You are on page 1of 5

Asas-Asas Hukum Pajak

Par.61 PENGERTIAN PAJAK


Pajak ialah iuran kepada negara yang terhutang oleh yang wajib membayarnya
(wajib pajak) berdasarkan undang-undang dengan tidak dapat prestasi kembali yang
langsung. Guna pajak itu ialah untuk membiayai plengeluaran-plengeluaran umum
sehubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
kesejahteraan rakyat.
Suatu prestasi atau jasa kepada perorangan tidak diberikan oleh pemerintah
berhubung dengan pembayaran iuran negara itu, namun prestasi yang diberikan
pemerintah adalah untuk kepentingan umum yang dapat kita rasakan kemanfaatannya dari
uasaha pemerintah membuat pelabuhan, jalan raya, kereta api, bis kota, bendungan,
irigasi, sekolah dan Perguruan Tinggi, rumah sakit, penanggulangan bencana alam,
pembiayaan pertahanan Negara dan sebagainya.
Kita sebagai anggota organisasi masyarakat yang disebut Negara, wajib pula
membayar iuran negara (pajak). Berlainan dengan pajak, maka pada retribusi pembayaran
tersebut memang ditujukan semata-mata oleh si pembayar untuk memperoleh suatu
prestasi tertentu dari Pemerintah, misalnya pembayaran karena pemberian suatu izin oleh
Pemerintah. Di samping retribusi dikenal pula sumbangan yang mengandung pikiran pokok,
bahwa biaya yang dikeluarkan untuk prestasi Pemerintahan tertentu tidak boleh
dikeluarkan dari Kas Umum karena prestasi Pemerintah ini tidak secara khusus ditujukan
kepada rakyat melainkan Pemeliharaan dan Pembangunan Prasarana Daerah (SWPL 3D)
bagi para pemilik kendaraan bermotor yang antara lain digunakan untuk pemeliharaan dan
bantuan-bantuan jalan raya.

Adapun pajak itu dapat dibagi dalam golongan-golongan yang berikut :


1. Pajak langsung
Pajak langsung ialah pajak-pajak yang harus dipikul sendiri oleh si wajib
pajak dan tidak dilimpahkan kepada orang lain. Pada pokoknya jenis pajak
ini tidak menaikkan harga.
Pajak langsung dikenakan seorang berulang-ulang pada waktu tertentu
misalnya tiap tahun atau bulan, yang ditagih dengan suatu ketetapan pajak.
Contoh pajak langsung : Pajak Penghasilan, Pajak Gaji dan Upah, Pajak
Kekayaan, Pajak Perseroan, Pajak Dividen (keuntungan pemegang saham
dari sebuah perseroan terbatas), dan Pajak Rumah Tangga.
2. Pajak tidak langsung
Pajak tidak langsung ialah pajak-pajak yang pada akhirnya dapat menaikkan
harga, karena akhirnya ditanggung oleh pembelki, dan pajak tersebut baru
terhutang jika terjadi hal-hal yang menyebabkan terhutang pajak.
Contoh pajak tidak langsung : Pajak Penjualan, Pajak Pembangunan, Bea
Materai, Bea Warisan dan Bea Balik Nama.
Pajak juga digolongkan dalam :
a. Pajak Lokal atau Pajak Daerah
Pajak daerah ialah pajak yang dipungut oleh daerah-daerah swatantra seperti
Provinsi, Kabupaten dan Kota praja untuk pembiayaan rumah tangga
daerahnya masing-masing.
Misalnya : Pajak Kendaraan Bermotor (SWP 3D), Pajak Rumah Tangga,
Pajak Tontonan, Pajak Reklame, Pajak Jalan, Pajak Radio dan Televisi, Bea
Balik Nama, Pajak Anjing, Pajak Pembangunan dan sebagainya.
b. Pajak Negara/Pusat
Pajak Negara ialah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat
penyelenggaraannya dilakukan oleh Inpeksi Pajak untuk pembiayaan rumah
tangga negara umumnya.
Misalnya : Pajak Kekayaan, Pajak Penghasilan, Pajak Gaji dan Upah, Pajak
Perseroan, Pajak Dividen, Pajak Penjualan, Pajak Impor, Bea Materai, Bea
Balik Nama Harta Tetap dan sebagainya.
Di samping itu ada pula Pajak Pusat yang pelaksanannya dan hasilnya
langsung untuk daerah seperti misalnya Iuran Rehabilitas Daerah (IREDA)
dan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).

Par.62. PENGERTIAN HUKUM PAJAK


1. Arti Hukum Pajak
Pajak itu diadakan berdasarkan undang-undang/peraturan, artinya berdasarkan
hukum, jadi pajak itu tidak boleh dipungut/dikenakan secara sewenang-wenang.
Dalam UUD 1945 pasal 23 ditegaskan, bahwa segala pemungutan pajak untuk
keperluan Negara harus ditetapkan dengan undang-undang, yang berarti DPR
diikutsertakan, bahkan pada hakekatnya DPR lah yang memutuskan.
Adapun yang dimaksud dengan Hukum Pajak, ialah himpunan peraturan-
peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah dan wajib-wajib pajak dan
antara lain mengatur siapa-siapa dalam hal apa dikenakan pajak (obyek pajak),
timbulnya kewajiban pajak, cara pemungutannya, cara penagihannya dan
sebagainya.
Hukum pajak merupakan bagian dari Hukum Publik, khususnya termasuk
lingkungan Hukum Administrasi Negara. Hukum pajak tidak terlepas dari
bagian-bagian Hukum lainnya, namun mempunyai hubungan erat dengan Hukum
Administrasi Negara, Hukum Perdata dan Hukum Pidana.

2. Syarat-syarat dalam penyusunan peraturan perpajakan


Dalam penyusunan perpajakan harus dipenuhi beberapa sayarat yaitu :
Keadilan,. Syarat ekonomi dan syarat keuangan serta syarat praktis
pelaksanaannya.
3. Timbulnya Kewajban Pajak
Secara umum dipenuhi 2 syarat yaitu :
a. Kewajiban pajak subjektif : ialah kewajiban pajak yang melihat kepada
orangnya. Pada umumnya semua orang baik manusia maupun badan-
badan seperti PT, CV, Fa, dan Yayasan yang berdomisili di Indonesia
memenuhi kewajiban pajak subjektif.
b. Kewajiban pajak objektif : ialah kewajiban pajak yang melihat pada hal-
hal yang dapat dsikenakan pajak objektif. Seorang manusia atau badan
hukum memenuhi kewajiban pajak objektif ini jika mendapat penghasilan,
mempunyai kekayaan atau memperoleh laba yang melebihi batas
minimum kena pajak yang disebut dalam undang-undang pajak yang
bersangkutan.
4. Kewajiban memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT)
Adapun tiap orang yang menerima SPT pajak dari inpeksi pajak diwajibkan:
a. Mengisi SPT pajak itu menurut keadaan sebenarnya.
b. Menanda tangani sendiri SPT itu
c. Mengembalikan SPT pajak tersebut kepada inpeksi yang bersangkutan
dalam jangka waktu yang ditentukan oleh inpeksi pajak
5. Kewajiban memberikan keterangan
Wajib pajak berkewajibann untuk waktu yang ditunjuk, memberikan segala
keterangan baik secara tertulis maupun secara lisan setiap waktu hal itu dapat
diminta oleh inpeksi pajak.
6. Kewajiban memperlihatkan buku-buku dan bukti-bukti pembukuan
Kewajiban membuat pembukuan diatur dalam KUHD pasal 6.
7. Hak-hak yang dipunyai wajib pajak
a. Mengajukan permintaan untuk membetulkan, mengurangkan
membebaskan ketetapan pajak dalam hal : terdapat kesalahan tulis,
kesalahan hitung tarif ataupun terdapat kesalahan menentukan dasar
pnentapan pajak.
b. Mengajukan keberatan kepada Kepala Inpeksi Pajak/Direktur Jenderal
Pajak apabila wajib pajak keberatan terhadap ketetapan pajak, yang harus
diajukan dalam waktu tiga bulan setelah tanggal surat ketetapan pajak.
c. Mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak apabila wajib
pajak keberatan atas :
1) Keputusan yang diambil oleh Kepala Inpeksi Pajak terhadap surat
keberatannya.
2) Surat tagihan susulan/kemudian dikeluarkan oleh Kepala Inpeksi
Pajak.
d. Meminta pengembalian pajak (restitusi), meminta pemindahbukuan
setoran pajak ke setoran pajak lainnya atau setoran tahun berikutnya.
e. Wajib pajak dapat pula mengajukan gugatan perdata ataupun pidana
kepada Pengadilan Negeri atas dasar “perbuatan melanggar hukum =
onrechtmatige daad” ataupun pembocoran rahasia dari wajib pajak yang
menyebabkan timbulnya kerugian.
Majelis Pertimbangan Pajak yang berkedudukan di Jakarta ialah suatu
Lembaga yang bertugas dan berkewajiban untuk memutus pada tingkat
tertinggi/terakhir atas semua perselisihan-perselisihan pajak.
Hukum pajak diatur dalam ;
 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
 Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang-barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
Nama : Peby Pramesti
NPM : 41151010170171
Kelas : A4/IV
Judul Buku : Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun dan Tempat : Jakarta 2015
Halaman : 324-326
Pengarang : Drs. C.S.T. Kansil, S.H.

You might also like