You are on page 1of 5

Tingkatan Autisme

Berdasarkan tingkat kecerdasan (IQ), autisme dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
(Pusponegoro dan Solek, 2007):
1. Low Functioning (IQ rendah). Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori low
functioning (IQ rendah), maka di kemudian hari hampir dipastikan penderita ini tidak
dapat diharapkan untuk hidup mandiri, sepanjang hidup penderita memerlukan
bantuan orang lain.
2. Medium Functioning (IQ sedang). Apabila penderita masuk ke dalam kategori
medium functioning (IQ sedang), maka di kemudian hari masih bisa hidup
bermasyarakat dan penderita ini masih bisa masuk sekolah khusus yang memang
dibuat untuk anak penderita autis. c. High Functioning (IQ tinggi). Apabila
penderitanya masuk ke dalam kategori high functioning (IQ tinggi), maka di
kemudian hari bisa hidup mandiri bahkan mungkin sukses dalam pekerjaannya, dapat
juga hidup berkeluarga.

Menurut Childhood Autism Rating Scale (CARS), autisme dibagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu (Mujiyanti, 2011):

1. Autis Ringan. Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan adanya kontak
mata walaupun tidak berlangsung lama. Anak autisme ini dapat memberikan sedikit
respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam
berkomunikasi dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.
2. Autis Sedang. Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan sedikit kontak mata
namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau
hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereopik
cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
3. Autis Berat. Anak autismme yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-
tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autisme memukul-mukulkan
kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus menerus tanpa henti. Ketika
orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap
melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang tuanya, anak autisme
tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa kelelahan
kemudian langsung tertidur.
Klasifikasi Autisme

1. Autisme persepsi. Dianggap autisme yang asli karena kelainan sudah timbul sebelum
lahir. Ketidakmampuan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap
rangsangan dari luar, begitu juga ketidakmampuan anak bekerja sama dengan orang
lain, sehingga anak bersikap masa bodoh.
2. Autisme reaksi. Terjadi karena beberapa permasalahan yang menimbulkan
kecemasan seperti orangtua meninggal, sakit berat/pindah sekolah dan sebagainya.
Autisme ini akan memunculkan gerakan-gerakan tertentu berulang-ulang kadang-
kadang disertai kejang-kejang. Gejala ini muncul pada usia lebih besar 6 -7 tahun
sebelum anak memasuki tahapan berpikir logis.
3. Autisme yang timbul kemudian. Terjadi setelah anak agak besar, dikarenakan
kelainan jaringan otak yang terjadi setelah anak lahir. Hal ini mempersulit dalam
pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang
sudah melekat.

Cara Mendampingi Anak Penderita Autisme

1. Cermat Memilih Terapi

Tiap anak, termasuk anak autis adalah unik. Tidak ada pengobatan yang pasti mendatangkan
manfaat sama jika diterapkan pada semua anak. Berbagai metode pengobatan, bahkan yang
sudah menyebar dari mulut ke mulut atau disiarkan di media, belum tentu tepat bagi setiap
anak. Anda perlu mewaspadai apakah pengobatan yang ditawarkan akan mendatangkan
perubahan yang drastis atau bahkan didasari pada teori serta penelitian yang lemah. Bentuk-
bentuk terapi yang pada umumnya ditawarkan antara lain:

 Terapi wicara
Sebagian besar anak dengan autisme mengalami kesulitan berbicara. Pada kasus lain,
mereka bisa berbicara, tapi tidak mampu berinteraksi atau berkomunikasi secara
normal dengan orang lain. Di sinilah pentingnya peranan terapi wicara.
 Terapi okupasi
Terapi okupasi digunakan untuk memperbaiki perkembangan motorik halus pada
anak dengan autis yang memang banyak mengalami keterlambatan.
 Terapi perilaku
Umumnya anak-anak dengan autis merasa sangat sensitif kepada cahaya, suara, dan
sentuhan. Ahli terapi akan membantu menemukan latar belakang perilaku tersebut
untuk kemudian memberikan solusi secara spesifik.
 Terapi pendidikan
Program ini melibatkan tim pakar yang menerapkan beragam aktivitas yang
meningkatkan kemampuan komunikasi, sosial, dan tingkah lakunya. Umumnya anak-
anak dengan autisme dapat berkembang dengan program pendidikan yang terarah dan
terstruktur dengan baik.

Selain terapi umum di atas, ada rangkaian perawatan alternatif lain yang dapat digunakan
untuk menangani autisme seperti akupuntur dan terapi khelasi untuk pembuluh darah.

2. Bekerjasama dengan Anggota Keluarga


Anak dengan autis bukan berarti tidak perlu diikutsertakan ke dalam aktivitas sehari-
hari keluarganya. Malah sebaliknya, sangat penting mengajak keluarga untuk
membiasakan diri berinteraksi dengannya. Selain bermanfaat untuk perkembangan si
anak, situasi saling mendukung berperan penting agar Anda, sebagai ayah atau ibu,
tidak merasa sendiri.
Berikut ini adalah beberapa kondisi yang dapat dikembangkan di rumah bersama
anggota keluarga:

 Hindari memaksa anak. Anak dengan autisme sering kali tidak mampu
mengomunikasikan kebutuhannya melalui bahasa verbal, namun bisa melalui gerak
tubuh, menunjuk benda, atau bahasa isyarat. Misalnya ketika akan berjalan-jalan,
Anda bisa menyampaikan padanya sambil menunjukkan gambar mobil.
 Jauhkan anak dari contoh perilaku kasar. Anak dengan autisme cenderung meniru
perilaku dan kata-kata orang di sekitarnya.
 Buatlah jadwal kegiatan yang dapat diikuti anak secara rutin untuk membiasakannya
beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain secara terstruktur.
 Biarkan dia tetap memiliki kesempatan untuk meluangkan waktu menyendiri.
3. Pengobatan

Obat-obatan dapat diberikan untuk meringankan gejala autisme. Dokter biasanya akan
memberikan obat-obatan untuk menangani gejala yang berhubungan dengan autisme seperti
depresi, susah tidur, perilaku agresif, ataupun epilepsi.

4. Penanganan Alternatif untuk Autisme

Terdapat beberapa metode alternatif lain yang dapat Anda coba untuk menangani autisme.
Cara-cara ini belum terbukti secara ilmiah dapat menangani autisme dengan efektif. Sehingga
penerapannya sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dokter:

 Akupuntur. Meski belum terbukti efektif, akupuntur kadang digunakan sebagai


perawatan penunjang dalam mengurangi gejala autisme.
 Pola makan. Meski belum terbukti secara medis, namun Anda sebaiknya mengurangi
makanan yang mengandung zat aditif seperti bahan pengawet dalam pola makan anak.
Selain itu, ada beberapa studi yang menyatakan bahwa beberapa pola makan tertentu
bisa membantu meringankan gejala autis, tapi keefektifannya masih belum terbukti
sepenuhnya.
 Terapi berbasis sensor. Didasar kan pada teori bahwa anak dengan autisme
mengalami gangguan memproses rangsangan seperti suara dan sentuhan, terapi ini
bertujuan untuk membantu penderita autis dalam mengatur informasi yang diterima
dari sensor-sensor tubuhnya.
 Terapi kreatif. Terapi seperti musik dan seni dapat mengurangi sensitivitas anak
terhadap rangsangan bunyi dan sentuhan.

 Beberapa olahraga yang cocok untuk anak penyandang autis:

1. Berenang termasuk olahraga individual yang gerakannya sederhana, mudah


ditiru dan berulang-ulang, cocok dengan gaya belajar anak autis. Bila dilatih dengan
intens dan diberi contoh, mereka bisa menguasai gaya dasar renang dengan baik.
Tidak mustahil juga anak penyandang autis dapat berpartisipasi dalam tim renang
estafet. Meski ini olahraga tim, namun tiap peserta estafet bertanding secara
individual.

2. Olahraga di trek tidak terlalu banyak membutuhkan kemampuan komunikasi


verbal sehingga cocok bagi anak penyandang autis.

3. Bowling dapat menjadi pilihan olahraga bagi anak autis karena memiliki manfaat
dan menyenangkan untuk si kecil. Olahraga ini tipenya repetisi dan cocok dengan
anak autis yang dapat tumbuh dengan baik di dalam lingkungan yang dapat ia
prediksi. Karena itu, olahraga dengan pola rutinitas yang konsisten dan mengenal
repetisi baik untuk mereka.

4. Berkuda, bukan hanya untuk tujuan berolahraga, ternyata berkuda juga dapat
dijadikan sebagai terapi untuk anak autis karena menurut beberapa info, anak autis
lebih mudah berkomunikasi dengan binatang daripada manusia.

5. Hiking merupakan olahraga yang baik untuk melatih tubuh sekaligus menikmati
alam. Pada anak penyandang autis, ia juga bisa meraih manfaat tadi tanpa adanya
tekanan komunikasi sosial yang intens.

Sebagai catatan, anak penyandang autis tidak disarankan ikut olahraga beladiri yang
melibatkan kontak fisik. Karena keterbatasan empati dan ketrampilan sosialnya, anak
autis dikhawatirkan dapat mencederai diri sendiri atau orang lain.

You might also like