Professional Documents
Culture Documents
Potensi Limbah Padat-Cair Industri Tepung Tapioka
Potensi Limbah Padat-Cair Industri Tepung Tapioka
Abstract
Pendahuluan
Plastik biodegradabel adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik
konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil
akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan.
Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, plastik biodegradabel merupakan bahan
plastik yang ramah terhadap lingkungan. Di Jepang telah disepakati penggunaan nama
plastik hijau (GURIINPURA) untuk plastik biodegradabel.
Secara umum kemasan plastik biodegradable diartikan sebagai film kemasan
yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Griffin (1994), plastik
biodegradable adalah suatu bahan dalam kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami
perubahan dalam struktur kimianya, yang mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya
oleh pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur, algae). Sedangkan Seal (1994),
Kajian Pustaka
Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan film dapat diterangkan
melalui fenomena fase transisi gelas. Pada fase tertentu diantara fase cair dengan
padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu
dan kondisi lingkungan yang tertentu. Fase transisi gelas biasanya terjadi pada
bahan berupa polimer. Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut
sebagai titik fase gelas (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak
menjadi suatu bentuk yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.
Madeka dan Kokini (1996), meneliti suhu transisi pada keadaan antara glassy ke
rubbery (elastis) dari zein murni dengan kadar air 15 – 35 %. Hasil penelitian
menunjukkan terjadinya jalinan reaksi transisi pada suhu antara 65 – 160o C untuk
tepung zein dengan kadar air di atas 25 %. Dibawah suhu 65o C zein terlihat seperti
cairan polimer yang kusut (engtangled fluid polymer), sedang di atas suhu 160o C
ikatan silang agregat zein menjadi lemah. Kaitan dengan gejala ini, polimer zein dari
jagung yang dilarutkan dalam pelarut organik dapat dicetak menjadi film kemasan
plastik.
Secara kimia kemampuan membentuk film dijelaskan oleh Argos, et al., (1982),
sebagai akibat terjadinya interaksi glutamin pada batang-batang (planes) molekul zein
yang bertumpuk. Selanjutnya Gennadios, et. al., (1994), bahwa film terbentuk melalui
ikatan hidrofobik, hidrogen dan sedikit ikatan disulfid diantara cabang-cabang molekul
zein (Latief, 2001).
Metode pembuatan kemasan plastik biodegradable telah berkembang sangat
pesat. Beberapa metode yang dapat diterapkan diantaranya yang dikembangkan oleh
Yamada, et. al. (1995), Frinault, et. al. (1997), Isobe (1999). Namun demikian, pemilihan
metode/teknologi produksi didasarkan pada evaluasi terhadap karaktersitik fisik dan
mekanik film yang dihasilkan. Selain karakteristik tersebut, juga didasarkan pada nilai
biodegradabilitas film pada berbagai kondisi.
Metode pembuatan film yang dikembangkan oleh Isobe (1999), yaitu bahan dasar
(zein) dilarutkan dalam aceton dengan air 30 % (v/v) atau etanol dengan air 20 % (v/v).
Kemudian ditambahkan bahan pemlastik (lipida atau gliserin), dipanaskan pada 50o C
selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pencetakan pada casting dengan menuangkan
10 ml campuran ke permukaan plat polyethylene yang licin. Dibiarkan selama 5 jam
pada suhu 30 sampai 45o C dengan room humidity / RH ruangan terkendali. Film yang
terbentuk dilepas dari permukaan cetakan (casting), dikeringkan dan disimpan pada
suhu ruang selama 24 jam.
Metode lain yang dikembangkan oleh Frinault, et al., (1997) dengan bahan dasar
(casein) menggunakan pencetak ekstruder dengan tahap proses terdiri dari :
pencampuran bahan dasar dengan aceton/etanol- air, penambahan plasticiser,
pencetakan dengan ekstruder kemudian pengeringan film.
Metode yang dikembangkan Yamada, et. al., (1995), bahan dasar (zein) dilarutkan
dalam etanol 80 %. Ditambahkan pemlastis, dipanaskan pada suhu 60 sampai 70o C
selama 15 menit. Campuran kemudian dicetak pada auto-casting machine. Selanjutnya
dibiarkan selama 3 – 6 jam pada suhu 35o C dengan RH ruangan 50 %. Film kemudian
dikeringkan selama 12 – 18 jam pada suhu 30o C pada RH 50 %. Dilanjutkan dengan
conditioning dalam ruang selama 24 jam pada suhu dan RH ambien.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat eksperimental yang dilakukan di
laboratorium yang sering disebut sebagai Experimental Research. Sampel yang
digunakan merupakan sampel simulasi dari limbah padat-cair (cairan, kulit dan ampas
singkong) industri pembuatan tepung tapioka. Kulit (yang berwarna putih) dan ampas
singkong tersebut dijadikan sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradabel
sedangkan limbah cairnya dijadikan sebagai pelarut dalam proses polimerisasi
(berdasarkan prosedur pembuatan tepung tapioka PDII-LIPI dan RISTEK, 2000).
Proses Pembuatan
Kulit putih yang diperoleh diparut/dihaluskan dengan pemarut semi mekanis
sehingga diperoleh bubur/pulp kulit singkong basah. Selanjutnya diekstrak sari patinya
dengan pelarut air limbah kemudian dipisahkan dalam bejana berbeda. Ampas singkong
basah 20 gram (sekali proses) dicampur dengan ekstrak kulit 100 ml, dipanaskan sambil
diaduk pada suhu 80-90 0C selama 5-10 menit, setelah terbentuk biopolimer, segera
ditambahkan pelarut ethanol 70 % 20 ml dan gliserol 10 ml sambil diaduk dengan
pemanasan berlanjut selama 2-3 menit.
Untuk sampel kulit singkong dapat diproses seperti halnya pada sampel ampas
singkong. Biopolimer yang dihasilkan dicetak di atas cetakan bahan PE yang licin
kemudian disimpan dalam oven pada suhu 40-50 0C selama 2-3 hari, setelah itu
dikondisikan dalam suhu kamar selama 2 hari. Diperoleh masing-masing dua jenis
film yang berasal dari kulit dan ampas singkong yang siap untuk diuji karakteristiknya.
Mekanisme Pengujian
Film yang dihasilkan difoto dengan foto visual biasa untuk mengetahui tekstur
fisik dan warnanya kemudian dilakukan berbagai pengujian seperti uji biodegradabilitas,
kelarutan dalam air, elongasi dan kekuatan tariknya. Film plastik biodegradable yang
dihasilkan diuji sifat biodegradabilitasnya dengan cara dikubur di dalam tanah dengan
ukuran film kurang lebih (10x10) cm dan kedalaman tanah 20 cm dan luas (15x15) cm.
Proses penguburan dilakukan selama 1 minggu kemudian dilakukan pengamatan. Uji
kelarutan plastik biodegradable dalam air dilakukan dengan cara memasukkan lembaran
film plastik dengan ukuran kurang lebih (2x10) cm ke dalam bejana yang berisi air
sambil diaduk secara manual dan roses ujinya dilakukan selama 1 minggu sambil
diamati perkembangannya.
Uji mekanik yang berupa uji kekuatan tarik dan elongasi merupakan uji yang sangat
penting kaitannya dengan kualitas film plastik biodegradable yang dihasilkan. Sampel
film plastik yang akan diuji dipotong dengan ukuran (2,5 x 20) cm, kemudian dikaitkan
secara horisontal pada penjepit/pengait yang ada pada alat Tenso Lab dengan
peregangan normal. Setelah film plastik terpasang pada masing-masing pengaitnya,
pengujian kuat tarik dan elastisitas dapat dilakukan. Perangkat alat ini berupa alat
peregang yang didukung oleh data komputer yang dapat diamati langsung pada saat
pengujian.
Gambar 1.
Film plastik biodegradable yang terbuat dari kulit singkong
Setelah dikondisikan dalam suhu kamar selama 2 hari, film plastik diodegradable
dilepaskan dari cetakannya dan siap untuk diuji. Film plastik yang dihasilkan berwarna
bening/jernih tetapi banyak terdapat flok-flok coklat yang menghiasi lembaran film plastik
biodegradable. Rekomendasi untuk penelitian berikutnya adalah bagaimana caranya
menghilangkan flok-flok coklat tersebut sehingga warna film plastik biodegradable dapat
mencapai kejernihan/bening sempurna (Lihat Gambar 1).
Gambar 2.
Film plastik biodegradable yang terbuat dari ampas singkong
Setelah dikondisikan dalam suhu kamar selama 2 hari, film plastik diodegradable
dilepaskan dari cetakannya dan siap untuk diuji. Film plastik yang dihasilkan berwarna
jernih/bening namun banyak dipenuhi dengan bintik-bintik putih sehingga warnanya
cenderung memutih dan kurang jernih/bening. Dilihat dari teksturnya, film plastik dari
ampas singkong cenderung lebih rapuh dan kurang elastis apabila dibandingkan dengan
film plastik dari kulit singkong (Lihat Gambar 1 dan 2). Rekomendasi untuk penelitian
selanjutnya adalah bagaimana caranya untuk merekayasa warna film plastik yang
dihasilkan sehingga menjadi bening/jernih sempurna dan memiliki tekstur yang lebih
kuat dan elastisitasnya tinggi.
Gambar 3.
Film plastik biodegradable yang terbuat dari ekstrak kulit singkong
Film plastik yang dihasilkan dari bahan baku ekstrak kulit singkong memiliki tekstur
yang lebih rapuh dengan warna putih/krem. Secara fisik kualitasnya belum optimal
dan cenderung lebih baik film plastik yang dihasilkan dari kulit singkong walaupun
banyak bercak coklatnya. Elongasi film plastik tersebut lebih rendah dari film plastik
berbahan baku kulit singkong tetapi lebih tinggi dari film plastik yang berbahan baku
ampas singkong (Lihat Gambar 3).
Griffin (1994) menyatakan bahwa plastik biodegradable adalah suatu bahan dalam
kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya, yang
mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya oleh pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur,
algae). Sedangkan Seal (1994) berpendapat, kemasan plastik biodegradable adalah
suatu material polimer yang berubah kedalam senyawa berat molekul rendah dimana
paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui metabolisme organisme
secara alami.
berinteraksi dengan air dan mikro organisme lain bahkan sensitif terhadap
pengaruh fisik/kimia lingkungan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan setelah
kontak dengan mikroorganisme, yakni : sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi,
struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan. Proses terjadinya
biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam dimulai dengan tahap degradasi
kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul, menghasilkan polimer dengan berat
molekul yang rendah. Proses berikutnya (secondary process) adalah serangan
mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan aktivitas enzim (intracellular, extracellu-
lar). Contoh mikroorganisme diantaranya bakteri phototrop (Rhodospirillium,
Rhodopseudomonas, Chromatium, Thiocystis), pembentuk endospora (Bacillus,
Clostridium), gram negatif aerob (Pseudomonas, Zoogloa, Azotobacter, Rhizobium),
Actynomycetes, Alcaligenes (Griffin, 1994).
Setelah dilakukan penguburan selama 1 minggu, hasil pengamatan menunjukkan
bahawa film plastik telah terdekomposisi/terdegradasi secara alamiah di dalam tanah
walaupun masih tersisa sedikit, yang diakibatkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah
faktor mikro organisme pengurai, kelembaban tanah dan kadar air tanah. Alasan utama
membuat kemasan plastik berbahan dasar bioplimer adalah sifat alamiahnya yang
dapat hancur atau terdegradasi dengan mudah. Umumnya setelah sampah kemasan
dibuang ke tanah (landfill), akan mengalami proses penghancuran alami baik melalui
proses fotodegradasi (cahaya matahari, katalisa), degradasi kimiawi (air, oksigen),
biodegradasi (bakteri, jamur, alga, enzim) atau degradasi mekanik (angin, abrasi).
Proses-proses tersebut dapat berlansung secara tunggal maupun kombinasi (Latief,
2001).
Pada minggu berikutnya, setelah dilakukan penggalian lagi, ternyata sisa-sisa
film plastik tersebut sudah bersih/terdegradasi sempurna. Kondisi tanah yang digunakan
untuk proses penguburan adalah sangat lembab dan banyak mengandung air serta
dimungkinkan banyak terdapat mikroba pengurai yang berperan. Karakter
biodegradabilitas telah teruji secara praktis bahwa film plastik yang dihasilkan ternyata
dapat dengan mudah diuraikan dalam tanah secara biologis maupun kimiawi dan
tentunya aman bagi lingkungan. Apabila dicermati dari sudut bahan baku dan chemi-
cal spiecies lain yang mendukung maka film plastik yang dibuang atau dikubur di alam/
tanah tidak merusak lingkungan sekitarnya.