You are on page 1of 13

LAPORAN ANALISIS DIGITAL FORENSIK DENGAN METODE SUPERIMPOSE

SKILL LAB ODONTOLOGI FORENSIK

Kelompok A

Anggota Kelompok:
1. Rosellina Charisma Ilman (161610101001)
2. Shania Rada Chairmawati (161610101002)
3. Lifia Mufida (161610101003)
4. Salsabila Dewinta Anggi P (161610101004)
5. Shabrina Widya A (161610101005)
6. Atha Ramadhana Yaniar (161610101028)

Dosen Pembimbing : drg. Dwi Kartika Apriyono M.Kes., Sp.OF.

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2019

ANALISIS DIGITAL FORENSIK DENGAN METODE SUPERIMPOSE


Pengetahuan mengenai identifikasi (pengenalan jati diri seseorang) pada awalnya
berkembang karena kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana khususnya untuk
menandai ciri pelaku tindak kriminal, dengan adanya perkembangan masalahmasalah sosial
dan perkembangan ilmu pengetahuan maka identifikasi dimanfaatkan juga untuk keperluan-
keperluan yang berhubungan dengan kesejahteraan umat manusia (Singh, 2008).
Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh dokter Perancis
pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan memanfaatkan
ciri umum seseorang seperti ukuran anthropometri, warna rambut, mata dan lain-lain.
Kenyataan cara ini banyak kendala-kendalanya oleh karena perubahanperubahan yang terjadi
secara biologis pada seseorang dengan bertambahnya usia selain kesulitan dalam menyimpan
data secara sistematis(Singh, 2008).
Metode digital Fotografi digital pada bitemark kulit dan gambar dari model cetakan
yang pertama dan kedua discan dan kemudian dibandingkan dengan menggunakan Adobe
Photoshop 8.0 software dengan metode superimpose. Superimposisi adalah suatu sistem
pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang dengan membandingkan korban semasa
hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Kemudian setelah dibandingkan, didapatkan
kesimpulan apakah kedua cetakannya extreme-degree match, high-degree match, probable-
degree match, poor-degree match, dan dissimilar-degree match (Singh, 2008).
1. Gambar D dan F

B
C

A : Gambar kode D
pada case 3

B : Gambar kode F pada case 3

C : Gambar setelah dianalisis

Gigi memiliki sifat biometrik yang


mungkin berguna untuknya identifikasi dengan
foto AM dan PM. Sebuah foto dari senyuman
yang menunjukkan gigi anterior memiliki titik
rujukan yang dapat ditetapkan untuk
perbandingan. Karakteristik utama untuk identifikasi yang terlihat dalam foto senyum
termasuk bentuk mahkota, karakteristik morfologi, ukuran, lebar, garis besar, profil wajah,
anomali gigi, jarak, dan garis di antara gigi (Geraldo et al, 2016).

Perbandingan antara foto AM dan PM dibuat oleh dua teknik: garis senyum dan
superimposisi. Di garis senyum, garis insisal gigi anterior rahang atas ditarik pada AM dan
foto-foto PM oleh CorelDraw1 atau dengan Adobe Photoshop. Matriks yang dihasilkan
ditumpangkan untuk mengevaluasi tingkat kebetulan, atau hanya dibandingkan, seperti yang
ditunjukkan dalam penelitian terbaru. Korespondensi yang sempurna adalah diperoleh antara
matriks AM dan PM dari garis senyum (Gbr. 3) (Geraldo et al, 2016).

Fotografi superimposisi telah menjadi opsi terbaru lainnya dengan penggunaan


program perangkat lunak analisis fotografi digital. Salah satunya perbandingan yang paling
sulit dilakukan oleh dokter gigi adalah dengan membandingkan gigi AM (gigi seri rahang
atas dan gigi taring) yang terlihat dalam foto senyum dengan gigi PM oleh superimposisi
(Geraldo et al, 2016).

Dalam metode yang dijelaskan oleh Bollinger et al., satu lapisan foto AM dibuat
dengan perangkat lunak Photoshop1 dan ditumpangkan pada foto PM. Superimposisi ini
dapat dibuat pada gambar rahang atas dan rahang bawah. Menurut aslinya belajar, peluang
mencapai kesimpulan yang mengarah ke identifikasi ditingkatkan ketika beberapa
karakteristik individu terlihat pada gambar AM. Kasus yang disajikan di sini menunjukkan
giroversi dan vestibularisasi kaninus mandibula (Gbr. 5), anomali posisi yang memainkan
peran penting dalam proses identifikasi. Perbedaan dalam penelitian ini dibandingkan dengan
laporan asli termasuk penggunaan yang berbeda program perangkat lunak dan empat lapisan
(bukan satu lapisan) dengan persentase transparansi yang berbeda (0%, 25%, 75%, dan
100%) (Gbr. 4 dan 5) (Geraldo et al, 2016).

Analisis foto senyum untuk tujuan identifikasi memiliki keunggulan biaya rendah,
kecepatan cepat, dan keandalan hasil yang tinggi. Namun, mungkin juga ada kerugian, seperti
jumlah gigi yang terlihat terbatas dalam foto, gambar kualitas rendah, dan kemungkinan
perubahan morfologis pada gigi sejak foto AM diambil. Apalagi foto adalah sebuah
visualisasi dua dimensi dari struktur tiga dimensi. Objek sulit dibandingkan jika orientasi
fotonya hampir tidak identik dengan foto yang digunakan untuk perbandingan. Untuk tujuan
ini, perlu memiliki AM foto sebelum foto PM diambil (Geraldo et al, 2016).

2. Gambar P dan L
P L

Idntifikasi dalam kedokteran gigi forensic ada berbagai macam, salah satunya adalah
melalui fotografi kedokteran gigi forensik, misalnya teknik fotografi superimpose yang
dilakukan dengan menumpang-tindihkan foto postmortem dan foto wajah antemortem, teknik
ini dilakukan apabila identifikasi dengan teknik lain seperti rekam medis gigi, sidik jari, dan
DNA tidak dapat dilakukan, selain itu harus tersedia foto antemortem yang focus pada wajah
dan diperbesar sebesar rontgenogram tengkorak mayat tersebut. Gambar P merupakan foto
antemortem yang terlihat susunan gigi geliginya, dan dapat pula dilakukan identifikasi pada
bibir, sedanglan Post mortem adalah pada gambar L yang hanya focus pada rongga mulutnya
saja, yang kemudian kedua gambar tersebut ditumpang tindihkan untuk melihat
kecocokannya. (Gambar P dan L). Terlihat bahwa ada kecocokan dari gambar tersebut. Perlu
diperthatikan betul, ada tidaknya gigi karies, gigi yang ditumpat, jumlah gigi, gigi yang
malposisi atau maloklusi, gigi berbentuk abnormal, yang nantinya identifikasi ini dapat
sebagai penentu jenis kelamin, ras korban dan umur (Arifin dkk, 2016).

3. Gambar E dan M

M E
Rekonstruksi wajah forensik atau Forensic facial reconstruction, adalah pembuatan
kembali fitur wajah yang hilang atau tidak diketahui dari seorang individu, untuk keperluan
pengenalan dan identifikasi. Secara umum diterima bahwa rekonstruksi wajah dapat dibagi
menjadi empat kategori yaitu:

1. Mengganti dan memposisikan ulang jaringan lunak yang rusak atau terdistorsi ke
tengkorak
2. Penggunaan transparansi dan gambar fotografi dalam sistem tipe-identik
3. Teknik superimposisi grafik, foto atau video
4. Rekonstruksi plastik atau tiga dimensi dari wajah di atas tengkorak, menggunakan
tanah liat model.

Dapat dilihat dalam hasil gambar yang telah di analisis digital menggunakan metode
superimpose, terdapat kecocokan yang terlihat antara gambar M yaitu gambar seseorang
secara utuh dan gambar E yaitu gambar potongan pada bagian bibir dan gigi geligi. Hal ini
berarti gigi geligi juga memegang peranan penting dalam pengungkapan suatu identitas yang
berguna untuk data forensik dengan cara memposisikan ulang bibir dan gigi geligi tersebut
kedalam gambar yang utuh dengan menggunakan metode superimpose untuk melihat
kecocokan diantara keduanya sehingga didapatkan hasil data yang akurat.

4. Gambar K, B, dan Ante mortem 3


METODE SUPERIMPOSE

Gambar Ante mortem 3 Gambar B

Gambar K Gambar Setelah dianalisis

Rekonstruksi wajah dari tengkorak adalah alat yang ampuh untuk membantu
penyelidik forensik mengidentifikasi sisa-sisa kerangka ketika informasi lain tidak tersedia.
Hal ini telah berhasil diterapkan di banyak kasus forensik yang nyata. Meskipun dalam dua
dekade terakhir, cukup banyak algoritma rekonstruksi wajah berbasis grafik komputer telah
dikembangkan (Tauseef et al, 2010).
Identifikasi wajah merujuk pada pemeriksaan manual dari dua gambar wajah atau
subjek langsung dan gambar wajah untuk menentukan apakah mereka orang yang sama atau
tidak. Metode identifikasi wajah umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori,
yaitu:
a. Perbandingan Holistik: Dalam pendekatan ini wajah dibandingkan dengan
mempertimbangkan seluruh wajah secara bersamaan.
b. Analisis Morfologis: Dalam pendekatan ini fitur wajah individu dibandingkan dan
diklasifikasikan.
c. Foto-antropometri: Pendekatan ini (kadang-kadang disebut sebagai fotogrametri)
didasarkan pada pengukuran spasial fitur wajah serta jarak dan sudut antara landmark
wajah.
d. Superimposisi: Dalam pendekatan ini, versi skala dari satu gambar ditumpuk ke
gambar yang lain. Kedua gambar harus diambil dari sudut yang sama (Tauseef et al,
2010).

Pilihan pendekatan spesifik biasanya tergantung pada gambar wajah yang akan
dibandingkan dan umumnya kombinasi metode ini diterapkan untuk mencapai kesimpulan.
Selain kategorisasi umum dari pendekatan perbandingan wajah, saat ini tidak ada prosedur
standar dan pedoman yang disepakati di antara para peneliti forensik. Prosesnya sangat
subyektif dan pendapat dari satu pemeriksa forensik dapat berbeda dari yang lain (Tauseef et
al, 2010).
Dari gambar diatas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat kecocokan antara
gambar ante mortem 3, gambar B, dan gambar K. Hal ini berarti rontgen gigi tersebut
berguna untuk data forensik dalam pengungkapan suatu identitas. Metode superimpose
digunakan untuk melihat kecocokan diantara ketiganya sehingga didapatkan hasil data yang
akurat.

5. Gambar C dan I

Opacity 0% Opacity 25% Opacity 50%

Opacity 75% Opacity 100%


Pada praktikum kali ini, kami menyesuaikan 2 atau lebih dari beberapa gambar dari
berbagai kasus untuk disandingkan dan disesuaikan apakah gambar tersebut cocok atau tidak.
Kami menggunakan aplikasi adobe photoshop untuk menilai apakah gambar tersebut cocok
atau tidak. Kedua gambar ini ditumpuk, disesuaikan ukurannya, dan diatur tingkat
opacitynya.
Kami membagi tingkat opacity menjadi 5 yaitu 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%
(seperti gambar yang ada pada tabel di atas), dengan tujuan peningkatan opacity ini dapat
lebih menunjukkan bahwa kedua gambar tersebut cocok atau tidak. Dan hasil yang kami
dapatkan dari kedua gambar ini adalah cocok.
Dari yang kita ketahui, gigi merupakan salah satu alat untuk proses identifikasi dalam
kegiatan atau ilmu forensik, karena karakteristik gigi sangatlah individualis. Pada anak
kembar identik pun belum tentu mempunyai bentuk anatomi gigi yang sama. Dari alasan
inilah gigi dapat menjadi alat bantu untuk proses identifikasi.
Hasil gambar yang kami dapatkan di atas, dapat terlihat ciri-ciri dari kedua gambar
dikatakan sama, antara lain: daerah kanan rahang atas gigi anterior insisivus sampai caninus
ditambah premolar terdapat perdarahan pada margin gingiva (gingivitis) dan ukuran gigi yang
kami dapatkan setelah menyesuaikan kedua gambar tersebut adalah sama.
2
Daftar Pustaka

Arifin, R., Noviyandri, P.R., Lusmana, F.M. 2016. Hubungan Usia Dental Dengan Puncak
Pertumbuhan Pada Pasien Usia 10-14 Tahun Di RSGM Unsyiah. Jurnal Syiah Kuala.
1(2) : 96-102.

Geraldo Elias Miranda, Sı´lvia Guzella de Freitas, Luiza Vale´ ria de Abreu Maia, Rodolfo
Francisco Haltenhoff Melani. 2016. An unusual method of forensic human
identification: use of selfie photographs. Forensic Science International 263. Page e14
– e17.

Singh S. 2008. Penatalaksaan Identifikasi Korban. Majalah Kedokteran Nusantara. Volume


41, No. 4

Tauseef A., Raymond V., Luuk S. 2010. Forensic Face Recognition: A Survey. Netherland:
Signals and Systems Group, FEMCS, University of Twente, Enschede, The
Netherlands.
W.A.Aulsebrook, P.Becker. 1995. Superimposition and reconstruction in forensic facial
identification: a survey. Forensic Science International. Vol: 75, Issues 2–3. Pages
101-120.

You might also like