You are on page 1of 7
Pros, Semnas Pend. IPA Pascasarons UM Vol 1, 2016, ISBN: 978-602.9286-21-2 Pemanfaatan Sains Tradisional Jawa Sistem Pranotomongso melalui Kajian Etnosains sebagai Bahan Ajar Biologi Rizga Devi Anazifa Jurusan Pendidikan Biologi Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta E-mail: vizqa20\1@gmail.com Abstrak: Pemahaman petani Jawa untuk memanfaatkan fenomena alam sebagai pedoman dalam bercocok tanam dengan sistem pranotomongso merupakan salah satu bentuk dari Kemampuan manusia dalam memabemi lingkungan yang relahirkan praktek pengelolaan lingkungan berbasis Kearifan ekologi. Makalah in adalah hasil studi Iteratur yang bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan sains tradisional sistem pranotamongso sebagai bahan ajar dalam pembelajaran Biolog Pemanfaatan pranofomongso sebagai bahan ajar Biologi dapat menjadi salah satu bentuk inovesi pendagogik berbasis sains tradisional yang mengajarkan kepada perserta didik tentang fenomena Biologi secara kontekstual yang berkaitan dengan ckosistem, konservasi, dan pengelolaan lingkungan. ‘Kata kunci: sans asi, pranotomongso,etnosains, pembelajaran biologi Manusia adalah bagian dari lingkungan, Manusia mempunyai hubungan timbal balik yang selaras dengan lingkungan. Interaksi antara manusia dengan lingkungan memberikan manusia pengalaman tentang lingkungan tempat manusia tinggal, sehingga manusia mempunyai gambaran tentang lingkungan hidupnya yang disebut dengan citra lingkungan Citra lingkungan memberikan petunjuk tentang apa yang diharapkan manusia dari lingkungan baik secara alamish maupun hasil tindakannya dan apa yang boleh dan tidak dilakukan manusia tethadap lingkungan, Dengan kata lain, pengalaman manusia tentang lingkungan menyebabkan manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang _mempengaruhi tindakannya dalam memperlakukan lingkungan. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah bertempat tinggal di pedesaan dan bbekerja sebagai petani, Aktivitas pertanian misalnya membajak, mencangkul, menananam benih, dan menyiangi seluruhnya dipengaruhi oleh kondisi alam. Sifat petani Indonesia Khususnya petani Jawa menunjukkan adanya hubungan yang lekat antara manusia dengan alam, Petani Jawa sangat mengenal adanya perubahan musim, kondisi tanah atau lahan, dan sifat serta syarat hidup tanaman, Petani Jawa mengenal berbagai macam cara pengolahan pertanian secara tradisional, misalnya sistem pertanian sawah surjan atau multicroping yaitu sistem membagi petak menjadi dua bidang, bagian pinggir untuk menanam padi dan bagian tengah untuk menanam palawija. Sistem pertanian sawah surjan merupakan upaya petani unyuk mengatasi serangan banjir dan kekeringan serta adaptasi ekonomi untuk mengatasi efek dari fragmentasi tanah, Petani Jawa juga mengenal sistem pertanian nyabuk gunung atau contour planting, yaitu sistem pertanian seperti ikat pnggang yang melingkapi gunung dengan tujuan untuk melindungi tanah miring dari hempasan air hujan. Selain itu, petani Jawa juga mengenal sistem bera yaitu pengolahan tanah tegal dimana tumububnya alang-alang adalah untuk melindungi tanah dan merupakan tanda kesuburan tanah serta sebagai makanan ternak. 832 Pros, Semnas Pend. IPA Pascasarons UM Vol 1, 2016, ISBN: 978-602.9286-21-2 Petani Jawa juga mengenal sistem penanggalan yang mengatur tata kerja para petani atau pengaturan musim yang disebut dengan pranotomongso (Daljoeni, 1983). Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di bidang pertanian selain dapat meningkatkan produksi pertanian juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, Penggunaan teknologi dengan tidak semestinya mengakibatkan ekplotasi terhadap sumber daya alam khususnya dalam sumber daya alam di sektor pertanian secara masif tampa ‘mengindabkan kelestarian lingkungan, Oleh Karena itu perlu adanya pengkajian kembali dalam menerapkan penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk mengambil dan ‘mengolah sumber daya alam khususnya di sektor pertanian, Aktivitas bertani yang dilakukan oleh para petani tidak semuanya berdampak negatif terhadap lingkungan, tetapi ada aspek- aspek tertentu yang bersifat positif, misalnya penggunaan teknologi tradisional petani dalam memanfaatkan lingkungan alam semesta yang dimiliki. Pemahaman petani untuk memanfaatkan lingkungan sebagai pedoman dalam bertani merupakan bentuk dari penguasaan manusia terhadap citra lingkungan yang melahirkan praktek pengelolaan sumber daya alam atau lingkungan alam yang baik yang disebut kearifan ckologi. Jadi kearifan ekologi adalah adaptasi manusia secara kultural yang dapat dilihat dari aktivitas manusia dalam memperlakukan dan memanfaatan lingkungan misalnya cara- cara manusia dalam bercocok tanam yang berpedoman kepada fenomena alam, misalnya petani Jawa menggunakan sistem penaggalan Jawa atau pmotomongso dalam bercocok tanam yang berpedoman kepada tanda- tanda alam misalnya perubahan yang terjadi pada perubahan cuaca, tumbuhan, dan prilaku hewan, Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu adanya pengkajian terhadap sains tradisional khususnya Jawa, seperti penggunaan pranotomongso sebagai salah satu sumber belajar Biologi. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pranotomongso dan pemanfaatannya sebagai bahan ajar pada mata pelajaran Biologi. BAHASAN UTAMA Kata pranotomongso, berasal dari bahasa Jawa, terdiri dari dua kata yaitu pranoto dan ‘mongso, Pranoto berarti ketentuan dan mongso berarti musim, Pranotomongso adalah hhitungan tahun berdasarkan jalannya matahari yang bergeser dari equator ke utara dan selatan selama enam bulan, Secara ekologis, peredaran matahari dalam setahun tersebut mempengaruhi keadaan musim di bumi. ‘Menurut Daldjoeni (1983) dalam Hakim (2002), pranotomongso sudah dikenal oleh masyarakat agraris di pulau Jawa pada masa lampau. Mereka mengenal waktu tanam dan waktu istirahat Iahan pertanian, sehingga memungkinkan lahan pertanian dan ekosistem sekitamya mempunyai waktu untuk mengembalikan kondisinya, Ide dasar bahwa tanah memerlukan waktu untuk beristirahat setelah menjalankan fungsinya dalam memproduksi bahan makanan telah dipahami benar oleh masyarakat tradisional saat iru, sehingga sistem pranotomongso ini dianggap lebih dapat menjamin sustainabilitas lahan, Pranotomongso membagi setahun dalam 12 mangsa yaitu kasa atau kaji (1), karo (ID, kkatelu (IID, kapat (IV), kalima (V), kanem (V1), kapitu (VII), kawolu (VIID, kasanga (IX), kasapuluh (X), dhesta (XI) dan saddha (XI) (Sindhunata, 2011). Pranotomongso juga dibagi menjadi empat musim besar yaitu: katigo (musim kering), labuh (musim sering turun hujan), Rendheng (musim banyak turun hujan), dan Mareng (musim peralihan kemusim kemarau), 833 Pros, Semnas Pend. IPA Pascasarons UM Vol 1, 2016, ISBN: 978-602.9286-21-2 Masing-masing musim tersebut dibagi lagi menjadi beberapa bulan yang berbeda. Musim katigo dibagi menjadi tiga bulan yaitu: Kaso (Kasa), Karo, dan Katigo (Katiga). Musim Labuh dibagi menjadi tiga bulan yaitu: Kapat, Kalimo (Kalima), Kanem, Musim Rendheng dibagi menjadi tiga bulan yaitu: Kapitu, Kawolu (Kawalu), Kesongo (Kasanga). Musim Mareng dibagi menjadi tiga bulan yaitu: Kesepuluh (Kadasa), Apit lemah (Hapitlemah), Apit Kayu (Hapitkayu). Setiap bulan tersebut memiliki petunjuk alam yang berbeda sebagai dasar untuk menentukan kegiatan dalam pengelolaan lahan mereka (Hilmanto, 2010), Pranotomongso juga dibagi menjadi 3 kelompok musim. Kelompok musim pertama disebut musim utama yang tersiri dari 4 musim utama yaitu terang (82 hari), semplah (99 hari), udan (82 hari), dan pengarep-arep (98 hari). Kelompok musim kedua terdiri dari katiga (88 hari), labuh (95 hari), rendheng (94 hari), dan mareng (88 hari). Kelompok musim ketiga disebut mangsa yang terdiri dari 12 musim dalam setahun. Pada pembagian musim ketiga delakukan dengan membagi satu tahun yang terdiri dari 365 hari menjadi dua. Kemudian ‘masing- masing setengah tahunan dipecah menjadi 6 mangsa yang panjang harinya sebagai berikut 41 hari, 23 hari, 24 hari, 25 hari, 27 hari, dan 43 hari. Mangsa kasa dimulai pada saat matahari ada di zenit untuk Garis Balik Utara yaitu 22 Juni dan mangsa kapiti dimulai tanggal 22 Desember ketika matahai berada di zenit Garis balik selatan. Kedua periode ‘tengah taunan itu saling bergandengan pada mangsa paling panjang yaita mangsa terang atau saddha dan kasa selama 82 hari dan mangsa udan atau kanem dan kapitu selama 86 hari. Mangsa terang dihimpit oleh dua mangsa kontras yaitu panen (destha) dan paceklik (karo). Sedangkan mangsa udan diapit oleh dua mangsa yakni mangsa kalima dan kawolu, Mangsa pengarep-arep (kawolu, kasanga, dan kasapuluh) yang merupakan musim berbiak hewan dan tanaman makanan pokok, berhadapan dengan mangsa semplah (katelwkapat, dan kalima) (Sindhunata, 2011). Pranotomongso merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Jawa yang berkaitan dengan pengelolaan Jahan pertanian, Penerapan pranotomongso menunjukkan bahwa orang jawa tidak akan pernah lepas dari lingkungan. Sejak zaman dahulu, orang Jawa telah memandang alam sebagai subjek, yang artinya mereka tunduk kepada alam. Mereka berpandangan bahwa perubahan cuaca dan musim menentukan apa yang harus dilakukan oleh mereka, misalnya dalam urusan bercocok tanam (Dumadi, 2011: 23). Pranata Mangsa telah digunakan sebagai sebuah metode penentuan musim bagi para petani di pulau Jawa sejak zaman Hindu. Pada saat itu berlaku sistem kalender Saka yang berlaku sebagai tolok ukur usia setiap selang waktu. Kalender tersebut dinamakan kalender Saka karena kalender ini dipercaya disusun oleh Aji Saka seorang raja Medhang Kamulan Pada zaman tersebut pranotomongso dikenal dengan sebutan mangsa saja. Seiring dengan ‘masuknya agama Islam sekitar abad ke-16, Sultan Agung mengubah kalender Saka menjadi kalender Hijriyah, Hal ini berimbas pada perhitungan mangsa yang terbaikan (Sarwanto et.al, 2010) Pranotomongso merupakan pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun dan bersifat lokal serta temporal. Hal tersebut berarti bahwa pranotomongso merupakan pengetahuan tertentu di waktu tertentu dan tempat tertentu. Pembakuan dalam penggunaan pranotomongso baru dilakukan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana VI di Surakarta pada 22 Juni 1856 (Sindhunata, 2011). Sebenarnya istilah pranotomongso sudah dimuat dalam Serat Centini yang disususn tahun 1820- 1833 oleh Paku Buwono V yang 4

You might also like