You are on page 1of 4

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 10 TAHUN 2003

TENTANG PENCEGAHAN MAKSIAT BERPOTENSI MELANGGAR HAK ASASI


MANUSIA
oleh Hana Oktaviandri, 1606909946

Peraturan Daerah (Perda) dibentuk atas dasar Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) oleh daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi
daerah dan tugas pembantuan1. Dengan adanya Perda, Pemerintah Daerah (Pemda) berwenang
membuat peraturan sendiri untuk daerahnya, baik di bidang sosial maupun pembangunan, agar
penyelenggaraan pemerintahannya dapat berjalan efektif dan efisien. Perda untuk
menyelenggarakan otonomi daerah atau fungsi otonom berbeda dengan tugas pembantuan,
terutama terkait dengan wewenang pembentukan peraturan daerah. Dalam fungsi otonomi,
Pemerintah Daerah berhak membuat peraturan daerah berdasarkan kebijaksanaannya sendiri,
sedangkan dalam tugas pembantuan, hak tersebut harus berdasarkan pada kebijaksanaan
Pemerintah Pusat.2 Meskipun Pemda berwenang membuat peraturannya sendiri, tidak
semestinya peraturan tersebut dibuat tanpa berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, contohnya
Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No. 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat (Perda
Gorontalo tentang Pencegahan Maksiat). Dalam pembentukan Perda tersebut, penulis
beranggapan bahwa Pemda terkait tidak memperhatikan konstitusi, Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) (UU Pengesahan ICCPR) sehingga berpotensi
menimbulkan pelanggaran HAM.3

Perda Gorontalo tentang Pencegahan Maksiat dibentuk dengan tujuan untuk


melindungi kestabilan masyarakat atas berbagai bentuk ‘maksiat’ semakin meresahkan serta
mengganggu keamanan, ketertiban, dan sendi-sendi kehidupan masyarakat Gorontalo yang
bertentangan dengan norma-norma agama, kesusilaan, dan adat4. Meskipun demikian, alih-alih
melindungi masyarakat, adanya Perda ini justru menyerang masyarakat dengan pasal-pasal
yang bertolak belakang dengan tujuan dari dibentuknya Perda tersebut dan menimbulkan
pelanggaran HAM terkait beberapa pasal yang diaturnya sehingga menyalahi Pasal 28D ayat
(1) UUD NRI 1945, Pasal 3 ayat (2) UU HAM, dan Pasal 6 UU Pengesahan ICCPR. Salah

1
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014,
TLN No. 5587, Ps. 236 ayat (1).
2
Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara, Ilmu Negara, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2016), hlm. 207-208.
3
Lihat Definisi HAM dan Pelanggaran HAM dalam Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia,
UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886, Ps. 1 angka 1 dan 6.
4
Indonesia, Provinsi Gorontalo, Peraturan Daerah tentang Pencegahan Maksiat, Perda No. 10 Tahun
2003, Menimbang.

1
satu pasal tersebut adalah Pasal 6 yang mengatur tentang Pencegahan Perkosaan dan Pelecehan
Seks, dimana disebutkan bahwa:

(1) “Setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa
ditemani muhrimnya pada selang waktu pukul 24:00 sampai dengan pukul 04:00,
kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Setiap perempuan di tempat umum wajib berbusana sopan.
(3) Dilarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan atau lomba kecantikan yang
menampilkan perempuan dengan busana yang minim dan atau ketat.”

Menurut penulis, pasal tersebut telah mendiskriminasi5 perempuan, dimana terdapat


ketidaksamaan perlakuan Pemda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dikarenakan
perempuan dibatasi untuk ‘bergerak’ dan dan berbusana. Padahal, dalam UU HAM, setiap
orang – yang berarti baik laki-laki maupun perempuan – berhak atas kebebasan pribadi, yaitu
bebas untuk bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik
Indonesia sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UU HAM. Maka, tidak seharusnya perempuan
dibatasi untuk berpergian pada jam berapa pun itu, termasuk tengah malam, karena sudah
menjadi hak setiap perempuan yang dipersamakan pula dengan laki-laki untuk bergerak bebas
di Gorontalo. Selain itu, frasa ‘kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan’
masih dapat dikatakan multitafsir, misalnya sejauh mana alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kemudian, Pasal 6 ayat (2) dan (3) juga telah mendiskriminasi
perempuan, dimana perempuan tidak memiliki kebebasan berekspresi melalui busana yang
dikenakannya. Hal tersebut melanggar ketentuan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945,
Pasal 24 ayat (2) UU HAM, dan Pasal 19 UU Pengesahan ICCPR, dimana setiap orang
berhak dan bebas untuk berpendapat atau berekspresi tanpa campur tangan pihak lain, dalam
hal ini termasuk pula Pemda. Selain itu, frasa ‘berbusana sopan’ dan ‘busana yang minim dan
atau ketat’ masih dapat dikatakan multitafsir, misalnya apa kriteria berbusana sopan serta
minim dan/atau ketat. Di samping itu, Pasal 6 yang mengatur tentang Pencegahan Perkosaan
dan Pelecehan Seks dan setiap ayatnya menyebutkan subjek ‘perempuan’ sehingga seolah-olah
menganggap bahwa perempuan sebagai sumber penyebab timbulnya pemerkosaan dan
pelecehan seks. Lagi, pasal tersebut telah mendiskriminasi perempuan. Padahal, sudah banyak
peraturan – termasuk konstitusi dan undang-undang – yang mencantumkan kesetaraan gender,
yaitu Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945, Pasal 3 ayat (3) UU HAM, dan Pasal 3 UU
Pengesahan ICCPR sehingga sudah seharusnya setiap orang, baik laki-laki maupun
perempuan, dipersamakan haknya dan mendapatkan kebebasan dasar manusia tanpa
diskriminasi.

Selain Pasal 6, terdapat juga pasal yang bertolak belakang dengan tujuan dari
dibentuknya Perda tersebut dan menimbulkan pelanggaran HAM, yaitu Pasal 7 ayat (1) yang
mengatur tentang Pencegahan Pornoaksi dan Pornografi, dimana disebutkan bahwa:

“Setiap orang di tempat umum dilarang dengan sengaja mempertontonkan bagian tubuh
dan atau bertingkah laku tidak senonoh sehingga dapat merangsang nafsu birahi.”

5
Lihat Definisi Diskriminasi dalam Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Ps. 1 angka 3.

2
Selain adanya multitafsir dalam frasa ‘mempertontonkan bagian tubuh’ dimana tidak
jelas bagian tubuh apa yang dilarang dipertontonkan yang dapat ‘merangsang nafsu birahi’,
lagi, pasal tersebut telah melanggar kebebasan berekspresi setiap orang di ruang publik
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Perlu ditekankan bahwa cara berpakaian seseorang
merupakan cerminan dari jiwa seni yang mereka miliki, bukan semata-mata untuk meraih nafsu
orang lain.6 Di samping itu, frasa ‘tidak senonoh’ juga tidak jelas makna dan batasannya seperti
apa.

Dengan demikian, Pasal 6 dan Pasal 7 ayat (1) tersebut telah melanggar begitu banyak
HAM yang diatur dalam konstitusi, UU HAM, dan UU Pengesahan ICCPR. Celakanya, sudah
hak-hak mereka dirampas oleh Pemda berdasarkan Perda tersebut, mereka juga dapat
dikenakan ancaman sanksi pidana kurungan maksimal enam bulan atau denda maksimal
Rp5.000.000,00 menurut Pasal 14 ayat (1). Maka, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
bukannya Perda tersebut memberikan payung hukum bagi masyarakat untuk melindungi
kestabilan masyarakat, malah Perda tersebut menambah meresahkan dan mengganggu
keamanan, ketertiban, dan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Perda tersebut tidak
memberikan perlindungan pribadi serta hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia, dan
sejahtera, baik lahir maupun batin, kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat
(2) UU HAM dan Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945. Kemudian menurut Pasal 35 UU HAM,
“setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman,
dan tentram, yang menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi
manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”.
Maka, memberikan mendapatkan perlindungan HAM dan kewajiban dasar manusia yang telah
dirampas oleh Perda Gorontalo tentang Pencegahan Maksiat terhadap masyarakat Gorontalo,
sudah seharusnya pemerintah menindaklanjuti eksistensi Perda tersebut sebagai bentuk
kewajiban dan tanggung jawabnya sesuai dengan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 serta
Pasal 8 dan Pasal 71 UU HAM. Di samping itu, perlu ditekankan bagi Pemda Gorontalo
bahwasannya dalam membuat Perda, perlu diperhatikan asas keseimbangan HAM, dimana
masyarakatnya wajib menghormati hukum (dan HAM orang lain) dan juga berhak memperoleh
perlindungan HAM darinya.7

6
Ahmad Mudhar Libbi, et al, “Analisis Peraturan Daerah Berspektif Syariah Islam di Indonesia Ditinjau
dari Konsep Hak Asasi Manusia,” Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013 I (1), hlm 7.
7
Harkristuti Harkrisnowo, “Hak Asasi Manusia: Suatu Pengantar,” Catatan Perkuliahan Hukum dan
HAM pada 19 Februari 2019.

3
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Indonesia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun
1999, TLN No. 3886.

Indonesia. Undang-Undang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights


(Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) (UU Pengesahan
ICCPR, UU No. 12 Tahun 2005, LN No. 119 Tahun 2005, TLN No. 4558.

Indonesia. Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244


Tahun 2014, TLN No. 5587.

Indonesia. Provinsi Gorontalo, Peraturan Daerah tentang Pencegahan Maksiat, Perda No. 10
Tahun 2003.

Buku
Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara, Ilmu Negara, Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2016.

Artikel Ilmiah
Libbi, Ahmad Mudhar. et al. “Analisis Peraturan Daerah Berspektif Syariah Islam di Indonesia
Ditinjau dari Konsep Hak Asasi Manusia.” Artikel Ilmiah Hasil Penelitian
Mahasiswa 2013 I (1). Hlm. 1-8.

Catatan Perkuliahan
Harkrisnowo, Harkristuti. “Hak Asasi Manusia: Suatu Pengantar.” Catatan Perkuliahan
Hukum dan HAM pada 19 Februari 2019.

You might also like