You are on page 1of 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2.1.1.Definisi Askariasis
Askariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh
Nemalthelmintes Ascaris lumbricoides. Ascaris lumbricoides
merupakan cacing usus yang terbesar, mampu melebar hingga 35 cm
panjang dan 0,5 cm garis tengah. Ascaris lumbricoides hidup didalam
usus dan telurnya terdapat pada feses orang yang terinfeksi. Jika orang
yang terinfeksi defekasi di atas tanah, maka telur akan berada di tanah,
lalu menjdi matang dan berada dalam bentuk infeksius. Asakariasis
disebabkan oleh telur yang tertelan menurut Center for desease Control
and Prevention (CDC, 2016).

2.1.2.Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub kelas : Phasmida
Ordo : Rhabdidata
Sub-ordo : Ascaridata
Famili : Ascarididae
Genus : Ascariasis
Spesies : Ascaris lumbricoides (1782)
Sinonim : Ascaris suum Goeze
Lumbricoides vulgaris Merat
Ascaris texana Smith and Geoth
(sumber: Parasitologi Dasar, Koes Irianto, 2009)

2.1.3.Dampak Infeksi Ascaris lumbricoides terhadap Kesehatan


Askariasis dapat menyebabkan kehilangan zat besi sehingga
menimbulkan anemia dan kekurangan gizi. Kondisi yang kronis ini
selanjutnya dapat berakibat menurunya daya tahan tubuh sehingga
anak rentan terserang penyakit. Askariasis merupakan pertanda bahwa
kebersihan perorangan pada penderita kurang baik, sehingga memberi
peluang untuk terjadinya infeksi saluran pencernaan. Jika keadaan ini
berlangung lama, pada anak-anak usi sekolah akan terjadi penurunan
kemampuan belajar yang berakibat menurunya prestasi belajar. Pada
orang dewasa, Askariasis akan menurunkan produktivitas kerja
(Sasongko,2000 yang dikutip oleh Luhfiani 2008)

2.1.4.Morfologi
Cacing dewasa berbentuk giling (silindris) memanjang,
berwarna krem/ merah muda keputihan dan panjangnya dapat
mencapai 40cm. Ukuran cacing betina 20-35cm, diameter 3-6mm dan
cacing jantan 15-31cm dan diameter 2,4mm. Mulut cacing ini
memiliki tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga (satu tonjolan di bagian
dorsal dan dua lainnya di ventrolateral) dan bagian tengahnya terdapat
rongga mulut (buccal cavity). Cacing jantan mempunyai ujung
posterior tajam agak melengkung ke ventral seperti kait, mempunyai 2
buah copulatory spicule panjangnya 2mm yang muncul dari orifisium
kloaka dan di sekitar anus terdapat sejumlah papillae. Cacing betina
mempunyai ujung posterior tidak melengkung ke arah ventral tetapi
lurus. Cacing betina juga mempunyai vulva yang sangat kecil terletak
di ventral antara pertemuan bagian anterior dan tengah tubuh dan
mempunyai tubulus genitalis berpasangan terdiri dari uterus, saluran
telur (oviduct) dan ovarium. Cacing dewasa memiliki jangka hidup
10-12 bulan (Ideham dan Pusarawati, 2007 dalam Asnaily, 2013).
Telur Ascaris lumbricoides ditemukan dalam dua bentuk, yang
dibuahi (fertilized) dan tidak dibuahi (unfertilized). Telur cacing ini
memerlukan waktu inkubasi sebelum menjadi infektif. Perkembangan
telur menjadi infektif tergantung pada kondisi lingkungan, misalnya
temperatur, sinar matahari, kelembapan, dan tanah liat. Telur akan
mengalami kerusakan karena pengaruh bahan kimia, sinar matahari
langsung, dan pemanasan 70o C. Telur yang dibuahi berbentuk bulat
lonjong, ukuran panjang 45-75 mikron dan lebarnya 35-50 mikron.
Telur yang dibuahi ini berdinding tebal terdiri dari tiga lapis, yaitu
lapisan dalam dari bahan lipoid (tidak ada pada telur unfertile), lapisan
tengah dari bahan glikogen, lapisan paling luar dari bahan albumin
(tidak rata, bergerigi, berwarna coklat keemasan berasal dari warna
pigmen empedu). Kadang-kadang telur yang dibuahi, lapisan
albuminnya terkelupas dikenal sebagai decorticated eggs. Telur yang
dibuahi ini mempunyai bagian dalam tidak bersegmen berisi
kumpulan granula lesitin yang kasar. Telur yang tidak dibuahi
mempunyai panjang 88– 94 mikron dan lebarnya 44 mikron. Telur
unfertile dikeluarkan oleh cacing betina yang belum mengalami
fertilisasi atau pada periode awal pelepasan telur oleh cacing betina
fertil (Ideham dan Pusarawati, 2007dalam Pratiwi dkk, 2011).

2.1.5.Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup didalam lumen usus kecil. Cacing
Ascaris lumbricides yang sangat aktif berkembang biak, dapat
menghasilkan hingga 240.000 telur per hari yang akan dijumpai dalam
feses orang yang terinfeksi. Telur Ascaris lumbricoides yang sangat
tahan terhadap lingkungan, menjadi infektif setelah beberapa minggu
didalam tanah dan masih dalam keadaan infektif untuk beberapa
tahun. Setelah telur dalam bentuk infektif termakan oleh penderita,
larva akan menetas didalam usus dn menginvasi mukosa usus lalu,
larva akan masuk ke sirkulasi dan bermigrasi ke pru-paru, kemudian
akan masuk ke alveoli dan naik ke bronkus dan menjadi matur. Akibat
tertelan, larva matur tadi akan kembali semula ke usus kecil dan
membesar menjadi cacing dewasa. Terdapat 2 hingga 3 bulan selepas
orang itu tertelan telur dalam bentuk infektif sehingga terhasilnya
telur-telur Ascaris lumbricoides yang baru. Cacing dewasa mampu
bertahan hidup sekitar 1 hingga 2 tahun (Sutanto dkk, 2009)

Gambar 2.1. daur hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2016)

1)cacing dewasa jantan dan betina, 2) telur infertil dan fertil, 3) proses
perubahan dari telur fertile menjadi larva, 4) telur fertile yang
mengandug larva tertelan kmbali masuk melalui mulut, 5) larva masuk
kedalam usus, ( lerva mengikuti aliran pembuluh darah masuk kedlam
paru-paru 7) larva menuju faring.

Gambar 2.2. telur fertile dan infertile (CDC, 2016)


A. Telur fertile
1. Berbentuk lonjong
2. Berdinding tebal yang terdiri dari 3 lapisan
3. Tidak bersegment dan berisi kumpulangranula lesitin yang kasar
4. Ukuran panjang 45-47 mikron dan lebarnya 35-5 mikron
B. Telur infertil
1. Tidak memiliki lapisan dalam dari bahan lipoid
2. Ukuran panjang 88-94 mikron dan lebarnya 44 micron

2.1.6. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang timbul dari Askariasis tergantung dari
beratnya infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan, dan
kerentanan penderita terhadap infeksi cacing ini (Natadisastra, 2012).
Penderita Ascariasis tidak akan merasakan gejala dari infeksi ini
(asimptomatik) apabila jumlah cacing sekitar 10-20 ekor didalam
tubuh manusia sehingga baru dapat diketahui jika ada pemeriksaan
tinja rutin ataupun keluarnya cacing dewasa bersama dengan tinja.
Gejala klinis yang timbul bervariasi, bisa dimulai dari gejala yang
ringan seperti batuk sampai dengan yang berat seperti sesak nafas dan
perdarahan. Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis berdasarkan
migrasi larva dan perkembangbiakan cacing dewasa, yaitu:
1. Gejala akibat migrasi larva Ascaris lumbricoides Selama fase
migrasi, larva Ascaris lumbricoides di paru penderita akan
membuat perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul
gangguan batuk dan demam. Pada foto thorak penderita Askariasis
akan tampak infiltrat yaitu tanda terjadi pneumonia dan
eosinophilia di daerah perifer yang disebut sebagai sindrom
Loeffler. Gambaran tersebut akan menghilang dalam waktu 3
minggu.
2. Gejala akibat cacing dewasa Selama fase didalam saluran
pencernaan, gejala utamanya berasal dari dalam usus atau migrasi
ke dalam lumen usus yang lain atau perforasi ke dalam peritoneum
(Rampengan, 2013). Cacing dewasa yang tinggal dilipatan mukosa
usus halus dapat menyebabkan iritasi dengan gejala mual, muntah,
dan sakit perut. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides juga dapat
menyebabkan obstruksi diberbagai tempat termasuk didaerah
apendiks (terjadi apendisitis), di ampula vateri (terjadi pancreatitis
haemoragis), dan di duktus choleduchus terjadi cholesistitis. Anak
yang menderita Askariasis akan mengalami gangguan gizi akibat
malabsorpsi yang disebabkan oleh cacing dewasa. Ascaris
lumbricoides perhari dapat menyerap 2,8 gram karbohidrat dan 0,7
gram protein, sehingga pada anak-anak dapat memperlihatkan
gejala berupa perut buncit, pucat, lesu, dan rambut yang jarang
(Natadisastra, 2012; Manganelli dkk, 2012). Penderita Askariasis
juga dapat mengalami alergi yang berhubungan dengan pelepasan
antigen oleh Ascaris lumbricoides dalam darah dan kemudian
merangsang sistem imunologis tubuh sebagai defence mechanism
dengan gejala berupa asma bronkial, urtikaria, hipereosinofilia, dan
sindrom Loeffler (Alcantara dkk, 2010).

2.1.7. Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis Askariasis biasanya melalui
pemeriksaan laboratorium karena gejala klinis dari penyakit ini tidak
spesifik. Secara garis besar Ascariasis dapat ditegakkan berdasarkan
kriteria sebagai berikut:
1. Ditemukannya telur Ascaris lumbricoides fertilized,
unfertilized, maupun dekortikasi di dalam tinja seseorang.
2. Ditemukannya larva Ascaris lumbricoides di dalam sputum
seseorang.
3. Ditemukannya cacing dewasa keluar melalui anus ataupun
bersama dengan muntahan (Rampengan, 2013).
Jika terjadi Askariasis oleh cacing jantan, di tinja tidak
ditemukan telur sehingga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto
thorak (Natadisastra, 2012).
2.1.8. Tatalaksana
Beberapa obat yang efektif terhadap askariasis adalah sebagai
berikut :
Pirantel pamoat: dosis 10 mg/kg BB (maksimum 1 g) dapat diberikan
dosis tunggal. Efek samping : gangguan gastrointestinal, sakit kepala,
pusing, kemerahan pada kulit dan demam.
Mebendazol : dosis 100 mg dua kali per hari selama lebih dari 3 hari.
Efek samping : diare rasa sakit pada abdomen, kadang-kadang
leukopenia. Mebendazol tidak di anjurkan pada wanita hamil karena
dapat membahayakan janin.
Piperasin sitrat : dosis 75 mg/kg BB (maksimum 3,5 g/hari),
pemeberian selama dua hari. Efek samping : kadang – kadang
menyebabkan urtikaria, gangguan gastrointestinal dan pusing.
Albendazol : dosis tunggal 400 mg, dengan angka kesembuhan 100%
pada infeksi cacing Ascaris
(Ideham dan Pusarawati, 2007).

2.1.9. Pencegahan
Pencegahan Askariasis ditujukan untuk memutuskan salah satu
mata rantai siklus hidup Ascariasis lumbricoides, antara lain dengan
melakukan pengobata penderita Askariasis, dimaksudkan untuk
menghilangkan sumber infeksi, pendidikan kesehatan terutama
mengenai kebersihan makanan dan pembuangan tinja manusiaa,
dianjurkan agar buang air besar di jamban yang sesuai dengan
ketentuan serta mencuci tangan sebelum makan, memask makanan,
sayuran dan air yang baik. Air minum jarang menjadi sumber infeksi
Ascaris lumbricoides (Sutanto dkk, 2009).

2.1.10. Komplikasi
Jika Askariasis tidak ditangani secara komprehensif maka akan
menimbulkan komplikasi bagi penderita Askariasis, misalnya seperti :
1. Sekresi hati (saluran empedu)
2. Ileus Obstruktif
3. Apendisitis jika cacing masuk kedalam lumen appendic

2.1.11. Prognosis
Pada umumnya Askariasis mempunyai prognosis baik. Tanpa
pengobatan, penyakit dapat sembuh sendiri dalam wakti 1,5 tahun.
Dengan pengobatan, angka kesembuhan 70-90% (Sutanto dkk, 2009).

2.1.12. Epidemiologi
Secara epidemiologi, prevalensi Askariasis ditemukan tinggi di
beberapa pulau di Indonesia yaitu di pulau Sumatera (78%),
Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat (92%), dan
Jawa Barat (90%)
Askariasis pada anak-anak kejadianya masih sangat tinggi,
frkuensinya antara 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga
menimbulkan pencmaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah
dan dibeberapa negara tertentu kebiasaan memakai tinja sebagai
pupuk yang juga menyebabkan terinfeksi Askariasis (Sitorus, 2008)

2.1.13. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Askariasis


1. Jenis Kelamin
2. Usia
3. Status Ekonomi
Pekerjaan orang tua mempengaruhi penghasilan dan
perekonomian keluarga. Anak dengan kondisi ekonomi yang
rendah berisiko mengalami 76 kali lebih besar daripada anak
dengan perekonomian yang baik (Ginting, 2009)
Keluarga miskin mengalami keterbatasan dalam hal
pemenuhan gizi mereka setiap harinya sehingga cenderung mudah
terserang Ascariasis. (Rampengan, 2013)
4. Pengetahuan Orang Tua
Pengetahuan orang tua tentang kesehatan khususnya
mengenai Askariasis berpengaruh terhadap kebersihan anak.
Menurut Becker (1979) dikutip Luthfiani (2008) seorang anak
akan membiasakan memcuci tanganya memakai sabun juika orang
tuanya selalu memberi anjuran untuk melakukan prilaku tersebut.
Tingkat pengetahuan orang tua khususnya ibu, yang kurang
mengenai kesehatan akan berdampak pada kurangnya edukasi
kesehatan yang didapat anak di rumah. Edukasi kesehatan yang
kurang dapat menyebabkan anak memiliki perilaku atau kebiasaan
yang tidak mengikuti standar kesehatan, sehingga anak mudah
untuk terserang penyakit (Bieri dkk, 2013)
5. Sanitasi lingkungan
Sanitasi lingkungan sangat berperan dalam penyebaran
Askariasis, keadaan ini tergantung dari lingkungan tanah yang
tercemar tinja yang mengandung telur dn larva Ascaris
lumbricoides banyak terjadi di daerah pedesaan, daerah pinggiran
kot dan perkotaan yang padat penduduknya (Palgunadi, 2011).
Sanitasi rumah merupakan faktor risiko kejadian Askriasis yang
tinggal dalam rumah dengan sanitasi buruk berisiko 3,5 kali lebih
besar terinfeksi caicing dibandingkan dengan anak yang tinggal
dalam rumah dengan sanitasi yang baik (Sumanto, 2010)
6. Personal higiene
Personal higine sangat mempengaruhi infeksi cacing
terhadap anak usia sekolah. Faktor risiko yang paling dominan
terhadp kejdian infeksi Ascariasis lumbricoides pada siswa
Sekolah Dasar adalah kebiasaan mencuci tangan. Kebiasaan
adalah bagian dari prilaku yang dipandang ari biologis merupakan
suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan.
Kebiasaan mencuci tangan adalah salah satu prilaku dalam
pencegahan penyakit (health prevention behaviour). Prilaku ini
adalah respon untuk melakukan pencegahan penyakit termasuk
juga prilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang
lain(Notoatmojo, 2010). meliputi kebiasaan buang air besar tidak
menggunakan jamban, kebiasaan tidak menggunakan alas kaki
waktu bermain diluar rumah bahkan di sekolah, kebiasaan tidak
rutin memotong kuku tangan dan kaki, kebiasaan tidak mencuci
tangan dengan sabun sebelum makan dan keluar kamar mandi,
kebiasaan tidak mencuci buah-buahan, dan sayur-sayuran sebelum
dimakan, serta kebiasaan bermain tanah yang tercemar oleh tinja
(Bieri dkk, 2013)

2.2. Kerangka Teori

You might also like