You are on page 1of 29

Mini Clinical Examination

“Dengue Fever”

Diajukan kepada :
dr. Nani Widorini, Sp.PD

Disusun oleh :
Putri Rahmawati Utami G4A016113

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD AJIBARANG
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Mini Clinical Examination


“Dengue Fever”

DisusunOleh :
Putri Rahmawati Utami G4A016113

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


Di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Ajibarang

Telah disetujui dan dipresentasikan


PadaTanggal Desember 2018

Pembimbing,

dr. Nani Widorini, Sp.PD

2
I. STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Sdr. F
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Lajang
Agama : Islam
Tanggal periksa : 26 Desember 2018

B. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Demam
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Ajibarang tanggal 24 Desember 2018
pukul 07.00 dengan keluhan demam. Demam dirasakan mendadak tinggi
sejak 5 hari SMRS. Demam terus naik dan tidak pernah turun, Baru 2 hari
ini pasien merasakan sudah tidak demam. Selain itu pasien juga
mengeluhkan nyeri pada seluruh otot badan , nyeri kepala , mual dan nyeri
ulu hati. Bintik-bintik merah pada kedua kaki nya dirasakan baru muncul
sejak tadi malam ( belum 1 hari ).
Pasien menyangkal ada keluhan mimisan , BAB merah dan keluhan
sesak. 1 minggu yang lalu pasien baru pulang dari Jawa Timur. Di sekitar
lingkungan pasien tidak ada yang mengeluhkan hal serupa.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat diabetes melitus : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal

3
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit jantung : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang santri yang mondok di salah satu
pesantren yang berada di Jawa Timur, sudah 2 tahun pasien menjadi santri
disana. Pasien merupakan anak ke 4 dari 5 bersaudara. Setiap hari pasien
makan 3 kali sehari , danmakan apa yang di sediakan oleh pondok. Menu
makan setiap hari pasti ada lauk sayur dan daging atau telur.

C. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : Sedang
- Kesadaran : Compos Mentis
- Vital sign : Tekanan Darah : 120/70mmHg
Nadi : 80 kali/menit
RR : 18 kali/menit
Suhu : 36,8oC
- Status Generalis
- Kepala : Bentuk : mesochepal, simetris (+)
Rambut :warna hitam, tidak mudah dicabut,
distribusi merata
- Mata : palpebra edema -/-, konjungtiva anemis -/- , sklera
ikterik -/-, pupil isokor, diameter pupil 3 mm/3 mm, reflex cahaya +/+,
mata cekung (-/-), air mata (+/+)
- Telinga : otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
- Hidung : NCH (-/-), discharge (-/-), deformitas (-/-), bloody
rinore (-/-)
- Mulut : bibir sianosis (-), bibir kering (-) , perdarahan
mukosa (-)
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar

4
- Thoraks
- Paru :
- Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak(-), jejas (-), Retraksi (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri, ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-),
RBK (-/-), RBH (-/-)
- Jantung :
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMCS
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC VLMCS, kuat angkat (-)
- Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah:SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah: SIC V LMCS 1 jari
medial LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
- Inspeksi : cembung
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio epigastrium
- Hepar : tidak teraba pembesaran
- Lien : tidak teraba pembesaran
- Ekstrimitas
- Superior : akral hangat (+/+), edema (-/-), ptechie (-/-)
- Inferior : akral hangat (+/+), edema (-/-),ptechie (+/+)

2. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium darah
Pemeriksaan 24-12-2018 25-12-2018 25-12-2018
(05.20) (19.44)
Hb 13.7 gr/dl 13.1 gr/dl 12.6 gr/dL
Leukosit 1.71 x 103 /ul (L) 2.25 x 103/ul L 3.33 x 103/ul L
Hermatokrit 40.4 % (L) 38.9 % L 37.2 % L
Eritrosit 7.21 juta/ul (H) 6.84 juta/ul (H) 6.50 juta/ul (H)
Trombosit 71.000/ul (L) 31.000/ul L 67.000/ul L
MCV 56 Fl (L) 56 L 56.4 L
MCH 19 pg/cell (L) 19.2 pg/cellL 19.1 pg/cell
MCHC 33.9 g/dl 33.7 g/dl 33.9 g/dl

5
RDW 18.1 % H 17 % H 16.2 % H
Basofil 1% 0% 0%
Eosinofil 1%L 3% 3%
Batang 0.0 % L 0.0 % L 0.0 % L
Segmen 51.4 % 33 % L 45.4 %
Limfosit 35 % 49 % H 38 %
Monosit 12 % H 14 % H 13 % H
SGOT 136 H
SGPT 72 H
GDS 136

D. DIAGNOSIS BANDING
Viral Infection
Demam Tifoid
Idiopathic thrombocytopenia purpura
E. DIAGNOSIS KERJA
Demam Dengue
F. PLANNING
1. Pemeriksaan penunjang
a. IgM dan IgG anti dengue

2. Terapi
a. Farmakologi
1) Inj Ranitidin 2 x 25 mg
2) Inj Ketorolac 3 x 15 mg
3) PO Paracetamol 3x500 mg
4) PO curcuma 3x20 mg
b. Non Farmakologi
1) IVFD RL 20 tpm
2) Bed rest
c. Edukasi
1) Edukasi terkait perjalanan penyakit dan tatalaksananya, sehingga
pasien mengerti tidak ada obat /medika mentosa untuk penanganan
DBD, terapi hanya bersifat suportif dan mencegah perburukan
penyakit. Penyakit akan sembuh sesuai dengan perjalanan alamiah
penyakit
2) Modifikasi gaya hidup
a) Melakukan kegiatan 3M, menguras , mengubur dan menutup

6
b) Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan
bergizi dan melakukan olahraga secara rutin

3. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Monitoring pemeriksaan darah lengkap

G. PROGNOSIS
Advitam : dubia ad bonam
Adfungsionam : dubia ad bonam
Adsanationam : dubia ad bonam

7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Berdarah Dengue

1. Definisi

Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang

disebabkan oleh famili Flavivirus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan

DEN-4, yang mengakibatkan infeksi 390 juta per tahun di dunia pada

sepertiga populasi yang berisiko (Paul, 2016). Demam berdarah

ditularkan melalui vector nyamuk yaitu Aedes aegypti dan spesies lain

dari Aedes sp. juga berpotensi menularkan virus dengue. Aedes aegypti

memiliki distibusi yang luas di dunia, sebagian besar di daerah tropis

dan subtropis (Shepherd, 2006).

2. Epidemiologi

Sekitar 2,5 juta penduduk di daerah tropis, subtropis, dan

lebih dari 100 negara seperti di Afrika, Amerika, Mediterania, Asia

Selatan, dan Pasifik barat pernah terinfeksi virus dengue. Menurut

WHO terdapat kira-kira 50-100 juta kasus infeksi virus dengue setiap

tahunnya, dengan 250.000–500.000 demam berdarah dengue (DBD)

dan 24.000 di antaranya meninggal dunia. Dua belas di antara 30

provinsi di Indonesia merupakan daerah endemis DBD, dengan CFR

(case fatality rate) 1,2% (Hartoyo, 2008).

Menurut Sumarmo (1986) dalam penelitian Karyanti dan

Hadinegoro (2009), Pada tahun 1968, diketahui pertama kali infeksi

dengue di Indonesia, dilaporkan 58 kasus di DKI Jakarta dan

8
Surabaya (termasuk 24 kasus yang meninggal). Pada tahun 1997, 2004

dan 2005 Depkes melaporkan angka kematian dengue berurutan adalah

15,2 per 100.000 orang, 30 per 100.000 orang dan 13,7 per 100.000

orang (Setiati, 2006).

Pada tahun 2008, kasus endemik demam berdarah dengue

di Brazil banyak menyerang anak dengan demam berdarah berat dan

infeksi primer. Hal ini berbeda dengan Asia, penelitian menunjukkan

hubungan keparahan demam berdarah dengan infeksi sekunder (Pone,

2016). Menurut Graham (1999) dalam penelitian Karyanti dan

Hadinegoro (2009) menyatakan penelitian kohort prospektif yang

dimulai pada tahun 1995 menunjukkan bahwa insidens dari satu atau

lebih infeksi dengue 29,2% terjadi pada kelompok umur 4-9 tahun di

Yogyakarta pada tahun pertama penelitian. Sekitar 56,2% memiliki

antibodi terhadap satu atau lebih tipe virus pada awal penelitian, dan

34,3% dari seluruh kasus terbukti secara serologi telah terpapar dengan

satu serotipe. Pada kasus anak yang terbukti secara serologi belum

pernah terpapar infeksi dengue sebelumnya sebanyak 26,8% (216 dari

805) mengalami serokonversi dan enam dari 1837 kasus yang dirawat

memiliki infeksi sekunder atau tersier.

Penelitian Karyanti (2009) menyatakan bahwa sejak tahun

1968-1995 di Indonesia kasus DBD terutama menyerang kelompok

umur 5-14 tahun, tetapi setelah tahun 1984 insidens kelompok umur

>15 tahun meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 di provinsi

9
DKI Jakarta, persentase kasus DBD terbanyak merupakan kelompok

umur 5-14 tahun (36%), diikuti kelompok umur >5 tahun (31%),

kelompok 15-44 tahun (22%) dan >45 tahun (11%). Data dari tahun

2006 menunjukkan proporsi jenis kelamin lelaki lebih banyak

dibanding perempuan pada semua kelompok umur.

3. Faktor risiko

a. Usia

Penelitian Dardjito et all (2008) menyatakan bahwa

usia rata-rata umur <12 tahun lebih banyak dibandingkan dengan

umur >12 tahun. Hal ini dikarenakan oleh kebiasaan masyarakat

bahwa anak-anak kebanyakan aktivitasnya berada di dalam rumah,

sehingga kemungkinan kontak dengan nyamuk Aedes aegypti lebih

besar dibandingkan dengan orang dewasa muda maupun orang tua

kebanyakan aktivitasnya di luar rumah.

Kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok

umur <15 tahun. Sejak tahun 1999 – 2009 keadaan ini berubah

bahwa kelompok umur ≥15 tahun merupakan kelompok umur

dengan kasus DBD terbanyak di Indonesia. Namun, penyebab

kematian dengan jumlah yang signifikan pada kasus DBD terdapat

pada kelompok umur <15 tahun (Kusumawardani, 2012).

Hal ini sesuai dengan penelitian Hadinegoro (1999)

bahwa disebutkan di Indonesia penderita DBD terbanyak ialah

10
anak berumur 5-11 tahun. Sedangkan menurut Hapsari (2006)

menyatakan penderita DBD dengan usia dibawah 15 tahun

memiliki derajat keparahan yang cenderung lebih tinggi. Makin

muda usia penderita, untuk derajat beratnya penyakit, makin besar

pula mortalitasnya.

b. Kepadatan rumah hunian

Rumah yang padat lebih memudahkan bagi nyamuk

untuk menularkan penyakit DBD karena kebiasaan nyamuk yang

melakukan multibites dan juga jarak terbangnya yang hanya 50-

100m (Supartha, 2008). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian di Iquitos, Peru yang menunjukkan bahwa kumpulan

nyamuk Aedes dewasa lebih banyak ditemukan di pemukiman

yang rapat dan sedikit ditemukan di lingkungan yang pemukiman

dengan rumah berjarak 30 m (Gettis,2003).

Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian

Misti Rahayu et all (2010) menyatakan bahwa tidak ada hubungan

antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit DBD, namun

mayoritas yang terkena penyakit DBD yaitu 15 orang (71,43%)

tinggal di rumah yang padat dikarenakan hasil uji chisquare di

mana α =0,05 menunjukkan nilai p =0,269 berarti tidak ada

hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit DBD,

dengan nilai RR =1,242 (CI 95% =0,946 – 1,629).

11
c. Sanitasi lingkungan

Kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam

perkembangbiakan nyamuk Aedes sp., terutama apabila terdapat

banyak kontainer penampungan air hujan yang berserakan dan

terlindung dari sinar matahari, apalagi berdekatan dengan rumah

penduduk (Soegijanto, 2004). Ditjen PPM & PLP (Pemberantasan

Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Pemukiman) Depkes

menyatakan bahwa tempat perkembangbiakkan utama jentik Aedes

aegypti pada tempat-tempat penampungan air di dalam atau di luar

rumah atau sekitar rumah, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter

dari rumah. Tempat perkembangbiakan nyamuk ini berupa

genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana dan

tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung

berhubungan dengan tanah.

Hal ini sesuai dengan penelitian Sari (2005)

menyatakan bahwa nyamuk Aedes aegypti hidup di sekitar

pemukiman manusia, di dalam dan di luar rumah terutama di

daerah perkotaan dan berkembang dalam berbagai macam

penampungan air bersih yang tidak berhubungan langsung dengan

tanah dan terlindung dari sinar matahari. Larvanya tumbuh subur

sebagai pemakan di dasar (bottom feeder) dalam air bersih yang

mengandung bahan organik, sehingga larvisida bentuk granul

sangat sesuai untuk membasmi nyamuk ini.

12
d. Tindakan pembersihan sarang nyamuk

Tindakan pembersihan sarang nyamuk merupakan

tindakan pencegahan penularan DBD yang terdiri dari tindakan

menguras air kontainer secara teratur seminggu sekali, menutup

rapat kontainer air bersih, dan mengubur kontainer bekas seperti

kaleng bekas, gelas plastik, barang bekas lainnya yang dapat

menampung air hujan sehingga menjadi sarang nyamuk (dikenal

dengan istilah tindakan ‘3M’) dan tindakan abatisasi atau

menaburkan butiran Temephos (abate) ke dalam tempat

penampungan air bersih dengan dosis 1 ppm atau 1 gram temephos

SG dalam 1 liter air yang mempunyai efek residu sampai 3 bulan

(Fathi, 2005).

WHO (2000) menyatakan bahwa pemberantasan jentik

nyamuk Aedes sp. dengan penaburan butiran Temephos dengan

dosis 1 ppm dengan efek residu selama 3 bulan cukup efektif

menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes sp., sehingga

menurunkan risiko terjadinya KLB penyakit DBD. Hal ini tidak

sejalan dengan penelitian Misti Rahayu (2010) bahwa tidak ada

hubungan antara perilaku 3M dengan kejadian penyakit DBD

dikarenakan hasil uji chi-square yaitu α= 0,05 menunjukkan nilai

p= 1,000 berarti tidak ada hubungan antara perilaku melaksanakan

3M dengan kejadian penyakit DBD dengan nilai RR= 1,003 (CI

95%= 1,002 – 1,005).

13
e. Mobilitas penduduk

Adanya mobilitas penduduk memudahkan penularan

dari sumber penularan ke tempat lain sehingga semakin ramai lalu

lintas maka semakin besar kemungkinan penyebaran (Sari, 2005).

Hal ini sesuai dengan penelitian Gama dan Betty (2010)

menyatakan bahwa responden yang melakukan mobilitas minimal

periode 2 minggu sebelum kejadian DBD memiliki risiko 9,29 kali

lebih besar daripada responden yang tidak melakukan mobilitas

minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD dengan batas

bawah 1,08 dan batas atas 80,15 (OR= 9,29, CI 95%= 1,08-80,15).

4. Patogenesis

Menurut WHO (2009) nyamuk Aedes sp. yang sudah

terinfeksi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang hidupnya dan

terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan

menghisap darah. Virus dengue yang telah masuk di dalam tubuh

manusia akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel

pembuluh darah, nodus limpatikus, sumsum tulang serta paru-paru

(Candra, 2010).

Setelah itu, virus dengue berkembang biak di dalam sel

retikuloendotelial kemudian diikuti viremia selama 5-7 hari. Akibat

infeksi tersebut maka timbul respon imun selular baik humoral

(Candra, 2010). Virus dengue yang berkembangbiak di dalam sel

14
retikuloendotelial menyebabkan kompleks antigen antibodi yang

dapat mengakibatkan hal-hal berikut :

a. Monosit dan makrofag akan menjadi lebih aktif dalam proses

fagositosis karena adanya proses opsonisasi antigen oleh antibodi.

Namun proses fagositosis ini menyebabkan sekresi sitokin oleh

makrofag. Sitokin tersebut diantaranya adalah TNF-α (Tumor

Necrosis Factor-α), IL-1 (Interleukin-1), PAF (Platelet Activating

Factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan terjadinya

disfungsi sel endotel pembuluh darah dan terjadi kebocoran

plasma (Hadinegoro,1999).

Terinfeksinya makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi

T-helper dan T-Sitotoksik. Diferensiasi T-helper yaitu Th1 akan

memproduksi interferon γ, IL-2 dan limfokin. Sedangkan Th2

memproduksi IL-2, IL-4, IL-6, dan IL-10. Interferon γ yang

dihasilkan oleh Th1 akhirnya juga merangsang pembentukan

sitokin makrofag. IL-13 dan IL-18 meningkat pada infeksi

dengue. Semakin berat derajat penyakit infeksi dengue, semakin

tinggi kadar keduanya (Sutaryo,2004).

Kompleks antigen antibodi juga akan mengaktivasi sistem

komplemen (C3 dan C5) yang menyebabkan terbentuknya C3a

dan C5a. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan

permeabilitas plasma dinding pembuluh darah dan perembesan

15
plasma dari ruang intravaskuler ke ekstravaskuler (plasma

leakage), sehingga dapat terjadinya syok (Hadinegoro, 1999).

b. Aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman

sehingga terjadi aktivasi sistem kinin yang memicu peningkatan

permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok

(Hadinegoro,1999).

c. Timbulnya agregasi trombosit akan menyebabkan pengeluaran

platelet faktor III yang dapat mengakibatkan terjadinya

koagulopati konsumtif atau DIC (Disseminated Intravascular

Coagulation) yang ditandai dengan meningkatnya FDP

(fibrinogen degradation product) sehingga dapat terjadi

penurunan faktor pembekuan yang dapat menyebabkan dan

memperparah perdarahan. Perdarahan masif yang terjadi pada

DBD diakibatkan oleh trombositopenia, kelainan fungsi

trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Perdarahan

tersebut akan memperparah keadaan syok (Hadinegoro, 2006).

5. Manifestasi klinis

WHO (2009) menyatakan bahwa terdapat 3 fase demam

berdarah yaitu :

a. Fase febris

Pasien mengalami demam tinggi 2 hingga 7 hari,

disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh,

16
mialgia, artralgia dan sakit kepala. Beberapa kasus pada fase ini

ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan konjungtiva,

anoreksia, mual dan muntah, serta dapat pula ditemukan

manifestasi perdarahan yang ringan seperti ptekie, perdarahan

mukosa, dan perdarahan gastrointestinal walaupun jarang sekali

ditemukan. Pembesaran hepar dapat ditemukan beberapa hari

setelah demam terjadi.

b. Fase kritis

Fase kritis yang terjadi pada hari 3–7 ditandai dengan

penurunan suhu tubuh menjadi 37,5–38oC disertai kenaikan

permeabilitas kapiler, peningkatan hematokrit dan timbulnya

kebocoran plasma (plasma leakage). Kebocoran plasma sering

didahului oleh terjadinya leukopenia progresif dan penurunan

jumlah trombosit (trombositopenia). Tanda kebocoran plasma

seperti efusi pleura dan asites dapat dideteksi pada fase ini. Pada

fase kritis ini, pasien dapat mengalami DSS.

c. Fase sembuh

Fase sembuh ini terjadi jika pasien dapat bertahan

dalam 24-48 jam fase kritis, sehingga terjadi pengembalian cairan

dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72

jam setelahnya. Proses tersebut membuat keadaan umum penderita

semakin membaik, ditandai dengan nafsu makan yang pulih

kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik. Pada fase ini

17
peningkatan jumlah leukosit terjadi lebih dahulu dibandingkan

dengan peningkatan jumlah trombosit. Beberapa pasien mungkin

memiliki ruam dan pruritus umum, bradikardia dan perubahan

elektrokardiografi yang umum selama tahap ini. Hematokrit stabil

atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi dari diserap cairan.

Adapun manifestasi klinis menurut IDAI (2009) berupa

demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, selama 2-7 hari,

tedapat manifestasi perdarahan yaitu berupa uji bending positif,

petekie, ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan

melena, adanya pembesaran hati, serta syok ditandai dengan nadi

cepat dan lemah, penurunan tekanan nadi, hipotensi, akral dingin,

kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.

6. Diagnosis

a. Anamnesis

1) Demam mendadak tinggi selama 2-7 hari disertai lesu, tidak

nafsu makan, dan muntah.

2) Pada anak besar, dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan

nyeri perut.

3) Diare kadang ditemukan.

4) Perdarahan yang sering yaitu perdarahan kulit dan mimisan

(PPK,2017).

18
b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan ialah (PPK,

2017) :

1) Gejala awal berupa demam mendadak tinggi, facial flush,

muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok

dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan.

2) Hepatomegali dan kelainan fungsi hati.

3) Peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan

perembesan plasma, hipovolemia, dan syok.

4) Perembesan plasma menyebabkan ekstravasasi cairan ke dalam

rongga pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam.

c. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan yaitu (PPK,

2017) :

1) Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,

trombosit, dan hematokrit. Pada Apusan darah perifer dapat

dinilai limfosit plasma biru, jika peningkatan 15% maka

menunjang diagnosis DBD.

2) Uji serologis, uji hemaglutinasi inhibisi saat fase akut dan fase

konvalesens

19
a) Infeksi primer, serum akut < 1:20, serum konvalesens naik

4x atau lebih namun tidak melebihi 1:1280.

b) Infeksi sekunder, serum akut < 1:20, konvalesens 1:2560

atau serum akut 1:20, konvalesens naik 4x atau lebih.

c) Persangkaan infeksi sekunder (presumptive secondary

infection) : serum akut 1:1280, serum konvalesens lebih

besar atau sama.

3) Pemeriksaan radiologis dilakukan jika pada keadaan klinis

ragu-ragu, namun perlu diketahui ada perembesan plasma 20-

40%, pemantauan klinis sebagai pedoman pemberian cairan,

kelainan radiologi, dilatasi pembuluh darah paru terutama

daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih opak dibanding

kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi, dan efusi pleura.

4) USG : efusi pleura, ascites, kelainan atau penebalan vesica

felea, dan vesica urinaria

Adapun Kriteria diagnosis oleh WHO (1997) :

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis (WHO,1997)

Diagnosis Manifestasi Klinis

20
 Pasien dengan demam tinggi
Demam Dengue akut/mendadak dengan minimal dua dari
gejala berikut ini: Sakit kepala, nyeri
retroorbital, nyeri otot, nyeri sendi/nyeri
tulang, rash, manifestasi perdarahan (Tes
tourniquet positif, petekie, epistaksis),
leukopenia.
 Kriteria laboratorium antibodi
HI >=1.280 atau tes ELISA IgM/IgG
positif pada masa konvalesens atau adanya
konfirmasi kasus dengue di
daerah yang sama.

 Pasien dengan 2 gejala klinis dan 2 gejala


Demam berdarah laboratorium sebagai berikut: Demam
dengue tinggi mendadak selama 2-7 hari,
manifestasi perdarahan minimal torniket
positif, jumlah trombosit di bawah
100.000/cumm, hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit >=20%) atau
adanya bukti kebocoran plasma lain,
seperti asites, efusi pleura, kadar
protein/albumin/ kolesterol serum yang
rendah. Albumin <= 3,5 ng% atau
kolesterol <100 mg% pada pasien anak
nonmalnutrisi dipertimbangkan sebagai
bukti tidak langsung adanya kebocoran
plasma. Hepatomegali tidak dimasukkan
di dalam definisi kasus, karena bergantung
dari waktu pemeriksaan dan berbeda-beda
antar pemeriksa.
 Memenuhi semua (ke-4) kriteria DBD,
Sindroma Syok ditambah dengan bukti adanya kegagalan
dengue sirkulasi yang ditunjukkan dengan adanya
nadi yang cepat dan lemah dan tekanan
nadi yang menyempit (<20mmHg
(2,7kPa)), atau dengan manifestasi
hipotensi (berdasarkan nilai normal untuk
umur), akral dingin, sembab dan gelisah

7. Klasifikasi

Depkes RI (2005), membagi derajat DBD ada 4 yaitu :

21
a. DBD derajat 1 adalah demam yang disertai dengan gejala klinis tidak

khas dengan hasil uji tourniquet positif.

b. DBD derajat 2 adalah DBD derajat 1 disertai dengan pendarahan

spontan.

c. DBD derajat 3 terjadi apabila terdapat kegagalan sirkulasi yang

ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi 20

mmHg atau hipotensi, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

d. DBD derajat 4 ditandai dengan syok berat yaitu tidak terabanya

denyut nadi dan tekanan darah tidak terdeteksi.

Sedangkan menurut WHO (2009) dengue diklasifikasikan

berdasarkan tingkat keparahannya menjadi 3 yaitu :

a. Dengue tanpa tanda bahaya (probable dengue)

Infeksi dengue ini biasanya terjadi pada orang yang

bertempat tinggal atau memiliki riwayat perjalanan di daerah

endemic.

Gejalanya berupa demam dan 2 kriteria dibawah ini :

1) Mual dan muntah

2) Ruam

3) Nyeri kepala

4) Myalgia

22
5) Uji tourniket positif

6) Leukopenia

7) Tidak ada kebocoran plasma

b. Dengue dengan tanda bahaya (warning sign)

Infeksi dengue ini membutuhkan intervensi medis dan

observasi yang ketat. Gejalanya berupa :

1) Nyeri abdominal

2) Muntah persisten

3) Perdarahan mukosa

4) Akumulasi cairan

5) Letargi

6) Gelisah

7) Hepatomegali >2 cm

8) Peningkatan hematokrit disertai penurunan cepat trombosit

c. Dengue berat

Infeksi dengue ini merupakan kegawatdaruratan medik.

Gejala berupa gejala pada derajat 1 dan 2 disertai dengan gejala

berikut ini:

23
1) Kebocoran plasma berat yang akan mengakibatkan : Sindrom

Syok Dengue (SSD) dan Penumpukan cairan dengan distress

respirasi

2) Perdarahan berat

3) Kerusakan organ yang berat, meliputi :

a) Hepar : SGOT atau SGPT ≥ 1000

b) SSP : Penurunan kesadaran

c) Jantung dan organ yang lainnya

8. Prognosis

Soejoso (1998), Sunarto (2004), dan Hapsari (2006) dalam

penelitian Jaya (2008), menyatakan bahwa diagnosis yang tepat sedini

mungkin, serta penilaian yang akurat terhadap stadium dan kondisi

penderita sangat menentukan prognosis akhir penderita. Semakin berat

penyakit yang diderita, risiko kematian yang dihadapi makin besar.

Davis (2011) dalam penelitian Bima Valentino (2012)

menyatakan bahwa Mayoritas pasien yang terinfeksi virus dengue

memiki prognosis yang baik. Pasien dengan penurunan sistem imun

memiliki prognosis dari cukup sampai baik karena mereka lebih

mungkin mengalami komplikasi. Pasien yang mengalami SSD

memiliki prognosis dari jelek sampai bagus tergantung dari perjalanan

penyakitnya dan cepatnya pemberian terapi. CFR pada DBD adalah

24
sekitar 3 % jika dideteksi dan ditangani segera, namun bila terjadi syok

maka CFR meningkat menjadi 50%.

KESIMPULAN

1. Sdr.F usia 20 tahun pada kasus ini terdiagnosis demam dengue berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang mendukung.
2. Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh famili
Flavivirus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, yang mengakibatkan
infeksi 390 juta per tahun di dunia pada sepertiga populasi yang berisiko

25
(Paul, 2016). Demam berdarah ditularkan melalui vector nyamuk yaitu Aedes
aegypti dan spesies lain dari Aedes sp. juga berpotensi menularkan virus
dengue.
3. Tatalaksananya untuk penanganan DBD hanya bersifat suportif dan
mencegah perburukan penyakit. Penyakit akan sembuh sesuai dengan
perjalanan alamiah penyakit

Daftar Pustaka

Candra, A. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan


Faktor Risiko Penularan. Aspirator. 2 (2) : 110-119

Davis, C. 2011. Dengue fever. Available from


http://www.emedicinehealth.com/dengue_fever/article_em.htm. Diakses
12 Juni 2016

26
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam
Berdarah Dengue. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Jakarta.

Depkes RI, Ditjen PPM & PLP Tahun 1998/1999 tentang Petunjuk Teknis
Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Jakarta.

Fathi, S. K. dan C. U. Wahyuni. 2005. Peran Faktor Lingkungan Dan Perilaku


Terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram. Jurnal
Kesehatan Lingkungan. 2 (4) : 1 – 10

Gama, A.T dan Faizah B.R. 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam
Berdarah Dengue Di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi. 5
(2) : 1-9

Graham RR, Juffrie M, Tan R, Hayes CG,Laksono I, Ma’roef C, Erlin, dkk. 1999.
A prospective seroepidemiologic study on dengue in children four to nine
years of age in Yogyakarta, Indonesia. Am J Trop Med Hyg. 61 : 412-9

Hadinegoro SR, Satari HI. 1999. Demam berdarah dengue. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.

Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T, editor. 2006. Tatalaksana


demam berdarah dengue di Indonesia. Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.

Hapsari, M.M, Herawati Y, A.D.B. Sachro, H. Farida, Setiati T.E. 2006.


Pemberian Tranfusi Darah pada Pasien DBD. Media Medika Indonesia,
Semarang.

Jaya, Ihsan. 2008. Hubungan Kadar Hematokrit Awal Dengan Derajat Klinis
DBD. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta. 42 hal.

Karyanti, M. Rahma dan S. R. Hadinegoro. 2009. Perubahan Epidemiologi


Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Sari Pediatri. 10 (6) : 424-432

Kusumawardani, E. 2012. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Terhadap Tingkat


Pengetahuan, Sikap Dan Praktik Ibu Dalam Pencegahan Demam
Berdarah Dengue Pada Anak. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah. Fakultas
Kedokteran. Universitas Diponegoro, Semarang. 61 hal.

Pone,S.M., Yara H.M.H., Raquel de Vasconcellos Carvalhaes de Oliveira, Regina


P.D.,Tamiris M.P., Marcos Vinicius da Silva Pone, and Patricia Brasil.
2016. Clinical and laboratory signs associated to severedengue disease in
hospitalized children. J Pediatr (Rio J). 375 : 1-8

27
Rahayu, Misti, T. Baskoro, B. Wahyudi. 2010. Studi Kohort Kejadian Penyakit
Demam Berdarah Dengue. Berita Kedokteran Masyarakat. 26 (4) : 163-
170

Sari, C.I.N. 2005. Pengaruh LingkunganTerhadap Perkembangan Penyakit


Malaria dan Demam Berdarah Dengue. http://www.rudyct.com/PPS702-
ipb/09145/cut_ irsanya_ ns.pdf .Diakses 10 Juni 2016

Setiati TE, Wangenaar JF, Kruit MD, Mairuhu AT, Gorp EC, Soemantri A. 2006.
Changing epidemiology of dengue haemorrhagic fever in Indonesia.
Dengue Bulletin. 30:1-14

Shepherd, S.M.., 2007. Dengue Fever. Available from:


www.emedicine.medscape.com. Diakses 9 Juni 2016

Soegijanto, S. 2004. Demam Berdarah Dengue. Airlangga University Press,


Surabaya.

Soejoso, Atmaji, D., 1998. Gambaran Hematokrit, Trombosit, dan Plasma Protein
pada Penderita DBD. http:digilib.litbang.depkes.go.id. Diakses 12 Juni
2016
Supartha, I Wayan. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Demam Berdarah Aedes
Aegypti dan Aedes Albopictus. Universitas Udayana, Denpasar.

Sutaryo. 2004. Dengue. Medika fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.

WHO. 2000. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah


Dengue. Terjermahan dari WHO Regional Publication SEARO No.29 :
Prevention Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Depkes
RI,Jakarta.

World Health Organization. 1997. Dengue Hemorrhagic Fever:


diagnosis,treatment, prevention and control. WHO, Second edition ed.
Geneva.

World Health Organization. 2009. Dengue: Guidelines for diagnosis,treatment,


prevention and control. Edisi ke-1. WHO/TDR, Geneva.

28
29

You might also like