You are on page 1of 45

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional, sesuai dengan yang tertulis dalam UNdang-undang no.23 tahun 1992
tentang kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah sejahtera dari badan, jiwa
dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomi. Sedangkan dalam Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO)
tahun 1948 didepakati antara lain bahwa diperolehnya derajat kesehatan ang
setinggi-tingginya adalah suatu hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa
membedakan ras, agama, politik, yang dianut dan tingkat social ekonominya.

Masalah Kesehatan masyarakat pada dasarnya menyangkut berbagai aspek


kehidupan. Masalah kesehatan masyarakat, dapat dipandang sebagai problem
akibat dari berbagai kebijakan atau kondisi masyarakat. Sebaliknya masalah
kesehatan sebagai salah satu unsur kualitas sumber daya manusia, merupakan
penentu berbagai kebijakan pembangunan.

Perkembangan zaman saat ini menuntut setiap orang untuk melakukan


segala hal secara tepat dan efisien. Hal ini mempengaruhi gaya hidup dan pola
kebiasaan sehari-hari. Misalnya kebiasaan minum yang kurang dari kebutuhan
tubuh perharinya. Masukan cairan yang tidak adekuat dapat berdampak pada
ginjal seperti pembentukan batu buli.

Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan
zaman Mesir kuno. Sebagai salah satu buktinya adalah ditemuka batu pada
kandung kemih seorang mumi. Penyakit ini dapat menyerang penduduk diseluruh
dunia tidak terkecuali penduduk di Indonesia. Angka kejadian penyakit ini tidak
sama di berbagai belahan bumi. Di Negara-negara berkembang banyak dijumpai
pasien batu buli-buli sedangkan di Negara maju lebih banyak dijumpai penyakit

1
batu saluran kemih bagian atas, hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan
aktivitas pasien sehari-hari.

Di Amerika Serikat 5-10% penduduknya menderita penyakit ini,


sedangkan diseluruh dunia rata-rata terdapat 1-12% penduduk yang menderita
batu saluran kemih. Penyakit ini merupakan tiga penyakit terbanyak di bidang
urologi disamping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna.

Batu saluran kemih merupakan penyakit yang sering di klinik urologi di


Indonesia. Angka kejadian batu saluran kemih di Indonesia tahun 2002
berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia adalah
37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan 58.959 penderita. Sedangkan jumlah
pasien yang dirawat adalah 19.018 penderita, dengan jumlah kematian 378
penderita.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2004) jumlah pasien rawat inap


penderita Batu Saluran Kemih di rumah sakit seluruh Indonesia yaitu 17.059
penderita, dengan Case Fatality Rate (CFR) 0,97%. Menurut Depkes RI (2006),
jumlah pasien rawat inap penderita BSK di Rumah Sakit seluruh Indonesia yaitu
16.251 penderita dengan CFR 0,94%. Data dari Rumah Sakit Tembakau Deli
PTP Nusantara II Medan tahun 2006-2010 diketahui bahwa jumlah pasien rawat
inap BSK 111 penderita dengan prpporsi 11, 53 dari 963 kasus penyakit di bagian
urologi, dengan rincian 24 penderita (2,5%) tahun 2006, 21 (2,2%) penderita pada
tahun 2007, 22 penderita (2,3%) pada tahun 2008, 11 penderita (1,1%) pada tahun
2009, dan 33 penderita (3,4%) pada tahun 2010. Data rekam medic di Rumah
Sakit Tembakau Deli PTP Nusantara II Medan, diketahui bahwa selama 5 tahun
dari 2006-2010 penyakit BSK merupakan penyakit ketiga terbanyak ksusnya di
bagian urologi yaitu setelah Gagal Ginjal Kronik (GGK) dengan proporsi 39,1%
dan Infeksi Saluran Kemih (ISK) dengan proporsi 22,55%.

Daerah Kalimantan Timur khususnya di Rumah Sakit Abdul Wahab


Sjahranie Samarinda jumlah pasien yang dirawat diruang cempaka dengan kasus
batu buli pada bulan November dan Desember tahun 2011 sebanyak 20 pasien .

2
Untuk bulan Maret sampai dengan bulan September 2012 tercatat ada sebanyak
34 pasien yang dirawat dengan kasus batu buli. Jumlah Pasien ini diambil dari
data rekam medik yang ada di ruang administrasi cempaka. Dari data tersebut,
ditemukan penyakit batu buli tidak termasuk dalam kategori penyakit 10 besar
yang ada di ruang cempaka. Menghindari terjadinya komplikasi yang tidak di
harapkan, perlu hendaknya dilakukan penanganan yang baik. Diberikan dengan
memperhatikan aspek biologis, psikologis, sosial dan spiritual.

1.2. PERUMUSAN MASALAH


Metode dan teknis anestesi apa yang aman dan sebaiknya digunakan pada
proses vesicolithotomy dalam upaya untuk mengurangi angka mortalitas dan
morbiditas.

1.3. TUJUAN PENULISAN


Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui metode anestesi yang aman untuk tindakan
vesikolitotomi.
2. Untuk mengetahui komplikasi yang sering terjadi setelah tindakan anestesi
RA-SAB.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Vesika Urinaria

2.1.1 Anatomi Vesika Urinaria

Vesika Urinaria merupakan organ muscular berongga yang ukuran dan


posisinya tergantung pada jumlah urine di dalamnya. Bila vesika urinaria berisi
urine, maka vesika urinaria akan meninggi dan lebih tinggi daripada cavitas pelvis
dan akan menonjol dari cavitas pelvis masuk ke dalam cavum abdomen
memisahkan peritoneum dari dinding anterior abdomen dan apabila penuh dapat
diraba (dipalpasi) di atas simfisis pubis. Vesika urinaria apbila kosong akan
berbentuk pyramid (kerucut) dan apabila terisi urine bentuknya menjadi globuler.
Vesika urinaria dapat menampung kira-kira 300 ml urine sebelum terasa ingin
miksi (berkemih) Vesika urinarian dapat menmpung urine yang lebih besar lagu
jumlahnya.

4
Bagian Vesika urinaria terdiri dari :

 Fundus, yaitu bagian yang menghadap kea rah belakang dan bawah,
bagian ini terpisah dari rectum oleh spatium rectosivikale yang terisi oleh
jaringan ikat ductus deferent, vesika seminalis dan prostat.
 Korpus, yaitu bagian antara vertex dan fundus.
 Verteks, bagian yang maju kearah muka dan berhubungan dengan
ligamentum vesika umbilikalis.

Hubungan vesika urinaria :

 Anterior : symphisis pubis


 Superior : Vesika urinaria ditutupi oleh peritoneum dengan gelungan
intestinum tenue dan colon sigmoideum pada bagian yang berlawanan.
Pada wanita, corpus uteri tersandar di bgian postero-superiornya.
 Posterior : rectum; pada pria, ujung vas deferens dan vesika seminalis;
pada wanita, vagina dan portio supravaginalis cervix.
 Lateral : musculus levator ani dan musculus obturator internus

Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritoneum),


tunika muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan lapisan mukosa (lapisan
bagian dalam). Lapisan otot pada vesika urinaria adalah otot nonstriata (otot
polos). Otot ini tersusun dalam tiga lapisan yaitu lapisan media, terdiri atas
serabut sirkuler yang terletak antara lamina interna dan lapisan eksterna serabut
longitudinal . Walaupun demikian, terdapat saling menyilang antara serabut pada
setiap lapisan, dan lapisan-lapisan tersebut tidak dapat dibedakan secara tegas.
Otot pada korpus vesika urinaria disebut musculus detrusor. Lembaran mercier
adalah otot yang terletak antara kedua ostium ureter. Apabila lembaran otot itu
berkontraksi saat berkemih, maka otot ini menekan (kompresi) lebih lanjut
jaringan yang menonjol pada kedua ostium ureter, dan menutup tonjolan tersebut
sehingga urine tidak mengalir balik ke ureter . Otot mercier ini merupakan otot
nonstriata (polos). Otot bell juga merupakan otot nonstriata, meluas antara

5
masing-masing ostium ureter dan uretra. Otot ini melanjutkan diri ke dinding otot
dinding uretra setengah panjangnya. Otot ini ikut berperan dalam membuka
ostium uretra apabila sudut uretrovesikal berubah pada saat mulainya berkemih
dan otot-otot ini mengarahkan aliran urine ke dalam lumen uretra.

Bagian dalam vesika urinaria dan ketiga orificiumnya (orificium urethra


internum dan 2 orificium ureterica membentuk trigonum disebut trigonum
liautaudi) dapat mudah terlihat pada cystoscopi. Kedua orificium uterica berjarak
sekitar 2,5 cm pada saat vesika urinaria kosong, akan tetapi bila vesika urinaria
dalam keadaan penuh, maka jarak keduanya akan bertambah menjadi 5 cm.
Lapisan mukosa dan submukosa kebanyakan pada semua vesika urinaria tidak
terlekat kuat pada lapisan otot dibawahnya sehingga tampak melipat-lipat jika
vesika urinaria kosong dan tampak halus jika vesika urinaria penuh.

Suplai darah berasal dari rr. Vesikalis superior et inferior dari arteria iliaca
interna. Vena vesikalis membentuk suatu plexus yang mengalirkan darah menuju
ke vena iliaca interna. Aliran limfatik mengalir ke pembuluh darah vesika menuju
pembuluh darah iliaca kemudian menuju nodus limfatikus para aorticus .
Persarafan (inervasi)nberasal dari saraf simpatis dan parasimpatis dari plexus Lee-
Frankenhauser (plexus sacralis).

2.1.2 Fisiologi Vesika Urinaria

Fungsi vesika urinaria adalah menampung urine secara temporer sampai


kemudian dapat dikosongkan.

Kapasitas buli-buli :

(Umur (tahun) + 2) x 30

Distensi kandung kemih, oleh air kemih akan merangsang reseptor yang
terdapat pada dinding kandung kemih dengan jumlah ± 250 cc sudah cukup untuk
merangsang berkemih (proses miksi). Akibatnya akan terjadi reflex kontraksi

6
dinding kandung kemih, dan pada saat yang sama terjadi relaksasi spincter
internus, diikuti oleh relaksasi spincter eksternus, dan akhirnya terjadi
pengosongan kandung kemih.

Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi


spincter internus dihantarkan melalui serabut-serabut parasimpatis. Kontraksi
spincter eksternus secara volunteer bertujuan untuk mencegah atau menghentikan
miksi. Kontrol volunteer ini hanya dapat terjadi bila sarf-saraf yang menangani
kandung kemih uretra medulla spinalis dan otak masih utuh

Bila terjadi kerusakan pada sraf-saraf tersebut maka akan terjadi


inkontinesia urin( kencing keluar terus-menerus tanpa disadari) dan retensi urine
(kencing tertahan).

Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh torako lumbar
dan cranial dari system persarafan otonom. Torako lumbar berfungsi untuk
relaksasi lapisan otot dan kontraksi spincter interna.

2.2 Vesikolithiasis

2.2.1 Defenisi

Batu buli-buli disebut juga batu vesika, vesical calculi, vesikal stone,
bladder stone. Batu buli-buli atau vesikolithiasis adalah batu yang terbentuk dari
Kristal yang berasal dari material mineral dan protein yang terdapat pada urine
dan menghalangi aliran air kemih akibat penutupan leher kandung kemih, maka
aliran yang mula-mula lancer secara tiba-tiba akan berhenti dan menetes disertai
dengan rasa nyeri.

Batu saluran kemih pada dasarnya dapat terbentuk pada setiap bagian
tetapi lebih banyak pada saluran penampung terakhir. Pada orang dewasa batu
saluran kemih banyak mengenai sistem bagian atas sedangkan pada anak-anak
sering pada sistem bagian bawah. Di Negara berkembang batu buli-buli terbanyak

7
ditemukan pada anak laki-laki pre pubertas. Komponen yang terbanyak penyususn
batu buli-buli adalah garam kalsium. Pada awalnya merupakan bentuk yang
sebesar biji paia tapi kemudian dapat berkembang menjadi ukuran yang lebih
besar. Kadang kala juga merupakan batu yang multiple.

2.2.2 Etiologi

Menurut Smeltzer bahwa batu kandung kemih disebabkan infeksi, statis


urine dan periode imobilitas ( drainage renal yang lambat dan perubahan
metabolism kalsium).

Faktor-faktor yang mempengaruhi batu kandung kemih (vesikolithiasis)


adalah

 Hiperkalsiuria

Suatu peningkatan kadar kalsium dalam urine yang melebihi 250-


300 mg/24 jam, disebabkan karena hiperkalsiuria idiopatik (meliputi
hiperkalsiuria disebabkan masukan tinggi natrium, kalsium dan protein),
hiperparatiroidisme primer, sarkoidosis, dan kelebihan vitamin D atau
kelebihan kalsium. Hiperkalsiuria disebabkan oleh resorpsi kalsium yang
berlebihan dari tulang karena hiperparatiroidisme, absorpsi kalsium yang
berlebihan dari usus, dan sebagai akibat gangguan resorpsi kalsium di
tubulus ginjal.

 Hipositraturia
Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan Kristal dalam air
kemih, khusunya sitrat. Sitrat berikatan dengan kalsium di dalam urine
sehingga kalsium tidak lagi terikat dengan oksalat maupun fosfat,
karenanya merupakan penghambat terjadinya batu tersebut. Kalsium sitrat
mudah larut sehingga hancur dan dikeluarkan melalui urine. Hipositraturia
disebabkan idiopatik, asidosis tubulus ginjal tipe 1 (lengkap atau tidak
lengkap), minum asetazolamid, dan diare dan masukan protein tinggi.

8
 Hiperurikosuria
Peningkatan kadar asam urat dalam air kemih melebihi 850 mg/24 jam
yang dapat memacu pembentukan batu kalsium karena masukan diet
prurin yang berlebih.

 Penurunan jumlah air kemih


Dikarenakan masukan cairan yang sedikit.

 Hiperoksalouria
Kenaikan ekskresi oksalat diatas normal (45 mg/hari), kejadian ini
disebabkan oleh kelainan usus karena post operasi dan diet kaya oksalat
seperti : teh, kopi, soft drink, kokoa, arbei, sayuran berwarna hijau
terutama bayam.

 Batu Asam Urat


Batu asam urat banyak disebabkan karena pH air kemih rendah, dan
hiperurikosuria (primer dan skunder).

 Batu Struvit
Batu struvit disebabkan karena infeksi yang sebagian besar karena kuman
pemecah urea, sehingga urea menghasilkan suasana basa yang
mempermudah mengendapnya magnesium fosfat , amoium, karbonat.
Kuman tersebut diantaranya adalah proteus spp, klebsiella, enterobacter,
pseudomonas dan staphylococcus.

Kandungan batu kemih kebanyakan terdiri dari :


 75% kalsium.
 15% batu tripe/batu struvit (Magnesium Amonium Fosfat).
 5% batu asam urat.
 Sisanya campuran dari beberapa batu.

9
2.2.3 Faktor Predisposisi
a. Riwayat pribadi tentang batu kandung kemih dan saluran kemih.
b. Usia dan jenis kelamin.
c. Kelainan morfologi.
d. Pernah mengalami infeksi saluran kemih.
e. Makanan yang dapat meningkaykan kalsium dan asam urat.
f. Adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih.
g. Masukan cairan kurang dibanding pengeluaran.
h. Profesi yang banyak duduk.
i. Geografi
j. Penggunaan obat antacid, aspirin dosis tinggi dan vitamin D terlalu
lama.

2.2.4 Patofisiologi

Kelainan bawaan atau cedera, keadaan patologis yang disebabkan karena


infeksi, pembentukan batu di saluran kemih dan tumor, keadaan tersebut sering
menyebabkan bendungan. Hambatan yang menyebabkan sumbatan aliran kemih
baik itu yang disebabkan karena infeksi, trauma dan tumor serta kelainan
metabolism dapat menyebabkan penyempitan atau striktur uretra sehingga terjadi
bendungan dan statis urine. Jika sudah terjadi bendungan dan statis urine lama-
kelamaan kalsium akan mengendap menjadi besar sehingga membentuk batu.

Batu terdiri atas Kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun
non organic yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada
dalam keadaan metastable ( tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-
keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi Kristal. Kristal-kristal
yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (Nukleasi/nidus) yang
kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga
menjadi Kristal yang lebih besar.

10
Meskipun ukuran cukup besar, agregat Kristal masih rapuh dan belum
cukup mampu menghambat saluran kemih. Untuk itu agregat Kristal menempel
pada epitel saluran kemih ( membentuk tretensi Kristal), dan dari sini bahan-
bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup
besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastable di pengaruhi oleh pH
larutan, adanya koloid di dalam urine, konsentrasi solute di dalam urine, laju
aliran urine di dalam saluran kemih, atau adanya corpus alienum di dalam saluran
kemih yang bertindak sebagai inti baru. Lebih dari 80% batu saluran kemih
terdiri atas batu kalsium, baik yang berikatan dengan oksalat maupun dengan
fosfat membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat. Sedangkan sisanya
berasal dari batu asam urat, batu magnesium fosfat ( Batu sturvit/batu infeksi),
batu xantyn, batu sistein dan batu jenis lainnya.

Meskipun pathogenesis pembentukan batu di atas hamper sama, tetapi


suasana didalam saluran kemih memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak
sama. Dalam hal ini misalkan batu asam urat mudah terbentuk dalam asam (pH
urine < 5,5) sedangkan batu magnesium ammonium fosfat terbentuk karena urine
bersifat basa (pH urine > 6,6).

Pada penderita yang berusi tua atau dewasa biasanya komposisi batu
merupakan batu asam urat lebih dari 50% dan batu paling banyak berlokasi di
vesika urinaria. Batu yang terdiri dari kalsium oksalat biasanya berasal dari ginjal.
Pada batu yang ditemukan pada anak umumnya ditemukan pada daerah endemik
dan terdiri dari asam ammonium material, kalsium oksalat dan campuran
keduanya. Hal itu disebabkan karena susu bayi yang berasal ibu yang banyak
mengandung zat-zat tersebut.

Makanan yang mengandung rendah fosfor menunjang tingginya ekskresi


ammonia. Anak-anak yang sering makan yang kaya oksalat seperti sayur akan
meninggalkan Kristal urin dan protein hewan ( diet redah sitrat).

11
2.2.5 Manifestasi Klinis

Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan iritasi dan


berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuria, jika terjadi obstruksi
pada leher kandung kemih menyebabkan retensi urine atau bisa menyebabkan
sepsis, kondisi ini lebih serius yang dapat mengancam kehidupan pasien, dapat
pula kita lihat tanda seperti mual, muntah, gelisah, nyeri dan perut kembung.

Jika sudah terjadi komplikasi seperti hidronefrosis maka gejalanya


tergantung pada penyebab penyumbatan, lokasi, dan lamanya penyumbatan. Jika
penyumbatan timbul dengan cepat (hidronefrosis akut) biasanya akan
menyebabkan kolik ginjal ( nyeri yang luar biasa di daerah antara rusuk dan
tulang punggung) pada sisi ginjal yang terkena. Jika penyumbatan berkembang
secara perlahan (hidronefrosis kronis) , biasanya tidak menimbulkan gejala atau
nyeri tumpul di daerah antara tulang rusuk dan tulang punggung.

Selain tanda di atas, tanda hidronefritis yang lain adalah :

 Hematuria.
 Sering ditemukan infeksi di saluran kemih.
 Demam.
 Rasa nyeri di daerah kandung kemih dan ginjal.
 Mual dan muntah.
 Nyeri abdomen.
 Disuria.
 Menggigil.

2.2. 6 Diagnosa Banding

1. Kelainan detrusor kandung kemih

 Kelainan medulla spinalis.


 Neuropatia diabetes mellitus.

12
 Pasca bedah radikal di pelvis
 Farmakologik

2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :

 Kelainan neurologik.
 Neuropati perifer.
 Diabetes mellitus.
 Alkoholisme farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan
parasimpatolitik)

3. Obstruksi fungsional :

 Dis-sinergi detrusor spincter terganggunya koordinasi antara kontraksi


detrusor dengan relaksasi spincter.
 Ketidakstabilan detrusor.

4. Kekakuan leher kandung kemih :

 Fibrosis.

5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :

 Hiperplasia prostat jinak atau ganas.


 Kelainan yang menyumbat uretra.
 Uretritis akut atau kronik.
 Striktur uretra.

6. Pembesaran Prostat.

2.2.7 Diagnosis

1. Pemeriksaan Fisik : Kurang berarti, kecuali jika batu cukup besar

2. Laboratorium

13
a. Darah : ureum/kreatinin, elektrolit, ca, phospat anorganik, Alkali
phospat, asam urat, protein, Hb.
b. Urin : Rutin (Midstream urin)
 pH lebih dari 7,6 biasanya ditemukan kuman area splitting,
organism dapat berbentuk batu magnesium ammonium
phospat, pH yang rendah menyebabkan pengendapan batu
asam urat.
 Sedimen : sel darah meningkat (90%), ditemukan pada
penderita dengan batu, bila terjadi infeksi maka sel darah
putih akan meningkat.
 Biakan urine : Untuk mengetahui adanya bakteri yang
berkontribusi dalam proses pembentukan batu saluran
kemih.
 Ekskresi kalsium, fosfat, asam urat dalam 24 jam untuk
melihat apakah terjadi hiperekskresi.

3. Radiologis

a. Foto polos
Posisi batu, besar batu, apakah terjadi bendungan atau tidak. BNO tampak
opak (90%), lebih baik dilanjutkan dengan IVP untuk mengetahui ada atau
tidak kerusakan pada ginjal.
b. IVP
Dapat untuk melihat batu dilain tempat, anatomi saluran kencing bagian
atas. Pada gangguan fungsi ginjal maka IVP tidak dapat dilakukan, pad
keadaan ini dapat dilakukan retrogad pielografi atau dilanjutkan dengan
antegrad pielografi tidak memberikan informasi yang memadai.
c. PV (postvoid) : untuk mengetahui pengosongan kandung kemih.
d. USG : gambaran acoustic shadow.
3. Sistokopi : Untuk menegakkan diagnosis batu kandung kemih.

14
2.2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan batu harus tuntas sehingga bukan hanya mengeluarkan


batu saja, tetapi harus disertai dengan terapi penyembuhan penyakit batu atau
paling sedikit disertai dengan terapi pencegahan. Hal ini karena batu sendiri
merupakan gejala penyakit batu sehingga pengeluaran batu dengan cara apapun
bukanlah merupakan terapi yang sempurna.

Pengobatan dapat dilakukan dengan :

1. Pelarutan
Jenis batu yang dapat dilarutkan adalah dari jenis batu asam urat.
Batu ini hanya terjadi pada keadaan pH air kemih yang asam (pH 6,2)
sehingga dengan pemberian bikarbonas natrikus disertai dengan makanan
alkalis, batu asam urat dapat diharapkan larut. Lebih baik bila dibantukan
dengan usaha menurunkan kadar asam urat air kemih dan darah dengan
bantuan alopurinol.
Batu sturvit tidak dapat dilarutkan tetapi dapat dicegah
pembesarannya bila diberikan pengobatan dengan pengasaman kemih dan
pemberian antiurease.

2. Lithotripsi gelombang kejut ekstrakorporeal


Presedur noninvasive yang digunakan untuk menghancurkan batu
tanpa perlukaan. Batu kandung kemih, batu dipecahkan memakai
litotriptor secara mekanis melalui sistokop atau dengan memakai
gelombang elektrohidrolik atau ultrasonic Litotriptor adalah alat yang
digunakan untuk memecahkan batu tersebut, tetapi alat ini hanya dapat
memecahkan batu dalam batas ukuran 3 cm ke bawah. Gelombang kejut
dialirkan melalui air ketubuh dan di pusatkan di batu yang akan
dipecahkan. Setelah batu itu pecah menjadi bagian yang terkecil seperti
pasir, sisa batu tersebut dikeluarkan secara spontan.

15
3. Vesikolithotomi
Suatu tindakan pembedahan untuk mengeluarkan batu dari vesika
urinaria dengan membuka vesika urinaria dari anterior. Indikasi operasi
batu vesika urinaria yang berukuran 2,5 cm pada orang dewasa dan semua
ukuran pada anak-anak.
Teknik pembedahannya dengan melakukan insisi kulit dimulai dari
atas simfisis pubis sampai dibawah umbilicus. Vesika urinaria dibuka
secara median batu dikeluarkan. Kemudian vesika urinaria ditutup dengan
meninggalkan kateter uretra dari buli-buli.

2.2.9 Pencegahan

a. Diuresis yang adekuat untuk mencegah timbulnya kembali batu maka


pasien harus minum banyak sehingga urin yang terbentuk tidak kurang

16
dari 1500 ml. Pada pasien dengan batu asam urat dapat digunakan
alkalinisasi urin sehingga pH dipertahankan dalam kisaran 6,5-7 mencegah
terjadinya hiperkalsemia yang akan menimbulkan hiperkalsiuria pasien
dianjurkan untuk mengecek pH urine dengan kertas nitrasin setiap pagi.

b. Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu.

c. Eradikasi infeksi saluran kemih khusunya untuk batu sturvit.

2.2.10 Prognosis

Secara umum, prognosis pasien dengan vesikolithiasis adalah baik.


Namun, mortalitas dan morbiditas yang signifikan kadang-kadang dapat terjadi.
Hal itu tergantung seberapa besar ukuran batu dan komplikasi yang timbul dari
batu vesika urinaria tersebut. Perlu dikontrol faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya vesikolithiasis, sebab kemungkinan rekurensi tetap ada.

2.3 RA – SAB
2.3.1 DEFENISI
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah
tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik kedalam ruang subaraknoid
di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang
sensoris mulai dari vertebra thorakal 4.

2.3.2 INDIKASI
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,
maksimal 2-3 jam.

2.3.3 KONTRA – INDIKASI


Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.

17
A. KONTRA INDIKASI ABSOLUT
 Infeksi pada tempat suntikan: Infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare. : Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla
spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.

B. KONTRA INDIKASI RELATIF

 Infeksi sistemi : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan


apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis
sebelumnya agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan
deficit neurologis yang sudah ada pada pasien sebelumnya.

18
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih
90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi
bisa bertahan hingga 150 menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea
rah jantung akibat efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan
 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman

2.3.4 STRUKTUR ANATOMI VERTEBRA

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah


tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal,
torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang

19
sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang
sakum dan koksigeus.

Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu:


a. menyangga berat kepala dan dan batang tubuh,
b. melindungi medula spinalis,
c. memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis,
d. tempat untuk perlekatan otot-otot,
e. memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh

Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar


sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil
sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang
harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudalsampai kemudian
beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio
sacroilliaca.

Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh


suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang
berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan
kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi


subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.Medulla
spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus
medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda
equina).Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara
vertebra T12 hingga L1.

20
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang
paling terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra
torakal 3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra
lumbalis 4-5

Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis

21
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan
anestesi spinal.
a. Kutis
b. Subkutis
Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
c. Ligamentum Supraspinosum
Ligamen yang menghubungkan ujung procesus spinosus.
d. Ligamentum interspinosum
e. Ligamentum flavum
Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm. Sebagian besar
terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari lamina ke
lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi
mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati
ligamentum dan masuk keruang epidural.
f. Epidural
Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
g. Duramater
Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus duramater
seperti saat menembus epidural.
h. Subarachnoid
merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal.
Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.

Gambar 4 : Susunan Anatomi ligament vertebra[6]

22
Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat
arteri dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan.Terdapat arteri
Spinalis posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla.Arteri spinalis
anterior memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla.Terdapat juga adreti
radikularis yang memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis
memperdarahi radiks.Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena
medularis anterior dan posterior.

Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis

23
2.3.5 PERSIAPAN ANESTESI
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih
sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib
diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi
dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat
diubah menjadi anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
 Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan
terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
 Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus
tidak teraba.
 Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT)

24
dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat


dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing,quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil
point whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set.

Gambar 6 : Jenis Jarum Spinal[7]

2.3.6 OBAT – OBATAN PADA ANASTESI SPINAL


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat
anestesi local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila

25
dikenakan pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat
anestesi local bersifat reversible.

Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf.Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat
mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut
dalam air.

Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid
dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun
hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini
adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama
kerja obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah
permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi
yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 370 C adalah 1.003-1.008.


Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik
local dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik local
dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik local yang
sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik
local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain
diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan


umum digunakan.
 Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,
dosis 20-50 mg (1-2ml).
 Bupivakaine 0.5% dalam air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20
mg.

26
 Bupivakaine 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg(1-3 ml).

Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh


manusia.Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya
harus diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf: Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi: Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular: Obat anestesi local dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,
maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan
bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi
local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun: Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular: obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local.

27
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :

1. Vasokonstriktor: Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal


dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme
kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local
dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi
lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid: digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat
onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini
sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin: Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena
klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai
terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan


anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

28
2.3.7 TEHNIK ANESTESI SPINAL
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien.

Berikut adalah prosedur pelaksanaan teknik anestesi spinal:


1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 -
1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum

29
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),
yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan
menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid.
Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid
tersebut.

Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi[7]

Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi[7]

30
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median
dan paramedian.Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah
dari sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm
lateral dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial

31
Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan
monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit.Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motoric pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang.Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi.Tekanandarah
bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang
belumdiberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor
dan keadaan umumpasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat,
pusing,mual, berkeringat.

Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris

2.3.8 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL


Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :
 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

32
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml
larutan.
 Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
 Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.

2.3.9 KOMPLIKASI TINDAKAN


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan.Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah:

A. KARDIOVASKULAR
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat
hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return.
Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang
sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.Cardiac

33
arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi
spinal.Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang
berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus
seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest
tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang
disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak
10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila
dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit
sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan
sulfas atropine 1/8-1/4mg IV.

B. BLOK TINGGI ATAU TOTAL


Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa
muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis
motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok
simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena,
hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal
ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak
dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada
anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan
kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas
saraf phrenikus biasanya dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,
sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan
henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan

34
yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen
bertekanan positif.Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali
ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang
permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang
cepat dan tepat.

C. SISTEM RESPIRASI
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :
 Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
 Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
 Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
 Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.[2]

D. KOMPLIKASI GASTOINTESTINAL
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi
dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 – 48 jam pasca pungsi lumbal,
dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat. Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan obat
tambahan yaitu Ondansetron atau diberikan Ranitidine.

35
E. NYERI KEPALA (PUNCTURE HEADACHE)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.
Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada
anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti
ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko
untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah
tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan
biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala
yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital,
dan sering disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling
signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien
dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan
berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu
24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara
cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen.
Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus
vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan
serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif
tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk
menghentikan kebocoran.

F. NYERI PUNGGUNG
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari
tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur
ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat
dari trauma suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik dan akan menghilang
dalam beberapa waktu yang singkat saja.

36
G. TRAKTUS URINARIUS
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali
paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam.

37
BAB 3
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
 Nama : Abdul Hakim
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Umur : 49 tahun
 Agama : Islam
 Alamat : Jl. Bersma Gg. Sepakat
 Pendidikan : SMA
 Status Perkawinan : Menikah
 No RM : 23 63 63
 Tgl Masuk : 29 September 2015
 Dirawat ruang : Jabal rahma
 Diagnosis prabedah : Vesikolithiasis
 Jenis pembedahan : Vesikolithotomi
 Jenis Anasthesi : RA-SAB

2. ANAMNESA
 Keluhan Utama : Kencing berdarah.
 Telaah : Os datang ke RS Haji Medan dengan keluhan kencing
berdarah. Hal dialami os 1 bulan ini. Awalnya sebelum kencing berdarh os
selalu mersa BAK tak puas, saat kencing berasa perih, kencing seperti
terputus-putus, Os mengaku selama 5 tahun terakhir ini memiliki kebiasaan
jarang minum dan sering menahan kencing.
 RPT : (-)
 RPO : (-)
 RPK : (-)

3.PEMERIKSAAN FISIK

38
Status Present
 Keadaan Umum : Tampak Sakit

Vital Sign
 Sensorium : Compos Mentis
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 82x/menit
 RR : 22x/menit
 Suhu : 38,00C
 Tinggi Badan : 165 cm
 Berat Badan : 53 kg

Pemeriksaan Umum
Kepala
 Bentuk :Normocepali, tidak teraba benjolan atau luka.
 Wajah : Simetris, tidak oedem.
 Mata : Konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik, Reflex
cahaya (+/+), Pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, Gerak bola mata
terkonjugasi ke segala arah.
 Telinga : Bentuk normal, tidak ada deformitas, nyeri tekan (-).
 Hidung : Hidung simetris, tidak ada pernapasan cuping hidung.
 Mulut : Bibir merah muda, tidak ada sianosis

Leher
 Pembesaran KGB : (-)
 Tyroid : (+) normal
 Bentuk : normal, simetris
Thorax
Paru
 Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan torako
abdominal, retraksi costae -/-

39
 Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
 Perkusi : sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru
Jantung
 Inspeksi : Ictus tidak terlihat
 Palpasi : Ictus teraba, tidak kuat angkat
 Perkusi : Batas jantung normal
 Auskultasi : Bunyi jantung dalam batas normal

Abdomen
 Inspeksi : simetris
 Palpasi : Soepel , terdapat nyeri tekan pada area suprapubis
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
 Ekstremitas : edema -/-

Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
Hasil Nilai Rujukan
Hb 12.1 g/Dl 12-16 g/dL
Ht 35.8 % 36-47 %
Eritrosit 4.4 x 106/µL 3.9-5.6 x 106/µL
Leukosit 19.600 /µL 4000-11000 /µL
Trombosit 226.000 / µL 150.000-450.000 /µL

Hasil USG Abdomen


 Hepar : Besar dan dalam bentuk normal, permukaan rata, echo parenkim
normal, tak terlihat SOL, CBD, dan vaskular baik.
 Ginjal : Besar dan bentuk kedua ginjal normal. Tidak tampak batu.
 Lien : Besar dan bentuk normal.

40
 GB : Besar dan bentuk normal, tak tampak batu dan kelainan lainnya.
 Blass : Tampak batu berukuran sekitar 4,4 x 2,7 disertai dinding menebal
irregular.
Kesan : Vesicholitiasis disertai Cystitis.

Diagnosis : Vesicolithiasis suspect Cystitis.

RENCANA TINDAKAN
 Tindakan : Vesicolithotomy
 Anesthesi : RA-SAB
 PS-ASA :2
 Posisi : Supinasi
 Pernapasan : Spontan
KEADAAN PRA BEDAH
Pre operatif
B1 (Breath)
 Airway : Clear
 RR : 20x/menit
 SP : Vesikulear ka=ki
 ST :Ronchi(-),Wheezing (-/-), snoring/gargling/crowing
(-/-/-)
B2 (Blood)
 Akral : Hangat/Merah/Kering
 TD : 120/80 mmHg
 HR : 90x/menit
B3 (Brain)
 Sensorium : Compos Mentis
 Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
 RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
 Urine out put : (+) 500 cc , warna kemerahan

41
 Kateter : (+)
B5 (Bowel)
 Abdomen : Soepel
 Peristaltik : Normal (+)
 Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
 Oedem : (-)

PERSIAPAN OBAT RA-SAB


Intratekal
 Bupivacaine : 12,5mg
 Fentanyl : 25 µg
Jumlah Cairan
 PO : RL 500 cc
 DO : RL 1000 cc
 Total : RL 1500 cc
 Produksi Urin : (+) 1200 cc

Perdarahan
 Kasa Basah : 10 x 10 = 100 cc
 Kasa 1/2 basah : 5 x 5 = 25 cc
 Suction : 100 cc
 Jumlah : 225 cc
 EBV : (65) x 55 = 65 x 55 kg = 3850
 EBL 10 % = 385
20 % = 770
30 % = 1155

Durasi Operatif
 Lama Anestesi = 10.40 – 12.35 WIB
 Lama Operasi = 10.47 – 12.30 WIB

42
Teknik Anestesi : RA-SAB
 Posisi duduk (SITTING) - Identifikasi L3-L4 → Desinfeksi betadine +
alcohol → Insersi spinocan 25G + CSF (+), darah (-), injeksi
bupivacain+fentanyl → barbotase (+) → posisi supine → atur blok
setinggi T4.

POST OPERASI
 Operasi berakhir pukul : 12.30 WIB
 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 8
Pergerakan :2
Pernapasan :2
Warna kulit :2
Tekanan darah :2
Kesadaran :2
Dalam hal ini, pasien memiliki score 10 sehingga bisa di pindahkan ke ruang
rawat.

PERAWATAN POST OPERASI


 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal
headache, karena obat anestesi masih ada.

TERAPI POST OPERASI

43
 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
 IVFD RL 30gtt/menit
 Minum sedikit-sedikit bila tidak mual muntah
 Inj. Ketorolac 30mg/8 jam IV
 Inj. Ranitidine 50mg/8 jam IV
 Inj. Ondansetron 4mg/12 jam IV bila mual/muntah

BAB 4
PENUTUP

4.1. KESIMPULAN
Vesikolithiasis atau batu buli-buli adalah batu yang terbentuk dari Kristal
yang berasal dari material mineral dan protein yang terdapat pada urine dan
menghalangi aliran air kemih akibat penutupan leher kandung kemih, maka aliran
yang mula-mula lancar secara tiba-tiba akan berhenti dan menetes disertai dengan
rasa nyeri.
Salah satu penatalaksanaan dari vesikolithiasis adalah dengan melakukan
tindakan vesikolithotomi, yaitu uatu tindakan pembedahan untuk mengeluarkan
batu dari vesika urinaria dengan membuka vesika urinaria dari anterior. Teknik
pembedahannya dengan melakukan insisi kulit dimulai dari atas simfisis pubis
sampai dibawah umbilicus. Vesika urinaria dibuka secara median batu
dikeluarkan. Untuk melakukan tindakan vesikolitotomi ini biasanya digunakan
jenis anestesi blok subaraknoid (RA SAB).
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah
tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik kedalam ruang subaraknoid
di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang
sensoris mulai dari vertebra thorakal 4. Indikasi anestesi jenis ini adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah papila

44
mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3
jam. Indikasi ini sesuai dengan tindakan pembedahan vesikolitotomi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Baughman, Diane C dan Hackley, JiAnn C.2000. Keperawatan Medikal


Bedah: Buku saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC
2. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : EGC
3. Mansjoer, Arif. 2002. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : EGC
4. Sjamsuhidaja, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta :
EGC
5. Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah
Edisi 8 Volume 2, Alih bahasa kuncara H,Y, dkk. Jakarta : EGC
6. Wilkinson, Judith M dan Ahera, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan, Jakarta : EGC

45

You might also like