You are on page 1of 29

Referat

Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

Oleh:
Effendy NIM. 1730912310037
Nabila Dara Sholehah Ham NIM. 1730912320094
Olivia Neysaputri Chandra NIM. 1730912320107

Pembimbing:
dr. Ida Bagus Ngurah Swabawa, Sp. THT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT


FAKULTAS KEDOKTERAN ULM
RSUD ULIN BANJARMASIN
Mei, 2019
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi pendengaran 4
B. Fisiologi pendengaran 9
C. Mekanisme pendengaran 11
D. Bising 13
E. Tuli akibat bising 14
BAB III PENUTUP ............................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
2.1 Baku tingkat kebisingan (Nilai ambang batas, NAB)
peruntukan lingkungan/kawasan ................................................. 13

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Anatomi telinga ........................................................................... 4

2.2 Membran timpani ........................................................................ 5

2.3 Vestibulum .................................................................................. 7

2.4 Anatomi telinga dalam ................................................................ 8

2.5 Pola getaran membran basiler untuk frekuensi suara yang


berbeda ........................................................................................ 12

2.6 Jalur pendengaran........................................................................ 13

2.7 Audiometri .................................................................................. 20

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Berdasarkan survei "Multi Center Study" di Asia Tenggara, Indonesia

termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%,

sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India

6,3%). Angka prevalensi sebesar 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat

menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Menurut Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta

penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta - 140 juta

diantaranya terdapat di Asia Tenggara.

Berdasarkan Survei Kesehatan Indera Tahun 1993 - 1996 yang dilaksanakan

di 8 Provinsi Indonesia menunjukkan prevalensi morbiditas telinga, hidung dan

tenggorokan (THT). Angka prevalensi tersebut sebesar 38,6%, morbiditas telinga

18,5%, gangguan pendengaran 16,8% dan ketulian 0,4%. 1

Kemajuan peradaban telah menggeser perkembangan industri ke arah

penggunaan mesin-mesin, alat-alat transportasi berat, dan lain sebagainya.

Akibatnya kebisingan makin dirasakan mengganggu dan dapat memberikan

dampak pada kesehatan. Biaya yang harus ditanggung akibat kebisingan ini sangat

besar. Misalnya, bila terjadi di tempat-tempat bisnis dan pendidikan, maka bising

dapat mengganggu komunikasi yang berakibat menurunnya kualitas bisnis dan

pendidikan.(2) Sama halnya dengan akibat yang ditimbulkan pada masyarakat yang

lokasi tempat tinggalnya berdekatan dengan sumber bising. Trauma akustik

1
2

ataupun gangguan pendengaran lain yang timbul akibat bising, gangguan sistemik

yang timbul akibat kebisingan, penurunan kemampuan kerja, bila dihitung

kerugiannya secara nominal dapat mencapai milyaran rupiah.

Industri yang terutama membawa risiko kehilangan pendengaran antara lain

pertambangan, pembuatan terowongan, penggalian (peledakan, pengeboran),

mesin-mesin berat (pencetakan besi, proses penempaan, dll), pekerjaan

mengemudikan mesin dengan mesin pembakaran yang kuat (pesawat terbang,

truk, bajaj, kenderaan konstruksi, dll), pekerjaan mesin tekstil dan uji coba mesin-

mesin jet. Pada umumnya gangguan pendengaran yang disebabkan bising timbul

setelah bertahun-tahun pajanan. Kecepatan kemunduran tergantung pada tingkat

bising, komponen impulsif dan lamanya pajanan, serta juga pada kepekaan

individual yang sifat-sifatnya tetap tidak diketahui. 3

Salah satu bising industri yang dianggap perlu untuk diteliti adalah bising

pesawat terbang. Penelitian mengenai pengaruh bising pesawat terbang terhadap

kemampuan pendengaran pekerja telah banyak dilakukan. Diantarannya yaitu

penelitian yang dilakukan di London Inggris dimana peneliti membandingkan

antara subjek dengan tingkat kebisingan pesawat terbang yang tinggi dengan

tingkat kebisingan pesawat terbang yang rendah. Hasilnya adalah didapat kejadian

gangguan pendengaran lebih tinggi pada subjek dengan tingkat kebisingan


4
pesawat terbang yang tinggi. Penelitian lainnya juga menunjukkan hal yang

sama, dimana pada pekerja bandara laki-laki di Korea menunjukkan perbedaan

yang significant pada kejadian hilangnya pendengaran (lebih dari 25 dB) antara

subjek yang terpapar bising dengan yang tidak terpapar bising pesawat terbang
3

(p< 0.5). Hampir 60,8% dari pekerja yang terpapar bising tersebut tercatat sebagai

pengguna HPDs (Hearing Protective Devices). 5

Mengingat besarnya masalah tersebut dan pentingnya kesehatan indera

pendengaran sebagai salah satu faktor penting dalam meningkatkan mutu sumber

daya manusia, maka diperlukan adanya perhatian yang lebih terhadap masalah

kesehatan indera pendengaran khususnya tuli akibat pemajanan bising

(TAB/NIHL).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Pendengaran

1. Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran

timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga

berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,

sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya

kira-kira 2,5-3 cm.

Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar

serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat

pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit

dijumpai kelenjar serumen.6

Gambar 2.1 Anatomi telinga

4
5

Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan

terhadap liang telinga sementara procesus mastoideus terletak dibelakangnya.

Saraf fasialis meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalam ke lateral

menuju prosesus stilodeus di posteroinferior liang telinga, dan berjalan dibawah

liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis.8

2. Telinga Tengah

Telinga tengah adalah rongga berisi udara didalam tulang temporalis

yang terbuka melalui tuba auditorius (eustachius) ke nasofaring dan melalui

nasofaring keluar. Tuba biasanya tertutup, tetapi selama mengunyah, menelan,

dan menguap saluran ini terbuka, sehingga tekanan dikedua sisi gendang telinga

seimbang.9

Gambar 2.2 Membran timpani

Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar yaitu membran

timpani, batas depan yaitu tuba eustachius, batas bawah yaitu vena jugularis
6

(bulbus jugularis), batas belakang yaitu, aditus ad antrum, kanalis facialis pars

vertikalis. Batas atas yaitu tegmen timpani (meningen/otak), dan batas dalam

berturut-turut dari atas kebawah yaitu kanalis semisirkularis horizontal, kanalis

facialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan

promomtorium.

Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang

tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran

di dalam telinga saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada inkus,

dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang

berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran

merupakan persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di

tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga

tengah dengan antrum mastoid.7

Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan

daerah nasofaring dengan telinga tengah.8

3. Telinga dalam

Labirin (telinga dalam) mengandung organ pendengaran dan

keseimbangan, terletak pada pars petrosa os temporal. Labirin terdiri dari labirin

bagian tulang dan labirin bagian membran. Labirin bagian tulang terdiri dari

kanalis semisirkularis, vestibulum dan koklea. Labirin bagian membran terletak

didalam labirin bagian tulang, dan terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus,

sakulus, sakus dan duktus endolimfatikus serta koklea. 10


7

Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus

dan kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang

diliputi oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan

gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang

mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar daripada endolimfe.

Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari otolit akan membengkokkan silia sel-

sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada reseptor.

Gambar 2.3 Vestibulum

Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang

juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak

pada bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis

semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu

ujung yang melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut krista.

Sel-sel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam

kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan

membengkokkan silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel rambut reseptor.
8

Gambar 2.4 Anatomi telinga dalam

Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah

putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf

dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan

menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel

sensorik organ corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh

duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas

adalah skala vestibuli, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh

membrana Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga

mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis

oseus dan membrana basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada

apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu

celah yang dkenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit pada basisnya

(nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah). 8


9

Organ corti adalah organ reseptor yang membangkitkan impuls saraf

sebagai respon terhadap getaran membrana basiler. Organ corti terletak pada

permukaan serat basilar dan membrana basilar. Terdapat dua tipe sel rambut yang

merupakan reseptor sensorik yang sebenarnya dalam organ corti yaitu baris

tunggal sel rambut interna, berjumlah sekitar 3500 dan dengan diameter berukuran

sekitar 12 mikrometer, dan tiga sampai empat baris rambut eksterna, berjumlah

12.000 dan mempunyai diameter hanya sekitar 8 mikrometer. Basis dan samping

sel rambut bersinaps dengan jaringan akhir saraf koklearis. Sekitar 90 sampai 95

persen ujung-ujung ini berakhir di sel-sel rambut bagian dalam, yang memperkuat

peran khusus sel ini untuk mendeteksi suara. Serat-serat saraf dari ujung-ujung ini

mengarah ke ganglion spiralis corti yang terletak didalam modiolus (pusat)

koklea.11

B. Fisiologi Pendengaran

Gelombang suara yang memasuki telinga melalui kanalis auditorius

eksterna menggetarkan membran timpani. Getaran ini akan diteruskan oleh

tulang-tulang pendengaran (maleus, incus, dan stapes) di rongga telinga tengah.

Selanjutnya akan diterima oleh "oval window" dan diteruskan ke rongga koklea

serta dikeluarkan lagi melalui "round window". Rongga koklea terbagi oleh dua

sera menjadi tiga ruangan, yaitu skala vestibuli, skala tympani dan skala perilimfe

dan endolimfe. Antara skala tympani dan skala medial terdapat membran

basilaris, sel-sel rambut dan serabut afferen dan efferen nervus cochlearis. Getaran

suara tadi akan menggerakkan membrana basilaris, dimana nada tinggi diterima di
10

bagian basal dan nada rendah diterima di bagian apeks. Akibat gerakan membrana

basilaris maka akan menggerakkan sel-sel rambut sensitif di dalam organ corti.12

Organ corti kemudian merubah getaran mekanis di dalam telinga dalam

menjadi impuls saraf. Impuls ini kemudian dihantar melalui akson atau cabang

saraf sel-sel ganglion pada ganglion spiralis telinga dalam. Akson dari ganglion

spiralis menyatu, membentuk nervus auditorius atau koklearis yang membawa

impuls dari sel-sel di dalam organ corti telinga dalam ke otak untuk

diinterpretasi.13

Gambar 2.5 Pola getaran membran basiler untuk frekuensi suara yang berbeda

Terdapat perbedaan pola tranmisi untuk gelombang suara dengan

frekuensi suara yang berbeda. Setiap gelombang relatif lemah pada permulaan

tetapi menjadi kuat ketika mencapai bagian membran basilar yang mempunyai

keseimbangan resonansi frekuensi alami terhadap masing-masing frekuensi suara.

Pada titik ini, membran basilar dapat bergetar ke belakang dan ke depan dengan
11

mudahnya sehingga energi dalam gelombang dihamburkan. Akibatnya,

gelombang berhenti pada titik ini dan gagal berjalan sepanjang membran basilar

yang tersisa. Jadi gelombang suara frekuensi tinggi hanya berjalan singkat

sepanjang membran basilar sebelum gelombang mencapai titik resonansinya dan

menghilang. Gelombang suara frekuensi sedang berjalan sekitar setengah

perjalanan dan kemudian menghilang. Dan akhirnya, gelombang suara frekuensi

sangat rendah menjalani seluruh jarak sepanjang membran basilar.11

C. Mekanisme pendengaran

1. Jalur pendengaran

Gambar 2.5 menggambarkan jaras pendengaran utama. Jaras ini

menunjukkan bahwa serabut dari ganglion spiralis corti memasuki nukleus

koklearis dorsalis dan ventralis yang terletak pada bagian atas medula. Pada titik

ini, semua sinaps serabut dan neuron berjalan terutama ke sisi yang berlawanan

dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius superior. Beberapa serat juga

berjalan secara ipsilateral ke nukleus olivarius superior, jaras pendengaran

kemudian berjalan ke atas melalui lemniskus lateral. Beberapa serat berakhir di

nukleus lemniskus lateralis. Banyak yang memintas nukleus ini dan berjalan ke

kolikulus inferior, tempat semua atau hampir semua serat ini berakhir. Dari sini,

jaras berjalan ke nukleus medial thalamus, tempat semua serabut bersinaps. Dan

akhirnya, jaras berlanjut melalui radiasio auditorius ke korteks auditorius, yang

terutama terletak pada girus superior lobus temporalis.11


12

2. Aspek klinis jalur pendengaran

Kerusakan pada duktus koklearis atau nervus koklearis dapat

mengakibatkan menurunya kemampuan atau hilangnya pendengaran pada telinga

pada sisi yang sama. Suatu lesi yang mengenai satu lemniskus lateralis dapat

menimbulkan penurunan kemampuan pendengaran (tuli parsial) secara bilateral,

yang lebih berat akibatnya pada telinga kontralateral. 14

Gambar 2.6 Jalur pendengaran


13

D. Bising

1. Definisi

Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya yang

merintangi terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya atau yang


15
menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup. Kebisingan yaitu

bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu

tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan

lingkungan atau semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-

alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat

menimbulkan gangguan pendengaran. 16,17

2. Baku Tingkat Kebisingan

Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang

diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak

menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Baku

tingkat kebisingan (Nilai Ambang Batas, NAB) peruntukan kawasan/lingkungan

dapat dilihat pada tabel dibawah ini. (16) :

Peruntukan kawasan / lingkungan kegiatan Tingkat


kebisingan (dB)
Peruntukan Kawasan
1. Perumahan dan pemukiman 55
2. Perdagangan dan jasa 70
3. Perkantoran dan perdagangan 65
4. Ruang terbuka hijau 50
5. Industri 70
6. Pemerintahan dan fasilitas umum 60
7. Rekreasi 70
8. Khusus :
- Bandar udara 70
- Stasiun Kereta Api
14

- Pelabuhan Laut-Cagar Budaya


Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit atau sejenisnya 55
2. Sekolah dan sejenisnya 55
3. Tempat ibadah dan sejenisnya 55
Tabel 2.1 Baku tingkat kebisingan (Nilai ambang batas, NAB) peruntukan
kawasan/lingkungan
E. Tuli akibat bising

1. Definisi

Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) adalah tuli sensorineural

yang terjadi akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu

yang cukup lama.18

2. Faktor yang mempengaruhi

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan yaitu intensitas

kebisingan, frekuensi kebisingan, lamanya waktu pemaparan bising, kerentanan

individu, jenis kelamin, usia dan kelainan di telinga tengah.10,18 Tuli sensorineural

dapat disebabkan oleh toksin (seperti arsen dan quinine) dan antibiotika seperti

streptomisin yang dapat merusak koklea.12

3. Patogenesis

Tuli akibat bising mempengaruhi organ corti di koklea terutama sel-sel

rambut. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang

menunjukkan adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan

lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga

mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya intensitas dan

durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya

stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan
15

hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut.

Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel

penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut,

dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus

pendengaran pada batang otak.10

4. Manifestasi klinis

Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara

(speech discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekuensi tinggi dapat

menyebabkan kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan.

Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi menangis atau deringan telepon

dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral. Selain itu tinitus

merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu

ketajaman pendengaran dan konsentrasi. 5,10

Secara umum gambaran ketulian pada gangguan pendengaran akibat

bising (noise induced hearing loss) adalah bersifat sensorineural, hampir selalu

bilateral, jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat (profound hearing

loss).10,19

Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan

reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift)

dan peningkatan ambang dengar menetap (permanent threshold shift). Reaksi

adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan

intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis

pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan ambang dengar sementara,
16

merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan

bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam

beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan

ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang

dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi (eksplosif)

atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur

koklea, antara lain kerusakan organ corti, sel-sel rambut, stria vaskularis, dan

lainnya.7,8

Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB. Apabila paparan bising

dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan,

kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000

Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi 4000 Hz, dengan

paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz

akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun. Selain pengaruh

terhadap pendengaran (auditory), bising yang berlebihan juga mempunyai

pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan

konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran

yang terjadi. 10

5. Diagnosis

Gangguan pendengaran yang terjadi akibat bising ini berupa tuli saraf

koklea dan biasanya mengenai kedua telinga. Pada anamnesis biasanya mula-mula

pekerja mengalami kesulitan berbicara di lingkungan yang bising, jika berbicara

biasanya mendekatkan telinga ke orang yang berbicara, berbicara dengan suara


17

menggumam, biasanya marah atau merasa keberatan jika orang berbicara tidak

jelas, dan sering timbul tinitus. Biasanya pada proses yang berlangsung perlahan-

lahan ini, kesulitan komunikasi kurang dirasakan oleh pekerja bersangkutan;

untuk itu informasi mengenai kendala komunikasi perlu juga ditanyakan pada

pekerja lain atau pada pihak keluarga. 2,5,10

Pada pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar

sampai gendang telinga. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu

dilakukan secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan

organik yang menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi telinga, trauma

telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga karena agen toksik dan alergi.

Selain itu pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya

masalah di susunan saraf pusat yang dapat menggangggu pendengaran.3

6. Prognosis

Tuli akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya

menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan.6 Penggunaan

alat bantu dengar hanya sedikit manfaatnya bagi pasien, bahkan alat tersebut

hanya memberikan rangsangan vibrotaktil dan bukannya perbaikan diskriminasi

bicara pada pasien tersebut. Untuk sebagian pasien dianjurkan pemakaian implan

koklearis. Implan koklearis dirancang untuk pasien-pasien dengan tuli

sensorineural.7

7. Penatalaksanaan

Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan

kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt


18

dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear

plug), tutup telinga (ear muff), dan pelindung kepala (helmet).

Oleh karena itu akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat

menetap, bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan

berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemsangan alat

bantu dengar/ABD (hearing aid). Apabila pendengaran sudah sedemikian buruk,

sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi denga adekuat

perlu dilakukan psikoterapiagar dapat menerima keadaannya. Latihan

pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengara dengan

ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik

dan gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di

samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah,

rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi

rendah dan irama percakapan. Pada pasien yang telah mengalami tuli total

bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear

implant).7

a. Sound Level Meter (SLM)

SLM adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat

kebisingan, yang terdiri dari mikrofon, amplifier, sirkuit “attenuator” dan

beberapa alat lainnya. Alat ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari

frekwensi 20 – 20.000 Hz. SLM dibuat berdasarkan standar ANSI (American

National Standard Institute) tahun 1977 dan dilengkapi dengan alat pengukur 3

macam frekwensi yaitu A, B dan C yang menentukan secara kasar frekwensi


19

bising tersebut. Jaringan frekuensi A mendekati frekwensi karakteristik respon

telinga untuk suara rendah yang kira-kira dibawah 55 dB . Jaringan frekwensi B

dimaksudkan mendekati reaksi telinga untuk batas antara 55 – 85 dB. Sedangkan

jaringan frekwensi C berhubungan dengan reaksi telinga untuk batas diatas 85

dB.10

b. Audiometri

Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level

pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan

audiometer, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang dapat dinilai.20

Alat yang dikenal sebagai audiometer, dikembangkan pada awal 1920-

an, mencontoh rangkaian oktaf dari skala C seperti pada garputala. Intensitas nada

dapat dipertahankan pada tingkat tertentu, tidak seperti garputala dimana

intensitas nada segera berkurang setelah dibunyikan. Nada dapat pula diinterupsi

sesuai kehendak, atau intensitas dapat dilemahkan pada interval tertentu dengan

hambatan elektris, dengan demikian intensitas bunyi dapat dihitung. Hanya

tinggal menambahkan satuan intensitas, suatu notasi decibel dan kontunuitas

intensitas, dan lahirlah suatu era modern audiometri nada murni.8


20

Simbol audiometer Normal

Tuli konduksi Tuli akibat bising

Gambar 2.7 Audiogram

Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien

pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-

beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada di atas.

Grafiknya terdiri atas skala desibel. Suara dipresentasikan dengan earphone (air

conduction) dan skull vibrator (Bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka
21

diindikasikan adanya CHL (Conduction hearing Loss). Turunnya nilai ambang

pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL (Sensorineural

Hearing Loss). 21

Pada pemeriksaan audiometri, pasien menggunakan headphone sesuai

dengan telinga yang diperiksa (warna merah untuk telinga kanan dan biru untuk

telinga kiri). Pemeriksaan dimulai pada frekwensi 1000 Hz, selanjutnya 2000 Hz,

4000 Hz & 8000 Hz. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan pada 1000Hz dan

menurun (500 Hz, 250 Hz, 125 Hz). Pada masing-masing frekuensi pemeriksaan

ambang dengar dimulai dengan intensitas diatas perkiraan ambang dengarnya,

selanjutnya diturunkan sampai pasien tidak mendengar stimulus bunyinya (tidak

menunjuk jari). Ambang dengar pasien adalah intensitas terkecil yang dapat
22
didengar oleh pasien. Pemeriksaan audiometri dilakukan pada ruangan kedap

suara atau jika tidak ada dapat digunakan ruangan yang sunyi.23
BAB III

PENUTUP

Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) adalah tuli sensorineural

yang terjadi akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu

yang cukup lama.18 Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan

yaitu intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, lamanya waktu pemaparan

bising, kerentanan individu, jenis kelamin, usia dan kelainan di telinga tengah.10,18

Tuli sensorineural dapat disebabkan oleh toksin (seperti arsen dan quinine) dan

antibiotika seperti streptomisin yang dapat merusak koklea.12

Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan

reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift)

dan peningkatan ambang dengar menetap (permanent threshold shift). Reaksi

adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan

intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis

pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan ambang dengar sementara,

merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan

bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam

beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan

ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang

dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi (eksplosif)

atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur

22
23

koklea, antara lain kerusakan organ corti, sel-sel rambut, stria vaskularis, dan

lainnya.7,8

Tuli akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya

menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan.6 Penggunaan

alat bantu dengar hanya sedikit manfaatnya bagi pasien, bahkan alat tersebut

hanya memberikan rangsangan vibrotaktil dan bukannya perbaikan diskriminasi

bicara pada pasien tersebut.7


DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Indonesia termasuk 4 negara di Asia Tenggara


dengan prevalensi ketulian 4,6%. Available from:
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=
700&Itemid=.

2. Novianto R. 2007. Audiometri di JIH. Available from: http://www.rs-


jih.com/jatel/index.php?option=com_content&task=view&id=94&Itemid=
85.

3. Halinda S. Program perlindungan pendengaran pekerja terhadap


kebisingan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Universitas Sumatera Utara, 2002.

4. Smith A, Stansfeld S. Aircraft noise exposure, noise sensitivity, and


everyday errors. Sage Journals, 1986.

5. Hong OS, Chen SP, Conrad KM. 1998. Noise induced hearing loss among
male airport workers in Korea. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9526275?ordinalpos=1&itool=Entre
zSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPan
el.Pubmed_Discovery_RA&linkpos=1&log$=relatedarticles&logdbfrom=
pubmed.

6. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran dan


kelainan telinga. Dalam: Soepardi E, dkk. Buku ajar ilmu penyakit telinga,
hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2007.

7. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat bising (noise


induced hearing loss). Dalam: Soepardi E, dkk. Buku ajar ilmu penyakit
telinga, hidung, tenggorokan, kepala dan leher. Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2007.

8. Adams L, George, dkk. Buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC, 1997.

9. Ganong WF. Fisiologi kedokteran (review of medical physiology). Edisi


10. Jakarta: EGC, 1983.

10. Yunita Andrina. Gangguan pendengaran akibat bising. Medan: FK USU.

11. Guyton. dkk. Fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC, 2007.


12. Japardi I. Nervus vestibulocochlearis. Medan: Fakultas Kedokteran
Umum Universitas Sumatera Utara, 2003.

13. Eroschenko P. Atlas histologi difiore Edisi 9. Jakarta: EGC, 2003.

14. Sukardi E. Neuroanatomi medika. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,


1985.

15. Susanto A. 2006. Kebisingan serta pengaruhnya Terhadap Kesehatan Dan


Lingkungan. Available from:
http://hseclubindonesia.wordpress.com/2006/10/13/kebisingan-serta-
pengaruhnya-terhadap-kesehatan-dan-lingkungan/.

16. KepMenLH No.48 Tahun 1996

17. KepMenNaker No.51 Tahun 1999

18. Soetjipto Damayanti. 2007. Gangguan pendengaran akibat bising/GPAB.


Available from: http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Hear-Loss-Noise-
000110/Hear-Loss-Noise.htm.

19. Harger MR, Barbosa-Branco A. Effects on hearing due to the occupational


noise exposure of marble industry workers in the Federal District, Brazil.
Brazil: NCBI, 2004.

20. Arifiani N. Pengaruh Kebisingan terhadap kesehatan tenaga kerja. Jakarta:


Subdepartemen Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004.

21. Henny K. 2007. Audiometri dasar. Available from:


http://hennykartika.wordpress.com/2007/03/11/audiometri-dasar/.

22. Sub. Departemen THT Komunitas. 2008. Cara pengukuran dengan


audiometri. Available from: http://www.thtkomunitas.org.

23. Priyo D, dkk. Diagnosis kekurangan pendengaran. Semarang: Bagian THT


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1985.

You might also like