You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nematoda mempunyai jumlah spesies yang banyak diantaranya cacing-cacing yang hidup
sebagai parasit. Cacing-cacing tersebut berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospes
parasit. Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus.
Dewasa ini masih sering terdengar berbagai penyakit yang mengganggu kesehatan
masyarakat di Indonesia yang di sebabkan oleh nematoda parasit usus tersebut. Nematoda parasit usus
ini mempunyai beberapa jenis cacing, cacing-cacing itu mempunyai karakteristik masing-masing.
Seperti hospes dan penyakit yang berbeda, distribusi geografik, morfologi, daur hidup, diagnosis,
pengobatan, prognosis sampai epidemiologi yang berbeda. Pada dasarnya nematoda parasit usus
banyak di temukan di daerah tropis seperti Indonesia. Infeksi parasit usus terdiri dari Soil Transmitted
Helminths (STH) dan protozoa usus. Bahkan masih banyak pasien yang menderita penyakit akibat
nematoda parasit usus, karena parasit usus dapat menginfeksi berbagai usia, dan dampak terbesar
dialami oleh anak. Penyakit tersebut antara lain anemia defisiensi besi, diare, malabsorbsi, malnutrisi,
obstruksi usus, dan lebih lanjut gangguan tumbuh kembang dan kognitif serta respons imun terhadap
infeksi bakteri, virus, protozoa. Pada golongan dewasa infeksi cacing dapat menurunkan produktivitas
kerja. (Agnes Kurniawan,2011)
Salah satu spesies dari nematoda parasit usus tersebut adalah Ascaris lumbricoides (cacing
perut), penyebab penyakit askariasis ini paling banyak di temukan dan diperkirakan sekitar 1 milyar
penduduk dunia terinfeksi, sedangkan Giardia duodenalis adalah protozoa usus yang sering
ditemukan, menginfeksi sekitar 200 juta penduduk dunia. Selain itu masih banyak spesies dari
nematoda lainnya yang dapat merugikan. (Agnes Kurniawan,2011)
Cacing dapat menyebabkan kekurangan gizi, karena mereka menyerap nutrisi tubuh melalui
hilangnya nafsu makan sehingga anak-anak makan lebih sedikit, atau melalui menghentikan makanan
yang diserap dengan baik setelah telah dimakan. Anak-anak dengan infeksi cacing kronis dan sejumlah
besar cacing dapat terhambat dan kurus. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk
menyusun makalah tentang Nematoda Parasit Usus.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk:
a. Mengetahui bagaimana Pengertian Nematoda
b. Mengetahui apa itu Jenis Nematoda Usus
c. Mengetahui tentang Epidemiologi Infeksi Namatoda Usus
d. Mengetahui tentang Faktor Resiko Infeksi Nematoda Usus
e. Mengetahui Jenis Nematoda Usus yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil Transmitted
Helminth)
f. Mengetahui apa itu Pemeriksaan Tinja pada Infeksi Nematoda Usus
g. Mengetahui Dampak Infeksi Kecacingan pada Orang Dewasa
h. Mengetahui Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan
i. Mengetahui Pengendalian Infeksi Nematoda Usus

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nematoda
Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang
bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini
mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda yang ditemukan pada manusia terdapat dalam organ usus,
jaringan dan sistem peredaran darah, keberadaan cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang
berbeda-beda tergantung pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi.

Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering ditemukan pada tubuh
manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut dengan nematoda usus. Ciri-ciri umum
dari parasit ini diantara lain simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages, memiliki
coelom yang disebut pseudocoelomata, alat pencernaan lengkap alat ekskresi dengan selrenette atau
sistem havers, belum memiliki organ peredaran darah, respirasi dengan permukaan tubuh, cincin saraf
yang mengellingi esophagus merupakan pusat system saraf berumah dua, fertilisasi internal, tidak
dapat melakukan reproduksi aseksual, dan hidup bebas.
Nematoda usus terdiri dari beberapa spesies, spesies tersebut diantaranya Ascaris lumbricoides,
Strongyloides stercoralis, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Enterobius vermicularis,
Trichinella spiralis dan lain-lain.

B. Jenis Nematoda Usus


Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering ditemukan pada tubuh
manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut dengan nematoda usus. Nematoda usus
sering disebut sebagai cacing gilig, di antara filum yang lain , filum ini mempunyai anggota terbanyak
baik jenis maupun individunya.

Di antara nematoda usus ini yang paling sering menginfeksi manusia adalah yang ditularkan
melalui tanah atau disebut ”soil transmitted helminths ”. Empat jenis Soil Transmitted Helminths
(STH) yang paling sering menginfeksi adalah roundworm (Ascaris lumbricoides), whipworm
(Trichuris trichiura), dan hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) sedangkan
Strongyloides stercoralis jarang ditemukan terutama pada daerah yang beriklim dingin (Srisari G.,
2006). Namun STH yang hanya dapat dibantu transmisinya oleh pedagang makanan (food handler)
melalui kontaminasi tangan adalah Ascaris lumbricoides dan Trichiuris trichiura.

Gambar 2.1. Jenis Soil Transmitted Helminths (STH) (Soedarto, 1991)

C. Epidemiologi Infeksi Namatoda Usus

Data WHO menyebutkan lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia menderita kecacingan.
Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang memiliki prevalensi tinggi infeksi cacing di dunia
(de Silva et.al., 2003). Di Indonesia, infeksi cacing masih merupakan masalah besar dalam kesehatan
masyarakat karena prevalensinya masih tinggi yaitu kurang lebih 45– 65%, bahkan di wilayah-wilayah
tertentu yang memiliki sanitasi lingkungan buruk, panas, dan kelembaban tinggi prevalensi infeksi
cacing bisa mencapai 80%.

Cacing penyebab utama di Penyakit Perkiraan populasi yang


seluruh dunia terinfeksi (juta)
Ascaris lumbricoides Infeksi cacing gelang 807-1221
Trichuris trichiura Infeksi cacing cambuk 604-795
Necator americanus dan Infeksi cacing tambang 576-740
Ancylostoma duodenale
Strongyloides stercoralis Infeksi cacing benang 30-100
(threadworm)
Enterobius vermicularis Infeksi cacing kremi 4-28%

Sumber : Bethony dkk, 2006 Tabel 2.1. Jenis Cacing Penyebab Utama Infeksi Nematoda
Usus di Seluruh Dunia

D. Faktor Resiko Infeksi Nematoda Usus


Faktor host dan lingkungan merupakan faktor resiko infeksi cacing pada manusia diantaranya
:
1. Faktor individu
a. Genetik Sampai saat ini belum berhasil diindentifikasi adanya gen yang dapat
mengendalikan infeksi cacing. Namun demikian, hasil pemindain terakhir tentang genom
memberikan gambaran kemungkinan adanya kromosom 1 dan 13 untuk mengendalikan Ascaris
lumbricoides (Hotez et al., 2006).
b. Higiene Perorangan (Kebersihan diri) Menurut Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi
(higiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat
kesehatannya. Pedagang dengan kebersihan diri yang buruk mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk terinfeksi oleh semua jenis cacing (Brown, 1983).
c. Perilaku Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari manusia itu sendiri.
Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas
kaki mempunyai intensitas infeksi cacing yang tinggi. Selain itu, perilaku manusia yang seringkali
kurang memperhatikan pentingnya penggunaan air bersih untuk kehidupan, juga berperan terhadap
terjadinya infeksi.
d. Faktor sosial Golongan penduduk yang kurang mampu, kepadatan penduduk dan tingkat
pendidikan rendah merupakan salah satu faktor resiko terinfeksi cacing.
2.Faktor Lingkungan
a. Iklim dan Suhu Telur dan larva cacing lebih dapat berkembang pada daerah yang lembab
yaitu di negara yang beriklim tropis dan subtropis. Perkembangan telur Ascaris lumbricoides yang
optimum terjadi pada suhu 25°C, telur Trichuris trichiura pada suhu 30°C. Suhu optimum Necator
americanus adalah 28-32°C, sedangkan Ancylostoma duodenale adalah 23-25°C.
b. Sinar matahari
Telur dapat mengalami kerusakan oleh bahan kimia dan sinar matahari langsung. Telur cacing
dapat tumbuh optimal pada tempat teduh dan terlindung dari sinar matahari (Brown, 1979).
c. Angin
Kecepatan angin dapat mengeringkan telur sehingga dapat mematikan telur dan larva cacing,
disamping itu juga dapat membantu menyebarkan telur cacing bersama debu (Brown, 1979).

E. Jenis Nematoda Usus yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil Transmitted Helminth)
1. Ascaris lumbricoides
a. Siklus Hidup Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides dapat dilihat pada
gambar berikut ini :

Gambar 2.2. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides Dikutip dari : Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), 2009. Ascariasis: Biology,
Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html

Keterangan :
1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus. Seekor cacing betina mampu menghasilkan telur sampai
240.000 per hari, yang akan keluar bersama feses.
2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa
minggu di tanah.
3. Perkembangan telur tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum: lembab, hangat, tempat
teduh).
4. Telur infektif tertelan.
5. Telur masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian menembus mukosa
usus, masuk kelenjar getah bening dan aliran darah dan terbawa sampai ke paru-paru.
6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14 hari), menembus dinding alveoli, naik ke
saluran pernafasan dan akhirnya tertelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi
cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai dari tertelan telur infektif sampai menjadi cacing dewasa
sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun di dalam tubuh (Albert, 2006).
b. Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan
karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil
pada dinding alveolus dan timbul gangguan paru yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia.
Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan ini disebut
Sindrom Loffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita
mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat
keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga
terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu, cacing dewasa mengembara ke saluran empedu,
apendiks, atau bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu
tindakan operatif
c.Diagnosa
Diagnosa dengan menemukan telur di dalam tinja. Selain itu, diagnosis dapat pula dibuat apabila
cacing dewasa yang keluar sendiri baik melalui mulut, hidung, maupun tinja.
2. Trichuris trichiura
a. Siklus Hidup Gambaran umum siklus hidup cacing Trichuris trichiura dapat dilihat pada
gambar berikut ini :
Gambaran umum siklus hidup cacing Trichuris trichiura dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2.3. Siklus Hidup Trichuris trichiura Dikutip dari :
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis: Biology, Atlanta:
Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/biology.html

Keterangan :
1. Manusia merupakan hospes perantara cacing ini. Telur yang telah dibuahi keluar bersama tinja.
2.Awalnya telur mengandung dua sel selanjutnya membelah menjadi multiseluler, kemudian menjadi
embrio.
3. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada
tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan
bentuk infektif.
4. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang.
5. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus.
6. Sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama
sekum. Cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari sebanyak 3000-20.000 butir. Cacing
ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing
dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari. Jangka hidup (life span) selama 4-6 tahun, bahkan
dapat juga menginfeksi sampai 8 tahun (Srisari G, 2006).
b. Gejala Klinis
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga
ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh
kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat
mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa
usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat
perlekatannnya dapat terjadi perdarahan. Selain itu, cacing ini mengisap darah hospesnya, sehingga
dapat menyebabkan anemia. Penderita terutama anak dengan infeksi Trichuris trichuira yang berat dan
menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri,
anemia, berat badan turun, dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi berat Trichuris
trichuira sering disertai infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak
memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala (Sutanto, 2008).
j. Diagnosa parasit ini dengan ditemukannya telur pada pemeriksaan tinja.
3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (hookworm)
a. Siklus Hidup Gambaran umum siklus hidup cacing hookworm dapat dilihat pada gambar berikut
ini :

Gambar 2.4. Siklus Hidup Hookworm Dikutip dari :


Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis: Biology, Atlanta: Centers for
Disease Control and Prevention. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.html

Keterangan :
1. Telur dikeluarkan oleh hospes bersama tinja
2. Setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah larva rhabditiform.
3. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform.
4. Larva filariform dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Larva filarform dapat menembus kulit
menginfeksi manusia.
Daur hidupnya sebagai berikut :
Telur → larva rhabditiform → larva filariform → menembus kulit → kapiler darah → jantung kanan
→ paru → bronkus → trakea → laring → usus halus.
b. Gejala Klinis
1) Stadium Larva Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi
perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.
2) Stadium Dewasa Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, serta keadaan gizi
penderita (Ferum dan Protein). Tiap cacing Ancylostoma duodenale menyebabkan kehilangan
darah 0,08-0,34 cc sehari, sedangkan Necator americanus 0,005-0,1 cc sehari. Biasanya
terjadi anemia hipokrom mikrositer pada infeksi berat. Disamping itu juga terdapat
eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun.
c. Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Untuk membedakan spesies
Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dapat dilakukan biakan tinja dengan cara
Harada-Mori.

F. Pemeriksaan Tinja pada Infeksi Nematoda Usus


Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi nematoda usus berupa
mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Suali, 2009; Maguire, 2010; WHO, 2012).
Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis
dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau, dan ada-tidaknya mukus. Pada
pemeriksaan ini juga dinilai ada-tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging,
empedu, sel darah putih, dan gula sedangkan pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk memeriksa
parasit dan telur cacing.
Pemeriksaan mikroskop telur-telur cacing dari feses terdiri dari dua macam cara pemeriksaan,
yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kuantitatif dilakukan dengan metode Kato dan
Metode Stoll. Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan metode natif (direct slide) , Metode Apung
(Flotation method), Metode Selotif dan Metode Modifikasi Kato Katz.
Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi atau berat ringannya
penyakit dengan mengetahui jumlah telur per gram tinja (EPG) pada setiap jenis cacing. Hasil
pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif atau negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa
prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing. .
Teknik Kato-Katz merupakan metode yang dipergunakan secara luas dalam survei epidemiologi
terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010;
World Heatlh Organization, 2012). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan
sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan
perhitungan telur cacing.
Teknik Kato-Katz memiliki kelemahan, yaitu tingkat kesensitivitasan rendah dalam
mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Pemakaian sampel feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg)
menyebabkan teknik Kato-Katz memilikisensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang
memiliki frekuensi sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per
gram feses) (Glinz et al., 2010). Namun, sensitivitasnya dapat ditingkatkan dengan melakukan
beberapa pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses sebelumnya, atau
lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Klasifikasi intensitas infeksi merupakan angka serangan
dari masing-masing jenis cacing. Klasifikasi tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu ringan, sedang
dan berat. Intensitas infeksi menurut jenis cacing dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.2. - Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing (WHO, 2012)

No. Klasifikasi Jenis Cacing (telur)


Cacing gelang Cacing cambuk Cacing tambung
1. Ringan 1-4.999 1-999 1-1,999
2. Sedang 5.000-49,999 1.000-9.000 2.000-3.999
3. Berat ≥50.000 ≥10.000 ≥4.000
(sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses)
Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan pemeriksaan tinja secara kualitatif dengan
Teknik Modifikasi Kato Katz dengan menilai positif atau negatif cacing pada feses . Angka kejadian
infeksi cacing dapat berupa seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.
Selain pemeriksaan Kato-Katz, terdapat juga pemeriksaan antibodi, deteksi antigen, dan diagnosis
molekular dengan menggunakan PCR (World Heatlh Organization, 2012). Serodiagnosis dapat
menjadi pemeriksaan pilihan dalam mendiagnosis infeksi nematoda usus. Kekurangan pemeriksaan ini
adalah bersifat invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap terdeteksi setelah
penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan nematoda lainnya
(Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi pemeriksaan serologi ini masih kontroversial, terutama pada
daerah endemis.

G. Dampak Infeksi Kecacingan pada Orang Dewasa


1. Dampak terhadap Status Kesehatan dan Gizi
Cacing yang menginfeksi manusia membutuhkan makanan untuk hidupnya, semakin banyak cacing
yang ada semakin banyak makanan yang dibutuhkan. Dengan demikian, adanya cacing dalam perut
mengakibatkan berkurangnya zat gizi yang diserap oleh usus untuk kebutuhan hidup manusia,
sehingga mengakibatkan seseorang mengalami kekurangan gizi. Dengan menurunnya status gizi
seseorang, akan mengakibatkan menurunnya daya tahan sehingga lebih mudah untuk terserang
penyakit.
2. Dampak terhadap Intelektual dan Produktivitas Menurut penelitian Rukwono (1972),
infeksi cacing menurunkan prestasi kerja dan daya tahan tubuh. Selain itu, infeksi cacing dapat
mengganggu proses kognitif manusia sehingga dapat menurunkan produktifitas penderita dan
menurunkan sumber daya manusia (WHO, 2010; Depkes RI, 2006).

H. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan


Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan
pemutusan rantai penularan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan
mata rantai penularan yang antara lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi di
lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).
Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegahnya dari penyakit kecacingan adalah
1. Memutuskan rantai daur hidup dengan menjaga kebersihan dengan cuci tangan dan menggunting
kuku secara rutin.
2. Hindari makanan yang akan dijajakan terbuka dengan dunia luar dan kurangi intensitas memegang
makanan dengan menggunakan tangan.
3. Mencuci sayuran mentah atau lalapan dengan air bersih yang mengalir terlebih dahulu.
4. Berdefekasi di jamban dan mencuci tangan setelah defekasi dengan menggunakan sabun.
5. Pencegahan infeksi cacing tambang dengan membiasakan masyarakat untuk memakai alas kaki.
I. Pengendalian Infeksi Nematoda Usus
1. Pemberian obat cacing
Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi cacing di masyarakat adalah
benzimidazole, albendazole (dosis tunggal 400 mg, dan untuk anak usia 12–24 bulan dikurangi
menjadi 200 mg) atau mebendazole (dosis tunggal 500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau
pirantel pamoat (10 mg / kg BB dosis tunggal, dosis maksimal 1 gram).
Tujuan utama dari pengobatan infeksi cacing adalah mengeluarkan semua cacing dewasa dari
saluran gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan untuk mengeluarkan infeksi cacing adalah
mebendazole dan albendazole. Benzimidazole bekerja menghambat polimerisasi dari microtubule
parasit yang menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Walaupun albendazole
dan mebendazole merupakan obat broad-spectrum terdapat perbedaan penggunaanya dalam klinik.
Kedua obat sangat efektif terhadap ascariasis dengan pemberian dosis tunggal. Sebaliknya,
albendazole dosis tunggal tidak efektif untuk kasus trichiuriasis. Obat cacing benzimidazole adalah
embriotoksik dan teratogenik pada tikus yang hamil, sehingga jangan digunakan untuk bayi dan
selama kehamilan. Pirantel pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternatif untuk infeksi
Ascaris , walaupun pirantel pamoate tidak efektif untuk mengobati trichiuriasis.
Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman, berspektrum luas, efektif,
tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva, dan telur. Pelaksanaan
kegiatan pengobatan diawali dengan survei data dasar berupa pemeriksaan feses. Apabila pada
pemeriksaan feses sampel didapati hasil dengan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan
massal. Namun, bila dari hasil pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya didapati kurang dari 30%,
dilakukan pemeriksaan menyeluruh (total screening). Apabila hasilpemeriksaan total screening
menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi bila prevalensi
kurang dari 30%, pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada orang dengan hasil positif saja.
2. Pendidikan Kesehatan (Edukasi)
Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan terjadinya reinfeksi dengan cara
memperbaiki perilaku kesehatan. Untuk infeksi nematoda usus, tujuannya adalah mengurangi
kontaminasi dengan tanah dan air melalui promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa
perubahan kebiasaan buang air besar, pengobatan secara teratur ternyata tidak mampu menurunkan
penyebaran infeksi kecacingan. Pendidikan kesehatan dapat menurunkan biaya pengendalian infeksi
cacing dan terjadinya reinfeksi.
3. Sanitasi
Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara menurunkan
kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk menghilangkan infeksi
kecacingan, tetapi supaya intervensi ini efektif harus mencakup populasi yang luas. Namun strategi ini
memerlukan biaya yang tidak sedikit dan sulit dilaksanakan bila biaya yang tersedia sangat terbatas.
Lagipula bila digunakan sebagai intervensi primer untuk mengendalikan infeksi STH diperlukan waktu
bertahun-tahun bahkan puluhan tahun supaya dapat efektif.

You might also like