(TTTS) yang bukan merupakan faktor yang diturunkan/genetik atau disebabkan oleh sesuatu
yang dilakukan oleh ibu atau ayah (Quintero, 1999; Taylor, 2002, Nicholas dan Galea, 2002).
Bila tidak dilakukan penanganan yang adekuat 80-100% janin dari kehamilan tersebut akan
berakhir pada kematian (Cuningham, 2010).

Anastomosis pembuluh darah antar janin berperan penting pada patofisologi terjadinya
TTTS. Darah ditransfusikan secara tidak seimbang antara satu janin (donor) dengan janin
yang lain (resipien). Transfusi ini menyebabkan penurunan volume darah janin donor. Hal ini
mengakibatkan pertumbuhan janin donor menjadi terhambat sedangkan janin resipien yang
mendapat darah berlebihan bisa mengalami gagal jantung (Nora H, 2013; Quintero, 1999;
Taylor, 2002; Nicholas dan Galea, 2002).

Saat ini, ada beberapa manajemen TTTS(SMFM dan Simpson, 2013):


1. Reduksi amniosentesis
2. Septostomi atau mikroseptostomi
3. Selective laser ablation of the placenta anastomosis vessels
4. Selective cord coagulation
MCDA, monochorionic diamniotic; MVP, maximum vertical pocket; TTTS, twin-twin transfusion syndrome;
UA, umbilical artery.
Gambar 1. Manajemen TTTS
Sumber: SMFM dan Simpson, 2013

Manajemen TTTS bertujuan untuk mengurangi cairan amnion yang berlebihan pada kantung
amnion janin resipien. Diagnosis prenatal dilakukan dengan ultrasonografi (Nora H, 2013;
Quintero, 1999; Taylor, 2002; Nicholas dan Galea, 2002).

BAHAN DAN METODE


Artikel ini menggambarkan laporan kasus seorang wanita berusia 30 tahun dengan diagnosis
awal G2P1A0H1 gravid preterm 27-28 minggu + bekas sectio caesarea 1 kali + gameli +
polihidramnion yang dirawat di bangsal obstetri dan ginekologi RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Pasien dirawat dari tanggal 9 November 2018 - 27 Desember 2018 dan mendapatkan
intervensi amnioreduksi. Diagnosis TTTS ditegakkan berdasarkan temuan ultrasound.

LAPORAN KASUS
Seorang pasien wanita berusia 30 tahun, dengan diagnosa G2P1A0H1 gravid preterm 27-28
minggu + bekas sectio caesarea 1 kali + gameli + polihidramnion.

Pada pemeriksaan USG ditemukan janin hidup gameli intra uteri, aktivitas gerak janin baik,
biometri janin 1; BPD : 7,09 cm, AC: 24,42 cm, EFW: 1.301 gram, FHR: 142x/menit dan
biometri janin II; BPD: 7,02 cm, AC: 23,96 cm, EFW: 1.238 gram, FHR: 152x/ menit, SDP:
22,64 cm; plasenta tertanam di korpus posterior maturase grade 2. Pemeriksaan USG tersebut
memberikan kesan gravid 28-29 minggu sesuai biometri, janin hidup gameli, polihidramnion.

(a) (b)
Gambar 2. (a) Gambaran USG biometri janin 1; BPD : 7,09 cm, AC: 24,42 cm, EFW: 1.301
gram, FHR: 142x/menit dan (b) biometri janin II; BPD: 7,02 cm, AC: 23,96 cm, EFW: 1.238
gram, FHR: 152x/ menit, SDP: 22,64 cm; plasenta tertanam di korpus posterior maturase
grade 2.

Pada pasien ini dilakukan amniosentesis, sebagai pemeriksaan lanjutan berupa pengambilan
sampel cairan amnion untuk dilakukan analisis kromosom dengan mengirimkannya ke
Laboratorium Prodia yang nantinya akan dikirim ke Yayasan Genneka. Analisis kromosom
dilakukan dengan teknik G-Banding dengan hasil 46,XX yang artinya jumlah kromosom 46
buah dengan komosom seks janin XX, tidak tampak kelainan stuktur yang major.

Pasien mengeluhkan sesak di kehamilan 28-29 minggu sehingga tindakan amnioreduksi


dipertimbangkan untuk mengurangi sesak. Amnioreduksi dilakukan sebanyak dua kali
(interval tiga hari) pada usia kehamilan 28-29 minggu untuk mengurangi cairan amnion yang
berlebihan dari kantong amnion janin resipien. Pada amnioreduksi pertama (9 November
2018), cairan amnion berwarna jernih dikeluarkan sebanyak ± 2.000 cc. Pada amnioreduksi
kedua (12 November 2018), cairan amnion berwarna jernih dikeluarkan ± 900 cc.

Setelah amnioreduksi kedua, salah satu janin meninggal (intra uterine fetal death). Kematian
salah satu janin dicurigai karena twin to twin transfusion syndrome. Kehamilan di-follow up
hingga aterm.
Pada usia kehamilan 37-38 minggu dilakukan persalinan dengan sectio caesarea. Bayi
pertama berjenis kelamin perempuan, berat 1.800 gram, panjang badan 41 cm, apgar score
7/8. Bayi kedua berjenis kelamin perempuan, berat 500 gram, panjang badan 35 cm, apgar
score 0/0.

(a) (b) (c)


Gambar 3. (a) Foto bayi pertama (IUGR); (b) foto bayi kedua (IUFD); (c) foto monokorion
diamniotik pada kasus ini.
Setelah dilakukan tindakan sectio caesarea didapatkan salah satu bayi mengalami intra
uterine growth restriction (IUGR) dan bayi lainnya mengalami intra uterine fetal death
(IUFD). IUGR dan kematian janin di dalam rahim/IUFD pada salah kasus ini terjadi akibat
twin to twin transfusion syndrome.

HASIL DAN DISKUSI


Telah dilaporkan suatu kasus twin to twin trasnfusion syndrome. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan USG antenatal yang cermat dan berulang.

Pada beberapa literatur disebutkan bahwa diagnosis TTTS dapat ditegakkan jika memenuhi
dua kriteria yaitu (1) adanya kehamilan kembar monokorion diamniotik dan (2) adanya
oligohidramnion pada satu kantung dan polihidromnion pada kantung lainnya. TTTS dapat
ditegakkan sejak trimester dua melalui pemeriksaan ultrasound (Nora, 2013). Pada kasus ini,
pasien mendapatkan pemeriksaan ultrasound pada usia kehamilan trimester tiga (usia
kehamilan 28-29 minggu). Hasil pemeriksaan USG adalah gravid 28-29 minggu sesuai
biometri, janin hidup gameli, polihidramnion. Kasus ini hanya memenuhi satu kriteria
(kehamilan kembar monokorion diamniotik), namun mengalami polihidramnion pada satu
kantung dan jumlah amnion normal pada kantung lainnya. Pada fase ini, TTTS belum bisa
ditegakkan karena hanya memenuhi satu kriteria saja.

Screening TTTS tetap dilakukan pada pasien ini. Hal ini berdasarkan algoritma screening
tersebut digambarkan sebagai berikut (SMFM dan Simpson, 2013).

Gambar 4. Algoritma screening TTTS


Last name of the first author et al. : Running title of the manuscript (shorter version of the title)

Dari algoritma disimpulkan, pada pasien dengan kehamilan monokorion diamniotik trimester dua
yang tidak memenuhi kriteria TTTS, pemantauan dengan ultrasound dilakukan dalam interval dua
minggu (Kilby, 2006; Susters M, 2006; Lewi L, 2010); pada kasus ini, pasien datang dalam
trimester tiga. Sesuai algoritma, pemeriksaan ultrasound berkala tetap dilakukan.

Ini perlu dilakukan karena TTTS (baik pada stadium satu) merupakan kondisi yang dapat tetap
stabil dan juga progresif (10-30% kasus). Progresifitas dapat berkembang dalam hitungan minggu
hingga hari (O’Donoghue, 2007).

Beberapa hari dalam rawatan, pasien mengeluhkan sesak sehingga direncanakan amnioreduksi.
Amnioreduksi dapat dilakukan pada usia kehamilan > 14 minggu. Amnioreduksi dapat mengurangi
tekanan intraamnion dan tekanan intravaskular plasenta, memfasilitasi aliran darah plasenta
dan/atau dapat mengurangi insiden kelahiran prematur karena polihidramnion. Jika amnioreduksi
dilakukan pada kehamilan > 26 minggu, biasanya pada kasus maternal respiratory distress atau
kontraksi preterm yang disebabkan oleh polihidramnion (Calouhi G.E., 2010). Amnioreduksi serial
sering dilakukan (interval 48-72 jam) (Moise K.J., 2005), prosedur ini memiliki komplikasi seperti
pecah ketuban dini, persalinan prematur, abrupsi, infeksi dan kematian janin (Roberts D., 2008);
meskipun amnioreduksi meningkatkan survival 60-65% (Dickineon J.E., 2000; Mari G., 2001) dan
survival rate pasien TTTS stadium I menjadi 77% (Rossi C., 2012). Ini menjadi dasar pemilihan
tindakan amnioreduksi pada kasus ini.

Pada amnioreduksi pertama, dikeluarkan cairan amnion jernih sebanyak ± 2.000 cc. Tiga hari
kemudian dilakukan amnioreduksi kedua dan dikeluarkan cairan amnion jernih sebanyak ± 900 cc.
Pada amnioreduksi kedua terjadi kematian salah satu janin. Pada fase ini, TTTS berada pada
stadium V. Menurut Quintero, stadium V digambarkan dengan adanya oligo/polihidramnion, tidak
terlihatnya urin di dalam kandung kemih donor, adanya kelainan arteri umbilikal, duktus venosus
atau vena umbilikal pada pemeriksaan dopler, asites pada salah satu janin dan kematian salah satu
janin (SMFM dan Quintero, 2013). Gambaran klinis sesuai dengan TTTS stadium V.

Analisis kromosom yang dilakukan dengan teknik G-Banding memberikan hasil 46XX, artinya:
1. Jumlah kromosom 46 buah dengan komosom seks janin XX
2. Tidak tampak kelainan stuktur yang major.
Majalah Obstetri & Ginekologi

TTTS bukan merupakan faktor yang diturunkan/genetik atau disebabkan oleh sesuatu yang
dilakukan oleh ibu atau ayah (Quintero, 1999; Taylor, 2002, Nicholas dan Galea, 2002).

Belum ada pernyataan waktu kehamilan optimal untuk persalinan pada kehamilan TTTS. Ini
tergantung kepada beberapa faktor, seperti stadium dan severitas, progresifitas, efek intervensi (jika
ada) dan pemeriksaan antenatal lainnya. Rekomendasi untuk waktu persalinan TTTS ada
bermacam-macam, ada yang merekomendasikan pada usia kehamilan 32-34 minggu, dan ada juga
yang merekomendasikan pada usia kehamilan 34-37 minggu (biasanya pada kasus dengan TTTS
stadium 1 dan 2 atau pada kasus dengan follow up yang ketat) (Senat M.V., 2003; Moise K.J,
2005).

Salah satu komplikasi yang ditakutkan dari persalinan prematur adalah meningkatnya risiko
gangguan perkembangan neurologi (Lopriore E., 2009). Pada kasus adanya kematian salah satu
janin di dalam rahim, maka akan menigkatkan 10% risiko kematian dari janin lainnya dan 10-30%
risiko komplikasi neurologi (Banek C.S., 2003). Dapat disimpulkan ada bermacam faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam menentukan waktu persalinan; stadium, progresifitas, respon terhadap
terapi, pertumbuhan fetal, dan hasil dari follow up selama antenatal. Berdasarkan hal tersebut
menunda persalinan hingga aterm menjadi pilihan yang tepat meskipun sudah dilakukan intervensi
selama kehamilan untuk mengurangi resiko gangguan neurologis (Lopriore E., 2009). Pada
penanganan kasus TTTS ini dilakukan perencanaan partus se-aterm mungkin dengan pengawasan
yang ketat. Setelah kematian salah satu janin pemantauan dengan ultrasound dan laboratorium
tetap dilakukan.

Tabel 2. Tabel Follow Up Pasien TTTS Post Amnioreduksi


Tanggal Subyektif Obyektif Kesan
10 November 2018 Demam tidak ada, Vital sign dalam batas normal Post amnio reduksi ec polihidramnion pada
gerak anak ada, DJJ 1: 121-129x/i, his tidak G2P1A0H1 gravid 28-29 minggu + Bekas
nyeri pinggang ada SC 1x + Polihidramnion
tidak ada DJJ 2: 127-131x/i Janin Hidup Gameli intra uterin
11 November 2018 Demam tidak ada, Vital sign dalam batas normal Post amnio reduksi ec polihidramnion pada
gerak anak ada, DJJ 1: 125-134x/i, his tidak G2P1A0H1 gravid 28-29 minggu + Bekas
nyeri pinggang ada SC 1x + Polihidramnion
tidak ada DJJ 2: 127-137x/i Janin Hidup Gameli intra uterin
12 November 2018 Demam tidak ada, Vital sign dalam batas normal Post amnio reduksi ec polihidramnion pada
(Sebelum gerak anak ada, DJJ 1: 120-130x/i, his tidak G2P1A0H1 gravid 28-29 minggu + Bekas
Last name of the first author et al. : Running title of the manuscript (shorter version of the title)

Tanggal Subyektif Obyektif Kesan


amnioreduksi nyeri pinggang ada SC 1x + Polihidramnion
kedua) tidak ada DJJ 2: 127-137x/i Janin Hidup Gameli intra uterin
Direncanakan amnioreduksi kedua pada tanggal 12 November 2018

12 November 2018 Demam tidak ada, USG: janin gameli intra uterin Post amnio reduksi ec polihidramnion pada
(Setelah gerak anak ada, 1 hidup 1 meninggal G2P1A0H1 gravid 28-29 minggu + bekas SC
amnioreduksi nyeri pinggang 1x + Polihidramnion
kedua) tidak ada Janin gameli intra uterine 1 hidup 1
meninggal
13 November 2018 Demam tidak ada, Vital sign dalam batas normal Post amnio reduksi ec polihidramnion pada
gerak anak ada, DJJ 1: 125-134x/i, his tidak G2P1A0H1 gravid 27-28 minggu + bekas SC
nyeri pinggang ada 1x + Polihidramnion
tidak ada DJJ 2: - Janin gameli intra uterine 1 hidup 1
meninggal
Pasien rawat jalan ke poli fetomaternal 1 minggu kemudian
21 November 2018 Demam tidak ada, Vital sign dalam batas normal G2P1A0H1 Gravid 30-31 minggu +
gerak anak ada, DJJ 1: 130-140x/i, his tidak Polihidramnion + Bekas SC 1x
nyeri pinggang ada Janin Gameli monokorion diamnion Intra
tidak ada, keluar DJJ 2: - Uterin 1 hidup 1 meninggal
cairan dari
kemaluan tidak USG:
ada Biometri janin 1 :
BPD : 7,78
AC : 27,79
HC : 28,48
FL : 6,41
HL : 5,64
EFW : 1930 gr
SDP : 9,76 cm
FHR : 145x/i

Biometri janin 2 :
FHR : (-)
Robert Sign (+)

Tabel 3. Tabel Pemeriksaan Laboratorium Pasien


Tanggal Pemeriksaan Pemeriksaan Hasil
9 November 2018 Hemoglobin 11,2 gr%
Hemtokrit 33%
Leukosit 10.480/mm3
Trombosit 372.000/mm3
PT 10,8”
Majalah Obstetri & Ginekologi

Tanggal Pemeriksaan Pemeriksaan Hasil


aPTT 31,5”
Gula darah sewaktu 113 mg/dL
Ureum 20 mg/dL
Kreatinin 0,7 mg/dL
Natrium 137 mmol/dL
Kalium 4,0 mmol/dL
Klorida 110 mmol/dL
Total protein 5,9 g/dL
Albumin 2,8 g/dL
Globlin 3 g/dL
SGOT 16 u/L
SGPT 13 u/L
LH 319 u/L
21 November 2018 Fibrinogen 510 mg/dL

Dari hasil laboratorium dapat disimpulkan tedapat peningkatan fibrinogen. Sedangkan gambaran
ultrasound disimpulkan gravid 30-31 minggu sesuai biometri, janin gameli monokorion diamnion 1
hidup 1 meninggal, polihidramnion.

Persalinan secara sectio caesarea dilakukan pada usia kehamilan 37-38 minggu. Bayi pertama
berjenis kelamin perempuan, berat 1.800 gram, panjang badan 41 cm, apgar score 7/8. Bayi kedua
berjenis kelamin perempuan, berat 500 gram, panjang badan 35 cm, apgar score 0/0. Setelah
dilakukan tindakan sectio caesarea didapatkan salah satu bayi mengalami intra uterine growth
restriction (IUGR) dan bayi lainnya mengalami intra uterine fetal death (IUFD). IUGR dan
kematian janin di dalam rahim/IUFD pada salah kasus ini terjadi akibat twin to twin transfusion
syndrome. Diperlukan pemeriksaan neurologi, kardiovaskular, fungsi ginjal lainnya pada bayi yang
bertahan hidup (Nora, 2013).

KESIMPULAN
Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) adalah suatu komplikasi dari kehamilan multipel
monokorion yang berisiko tinggi menyebabkan kematian fetal/neonatus. Diperlukan pemeriksaan
prenatal yang cermat dan berulang dalam penegakan diagnosis dan manajemen TTTS karena
kemungkinan progresifitasnya. Pada bayi yang bertahan hidup juga diperlukan pemeriksaan fungsi
organ lebih lanjut.
Kasus yang dilaporkan ini merupakan kasus TTTS berdasarkan temuan USG prenatal.

ACKNOWLEDGMENT
Last name of the first author et al. : Running title of the manuscript (shorter version of the title)

The acknowledgment is a formal printed statement that recognizes individuals and institutions that
contributed to the work being reported. Contributions to the research should be acknowledged.
Acknowledge research contributions by people other than the authors. Persons who gave scientific
guidance, participated in discussions, or shared unpublished results. Institutions who help in
funding. The acknowledgment should be a simple statement of thanks, not a testimonial or
dedication.

DAFTAR PUSTAKA
Nora H., Twin-twin transfusion syndrome. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala (2013) 13(2): 86-95.

Cunningham F.G., Leveno K.J., Bloom S.L., Hauth J.C., Rouse D.J., Spong C.Y., William obstetric
23rd edition (2010).

Quintero R.A., Morales W.J., Allen M.H., Bornick P.W., Johnson P.K., Kruger M., Staging of twin-
twin transfusion syndrome. J.Perinatol. (1999) 19: 550-5.

Taylor M.J., Govender L., Jolly M., Wee L, Fisk N.M., Validation of the Quintero staging system
for twin-twin transfusion syndrome. Obstet Gynecol. (2002) 100: 1257-65.

Nicholas dan Galea, Twin-twin transfusion - As good as it gets?. New England medical Journal
(2004) 14(7), available at http://www.nejm.org .

Society for Maternal-Fetal Medicine (SMFM) dan Simpson L.L., Twin to twin transfusion
syndrome. American Journal of Obstetrics and Gynecology (2013) 208(1): 3-18.

Wilcox W.R., Tavormina P.L., Krakow D., Kitoh H., Lachman R.S., Wasmuth J.J., Thompson L.M.,
Rimoin D.L. Molecular, radiologic and histopathologic correlations in thanatophoric
dysplasia. Am. J. Med. Genet. (1998) 78:274-281.

Simpson L.L, Twin-twin transfusion syndrome. In: Copel JA, ed. Obstetric imaging. 1st ed.
Philadelphia: elseiver; (2012).

Susters M., Middledorp J,M, Lopriore E., Oepkee D., Kanhai H.H., Vanderbusche F.P. T. Timely
diagnosis of twin-to-twin transfusion syndrome in monochorionic twin pregnancies by
biweekly sonography combined with patient instruction to report onset of symptoms.
Ultrasound Obstet Gynecol (2006); 28: 659-64.
Majalah Obstetri & Ginekologi

Kilby M.D., Baker P., Critchley H., Field D., Consensus views arising from the 50th study group:
multiple pregnancy. London: RCOG press (2006).

Lewi L., Gucciardo L., Van Mieghem T., et al. Monochorionic diamniotic twin pregnancies: natural
history and rist stratification. Fetal Diagn Ther (2010); 27: 121-33.

O’Donoghue K., Cartwright E., Galea P., Fisk N.M. Stage I twin-twin transfusion syndrome: rates
of progression and regression in relation to outcome. Ultrasound Obstet Gynecol (2007);
30: 958-64.

Rossi C., D’Addario V. Survival outcomes of twin-twin transfusion syndrome in stage I: a sys-
tematic review of the literature. Am J Perinatol (2012); July 26 [epub ahead of print].

Moise K.J. Jr., Dorman K., Lamvu G., et al. A randomized trial of amnioreduction versus
septostomy in the treatment of twin-twin transfusion syndrome. Am J Obstet Gynecol
(2005);193:701-7.

Chalouhi G.E., Stirnemann J.J., Salomon L.J., Essaoui M., Quibel T., Ville Y. Specific
complications of monochorionic twin pregnancies: twin-twin transfusion syndrome and
twin reversed arterial perfusion sequence. Semin Fetal Neonatal Med (2010);15:349-56.

Mari G., Roberts A., Detti L., et al. Perinatal morbidity and mortality rates in severe twin-twin
transfusion syndrome: results of the international amnioreduction registry. Am J Obstet
Gynecol (2001);185:708-15.

Dickinson J.E., Evans S.F. Obstetric and perinatal outcomes from the Australian and New Zealand
twin-twin transfusion syndrome registry. Am J Obstet Gynecol (2000);182:706-12.

Roberts D., Gates S, Kilby M., Neilson J.P. Interventions for twin-twin transfusion syndrome: a
Cochrane review. Ultrasound Obstet Gynecol (2008);31:701-11.

Senat M.V., Deprest J., Boulvain M., Paupe A., Winer N., Ville Y.. Endoscopic laser surgery versus
serial amnioreduction for severe twin-to-twin transfusion syndrome. N Engl J Med
(2004);351:136-44.

Lopriore E., Ortibus E., Acosta-Rojas R., et al. Risk factors for neurodevelopment impairment in
twin-twin transfusion syndrome treated with fetoscopic laser surgery. Obstet Gynecol
(2009); 113:361-6.
Last name of the first author et al. : Running title of the manuscript (shorter version of the title)

Banek C.S., Hecher K., Hackeloer B.J., Bartmann P. Long-term neurodevelopmental outcome after
intrauterine laser treatment for severe twin-twin transfusion syndrome. Am J Obstet
Gynecol (2003);188:876-80.

You might also like