You are on page 1of 7

ARTIKEL ILMIAH

ANALISA KEBUDAYAAN LOKAL


“Analisis Kebudayaan Rokat Pandhâbâ di Desa Durbuk Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekasan
Madura”

Oleh:
FAIZZATUL HASANAH
NIM. 20170701062016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU RAUDATUL ATHFAL-A


JURUSAN TARBIYAH STAIN PAMEKASAN
2017

Abstrak
Rokat Pandhâbâ adalah upacara pembebasan seorang anak pandhâbâ dari nasib buruk yang akan
menimpanya, serta menjauhkan dari segala bentuk marabahaya yang dapat mengganggu perjalanan hidupnya di
dunia. Tradisi ini dilakukan masyarakat Madura dengan maksud dan tujuan agar terhindar dari malapetaka atau
musibah. Rokat Pandhâbâ merupakan tradisi yang mengandung arti atau maksud tersendiri bagi masyarakat di
Desa Durbuk, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, sehingga tradisi ini masih diselenggarakan dan
dipertahankan sampai saat ini. Tradisi in imuncul dari satu anggapan/ keyakinan ketika ada anak atau orang yang
sudah dewasa yang perlu di pandhâbâ tetapi tidak di pandhâbâ, anak atau orang tersebut akan selalu di ganggu
oleh makhluk yang bernama Batarakala. Ciri-ciri keturunan yang di kategorikan sebagai keturunan pandhâbâ ialah
anak tunggal laki-laki atau perempuan, anak laki-laki dan perempuan, 2 anak laki-laki dan 1 perempuan, 2 anak
perempuan dan 1 laki-laki, 5 anak laki-laki atau perempuan, memeliki anak banyak namun yang hidup hanya satu,
dan anak yang semua saudaranya perempuan atau laki-laki. Dalam pelaksanaanya, diperlukan beberapa sasajen
ataupun perlengkapan yang harus disiapkan oleh keluarga sebagai penebus anak pandhâbâ, perlengkapan tersebut
bisa juga langsung di ganti oleh sejumlah uang. Selain itu alat-alat atau sesajen yang di butuhkan memiliki arti
berbeda ataupun memiliki makna tersendiri dalam ritual tertsebut. Di dalam menganalisis tradisi Rokat Pandhâbâ di
Desa Durbuk yang perlu diperhatikan adalah: sejarah kebudayaan, objek kebudayaan, waktu pelaksanaan, target
ketercapaian, analisa kebudayaan dan perubahan kebudayaan. Dari hasil analisa, kebudayaan Rokat Pandhâbâ
memiliki memilki keterkaitan antara beberapa hal: pertama, dalam kaitannya dengan interaksi sosial sebagai unsur
masyarakat. Kedua, kaitannya dengan keyakinan dalam masyarakat. Ketiga, dalam kaitannya denga norma dalam
masyarakat. Keempat,kaitannya dengan anggapan masyarakat mengenai ritual-ritual yang akan membawa kepada
kemusyrikan. Serta yang kelima, kaitannya dalam bentuk syukur kepada Allah Swt. Namun pada kenyataannya
sekarang ini terjadi perubahan dalam pelaksanaan Rokat Pandhâbâ, jika pada zaman dahulu banyak orang yang
melaksanakan tradisi ini, namun sekarang sudah jarang orang melaksanakan tradisi Rokat Pandhâbâ ini.

Latar Belakang

Idonesia adalah negara kapulauan yang memiliki banyak pulau dan terkenal akan keragamannya, baik
berupa suku, ras, etnik, bahasa, adat maupun kebudayannya. Jadi, tidak heran jika Indonesia dikenal oleh negara-
negara lain akan keragamannya, karena setiap daerah tentu memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Contohnya saja
di Indonesia terdapat berbagai suku salah satunya adalah suku Madura. Di Madura, setiap daerah memiliki
kebudayaan yang berbeda-beda, mereka menjaga dan memelihara kebudayaan yang sudah ada sebagai bentuk
warisan dari leluhur yang mengandung nilai, norma, adat maupun keyakinan.
Kebudayaan yang ada di Madura tetap dipertahankan dan dilestarikan karena mereka percaya hal tersebut
akan memberikan pengaruh terhadap sikap, nilai moral, aturan sosial dan pandangan bagi masyarakat Madura.
Madura merupakan pulau yang memiliki berbagai kebudayaan atau tradisi yang sampai saat ini masih dilestarikan
secara baik dan tetap berkembang di tengah-tengah masyarakat Madura, seperti kerapan sapi, tradisi pèlèt
kandung, tradisi pettè’ laut, dan lain sebagainya.
Demikian juga masyarakat Madura yang ada di Kabupaten Pamekasan. Banyak sekali tradisi-tradisi yang
masih dilestarikan secara turun-temurun, baik berupa seni pertunjukan, upacara adat atau ritual. Seperti halnya
tradisi Rokat Pandhâbâ di Desa Durbuk, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan.
Rokat Pandhâbâ merupakan tradisi yang mengandung arti atau maksud tersendiri bagi masyarakat di Desa
Durbuk, sehingga tradisi ini masih diselenggarakan dan dipertahankan sampai saat ini. Inti dari pelaksanaan tradisi
ini adalah yaitu memiliki maksud dan tujuan agar terhindar dari malapetaka dan semua bentuk musibah.

Tujuan

Artikel ini dibuat untuk lebih memahami kebudayaan yang ada di Madura khususnya tradisi Rokat
Pandhâbâ. Di mulai dari sejarah, objek, waktu pelaksanaan, ketercapaian pelaksanaan, analisa kebudayaan, dan
perubahan kebudayaan. Selain itu, artikel ini juga dibuat agar kita generasi muda tetap menjaga kebudayaan
Madura sehingga kebuyaan ini akan tetap ada dan terjaga di zaman globalisasi ini,serta kita tidak akan terjebak oleh
kebudayaan-kebudayaan luar yang tidak sesuai dengan tatakrama/ nilai moral yang sudah ada.

Pembahasan

a. Sejarah Kebudayaan
Pada zaman dahulu banyak orang yang melakukan berbagai tradisi dengan tujuan atau memiliki
maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah yang maha agung. Jika dilihat, tradisi ini mengandung dua arti
yaitu untuk mendapatkan apa yang diniatkan dan agar terhindar dari sesuatu yang tidak di inginkan seperti
malapetaka dan musibah. Kemudian tradisi yang dilakukan adalah dengan cara mengundang para tetangga
sebagai wujud syukur kepada Allah Swt. dan hal ini disebut dengan Rasol=arasol (dalam Bahasa Madura).
Selain itu, masih banyak tradisi yang dilakukan manusia dengan tujuan terhindar dari musibah, salah
satunya yang sering kita dengar adalah “Rokat Pandhâbâ”.
Rokat Pandhâbâ merupakan salah satu tradisi yang ada di dalam masyarakat Madura. Tradisi ini
dilakukan masyarakat Madura dengan maksud dan tujuan terhindar dari malapetaka atau musibah,
sebagaimana diungkapkan oleh Ibu Juwati berikut:
“Setahu saya, Rokat Pandhâbâitu dilakukan agar anak pandhâbâ tidak dimakan oleh Bhutarakala
disebabkan anak itu sendirian seperti halnya pandhâbâ rato. Selain itu juga agar anak tidak
mengganggu saudaranya.”1

Anak pandhâbâ adalah seorang anak yang diyakini akan membawa atau akan mendatangkan
banyak ancaman bagi dirinya, keluarganya, dan orang lain disekitarnya selama anak tersebut berada dialam
semesta.2

1 Ibu Juwati, Warga Durbuk, Wawancara Langsung, (05 Desember 2017).


Tradisi Rokat Pandhâbâ muncul dari satu anggapan/keyakinan ketika ada anak atau orang yang
sudah dewasa yang perlu dipandhâbâ tetapi tidak dipandhâbâ, anak atau orang tersebut selama hidupnya
tidak akan bahagia atau tidak akan tenang (selalu mendapat musibah). Sedangkan untuk saudara
kandungnya juga akan mendapat musibah. Anggapan ini muncul dari adanya satu cerita tentang raksasa
yang bernama Batarakala, dimana dulunya dia suka memakan manusia dan mengganggu manusia
pandhâbâ. Namun ketika manusia sudah melaksanakan rokat pandhâbâ, Batarakala tidak akan berani untuk
mengganggu manusia tersebut. Batarakala berasal dari kata Batara=raja, kala=waktu.
Tradisi Pandhâbâ yang sering dilakukan masyarakat Madura ditujukan untuk anak-anak yang belum
dewasa dan ada juga yang sudah dewasa. Tidak semua anak yang harus dipandhâbâ, hanya beberapa
anak yang perlu dipandhâbâ seperti:3
1. Anak tunggal kaki-laki yang tidak memiliki saudara disebut “Pandhâbâ Rato”. Sedangkan anak tunggal
perempuan disebut “Pandhâbâ tang-antèng dhengghi”.
2. Dua bersaudara laki-laki dan perempuan disebut “Pandhâbâ Mantan” atau “Pandhâbâ Kadâna Kadânè”
3. Tiga bersaudara, jika dua laki-laki dan satu perempuan dimana anak kedua perempuan disebut
“Pandhâbâ Sendâng Apèt Pancoran”. Jika anak kedua laki-laki disebut “Pandhâbâ Pancoran Apèt
Sendâng”. Dan jika anak yang pertama dan yang kedua perempuan, dan yang ketiga laki-laki maka
disebut “Pandhâbâ Amok Dhâlangkong”.
4. Lima bersaudara semuanya laki-laki atau semuanya perempuan disebut “Pandhâbâ Lèma’”.
5. Anak yang memilki saudara banyak namun yang hidup hanya satu disebut ”Pandhâbâ Macan”.
6. Saudara kandung yang semuanya permpuan disebut ”Pandhâbâ Potrrè”. Jika semuanya laki-laki disebut
“Pandhâbâ Rato”.
Pada proses pelaksanaannya perlu beberapa sesajen dan peralata-peralatan yang harus
dipersiapkan, seperti yang diungkapkan oleh P.Hos berikut:
“Kalau dalam pelaksanaannya kita harus menyiapkan seribu buah, misalnya buah salak beserta
tangkainya, singulan beserta tangkainya , mangga. beserta tangkainya, dan buah lainnya. Selain itu
yang harus ada adalah seribu bunga, seribu duri, air 7 sumur, peralatan dapur, peralatan sawah,
pakain lengkap (mukenah, sarung, baju), serabi dan uang sesuai dengan tinggi anak pandhâbâ.
Namun jika peralatan yang dibutuhkan kurang lengkap, maka harus diganti oleh uang sesuai
dengan kekurangan”.4

Sesajen-sesajen tersebut menjadi syarat yang harus ada di dalam pelaksanaan seperti yang telah
disebutkan P. Hos tadi. Seribu bunga yang dimaksud tadi adalah bunga tujuh rupa dan untuk peralatan
dapur yang dibutuhkan berupa tungku, wajan, alat penanak nasi, dan lain-lain. Untuk peralatan sawah yang
dibutuhkan berupa keleles sapi (alat untuk membajak sawah), cangkul, arek, dan lainnya. Sedangkan yang
dimaksud kue serabi dan uang sesuai dengan tinggi anaknya adalah kue serabi/uang disusun setinngi anak

2 Zainuddin, “Tradisi Rokat Pandhâbâ di Desa Beluk Raja Kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep Propinsi Jawa Timur”, (Skripsi, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, 2016), hlm. 4.
3 Tim Pokem Maddhu, Kembhâng Bhâbur 3, (Jakarta Timur: Yudhistira, 2012), hlm. 17.
4 P. Hos, Orang yang Paham Rokat Pandhâbâ, Wawancara Langsung, (05 Desember 2017).
pandhâbâ, hal ini memiliki arti kue putih sebagai lamang tingginya dan sucinya sebuah cita-cita selama
hidup di dunia.
Sedangkan untuk proses intinya adalah serangkaian upacara untuk pemandian pandhâbâ, seperti
yang diungkapkan P. Hos di bawah ini:
“Sebelum dimandikan, biasanya proses awalnya adalah syukuran dengan mengundang para
tetangga atau sering dikenal arasol, selanjutnya mamaca, atau bisa juga digantikan dengan
pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an(hataman). Setelah itu anak akan dimandikan oleh keluarganya
di waktu fajar subuh. Biasanya akan di mandikan di tengah-tengah halaman atau di tengah sawah.
Ketika akan dimandikan, anak itu akan diselimuti oleh kain putih (labun) dan tangannya diikat oleh
labây, kemudian akan dimandikan oleh keluarganya dengan air 7 sumur dan seribu bunga tadi”. 5

Mamaca pada tradisi ini adalah seni vokal Madura yang ada persamaannya dengan seni macopat.
Mamaca berarti membaca kitab (teks) cerita dengan cara ekejhungaghi (di tembangkan), dan sifatnya
kondisional. Semisal ketika seni mamaca ini menjadi pengiring pelaksanaan dari upacara tradisi Rokat
Pandhâbâ, maka teks atau alur ceritanya adalah tentang pandhâbâ. Sedangkan maksud dari penggunaan
labun merupakan tanda kerendahan hati karena mati hanya membawa kain bukan harta benda yang lain.
Labay yang diikatkan memiliki arti sebagai pengikat bahwa hidup harus terkontrol. Bunga yang telah
dicampur yang digunakan untuk memandikan anak pandhâbâ memiliki arti tentang harapan keluarga agar
anak pandhâbâ tersebut nantinya terlepas dari kekangan ancaman yang menyelimuti anak pandhâbâ, serta
memilki prilaku yang harum (bermartabat) dan berguna bagi kehidupan masyarakat umum.

b. Objek Kebudayaan
Objek dan sasaran pelaku pada pelaksanaan rokat pandhâbâ hanya ditujukan kepada anak-anak
yang perlu di pandhâbâ seperti yang sudah dijelaskan diatas. Namun tradisi ini tergantung kepada
kepercayaan masing-masing orang. Akan tetapi, untuk masyarakat Madura tradisi ini masih tetap
dilaksanakan terutamanya masyarakat pedesaan yang masih kental akan kebudayaannya.
c. Waktu Pelaksanaan Kebudayaan
Pelaksanaan tradisi ini sudah dimulai sejak zaman dahulu hingga sekarang, alasan dilaksanakannya
tradisi ini adalah karena pada waktu itu ada keyakinan yang kuat dari masyarakat bahwasannya jika tidak
dilaksanakan Rokat Pandhâbâmaka anak tersebut tidak akan tenang hidupnya dan selalu diganggu oleh
Batarakala. Untuk pelaksanaan saat ini, tradisi ini tidak ditentukan oleh waktu namun ditentukan oleh kondisi
sosial masyarakatnya. Jadi bisa di pandhâbâ ketika masih anak-anak maupun ketika sudah dewasa.
d. Target Ketercapaian Pelaksanaan Kebudayaan
Target ketercapaian dan harapan dari pelaksanaan Rokat Pandhâbâadalah agar anak tersebut
terhindar dari malapetaka dan musibah. Selain itu, tradisi ini adalah bentuk kiyasan agar anak tidak salah
didikan. Seperti contohnya anak ontang antèng, saking sayangnya dan terlalu dimanja oleh orang tuanya,
anak tersebut dikhawatirkan tidak memilki tatakrama dan sopan santun sehingga jika dia sudah dewasa
akan menjadi anak yang nakal. Jika sudah demikian, tentunya hidup anak tersebut akan selalu menemui

5P. Hos, Orang yang Paham Rokat Pandhâbâ, Wawancara Langsung, (05 Desember 2017).
musibah. Selain itu tradisi ini adalah bentuk kiyasan dari penyucian diri seorang anak agar dalam perjalanan
hidupnya tidak mengalami masalah dan selalu berada di jalan kebenaran (jalan yang diridhai Allah).
e. Analisa Kebudayaan
Kebudayaan yang ada sekarang ini muncul karena adanya manusia sebagai penciptanya dan
manusia dapat hidup di tengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan yang dihasilkan oleh
masyarakat menjadi unsur yang melekat pada interaksi sosial warga masyarakat yang bersangkutan. 6
Dalam hal ini maksudnya kebudayaan Rokat Pandhâbâyang ada di Durbuk menjadikan kebudayaan
sebagai bentuk dari nilai-nilai atau norma di dalam membentuk hubungan sosial antar masyarakat.
Seperti terciptanya tradisi Rokat Pandhâbâ yang muncul akibat kepercayaan masyarakat.
Keyakinan masyarakat Durbuk bahwa hidup pasti akan menghadapi masalah, seperti gangguan,
penderitaan, kegagalan, ancaman dari makhluk yang tidak bisa dilihat oleh oleh kasat mata.
Koentjaraningrat mengatakan sebagian besar masyarakat percaya bahwa kehidupan manusia selalu diiringi
denganmasa-masa kritis, yaitu suatu masa yang penuh dengan ancaman dan bahaya.7
Berdasarkan pembagian norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana terbagi menjadi dua
yaitu folkways dan mores,8 Rokat Pandhâbâini termasuk kedalam folkways, yakni norma-norma yang
berdasar kebiasaan atau kelaziman dalam tradisi yang intinya apabila dilanggar tidak akan ada sanksinya,
hanya saja akan menjadi bahan pembicaraan umum.
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, modernisasi menjadi tuntutan dalam
menghadapi era globalisasi. Pendidikan dan keilmuan sangat dijungjung tinggi, sementara Islam sebagai
agama mayoritas masyarakat Madura kini lebih berorientasi syari’ah tidak seperti yang dilakukan Wali
Songo di awal penyebarannya dengan orientasi kesenian dan tradisi. Tradisi-tradisi ritual pun mulai
ditinggalkan tanpa mempertimbangkan nila-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, tak terkecuali
rokadhân. Mereka menilai ritual-ritual itu hanya akan membawa pelakunya pada perbuatan musyrik, dimana
Allah telah berfirman:9

َ ٌ‫ظ ْلم‬
ٌ‫عظِ يم‬ ُ َ‫ ِإنٌ الش ِْركٌَ ل‬.....

“… Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” [Luqman: 13]

Kemusyrikan yang dimaksud adalah meniadakan (menafikan) keesaan Allah, karena orang musyrik
mempercayai atau meyakini adanya kekuatan lain selain Allah. Namun dalam tradisi Rokat Pandhâbâini
tidaklah meniadakan keesaan Allah ataupun yakin adanya kekuatan lain, mereka yakin akan keagungan
Allah dan tradisi itu dianggap sebagai wujud untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkn
lindungan Allah lewat serangkaian tradisi, dimana tradisi tersebut juga mengandung nilai keagamaan, sepeti

6 Suratman, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Malang : Intimedia, 2013), hlm. 140.
7Zainuddin, “Tradisi RokatPandhâbâ di Desa Beluk Raja Kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep Propinsi Jawa Timur”, (Skripsi, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, 2016), hlm. 3.
8 Suratman, Ilmu Sosial, hlm. 117.
9 Departemen Agama, al-Qur’ân dan terjemahannya (Jakarta: Lautan Lestari, 2010), hlm. 412.
pembacaan ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu tradisi ini juga mengandung arti ungkapan syukur dengan cara
mengundang para tetangga, dimana Allah telah berfirman: 10

ٌَ ‫َفا ْذكُ ُرونِي أ َ ْذكُ ْركُ ٌْم َوا ْشكُ ُرو لِي َو‬
ِ ‫ل ٌت َ ْكفُ ُر‬
ٌ‫ون‬

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
ingkar kepada-Ku”. [Al-Baqarah/2:152]

Dalam Rokat Pandhâbâbentuk syukurannya adalah dengan cara arasol dan mengundang para
tetangga sebagai bentuk wujud syukur dan memohon perlindungan Allah dari segala marabahaya. Selain itu
tradisi ini juga dijadikan sebagai sarana atau media untuk memupuk tauhid, ketabahan, dan berdoa agar
terhindar dari musibah. Selain itu, tradisi tersebut juga berfungsi untuk menanamkan dan memupuk sikap
tawakkal kepada Allah Swt. Yakni masyarakat semakin yakin bahwa hanya Tuhanlah yang bisa
menyelesaikan semua masalah.
f. Perubahan Kebudayaan
Dari awal terciptanya sampai sekarang ini, banyak perubahan yang terjadi. Seperti jika pada zaman
dahulu orang yang memiliki keturunan pandhâbâ maka semuanya akan melaksanakan teradisi ini,
sedangkan di zaman sekarang ini orang sudah tidak menghiraukan lagi tradisi ini, apalagi masyarakat
perkotaan. Hanya sebagian saja yang melaksanakannya terutama di pedesaan. Selain itu, di zaman dahulu
untuk semua sesajennya (seratean) disiapkan oleh keluarga, namun saat ini semua itu langsung digantikan
oleh uang sebagai ganti(panebbhus) dari sesajen tersebut.

Kesimpulan

Tradisi Rokat Pandhâbâ merupakan sebuah tradisi yang di wariskan secara turuntemurun di Desa Durbuk,
Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan.Tradisi Rokat Pandhâbâ muncul dari satu anggapan/keyakinan
ketika ada anak atau orang yang sudah dewasa yang perlu dipandhâbâ tetapi tidak dipandhâbâ, anak atau orang
tersebut selama hidupnya tidak akan bahagia atau tidak akan tenang (selalu mendapat musibah). Sedangkan untuk
saudara kandungnya juga akan mendapat musibah.
Dalam tradisi ini, yang perlu di pandhâbâhanyalah anak-anak yang termasuk ke dalam kategori pandhâbâ,
seperti anak tunggal laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan perempuan, 2 anak laki-laki dan 1 perempuan, 2
anak perempuan dan 1 laki-laki, 5 anak laki-laki atau perempuan, memeliki anak banyak namun yang hidup hanya
satu, dan anak yang semua saudaranya perempuan atau laki-laki.
Kebudayaan yang ada sekarang ini muncul karena adanya manusia sebagai penciptanya dan manusia
dapat hidup di tengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan yang dihasilkan oleh masyarakat menjadi unsur
yang melekat pada interaksi sosial warga masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini maksudnya kebudayaan
Rokat Pandhâbâyang ada di Durbuk menjadikan kebudayaan sebagai bentuk dari nilai-nilai atau norma di dalam
membentuk hubungan sosial antar masyarakat.

10Departemen Agama, al-Qur’ân dan terjemahannya (Jakarta: Lautan Lestari, 2010), hlm. 23.
Daftar Pustaka

Departemen Agama, al-Qur’ân dan terjemahannya.Jakarta: Lautan Lestari, 2010.


Ibu Juwati, Warga Durbuk, Wawancara Langsung, (05 Desember 2017).
P. Hos, Orang yang Paham RokatPandhâbâ, Wawancara Langsung, (05 Desember 2017).
Suratman, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Malang : Intimedia, 2013.
Tim Pokem Maddhu, Kembhâng Bhâbur 3. Jakarta Timur : Yudhistira, 2012.
Zainuddin, “Tradisi Rokat Pandhâbâ di Desa Beluk Raja Kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep Propinsi Jawa
Timur”, (Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, 2016).

You might also like