You are on page 1of 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Otak


Sistem saraf manusia dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat yang
terdiri dari otak dan medula spinalis, dan sistem saraf perifer yang terdiri
dari sistem saraf aferen dan eferen sistem saraf somatis dan neuron sistem
saraf otonom. Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel
penyokong (neuroglia dan sel schwann). Neuron adalah sel saraf yang peka
terhadap rangsang yang menerima input aferen atau sensorik dari ujung-
ujung saraf perifer khusus atau dari organ reseptor sensorik, dan
menyalurkan motorik atau eferen ke otot-otot, kelenjar yang merupakan
organ efektor. Neuron aferen dan eferen dihubungkan oleh interneuron atau
disebut neuron asosiasi yang banyak terdapat di substansia grisea. Neuroglia
merupkan penyokong, pelindung, dan sumber nutrisi untuk neuron otak dan
medula spinallis. Sel schwann merupakan pelindung dan penyokong neuron-
neuron dan tonjolan neuronal di luar sistem saraf pusat.1
Sel-sel otak (neuron), sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel glia,
cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah
neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron
berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2%
(sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20%
oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. 1
Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri(lipatan duramater yang berada di inferior sinus sagitalis superior).
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai
hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi
motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area
bicara motorik).1

21
22

Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan fungsi


sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus
occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang
otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon
dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada pusat vital
kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis di
bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula
spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.1

Gambar 2.1. Pembuluh Darah di Otak

Otak diperdarahi oleh dua arteri, yaitu dua arteri carotis interna dan dua
arteri vertebralis. Keempat arteri terletak di dalam ruang subarachnoid, dan
cabang-cabangnya beranastomosis pada permukaan inferior otak untuk
membentuk circulus willisi.1
Aliran darah yang menuju otak harus membawa oksigen, glukosa, dan
nutrisi ke jaringan saraf dan mengangkut karbondioksida, asam laktat, dan
hasil metabolisme lainya.1Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah
per menit, yaitu sekitar15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat
istirahat agar berfungsi normal.1

22
23

Jika terjadi sumbatanpada arteri carotis interna atau arteria vertebralis,


darah berjalan kearah depan atau ke belakang melalui tempat ini untuk
mengkompensasi kekurangan aliran darah. Sirkulus arteri ini juga
memungkinkan aliran darah menyilang ke sisi kontralateral, seperti yang
terlihat ketika arteria carotis interna dan artertia vertebralis tersumbat.1
Saraf kranialis berjumlah 12 pasang dan langsung bersumber dari otak.
N. I Olfaktorius, N. II Optik, N. III Olfaktorius, N. IV Troklearis, N. V
Trigiminal, N. VI Abdusen, N. VII Fasialis, N. VIII Vestibulokoklearis, N.
IX Glossofaringeus, N. X Vagus, N. XI Hipoglosus, dan N. XII Aksesorius.1,2
Susunan neuromuskular tersusun atas Upper Motor Neuron (UMN) dan
Lower Motor Neuron (LMN). UMN merupakan kumpulan saraf motorik yang
menyalurkan impuls dan area motorik di korteks serebri sampai motorik saraf
kranial di batang otak atau kornu anterior medula spinalis. Berdasarkan
perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan
piramidal dan ekstrapiramidal.1
Susunan piramidal merupakan semua neuron yang menyalurkan impuls
motorik secara langsung ke LMN atau melalui interneuronnya, tergolong
dalam kelompok UMN. Melalui aksonnya neuron korteks motorik
menghubungi metoneuron yang membentuk inti motorik saraf kranial dan
motorneuron di kornu anterior medula spinalis. Akson-akson tersebut
membentuk jaras kortikobulbar dan kortikospinal. Serabut saraf Serabut saraf
yang bersinaps dengan nervus kranialis membentuk traktus kortikobulbar.
Sedangkan serabut saraf yang bersinaps dengan nervus spinalis mengirim
informasi untuk pergerakan volunter ke otot skelet membentuk traktus
kortikospinal.1
- Traktus kortikospinal.1
Serabut yang berasal dari korteks motorik akan berjalan secara
konvergen melalui corona radiata massa putih serebri menuju tungkai
posterior capsula interna. Lalu berkumpul merapat dalam susunan
somatotropik dan memasuki bagian tengah pedunculus otak tengah.
Serat-serat yang merupakan berkas padat berjalan turun ke bawah di

23
24

tengah pons dan kemudian muncul melewati piramid. Dari bagian ventral
medula oblongata, serabut saraf kortikospinal terlihat seperti gambaran
piramid. Inilah yang menyebabkan penamaan traktuspiramidalis.
Pada piramid di daerah inferior dari medula, 85-90 % serabut saraf
kortikospinal menyilang ke sisi lain dari otak melalui garis tengah
(decusasio piramidalis). Disebut traktus kortikospinal lateralis atau
traktus piramidalis lateralis. Sisanya 10-15 % terus berjalan ipsilateral
dalam funiculus anterior. Karena berjalan turun sepanjang sisi korda
spinalis, serabut saraf yang tidak menyilang yang bersinaps dengan
nervus spinalis pada sisi ipsilateral dari tubuh disebut traktus piramidalis
direk. Juga disebut traktus piramidalis ventralis atau traktus kortikospinal
anterior sebab mereka berjalan turun melalui aspek ventral dari korda
spinalis.
Traktus kortikospinal menstimulasi motor neuron pada medulla
spinalis yang bertugas menggerakkan otot-otot aksial tubuh, tangan dan
tungkai. Traktus kortikospinal lateral berakhir di motor neuron yang
bekerja untuk pergerakkan sebagian besar segmen distal tangan dan
tungkai. Sedangkan traktus kortikospinal medial berakhir di motor
neuron untuk pergerakkan otot aksial tubuh dan segmen proksimal
tangan dantungkai.
Nervus spinalis hanya menerima inervasi kontralateral dari traktus
kortikospinalis. Ini berarti lesi traktus piramidalis unilateral di atas titik
persilangan pada piramid akan menyebabkan paralisis otot yang
dipersarafi nervus spinalis di sisi berlawanan dari tubuh. Sebagai contoh,
lesi di sisi kiri traktus piramidalis di atas titik persilangan dapat
menyebabkan paralisis sisi kanan tubuh.
- Traktus Kortikobulbar.1
Traktus kortikobulbar membawa pesan motorik yang paling
penting untuk bicara dan menelan. Akson kortikobulbar dari korteks
berjalan turun diantara ikatan dari kapsulainterna.
Serabut traktus kortikobulbar meninggalkan traktus piramidalis

24
25

pada daerah otak tengah dan melakukan perjalanan ke arah dorsal. Di


dalam perjalanannya menuju nukleus saraf otak, ada beberapa serabut
saraf yang menyilang sedangkan sisanya tetap berjalan ipsilateral.
Nukleus yang terlibat adalah saraf otak yang mengontrolpersarafan
volunter otot wajah dan mulut, NV, NVII (keluar dari pons), NIX, NX,
NXI dan NXII (keluar dari medullaoblongata).
Hampir semua nervus kranialis menerima inervasi bilateral dari
serabut saraf traktus piramidalis. Ini berarti bahwa keduanya, yakni
anggota kanan dan kiri dari sepasang nervus kranialis diinervasi oleh
daerah korteks motorik hemisfer kanan dan kiri. Sehingga jika ada lesi
unilateral dari traktus piramidalis, kedua sisi tubuh tetap menerima
pesan motorik dari korteks. Pesan untuk pergerakan ini mungkin tidak
sekuat sebelumnya tapi tidak akan menyebabkan paralisis.
Dua pengecualian untuk pola ini adalah fungsi NXII yang
menginervasi pergerakan lidah dan bagian dari NVII yang menginervasi
otot muka bagian bawah. Mereka hanya menerima inervasi kontralateral
dari traktus piramidalis. Ini berarti mereka menerima informasi hanya
dari serabut saraf di sisi berlawanan dari otak. Oleh sebab itu, lesi
unilateral upper motor neuron dapat menyebabkan ‘facial drop’
unilateral atau masalah dengan pergerakan lidah di sisi berlawanan dari
tubuh. Sebagai contoh, lesi di serabut saraf kiri traktus piramidalis
menyebabkan ‘facial drop’ sisi kanan dan kesulitan gerak sisi kanan
lidah.1

2.2. Definisi Stroke


Stroke menurut WHO (World Health Organisation) adalah suatu
tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal atau global
dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler. 2

25
26

2.3 Epidemiologi Stroke


Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan kecacatan tertinggi di
dunia, serta merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung
dan kanker. Menurut American Heart Association (AHA), angka kematian
penderita stroke di Amerika setiap tahunnya adalah 50-100 dari 100.000
orang penderita. Stroke diklasifikasikan menjadi stroke non hemoragik dan
stroke hemoragik. Stroke non hemoragik memiliki angka kejadian 85% dari
seluruh stroke yang terdiri dari 80% stroke aterotrombotik dan 20% stroke
kardioemboli.3
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), stroke merupakan
penyebab kematian dan kecacatan utama hampir di seluruh RS di Indonesia.
Angka kejadian stroke meningkat dari tahun ke tahun. Setiap tujuh orang
yang meninggal di Indonesia, satu diantaranya disebabkan stroke. 4

2.4 Klasifikasi Stroke


Stroke dapat dibagi dua kelompok besar yaitu:5
1. Stroke iskemik
Terganggunya sel neuron dan glia karena kekurangan darah akibat
sumbatan arteri yang menuju otak atau perfusi otak yang inadekuat.
Sumbatan dapat dibedakan oleh 2 keadaan yaitu:
 Berdasarkan kausal
a. Trombosis dengan gambaran defisit neurologis dapat
memberat dalam 24 jam pertama atau lebih.
b. Emboli dengan gambaran defisit neurologi pertama kali
muncul sangat berat, biasanya serang timbul saat beraktifitas.
 Berdasarkan manifestasi
a. Serangan Iskemik Sepintas/ Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala neurologi yang timbul akibat gangguan peredaran darah
di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.

26
27

b. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas (Reversible Ischemic


Neurological Deficit)
Gejala neurologi yang timbul akan menghilang dalam waktu
lebih lama dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari satu minggu.
c. Stroke Progresif (Progressive Stroke)
Gejala neurologi makin lama makin berat.
d. Stroke Komplet (Completed Stroke/permanent Stroke)
Kelainan neurologi sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.

2. Stroke perdarahan
Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problem 10th Revision, stroke perdarahan
dibagi atas:
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer
berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan
disebabkan oleh trauma.Perdarahan ini banyak disebabkan oleh
hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah aneurisma
kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia,
leukemia, trombositopenia, pemakaian antikoagulan angiomatosa
dalam otak, tumor otak yang tumbuh cepat, amiloidosis
serebrovaskular. Gejala yang sering djumpai pada perdarahan
intraserebral adalah: nyeri kepala berat, mual, muntah dan adanya
darah di rongga subarakhnoid padapemeriksaan pungsi lumbal
merupakan gejala penyerta yang khas. Serangansering kali di
siang hari, waktu beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran
biasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang
dari setengahjam, 23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3
jam).

27
28

b. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)


Perdarahan Subarakhnoidal (PSA) adalah keadaan
terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan
subarakhnoidal.Perdarahan ini terjadi karena pecahnya aneurisma
(50%), pecahnya malformasi arteriovena atau MAV (5%), berasal
dari PIS (20%) dan 25% kausanya tidak diketahui. Pada penderita
PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat, nyeri di leher dan
punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik
dapatdilakukan dengan pemeriksaan kaku kuduk, Lasegue dan
Kernig untukmengetahui kondisi rangsangan selaput otak, jika
terasa nyeri maka telahterjadi gangguan pada fungsi saraf.Pada
gangguan fungsi saraf otonom terjadidemam setelah 24 jam. Bila
berat, maka terjadi ulkus pepticum karenapemberian obat
antimuntah disertai peningkatan kadar gula darah,
glukosuria,albuminuria, dan perubahan pada EKG.

2.5. Etiologi Stroke


1. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan ekstraserebral (perdarahan subaraknoid)
2. Stroke non hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)
a. Trombosis serebri
b. Emboli serebri
c. Hipoperfusi sistemik

28
29

Gambar 2.3. Perbedaan stroke iskemik dan stroke hemoragik

Dengan adanya aterotrombosisi atau emboli artinya memutuskan


aliran darah ke otak (cerebral blood flow/CBF). Dalam keadaan fisiologis
jumlah darah yang mengalir ke otak (Cerebral Blood Flow) ialah 50-60 ml
per 100 gram jaringan otak per menit. Jadi jumlah darah untuk seluruh otak,
yang kira-kira beratnya antara 1200-1400 gram, adalah 700-840 ml per
menit.6,7

Tekanan perfusi
CBF =
Resistensi intrakranial

Nilai normal dari Cerebral Blood Flow adalah 50-60 ml/100 gram
jaringan otak/menit. Jika nilai CBF < 30 ml/100mg/menit  iskemia,
sedangkan jika nilai dari CBF <10 ml/100mg/ menit  akan kekurangan
oksigen  proses fosfolirasi oksidatif terhambat  produksi ATP akan
menurun  pompa Na K ase tidak akan berfungsi  depolarisasi
membrane se saraf  pembukaan kanal ion Ca  kenaikan influx Ca
secara cepat  gangguan homeostasis  ca merupakan signaling yang
mengaktivasi berbagai enzim  memicu proses biokimia yang beesifat
eksitotoksik  kematian sel saraf (nekrosis maupun apoptosis  gejala
timbul tergantung saraf mana yang mengalami kerusakan.6,7

29
30

2.6. Faktor Risiko Stroke


Stroke adalah penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor atau yang
sering disebut multifaktor. Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian
stroke dibagi menjadi dua, yaitu faktor resiko yang tidak dapat 9
dimodifikasi (non-modifiable risk factors) dan faktor resiko yang dapat
dimodifikasi (modifiable risk factors). Faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi seperti usia, ras, gender, genetic atau riwayat keluarga yang
menderita stroke. Sedangkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi berupa
hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes melitus, obesitas, alkohol,
dan dislipidemia. 8

2.7 Stroke Hemoragik


2.7.1. Definisi Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik merupakan disfungsi neurologis fokal yang akut
dan disebabkan oleh perdarahan pada substansi otak yang terjadi secara
spontan bukan oleh karena trauma kapitis, akibat pecahnya pembuluh arteri
dan pembuluh kapiler.9

2.7.2 Patofisiologi
Perdarahan intraserebral terjadi dalam 3 fase, yaitu fase initial
hemorrhage, hematoma expansion dan peri-hematoma edema. Fase initial
hemmorhage terjadi akibat rupturnya arteri serebral. hipertensi kronis, akan
menyebabkan perubahan patologi dari dinding pembuluh darah. Perubahan
patologis dari dinding pembuluh darah tersebut dapat berupa hipohialinosis,
nekrosis fibrin serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Kenaikan tekanan
darah dalam jumlah yang mencolok dan meningkatnya denyut jantung,
dapat menginduksi pecahnya aneurisma, sehingga dapat terjadi perdarahan.
Perdarahan ini akan menjadi awal dari timbulnya gejala-gejala klinis (fase
10
hematoma expansion). Pada fase hematoma expansion, gejala-gejala
klinis mulai timbul seperti peningkatan tekanan intracranial. Meningkatnya
tekanan intracranial akan mengganggu integritas jaringan-jaringan otak dan

30
31

blood brain-barrier. Perdarahan intraserebral lama kelamaan akan


menyebabkan terjadinya inflamasi sekunder dan terbentuknya edema serebri
(fase peri-hematoma edema). Pada fase ini defisit neurologis, yang mulai
tampak pada fase hematoma expansion, akan terus berkembang. Kerusakan
pada parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peninggian tekanan intracranial dan menyebabkan
menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak. Elemen-
elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang
terkena darah dan sekitarnya menjadi lebih tertekan dan defisit neurologis
pun akan semakin berkembang.
Ukuran perdarahan akan berperan penting dalam menentukan
prognosis. Perdarahan yang kecil ukurannya akan menyebabkan massa
darah menerobos atau menyela di antara selaput akson massa putih
“dissecan splitting” tanpa merusaknya. Dalam keadaan ini, absorpsi darah
akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan bila
perdarahan yang terjadi dalam jumlah besar, maka akan merusak struktur
anatomi dari otak, peningkatan tekanan intracranial dan bahkan dapat
menyebabkan herniasi otak pada falx serebri atau lewat foramen magnum.
Perdarahan intraserebral yang yang tidak diatasi dengan baik akan menyebar
hingga ke ventrikel otak sehingga menyebabkan perdarahan intraventrikel.
Perdarahan intraventrikel ini diikuti oleh hidrosefalus obstruktif dan akan
memperburuk prognosis. Jumlah perdarahan yang lebih dari 60 ml akan
meningkatkan resiko kematian hingga 93%. 11

2.7.3. Klasifikasi Stroke Hemoragik


Pembagian stroke hemorgaik dapat dibedakan berdasarkan penyebab
perdarahannya12, yaitu:
1. Perdarahan Intraserberal
Perdarahan intaserebral dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan
intaserebral primer dan perdarahan intraserebral sekunder. Perdarahan

31
32

intraserbral primer disebabkan oleh hipertensi kronik yang menyebabkan


vaskulopati serebral dengan akibta pecahnya pembuluh darah otak.
Sedangkan perdarahan sekunder terjadi aakibat adanya anomaly vaskular
congenital, koagulopati, tumor otak, vaskulitis, maupun akibat obat-obat
antikoagulan. Diperkirakan sekitar 50% dari penyebab perdarahan
intraserebral adalah hipertensi kronik. 13
2. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid terjadi bila keluarnya darah ke ruang
subarachnoid sehingga menyebakan reaksi yang cukup hebat berupa sakit
keapala yang hebat dan bahkan penurunan kesadaran. Perdarahan
subarachnoid dapat terjadi akibat pecahnya aneurisma sakuler.

2.7.4. Gejala Stroke Hemoragik


Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulakan defisist neurologi
yang bersifat akut, baik deficit motorik, deficit sensorik, penurnan
kesadaran, gangguan fungsi luhur, maupun gangguan pada batang otak. 14
Gejala klinis dari stroke hemoragik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Gejala perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral umumnya terjadi pada usia 50-75 tahun.
Perdarahan intraserebral umunya akan menunjukkan gejala klinis
berupa:
a. Terjadi pada waktu aktif
b. Nyeri kepala , yang diikuti dengan muntah dan penurunan
kesadaran
c. Adanya riwayat hipertensi kronis
d. Nyeri telinga homolaterlal (lesi pada bagian temporal), afasia (lesi
pada thalamus)
e. Hemiparese kontralateral
2. Gejala perdarahan subarachnoid
Pada perdarahan subarachnoid akan menimbulakan tanda dan gejala
klinis berupa:

32
33

a. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak


b. Hilangnya kesdaran
c. Fotofobia
d. Meningismus
e. Mual dan muntah
f. Tanda-tanda perangsangan meningeal, seperti kaku kuduk.

2.8 Diagnosis Stroke


Gejala stroke dapat dibedakan atas gejala atau tanda akibat lesi dan
gejala/ tanda yang diakibatkan oleh komplikasinya. Gejala akibat lesi bisa
sangat jelas dan mudah untuk didiagnosis akan tetapi dapat sedemikian
tidak jelas sehingga diperlukan kecermatan tinggi untuk mengenalinya.
Pasien dapat datang dalam keadaan sadar dengan keluhan lemah separuh
badan pada saat bangun tidur atau sedang bekerja akan tetapi tidak jarang
pasien datang dalam keadaan koma sehingga memerlukan penyingkiran
diagnosis banding sebelum mengarah ke stroke.15
Secara umum gejala tergantung pada besar dan letak lesi di otak
yang menyebabkan gejala dan tanda organ yang dipersarafi oleh bagian
tersebut. Jenis patologi (iskemik atau perdarahan) secara umum tidak
menyebabkan perbedaan dari tampilan gejala, kecuali bahwa pada jenis
perdarahan sering kali ditandai dengan nyeri kepala hebat terutama terjadi
saat bekerja.16

Tabel 2.2 Perbedaan Manifestasi Klinis Antara Stroke Hemoragik dan


Iskemik
Hemoragik Iskemik
Intraserebral Subaraknoid Trombosis Emboli
 Sering pada  Penyebab  Sering  Gejala mendadak
usia dekade terbanyak didahului  Sering terjadi
5-8 pecahnya aneurisma dengan TIA pada waktu
 Tidak ada  Sering terjadi pada  Sering terjadi bergiat
gejala dekade 3-5 dan 7 pada waktu  Umumnya

33
34

prodormal  Gejala prodormal istirahat dan kesadaran bagus


yang jelas. yaitu nyeri kepala bangun pagi  Sering terjadi
Kadang hebat  Biasanya pada dekade 2-3
hanya  Kesadaran sering kesadaran dan 7.
berupa nyeri terganggu bagus  Harus ada sumber
kepala hebat,  Rangsang meningeal  Sering terjadi emboli
mual, positif pada dekade
muntah. 6-8
 Sering
terjadi waktu
siang, waktu
bergiat,
waktu emosi
 Sering
disertai
penurunan
kesadaran
Hasil CT Scan: Hasil CT Scan: Hasil CT Scan: Hasil CT Scan:
hiperdens hiperdens hipodens hipodens

Selain dari sisi gejala klinik dalam mendiagnosis kasus stroke juga
bisa menggunakan skor siriraj dan algoritma gajah mada.
Skor diagnosis stroke menurut Siriraj6

(2,5 X DK) + (2 X MT) + (2 X NK) + (0,1 X TD) – (3 X TA) – 12

1 Kesadaran ( x 2,5 ) Bersiaga 0


Pingsan 1
Semi koma, koma 2
2 Muntah ( x 2 ) No 0
Yes 1
3 Nyeri kepala dalam No 0
2 jam ( x 2 ) Yes 1
4 Tekanan Diastolik ( DBP ) DBP x 0,1
5 Atheroma markers ( x 3 ) None 0
diabetes, angina, 1/> 1
claudicatio intermitten

Konstanta - 12

34
35

Interpretasi : ≤ -1 : Infark ≥ 1 : Hemoragik -1sd 1 : Border Line

Algoritma Gajah Mada

Ketiganya atau 2 dari ketiganya ada :10


 Penurunan kesadaran (+), sakit kepala (-), refleks patologis (-)
 Penurunan kesadaran (-), sakit kepala (+), reflek patolgi (-)
 Penurunan kesadaran (-), sakit kepala (-), refleks patologi (+) Stroke
Infark

Dasar usulan pemeriksaan penunjang


 Pemeriksaan darah rutin: untuk mengetahui faktor resiko stroke berupa
hematokrit meningkat, fibrinogen tinggi
 Pemeriksaan darah lengkap: untuk mengetahui faktor resiko stroke
berupa DM, hiperkolesterolemia dan berguna juga untuk
penatalaksanaannya.
 Head CT scan: diagnosis pasti kelainan patologi stroke (hemoragik atau
infark), lokasi dan luas lesi.
 EKG: mengetahui kelainan jantung berupa LVH (left ventricel
hypertrofi).6,7

2.9 Pemeriksaan Penunjang Stroke


Pemeriksaan penunjang penting untuk mendiagnosis secara tepat
stroke dan subtipenya, untuk menidentifikasi penyebab utamanya dan
penyakit terkait lain, untuk menentukan terapi dan strategi pengelolaan
terbaik, serta untuk memantau kemajuan pengobatan. Pemeriksaan yang
dilakukan akan berbeda dari pasien ke pasien.7,11

a. CT-Scan dan MRI


Pemeriksaan paling penting untuk mendiagnosis subtipe dari sroke
adalah Computerised Topography Scan (CT-Scan) dan Magnetic

35
36

Resonance Imaging (MRI) pada kepala. Mesin CT-Scan dan MRI


masing-masing merekam citra sinar X atau resonansi magnet.Setiap citra
individual memperlihatkan irisan melintang otak, mengungkapkan
daerah abnormal yang ada di dalamnya. Pada CT-Scan, pasien diberi
sinar X dalam dosis sangat rendah yang digunakan menembus kepala.
Sinar X yang digunakan serupa dengan pada pemeriksaan dada, tetapi
dengan panjang ke radiasi yang jauh lebih rendah. Pemeriksaan
memerlukan waktu 15 – 20 menit, tidak nyeri, dan menimbulkan resiko
radiasi minimal keculi pada wanita hamil. CT-Scan sangat handal
mendeteksi perdarahan intrakranium, tetapi kurang peka untuk
mendeteksi stroke iskemik ringan, terutama pada tahap paling awal. CT-
Scan dapat memberi hasil negatif-semu (yaitu, tidak memperlihatkan
adanya kerusakan) hingga separuh dari semua kasus stroke
iskemik.Mesin MRI menggunakan medan magnetik kuat untuk
menghasilkan dan mengukur interaksi antara gelombang-gelombang
magnet dan nukleus di atom yang bersangkutan (misalnya nukleus
Hidrogen) di dalam jaringan kepala.Pemindaian dengan MRI biasanya
berlangsung sekitar 30 menit. Alat ini tidak dapat digunakan jika
terdapat alat pacu jantung atau alat logam lainnya di dalam tubuh. Selain
itu, orang bertubuh besar mungkin tidak dapat masuk ke dalam mesin
MRI, sementara sebagian lagi merasakan ketakutan dalam ruangan
tertutup dan tidak tahan menjalani prosedur meski sudah mendapat obat
penenang.11,12

b. Ultrasonografi (USG)
Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan menggunakan gelombang
suara untuk menciptakan citra. Pendaian ini digunakan untuk mencari
kemungkinan penyempitan arteri atau pembekuan di arteri utama.
Prosedur ini aman, tidak menimbulkan nyeri, dan relatif cepat (sekitar
20-30 menit) resiko kematian pada satu dari setiap 200 orang yang
diperiksa.12

36
37

c. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal kadang dilakukan jika diagnosa stroke belum jelas.
Sebagai contoh, tindakan ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan
infeksi susunan saraf pusat serta cara ini juga dilakukan untuk
mendiagnosa perdarahan subaraknoid. Prosedur ini memerlukan waktu
sekitar 10-20 menit dan dilakukan di bawah pembiusan lokal.12

d. EKG
EKG digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama jantung atau
penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke. Prosedur EKG
biasanya membutuhkan waktu hanya beberapa menit serta aman dan
tidak menimbulkan nyeri.12

e. Foto toraks
Foto sinar-X toraks adalah proses standar yang digunakan untuk mencari
kelainan dada, termasuk penyakit jantung dan paru. Bagi pasien stroke,
cara ini juga dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab setiap
perburukan keadaan pasien. Prosedur ini cepat dan tidak menimbulkan
nyeri, tetapi memerlukan kehati-hatian khusus untuk melindungi pasien
dari pajanan radiasi yang tidak diperlukan.10

f. Pemeriksaan darah dan urine


Pemeriksaan ini dilakukan secara rutin untuk mendeteksi penyebab
stroke dan untuk menyingkirkan penyakit lain yang mirip stroke.
Pemeriksaan yang direkomendasikan:12
 Hitung darah lengkap untuk melihat penyebab stroke seperti
trombositosis,trombositopenia, polisitemia, anemia (termasuk sikle
cell disease).
 Laju endap darah untuk medeteksi terjadinya giant cell arteritis
atau vaskulitislainnya.
 Serologi untuk sifilis.

37
38

 Glukosa darah untuk melihat DM, hipoglikemia, atau


hiperglikemia
 Lipid serum untuk melihat faktor risiko stroke.

2.10 Penatalaksanaan Stroke


Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat17
1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat
pendek, maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat,
sistematik, dan cermat. Evaluasi gejala dan klinik stroke akut
meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan,
aktivitas penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala,
mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan (hiccup),
gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko
stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi,
oksimetri, dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher
(misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis,
dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung
kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen,
kulit dan ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan
neurologis terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang
selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks,
koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif.
2. Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
 Pemantauan secara terus menerus terhadap status
neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan Saturasi

38
39

oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan


defisit neurologis yang nyata.
 Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan
saturasi oksigen< 95%.
 Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring
pada pasien yang tidak sadar.Berikan bantuan ventilasi
pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau
disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas.
 Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia. Pasien
stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan
terapi oksigen.
 Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal
Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia
(pO250 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko
untuk terjadi aspirasi. Pipa endotrakeal diusahakan
terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa terpasang
lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan
trakeostomi.

b. Stabilisasi Hemodinamik
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari
pernberian cairan hipotonik seperti glukosa).
 Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter),
dengan tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan
sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi.
Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
 Optimalisasi tekanan darah. Bila tekanan darah sistolik <
120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat
vasopressor dapat diberikan seperti dopamin dengan target
sistolik berkisar 140 mmHg

39
40

 Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan


selama 24 jam pertama setelah serangan stroke iskernik.
Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera
atasi (konsultasi Kardiologi).
 Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.
Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan salin normal
dan aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah
jantung sekuncup harus dikoreksi
Pemeriksaan Awal Fisik Umum
 Tekanan darah
 Pemeriksaan jantung
 Pemeriksaan neurologi umum awal:
i. Derajat kesadaran
ii. Pemeriksaan pupil dan okulomotor
iii. Keparahan hemiparesis

a. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)


Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan
intrakranial meliputi:
1. Tinggikan posisi kepala 20o- 30o
2. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
3. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik iv
4. Hindari hipertermia
5. Jaga normovolernia
6. Osmoterapi atas indikasi:
a) Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit,
diulangi setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L.
Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari
selama pemberian osmoterapi.
b) Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1
mg/kgBB i.v

40
41

b. Pemberian obat neuroprotektif


Stabilisator membran, citicholine bekerja memperbaiki
membran sel dengan cara menambah sintesis fosfatidilkolin
dan mengurangi kadar asam lemak bebas. Menaikkan sintesis
asetilkolin, suatu neurotransmitter untuk fungsi kognitif.

c. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg
dan diikuti oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus
dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.

d. Menghindari stress ulcer


Untuk mencegah timbulnya perdarahan lambung pada stroke,
sitoprotektor atau penghambat reseptor H2 perlu
diberikan.Tidak ada perbedaan hasil antara pemberian
penghambat reseptor H2, sitoprotektor agen ataupun inhibitor
pompa proton.

e. Pengendalian tekanan darah


Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg. Penelitian di
Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada pasien stroke
akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya
mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg.
1. Perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah
harus dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan
tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya
stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang. Untuk
mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang,
pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan
darah diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg.

41
42

2. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila


TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP)
>150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontiniu
dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
3. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan
sekitar 15% (sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam
pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik
(TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD)
>120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan
diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan
hingga TDS <185 mmHg dan TDD <110 mmHg.Obat
antihipertensi yang sering diberikan:

42
43

f. Pengendalian demam
Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 37,5oC

g. Pemeriksaan Penunjang
 EKG
 Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal
hemostasis, kadar gula darah, analisis urin, analisa gas
darah, dan elektrolit)
 Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid,
lakukan punksi lumbal untuk pemeriksaan cairan
serebrospinal
 Pemeriksaan radiologi.

A. Penatalaksanaan umum di ruang rawat18


1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan
menjaga euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara
5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral
maupun enteral).
c. Keseimbangan cairan diperhitungkan dengan mengukur
produksi urin sehari ditambah dengan pengeluaran cairan yang
tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk
kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml
per derajat Celcius pada penderita panas).

2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48
jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi
menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun
makanan, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik.

43
44

c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan


komposisi:
- Karbohidrat 30-40 % dari total kalori;
- Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi
35-55 %);
- Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein
1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal <0,8)

d. Apabila kemungkinan pemakain pipa nasogastrik lebih dari 6


minggu, peritimbangkan untuk gastrotomi pertimbangkan
untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak
memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara
parenteral.
f. Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan obat-
obatan yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang
banyak mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat
warfarin.

3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi


a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi
subakut (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena
dalam, emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedi dan
kontraktur) perlu dilakukan (AHA/ASA, Level of evidence B
and C).8
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes
kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris
sesuai dengan pola kuman (AHA/ASA, Level of evidence A).8
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau
memakai kasur antidekubitus.
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.

44
45

e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena


dalam, heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau
heparinoid perlu diberikan (AHA/ASA, Level of evidence A).8
Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral perlu
diperhatikan.6 Pada pasien imobilisasi yang tidak bias
menerima antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau
aspirin direkomendasikan untuk mencegah thrombosis vena
dalam. (AHA/ASA, Level of evidence A and B).19

4. Penatalaksanaan Medis Lain


a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan.
Hiperglikemia (kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke
akut harus diobati dengan titrasi insulin (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence C).8 Target yang harus dicapai adalah
normoglikemia. Hipoglikemia berat (<50 mg/dl) harus diobati
dengan dekstrosa 40% intravena atau infuse glukosa 10-20%.
b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor
dan mayor tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau
propofol bias digunakan.
c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.3
d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan
lambung).
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau
memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasi intermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan
laboratorium, MRI, Dupleks Carotid Sonography, Transcranial
Doppler, dan lain-lain sesuai dengan indikasi.
i. Rehabilitasi.

45
46

j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah
sakit).

2.11 Komplikasi Stroke


Menurut Junaidi (2011) komplikasi yang sering terjadi pada pasien
stroke yaitu:
a. Dekubitus merupakan tidur yang terlalu lama karena kelumpuh
dapat mengakibatkan luka/lecet pada bagian yang menjadi tumpuan
saat berbaring, seperti pinggul, sendi kaki, pantat dan tumit. Luka
dekubitus jika dibiarkan akan menyebabkan infeksi.
b. Bekuan darah merupakan bekuan darah yang mudah terjadi pada
kaki yang lumpuh dan penumpukan cairan.
c. Kekuatan otot melemah merupakan terbaring lama akan
menimbulkan kekauan pada otot atau sendi. Penekanan saraf
peroneus dapat menyebabkan drop foot. Selain itu dapat terjadi
kompresi saraf ulnar dan kompresi saraf femoral.
d. Osteopenia dan osteoporosis, hal ini dapat dilihat dari berkurangnya
densitas mineral pada tulang. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
imobilisasi dan kurangnya paparan terhadap sinar matahari.
e. Depresi dan efek psikologis dikarenakan kepribadian penderita atau
karena umur sudah tua. 25% menderita depresi mayor pada fase
akut dan 31% menderita depresi pada 3 bulan paska stroke s dan
keadaan ini lebih sering pada hemiparesis kiri.
f. Inkontinensia dan konstipasi pada umumnya penyebab adalah
imobilitas, kekurangan cairan dan intake makanan serta pemberian
obat.
g. Spastisitas dan kontraktur pada umumnya sesuai pola hemiplegi dan
nyeri bahu pada bagian di sisi yang lemah. Kontraktur dan nyeri
bahu (shoulder hand syndrome) terjadi pada 27% pasien stroke.

46
47

2.12 Prognosis Stroke


Prognosis stroke meliputi :13,14
 Ad vitam: tergantung berat stroke dan komplikasi yang timbul
 Ad functionam: penilaian dengan parameter
- Activity daily living (Barthel Index)
- NIH stroke scale (NIHSS)
Prognosis stroke adalah dubia. Prognosis stroke dapat dilihat dari 6
aspek yakni: death, disease, disability, discomfort, dissatisfaction, dan
destitution. Keenam aspek prognosis tersebut terjadi pada stroke fase awal
atau pasca stroke. Untuk menceah agar aspek tersebut tidak menjadi lebih
buruk maka semua penderita stroke akut harus dimonitor dengan hati-hati
terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi oksigen, tekanan darah
dan suhu tubuh secara terus-menerus selama 24 jam setelah serangan stroke.
Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan
sebagai impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat
batasan sebagai berikut:
1. Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis
dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi,
fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan
ini.
2. Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk
berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat
seperti: tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh
stroke.
3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita
stroke berperan sebagai manusia normal akibat ”impairment” atau
disability” tersebut. Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel
Index dan Modified Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai
outcome karena mudah digunakan, pengukuran yang sensitif terhadap
keparahan stroke dan memperlihatkan interrater reliability.

47
48

2.13. Pencegahan Stroke


Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya perbaikan gaya hidup dan
pengendalian berbagai faktor resiko. Upaya ini ditujukan pada orang yang
sehat dan kelompok risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke.13,14
a. Mengatur pola makanan yang sehat
Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan
risiko terkena serangan stroke. Sebaliknya, konsumsi makanan rendah
lemak jenuh dan kolesterol dapat mencegah terjadinya stroke.
b. Penanganan stress dan beristirahat yang cukup
1) Istirahat cukup dan tidur teratur antara 6-8 jam sehari
2) Mengedalikan stress dengan cara berfiki positif sesuai dengan jiwa
sehat
c. Pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter dalam
hal diet dan obat
Faktor risiko seperti penyakit jantung, hipertensi, dislipidemia,
diabetes melitus (DM) harus dipantau secara teratur. Faktor-faktor
risiko ini dapat dikoreksi dengan pengobatan teratur, diet, dan gaya
hidup sehat.
d. Anamnesis keluarga dapat bermanfaat untuk skrining seseorang
mempunyai faktor risiko stroke genetik.
e. Merokok tidak direkomendasikan.
f. Peningkatan aktifitas fisik dianjurkankarena berhubungan dengan
penurunan risiko stroke.
g. Pada individu overweight dan obesitas, penurunan berat badan
dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah.
h. Penghentian konsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat.

48
49

2.14. Parese Nervus VII


2.14.1. Definisi
Kelumpuhan nervus fasialis (N.VII) merupakan kelumpuhan otot-otot
wajah, tidak atau kurang dapat menggerakkan otot wajah, sehingga wajah
pasien tidak simetris. Hal ini tampak sekali ketika pasien diminta untuk
menggembungkan pipi dan mengerutkan dahi.12

2.14.2. Etiologi
Penyebab kelumpuhan nervus fasialis bisa disebabkan oleh kelainan
congenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan
penyakit-penyakit tertentu.12
1. Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir (kongenital) bersifat irreversible
dan terdapat bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang
pendengaran. Pada parese nervus fasialis bilateral dapat terjadi karena
adanya gangguan perkembangan nervus fasialis dan seringkali bersamaan
dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).
2. Infeksi
Proses infeksi di intracranial atau infeksi telinga tengah dapat
menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Infeksi intracranial yang
menyebabkan kelumpuhan ini seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes
otikus.
Infeksi Telinga tengah yang dapat menimbulkan parese nervus fasialis
adalah otitis media supuratif kronik (OMSK) yang telah merusak Kanal
Fallopi. Otitis media akut dan kronik dapat menyebabkan terjadinya paresis
nervus fasialis. Terdapat dua mekanisme yang dapat menyebabkan paralisis
nervus fasialis yaitu : 1. Hasil toksin bakteri di daerah tersebut, 2. Dari
tekanan langsung terhadap saraf oleh kolesteatoma atau jaringan granulasi.
Pada otitis media akut, penyebaran infeksi langsung ke kanalis fasialis
khususnya pada anak terjadi ketika kanalis nervus fasialis pada telinga
tengah mengalami Congenital Dehiscent atau saraf terkena akibat kontak

49
50

langsung dengan materi purulen sehingga dapat menimbulkan inflamasi dan


edema pada saraf dan menyebabkan paresis. Pada otitis media kronik bisa
mengikis kanal nervus fasialis atau sarafnya dapat dilibatkan dengan
osteitis, kolesteatom dan jaringan granulasi, disusul oleh infeksi ke dalam
kanalis fasialis. Manifestasi klinik yang tampak yaitu paralisis nervus
fasialis bagian bawah, ipsilateral terhadap telinga yang sakit.
3. Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab
yang paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-
paru, dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor
regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar
parotis bisa menginvasi cabang akhir dari nervus fasialis yang berdampak
sebagai bermacam-macam tingkat kelumpuhan. Pada kasus yang sangat
jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi
motorik nervus fasialis secara ipsilateral. Selain itu parese nervus fasialis
juga dapat terjadi pada karsinoma nasofaring, mekanisme tidak langsung
dari pembesaran tumor yakni oklusi tuba eustachius karena letaknya di fossa
rosenmuller berdekatan sehingga mengakibatkan tekanan negatif dalam
kavum timpani, yang jika berlangsung lama dapat terjadi otitis media dan
jika tidak tertangani menjadi masoiditis. Namun, dikatakan bahwa perluasan
tumor ini jarang langsung mengenai dari nucleus nervus. VII dan VIII
karena letaknya yang tinggi.
4. Trauma
Parese nervus fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika
terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain
itu luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa
menjadi penyebab. Nervus fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid,
operasi neuroma akustik/neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.13
Kapasitas kembalinya fungsi dari paralisis nervus karena manipulasi bedah
adalah hal yang sangat penting. Contoh nyata paralisis nervus fasialis
disebabkan oleh pembedahan yang mengakibatkan perpindahan posisi

50
51

nervus. Sebagai contoh setelah operasi fossa infratemporal yang


memerlukan ekstensi transposisi dari nervus fasialis ekstratemporal, dalam
4-6 minggu paralisis fasial sering terlihat. Hal ini merupakan manifestasi
adanya iskemia nervus dan manipulasi nervus secara mekanik.
Penyembuhan yang memerlukan waktu lama dapat disertai dengan asimetri
dan sinkinesis.
5. Gangguan pembuluh darah
Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan parese nervus
fasialis diantaranya trombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri
serebri media.
6. Idiopatik (Bell’s Palsy)
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui
penyebabnya atau tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi
edema nervus fasialis. Karena terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.
7. Penyakti-penyakit tertentu
Parese fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya DM, hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi
telinga tengah, sindrom Guillian Barre.

2.3.3. Gejala Dan Manifestasi Klinis


Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena
itu, terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan
perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat
persarafan dari 2 sisi, tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian bawah dari
wajah. Pada gangguan N VII jenis perifer (gangguan berada di inti atau di
serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga
termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang
berjalan bersama N. Fasialis. Bagian inti motorik yang mengurus wajah
bagian bawah mendapat persarafan dari korteks motorik kontralateral,
sedangkan yang mengurus wajah bagian atas mendapat persarafan dari

51
52

kedua sisi korteks motorik (bilateral). Karenanya kerusakan sesisi pada


upper motor neuron dari nervus VII (lesi pada traktus piramidalis atau
korteks motorik) akan mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah
bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Penderitanya masih dapat
mengangkat alis, mengerutkan dahi dan menutup mata (persarafan
bilateral), tetapi pasien kurang dapat mengangkat sudut mulut (menyeringai,
memperlihatkan gigi geligi) pada sisi yang lumpuh bila disuruh. Kontraksi
involunter masih dapat terjadi, bila penderita tertawa secara spontan, maka
sudut mulut dapat terangkat. Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot
wajah, baik yang volunter maupun yang involunter, lumpuh. Lesi
supranuklir (upper motor neuron) nervus VII sering merupakan bagian dari
hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada strok dan space occupying lesion
yang mengenai korteks motorik, kapsula interna, talamus, mesensefalon dan
pons di atas inti nervus VII. Dalam hal demikian pengecapan dan salivasi
tidak terganggu. Kelumpuhan nervus VII supranuklir pada kedua sisi dapat
dijumpai pada paralisis pseudobulber.

Gambar 2.5. Perbedaan Sentral dan Perifer

52
53

2.1. Parase Nervus XII


2.4.1. Definisi
Nervus hipoglosus (N. XII) adalah saraf motorik ekstrinsik dan
intrinsik lidah. Parese nervus hipoglosus adalah gangguan fungsi motorik
akibat adanya lesi jaringan saraf pada nervus hipoglosus. 12

2.4.2. Etiologi
Parese nervus hipoglosus dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut: 12
1) Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring.
2) Meningitis basalis tuberkulosa atau luetika.
3) Fraktur basis kranii (atau traksi pada nervus hipoglosus pada
trauma kapitis).
4) Siringobulbi.
5) Infeksi retrofaringeal.

2.4.3. Manifestasi Klinis


Lesi pada satu nervus hipoglosus akan akan memperlihatkan di sisi
pipi lateral: 12
1) Separuh lidah yang menjadi atrofis, dengan mukosa yang menjadi
longgar dab berkeriput. Mungkin pula akan tampak fibrilasi pada otot-otot
lidah yang atrofis.
2) Bila lidah itu dijulurkan keluar akan tampak bahwa ujung lidah itu
memperlihatkan deviasi ke sisi yang sakit. Deviasi ujung lidah ke sisi yang
sakit timbul karena kontraksi M. genioglussus di sisi kontralateral (bila M.
genioglossus kanan dan kiri berkontraksi dan kedua otot itu sama kuatnya,
maka lidah itu akan dijulurkan lurus ke depan, Bila satu otot adalah lebih
lemah dari yang lainnya, maka akan timbul deviasi dari ujung lidah ke sisi
otot yang lumpuh).

53
54

3) Di dalam mulut sendiri akan tampak bahwa ujung lidah itu


mencong ke sisi yang sehat. Keadaan ini timbul karena tonus otot-otot lidah
di sisi yang sehat adalah melebihi tonus otot-otot lidah di sisi yang sakit.
4) Motilitas lidah akan terganggu sehingga di sisi yang sakit misalnya
akan tampak ada sisa-sisa makanan di antara pipi dan gigi-geligi.
5) Karena lidah berperanan dalam mekanisme menelan dan
artikulasi, maka gejala-gejala kelumpuhan paralysis nervus hipoglosus
berupa sukar menelan dan bicara pelo.
Nervus hipoglosus mungkin mengalami lesi sendiri-sendiri terlepas
daripada yang lainnya, tetapi dapat pula mengalami gangguan bersama,
misalnya parese nervus hipoglosus, parese nervus asesorius, parese nervus
vagus, dan parese nervus glosofaringeus.
Dalam hal yang terakhir ini akan timbul bermacam-macam sindrom,
yaitu: 12
a. Sindrom bulbar
Pada sindrom bulbar akan tampak paralisis nervus hipoglosus, nervus
asesorius, nervus vagus, dan nervus glosofaringeus. Hal ini dapat
ditimbulkan oleh: (1) infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring, (2)
meningitis tuberculosa atau luetika, (3) fraktur basis kranii (atau traksi
sarafsaraf tersebut pada trauma kapitis).
b. Sindrom foramen jugulare
Pada sindrom foramen jugularis tampak paralysis dari nervus
glosofaringeus, nervus vagus dan nervus asesorius (nervus hipoglosus dalam
keadaan baik) Sindrom ini dapat ditimbulkan oleh: (1) infiltrasi karsinoma
anaplastik dari nasofaring, (2) fraktur basis kranii (atau traksi saraf-saraf
tersebut pada trauma kapitis), (3) meningitis tuberculosa atau luetika, (4)
periflebitis/trombosis dari vena jugularis.
c. Sindrom spasium parafaringeum Pada sindrom ini tampak
kelumpuhan dari nervus glosofaringeus, nervus vagus dan nervus
hipoglosus. Di samping itu akan tampak sindrom Horner’s di sisi yang sakit.

54
55

Sindrom spasmium parafaringeal dapat timbul pada: (1) abses


retrofaringeal, (2) abses peritonsiler.

2.3.4. Diagnosis
Diagnosis parese nervus hipoglosus ditegakkan dengan anamnesis
serta gejala kinis yang ada, anamnesis mengenai ada tidaknya riwayat
trauma kapitis (sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa trauma kapitis
dapat menyebabkan traksi pada nervus hipoglosus sehingga terjadi parese
pada nervus hipoglosus) atau fraktur basis kranii. Ananmesis yang lain yang
tentunya akan mengarahkan kita kepada riwayat-riwayat penyakit ataupun
tumor yang secara lansung ataupun tidak langsung akan menyebabkan
parese nervus hipoglosus. Untuk mengetahui gejala-gejala atau manifestasi
yang ditimbulkan oleh parese nervus hipoglosus, dapat dilakukan
pemeriksaan nervus hipoglosus dengan cara: 12
 Menyuruh pasien menjulurkan lidah lurus-lurus, kemudian
menarik dan menjulurkan lagi dengan cepat.
 Lidah kemudian disuruh bergerak ke kiri dan ke kanan dengan
cepat kemudian menekankan pada pipi kiri dan kanan sementara pemeriksa
melakukan palpasi pada kedua pipi untuk mengetahui/merasakan kekuatan
lidah.
 Pada lesi bilateral  gerakan lidah kurang lincah
 Pada lesi unilateral  lidah akan membelok ke sisi lesi saat
dijulur-kan dan akan membelok ke sisi yang sehat saat diam di dalam mulut.
 Lesi N. hipoglosus tipe LMN aksonal  atropi.
 Lesi N. hipoglosus tipe LMN nuklear  atropi dan fasikulasi.
 Paralisis N. hipoglosus  sukar menelan dan bicara pelo.

55
56

DAFTAR PUSTAKA

1. Victor, M, Ropper, A. 2001. Adams and Victor’s Principles Of Neurology 7th


Ed. New York: McGraw Hill.
2. Sjahrir, Hasan. 2003. Stroke Iskemik. Medan: Yandira Agung
3. American Heart Association. 2015. Heart disease and stroke-2014 update: A
report from American Heart Association. Circulation. 2014 January 21;
129(3), e28–e292.
4. Bambang, M, Suhartik, K.S., 2003. Pencegahan Stroke Dan Jantung Pada
Usia Muda. Jakarta: FKUI.
5. Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2004. Neurologi klinis dasar. Dian Rakyat:
Surabaya.
6. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.Guideline Stroke 2007. Jakarta :Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia.
7. Setyopranoto, I. 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran.
8. Nastiti, D., 2012. Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke pada pasien
Stroke Rawat Inap di Rumah Sakit Krakatau Medika Tahun 2011. Skripsi,
Universitas Indonesia.
9. Price, S & Wilson, L, 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
ProsesPenyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
10. Aho K, Harmsen P, Hatano S, Marquardsen J, Smirnov VE, Strasser T.
Cerebrovascular disease in the community: results of a WHO collaborative
study. Bull World Health Organ. 1980; 58:113–30.
11. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Jakarta: Badan Litbangkes,
Depkes RI.
12. Ropper AH, Brown RH. 2005. Adams dan Victor’s Principles of Neurology.
Edisi 8. BAB 4. Major Categories of Neurological Disease: Cerebrovascular
Disease. McGraw Hill: New York.

56
57

13. Mardjono M, Priguna S. 2009. Neurologi klinis dasar.Edisi ke-6. Jakarta :


Dian Rakyat.
14. Sotirios, AT. 2000. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.
New York : Thieme Stuttgart.

15. Departemen Kesehatan RI. 2009. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.


Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Stroke. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
16. Misbach, J. 2000. Clinical Pattern of Hospitalized Strokes in 28 Hospitals in
Indonesia. Medical Journal Indonesia.
17. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi). 2006. Standar
Pelayanan Medis dan Standar Prosedur Operasional Neurologi: Stroke.
Jakarta: Perdossi.
18. Rumantir, C. U. 2007. Gangguan Peredaran Darah Otak. SMF Saraf RSUD
Arifin Achmad/ FK UNRI Pekanbaru
19. Corwin, E. J. 2000. Stroke dalam buku saku patofisiologi. Endah P (editor).
Jakarta: EGC.
20. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia ( Perdossi). 2011. Guidline
Stroke Tahun 2011. Jakarta :Perdossi.
21. Goetz Christopher G. 2007. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook
of Clinical Neurology, 3rd ed. Saunders:. Philadelphia.

57

You might also like