You are on page 1of 19

PRALTIKUM III

ANALISIS KUANTITATIF PEMERIKSAAN KADAR ABU

A. TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan pengujian kualitas simplisia dengan melakukan
metode pemeriksaan kadar abu.

B. DASAR TEORI
Abu adalah zat organic sisa hasil pembakaran suatu bahan organic. Kandungan abu
dan komposisinya tergantung pada macan bahan dan cara pengabuanya. Kadar abu ada
hubunganya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan
terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organic dan
garam anorganik. Yang termasuk dalam garam organic misalnya garam-garam asam
mallat, oksalat, asetat, pektat. Sedngkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam
fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang
mineral berbentuk sebagai senyawaan komplek yang bersifat organis. Apabila akan
ditentukan jumlah mineralnya dalambentuk aslinya sangatlah sulit,oleh karena itu biasanya
dilakukan dengan menentukan sisa-sisa pembakaran garam mineral tersebut,yang dikenal
dengan pengabuan.(Sudarmadji.2003).

Penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang
tinggi,yaitu sekitar 500-600°C dan melakukan penimbangan zat yang tinggal setelah proses
pembakaran tersebut. Lama pengabuan tiap bahan berbeda–beda dan berkisar antara 2-8
jam. Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur suhunya.
Pengabuan diangap selesai apa bila diperoleh sisa pembakaran yang umumnya bewarna
putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan terhadap
bahan dilakukan dalam keadan dingin,untuk itu krus yang berisi abu diambil dari dalam
tanur harus lebih dahulu dimasukan ke dalam oven bersuhu 105°C agar suhunya turun
menyesuaikan degan suhu didalam oven,barulah dimasukkan kedalam desikator sampai
dingin,barulah abunya dapat ditimbang hingga hasil timbangannya konstan.
.(Sudarmadji.2003).
Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan
air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. (Winarno, 1992)
Abu merupakan residu anorganik yang didapat dengan cara mengabukan
komponen-komponen organik dalam bahan pangan. Jumlah dan komposisi abu dalam
mineral tergantung pada jenis bahan pangan serta metode analisis yang digunakan. Abu
dan mineral dalam bahan pangan umumnya berasal dari bahan pangan itu sendiri
(indigenous). Tetapi ada beberapa mineral yang ditambahkan ke dalam bahan pangan,
secara disengaja maupun tidak disengaja.
Abu dalam bahan pangan dibedakan menjadi abu total, abu terlarut dan abu tak
larut.(Puspitasari,1991)
Analisis gravimetrik merupakan bagian analisis kuantitatif untuk menentukan
jumlah zat berdasarkan pada penimbangan dari hasil reaksi setelah bahan/analit yang
dihasilkan diperlakukan terhadap pereaksi tertentu. (Widodo, 2010)
Kadar abu suatu bahan ditetapkan pula secara gravimetri. Penentuan kadar abu
merupakan cara pendugaan kandungan mineral bahan pangan secara kasar. Bobot abu yang
diperoleh sebagai perbedaan bobot cawan berisi abu dan cawan kosong. Apabila suatu
sampel di dalam cawan abu porselen dipanaskan pada suhu tinggi sekitar 650 C akan
menjadi abu berwarna putih. Ternyata di dalam abu tersebut dijumpai garam-garam atau
oksida-oksida dari K, P, Na, Mg, Ca, Fe, Mn, dan Cu, disamping itu terdapat dalam kadar
yang sangat kecil seperti Al, Ba, Sr, Pb, Li, Ag, Ti, As, dan lain-lain. Besarnya kadar abu
dalam daging ikan umumnya berkisar antara 1 hingga 1,5 %. (Yunizal, 1998)
Kadar abu/mineral merupakan bagian berat mineral dari bahan yang didasarkan
atas berat keringnya. Abu yaitu zat organik yang tidak menguap, sisa dari proses
pembakaran atau hasil oksidasi. Penentuan kadar abu ada hubungannya dengan mineral
suatu bahan.
Mineral yang terdapat dalam pangan terdiri dari 2 jenis garam, yaitu
1. Garam-garam organik, misalnya garam dari as. malat, oxalate, asetat, pektat dan lain-
lain
2. Garam-garam anorganik, misalnya phospat, carbonat, chloride, sulfat nitrat dan logam
alkali.
Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat terbentuk sebagai
senyawa yang kompleks yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya
dalam bentuk aslinya adalah sangat sulit.
Menurut Winarno (1991), kadar abu yang yang terukur merupakan bahan-bahan
anorganik yang tidak terbakar dalam proses pengabuan, sedangkan bahan-bahan organik
terbakar.
Untuk menentukan kandungan mineral pada bahan makanan, bahan harus
dihancurkan/didestruksi terlebih dahulu. Cara yang biasa dilakukan yaitu pengabuan
kering (dry ashing) atau pengabuan langsung dan pengabuan basah (wet digestion).
Pemilihan cara tersebut tergantung pada sifat zat organik dalam bahan, sifat zat anorganik
yang ada di dalam bahan, mineral yang akan dianalisa serta sensitivitas cara yang
digunakan. (Apriyantono,1989).
Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat
organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600 oC dan kemudian melakukan penimbangan
zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. (Sudarmadji, 1996)
Pengabuan dilakukan melalui 2 tahap yaitu :
 Pemanasan pada suhu 300oC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat melindungi
kandungan bahan yang bersifat volatil dan bahan berlemak hingga kandungan asam
hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
 Pemanasan pada suhu 800oC yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan maupun
porselin tidak secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah pecah pada
perubahan suhu yang tiba-tiba.
Pengabuan kering dapat diterapkan pada hampir semua analisa mineral, kecuali
mercuri dan arsen. Pengabuan kering dapat dilakukan untuk menganalisa kandungan Ca,
P, dan Fe akan tetapi kehilangan K dapat terjadi apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi.
Penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan beberapa mineral menjadi
tidak larut.
Beberapa kelemahan maupun kelebihan yang terdapat pada pengabuan dengan cara
lansung. Beberapa kelebihan dari cara langsung, antara lain :
Digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil pertanian,
serta digunakan untuk sample yang relatif banyak,Digunakan untuk menganalisa abu yang
larut dan tidak larut dalam air, serta abu yang tidak larut dalam asam, dan
Tanpa menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan resiko
akibat penggunaan reagen yang berbahaya.
Sedangkan kelemahan dari cara langsung, antara lain :
a. Membutuhkan waktu yang lebih lama,
b. Tanpa penambahan regensia,
c. Memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan
d. Adanya kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi (Apriantono,
1989)
Prinsip dari pengabuan cara tidak langsung yaitu memberikan reagen kimia tertentu
kedalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah
gliserol alkohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu
tinggi. Pemanasan mengakibatkan gliserol alkohol membentuk kerak sehingga
menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan dapat mempercepat oksidasi.
Sedangkan pada pemanasan untuk pasir bebas dapat membuat permukaan yang
bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar porositas, sehingga
mempercepat proses pengabuan. (Sudarmadji, 1996)
Beberapa kelebihan dan kelemahan yang terdapat pada pengabuan cara tidak
langsung. Kelebihan dari cara tidak langsung, meliputi :
a. Waktu yang diperlukan relatif singkat,
b. Suhu yang digunakan relatif rendah,
c. Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relatif rendah,
d. Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat pengabuan, dan
e. Penetuan kadar abu lebih baik.
Sedangkan kelemahan yang terdapat pada cara tidak langsung, meliputi :
a. Hanya dapat digunakan untuk trace elemen dan logam beracun,
b. Memerlukan regensia yang kadangkala berbahaya, dan
c. Memerlukan koreksi terhadap regensia yang digunakan. (Apriantono, 1989)
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, yaitu:
 Menentukan baik tidaknya suatu pengolahan
Dalam penggilingan gandum, misalnya apabila masih banyak katul atau lembaga yang
terikut maka tepung gandum tersebut akan memiliki kadar abu yang tinggi.
 Mengetahui jenis bahan yang digunakan
Penentuan kadar abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan buah yang
digunakan dalam marmalade atau jelly. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk
menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau sintesis.
C. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
 Cawan porselin
 Gelas beaker
 Gelas ukur
 Corong
 Botol penyemprot
2. Bahan
 Aquadest
 Simplisia daun pacing
 Asam sulfat
D. CARA KERJA
1. Penetapan kadar abu total

Pertama- tama siapkan alat dan bahan

Timbang simplisia sebanyak 2 gram , kemudian simplisia di masukkan ke


dalam cawan porselin yang sudah di bobot tetap

Jika sudah , masukkan cawan porselin beserta simplisia ke dalam vournish ,


lalu pijarkan hingga menjadi abu

Setelah itu lakukan penimbangan abu


yang terbentuk
2. Penetapan kadar abu tidak larut asam

Didihkan abu yang di peroleh pada penetapan kadar abu


dengan 25 mL asam sulfat 2N

Setelah itu saring menggunakan kertas


saring whattman

Siram kertas saring menggunakan air


basah untuk mengumpulkan filtrat nya

Lalu lakukan pengovenan sampai menemukan bobot tetap ,


dengan suhu 105-120 derajat Celsius

Yang terakhir timbang dan hitung kadar


abu yang larut dalam air
3. Penetapan kadar abu larut air

Didihkan abu yang di peroleh pada


penetapan kadar abu dengan 25 ml air .

Setelah itu saring menggunakan kertas


saring whattman

Siram kertas saring menggunakan air


basah untuk mengumpulkan filtrat nya

Lalu lakukan pengovenan sampai menemukan bobot tetap


, dengan suhu 105-120 derajar Celsius

Yang terakhir timbang dan hitung kadar


abu yang larut dalam air
E. HASIL PENGAMATAN
1. Penetapan kadar abu tidak laarut asam
a. Penetapan kadar abut total
cawan Berat abu tetap Berat sampel Kadar abu (%)
I 0,2413 2,0144 11,97
II 0,1738 2,0127 8,635

Perhitungan :
Rumus
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 𝑇𝑒𝑡𝑎𝑝
Kadar abu total = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
42,9551−42,7138
Cawan I = × 100%
2,0144
0,2413
= 2,0144 × 100%

= 11,97 %
57,5048−57,2755
Cawan II = × 100%
2,0144
0,2293
= × 100%
2,0144

= 11,38 %
b. Penetapan kadar abu tidak larut asam
cawan Berat abu tetap Berat Abu Awal Kadar abu (%)
I 0,0384 0,2413 15,91
II 0,0345 0,2293 15,04

Perhitungan :
Rumus
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑏𝑢 𝑇𝑒𝑡𝑎𝑝
Kadar abu total = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑏𝑢 𝐴𝑤𝑎𝑙

Pengovenan III
0,0384
Cawan I = 0,2413 × 100%

= 15,91 %
0,0345
Cawan II = 0,2293 × 100%
= 15,04 %
Pengovenan IV
cawan Berat abu tetap Berat Abu Awal Kadar abu (%)
I 0,0381 0,2413 15,78
II 0,0342 0,2293 14,91

0,0381
Cawan I = 0,2413 × 100%

= 15,78 %

0,0342
Cawan II = × 100%
0,2293

= 14,91 %
2. Penetapan kadar abu larut air
a. Penetapan kadar abu
cawan Berat abu tetap Berat sampel Kadar abu (%)
I 0,2433 2,0060 12,1
II 0,131 2,011 12,6
Perhitungan :

Rumus
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 𝑇𝑒𝑡𝑎𝑝
Kadar abu total (%) = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
42,9491−42,7058
Cawan I = × 100%
2,0060
0,2433
= 2,0060 × 100%

= 12,1 %
57,5172−57,2640
Cawan II = × 100%
2,011
0,131
= 2,011 × 100%

= 12,6 %
b. Penetapan kadar abu larut air

Perhitungan

Rumus

𝑎−(𝑏−𝑐)
Kadar abu larut air = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 × 100%

0,2433−(42,9491−42,8062)
Cawan I = × 100%
2,0060
0,2433−0,1429
= × 100%
2,0060

= 5,00 %
0,2532−(57,5172−57,3681)
Cawan II = × 100%
2,0011
0,2532−0,1491
= × 100%
2,0011

= 5,2 %
F. PEMBAHASAN
a. Kadar Abu Tidak Larut Asam
Pada praktikum kali ini,proses pengabuan dilakukan dengan menggunakan
tanur yang memijarkan sampel pada suhu mencapai 550°C penggunaan tanur karena
suhunya dapat diatur sesuai dengan suhu yang telah ditentukan untuk proses
pengabuan. Kadar abu dari bahan pangan menunjukan : kadar mineral, kemurnian, dan
kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Abu berkaitan dengan mineral yang berfungsi
sebagai komponen bahan pangan, dibutuhkan dalam jumlah kecil, serta berfungsi
sebagai zat pembangun dan pengatur. Pengujian kadar abu dilakukan untuk mengetahui
kualitas gizi (indikator mutu pangan), tinkat kemurnian tepung atau gula, mengetahui
pemalsuan selai buah dan sari buah, kontaminasi mineral yang bersifat toksik, dan
tingkat kebersihan pengolahan suatu bahan. Metode yang digunakan adalah metode
langsung yaitu pengabuan kering (suhu tinggi dan 𝑂2 ). Prinsip dari pengabuan kering
yaitu Destruksi komponen organik sampel dengan suhu tinggi dalam tanur pengabuan
(furnace) tanpa terjadi nyala api sampai terbentuk abu berwarna putih keabuan dan
berat konstan tercapai. Kelebihan dari pengabuan kering yaitu paling banyak dipakai,
mudah, murah, sederhana, abu larut air, tidak larut air dan asam. Untuk kekurangannya
yaitu wakru relatif lama, interaksi mineral, kehilangan mineral.

Sampel yang telah halus ditimbang 2 gram, sebelum dimasukkan kedalam tanur
terlebih dahulu sampel dipanaskan didalam oven tujuannya agar dapat meminimalkan
asap atau jelaga yang muncul pada saat pengabuan. Untuk kali ini analisis kadar abu
total menggunakan bahan atau sampel adalah kentang. Setelah tercapai pengabuan
yang dapat ditunjukkan pada warna yang dihasilkan sampel setelah diarangkan, pada
pengabuan sampel telah menjadi abu berwarna putih abu-abu. Berat abu yang didapat
pada sampel cawan I yakni seberat 0,2413 gram dan pada cawan II seberat 0,1738 ,
dengan kadar abu total cawan I 11,97 % dan kadar abu total cawan II 8,635. Sementara
untuk kadar abu tidak larut asam diperoleh berat abu cawan I 0,0381 gram dan kadar
abu tidak larut asam cawan II 0,0342 gram dengan kadar 15,78 % dam cawan II 14,91
%. Proses pengabuan telah terjadi penguapan air dan zat-zat yang terdapat pada
sampel,sehingga yang tersisa hanyalah sisa dari hasil pembakaran yang sempurna
yakni abu.
Besarnya kadar abu yang didapat dalam praktikum kali ini, mungkin disebabkan
oleh suhu ruang ataupun adanya pasir dan kotoran yang terdapat dalam sampel. Untuk
itu dilakukan pengujian kadar abu total yang memiliki berbagai macam tujuan yakni
menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan. Mengetahui jenis bahan yang
digunakan juga sebagai parameter nilai bahan makanan dan mengetahui adanya abu
yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggii menunjukkan adanya pasir atau kotoran
lain yang terdapat dalam suatu bahan.

b. Kadar Abu Larut Air

Abu adalah zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Penentuan kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang
terdapat dalam bahan pangan terdiri dari 2 jenis garam, yaitu garam organik misalnya
asetat, pektat, mallat, dan garam anorganik, misalnya karbonat, fosfat, sulfat, dan nitrat.
Proses untuk menentukan jumlah mineral sisa pembakaran disebut pengabuan.
Kandungan dan komposisi abu atau mineral pada bahan tergantung dari jenis bahan dan
cara pengabuannya.

Dalam praktikum kali ini, dilakukan penetapan Kadar Abu Total simplisa Daun
Sirsak. Penetapan Kadar Abu Total dilakukan untuk mengetahui persentase senyawa
Bahan-bahan organik yang hilang dalam pembakaran dengan suhu tinggi. Residu yang
tertinggal adalah mineral dalam bentuk abu putih.

Penetapan kadar abu total dilakukan dengan pengabuan simplisia dalam krus di
dalam tanur pada suhu 600-800°C. Disini terjadi pemanasan bahan pada temperatur
dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga yang
tertinggal hanya unsur mineral dan anorganik. Tujuannya adalah untuk memberikan
gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal
sampai terbentuknya simplisia. Selain itu penetapan kadar abu juga dimaksudkan untuk
mengontrol jumlah pencemar benda-benda organik seperti tanah, pasir yang seringkali
terikut dalam sediaan nabati.
Proses pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa pembakaran berwarna
putih abu-abu. Setelah itu hasil pengabuan tadi didinginkan didalam deksikator agar
ketika melakukann penimbangan tidak merusak timbangan.

Tujuan penetapan kadar air adalah untuk menentukan jumlah air yang terdapat
dalam simplisia, karena jika jumlahnya melebihi kadar maksimal yang diperbolehkan,
maka simplisia tersebut akan menjadi media yang baik untuk petumbuhan mikroba.
Menurut Materia Medika Indonesia, kadar air maksimal yang diperbolehkan terkandung
dalam simplisia adalah 10% sedangkan kadar air yang boleh terkandung dalam ekstrak
adalah 15-25%.

Kadar air berbeda dengan susut pengeringan. Kadar air adalah jumlah air yang
terkandung dalam simplisia dibandingkan dengan massa simplisianya, sedangkan susut
pengeringan adalah semua kandungan dalam simplisia yang dapat menguap setelah
dikeringkan. Jadi kadar air akan lebih kecil nilainya dari susut pengeringan karena yang
dihitung hanya air saja.

Penetapan kadar air dapat digunakan tiga cara yakni destilasi azeotrop,
gravimetri, dan metode Karl Fischer. Destilasi azeotrope adalah destilasi dengan
menggunakan senyawa azeotrop yakni gabungan 2 senyawa yang sulit dipisahkan dan
memiliki titik didih yang lebih rendah atau lebih tinggi dibanding senyawa-
senyawapenyusunnya. Karena senyawa azeotrop memiliki titik didih rendah, maka
penguapan akan terjadi lebih cepat.

Pada hasil penentuan kadar air simplisia diperoleh jumlah air dari simplisia
cawan I adalah 5,00 %dan Cawan II 5,2 % dari 2,0060 gramdan 2,0011 simplisia..
Menurut MMI, kadar air dalam simplisia tidak boleh lebih dari 10%. Hasil yang
diperoleh ini memenuhi syarat yang diperbolehkan.

G. KESIMPULAN
1. Penetapan kadar abu tidak larut asam yang terkandung dalam simplisia daun pacing ini
sebesar 15,91 % pada cawan I sedangkan pada cawan II sebesar 14,91 %, dan pada
2. Penetapan kadar abu larut air yang terkandung pada simplisia sebesar 5,00 % pada
cawan 1 sedangkan pada cawan 2 sebesar 5,2 %
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Kadi, 2004. Beberapa Catatan Kehadiran Marga Sargassum Di Perairan Indonesia. .
Jakarta.: Gramedia

Astuti. 2012. Petunjuk Praktikum Analisis Bahan Biologi. Jurdik Biologi. Yogyakarta. :FMIPA
UNY.

Cahyono, B., dan Suzery, M.2011. Aspek Praktis Metode Pemisahan Bahan Alam Organik.
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Farmakope Herbal Indonesia Suplemen II.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. Jakarta:
Depkes RI. 1978. Materia Medika Indonesia. Jilid 2. Jakarta :Menkes.

Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi 1. Jakarta :Menkes.s

Estiasih, 2009.Pengantar Teknologi Pangan. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Kusmardiyani, Siti. Tanpa tahun. Analisis Makroskopik danMikroskopik Simplisia Versi 22SK004.
Bandung: SekolahFarmasi Institut Teknologi Bandung. Halaman 190-200.

Puspitasari, et.al. 1991. Teknik Penelitian Mineral Pangan. Bogor: IPB-press.

Rohman, Dr. Abdul. 2011. Analisis Bahan Pangan.Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhandi. 1989. Analisa Bahan makanan dan Pertanian. Liberty:
Yogyakarta.

Susi .M,A. 2013. Sinergisme Aktivitas Kemampuan Penangkapan Radikal Bebas TBA oleh
simplisia Herbal Pegagan. Universitas Pasundan

Syarif, R , dan h. Halid. 1993. Teknologi penyimpanan pangan. Arcan. Jakarta.


Wardani, Wiwin Dwi. 2008. Isolasi dan karakterisasi natrium alginat dari Rumput laut sargassum
sp untuk pembuatan bakso ikan tenggiri (scomberomus commerson). Surakarta:
Universitas Sebelas Maret

Yunizal. 2004. Tehnologi Pengolahan Alginat. BRKP. Jakarta.

Zahro. 2013. Fisiologi Nutrisi. Edisi Kedua. Press. Jakarta.

Dosen Pengampu Asisten Dosen


Rezqi Handayani, S.Farm.,M.P.H.,Apt Heni Rusmita, Amd.farm

Nurul Qamariah, M.Si

Praktikan

Ridwan Dwiatmoko
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
PRAKTIKUM III
ANALISIS KUANTITATIF PEMERIKSAAN KADAR ABU

Oleh :

RIDWAN DWIATMOKO
17.71.018697
PROGAM STUDI D-III FARMASI
FAKULTAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
TAHUN 2019

You might also like