You are on page 1of 31

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA LAPORAN KASUS

RSUD PROF. W.Z. JOHANNES KUPANG JANUARI 2017


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

PTERIGIUM OD GRADE 4

OLEH

Elisabeth Yuliane Surat Tapowolo, S.Ked

1108011004

PEMBIMBING
dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
KUPANG
2017
BAB 1

PENDAHULUAN

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh
dari arah temporal maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intra
palpebra. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Asal kata pterigium
dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu
pada pertumbuhan pterigium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.
Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh
jaringan hialin dan elastik.1,2,3
Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar
ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering
terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang
berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Kasus pterigium yang
tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografisnya,
tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah
berdebu dan kering. Insiden pterigium di Indonesia yang terletak di daerah
ekuator, yaitu 13,1%. Insiden tertinggi pterigium terjadi pada pasien dengan
rentang umur 20 – 49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi
pterigium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan
dengan pasien usia tua. Dari hasil penelitian G Gazzard dari Singapore National
Eye Center, yang melakukan penelitian di daerah Riau, didapatkan bahwa
prevalensi pterigium pada usia di atas 21 tahun adalah 10% sedangkan di atas 40
tahun adalah 16,8%.1,2,3
Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya
frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di Indonesia
adalah 35–52%. Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo didapatkan
bahwa recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun adalah 65% dan
pada pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5%.2,3
Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus
diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah
perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti
mengurangi resiko kekambuhan. Selain itu, pterigium menimbulkan masalah
kosmetik dan berpotensi mengganggu penglihatan bahkan berpotensi menjadi
penyebab kebutaan pada stadium lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium
diperlukan agar gangguan penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat
dilakukan pencegahan terhadap komplikasi.1,2,3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi & Fisiologi


2.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata
bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal yang menutupi
tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi
menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva
forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi.1,4,5
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan
jaringan dibawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi
superior paling sering mengalami infeksi dan menyebar kebawahnya. Pada
pterigium, konjungtiva yang mengalami fibrovaskular adalah konjungtiva
bulbi.1,4,5

Gambar 1. Penampang sagital konjungtiva


Gambar 2. Anatomi Konjungtiva

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan
pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus
trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.4,5

2.1.2 Fisiologi Konjungtiva


Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel, aktivitas
lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada
mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.1,4
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa.4,5
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen.1,4,5
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu
lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan
dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2
atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus
bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan
fibrosatersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal
ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa
tersusun longgar pada bola mata.1,4,5
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:
1. Penghasil musin
a) Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah
inferonasal.
b) Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis
superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
c) Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring.
Kedua kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air mata
asesori(kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya mirip
kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause
berada di forniks atas, dan sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring
terletak ditepi atas tarsus atas. Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari
mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari
cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang
mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang
baik untuk pertumbuhan bakteri.4,5

2.1.3 Anatomi kornea


Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, avaskular dan merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian
depan. Faktor-faktor yang menyebabkan kejernihan kornea adalah letak epitel
kornea yang tertata sangat rapi, letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan
padat, kadar air yang konstan, dan tidak adanya pembuluh darah. Kornea
merupakan suatu lensa cembung dengan kekuatan refraksi +43 dioptri. Kornea
melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea
dan sklera ini disebut limbus.2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
A. Epitel
- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
- epitel berasal dari ektoderm permukaan.2
B. Membran Bowman
- Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma.
- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.2
C. Stroma
- Merupakan lapisan paling tebal,Terdiri atas lamel yang merupakan
susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.2
D. Membrane descement
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40µm.2
E. Endotel
- Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom
dan zonula okluden.2

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan
selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di
daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan.2 Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
mengakibatkan system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel
dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.2
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.2
Gambar 3. Lapisan kornea

2.2 Pterigium
2.2.1 Definisi Pterigium
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk
segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasive. Menurut Hamurwono,
pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan
berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak
segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang
artinya wing atau sayap.1,6

Gambar 4. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk


segitiga dengan puncak di kornea.
Gambar 5. Mata dengan pterigium

2.2.2 Epidemiologi Pterigium


Kasus pterigium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,
tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas
dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator.
Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan
daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.
Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus
pterigium cukup sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan
sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen,
iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan).
Insiden tertinggi pterigium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 –
49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Rekuren lebih
sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua.
Laki-laki lebih beresiko 2 kali daripada perempuan.
2.2.3 Faktor Risiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor
herediter. 3,7
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea
dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.3,7
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,7
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu,
kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry
eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,7

2.2.4 Etiologi dan Patofisiologi Pterigium


Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet dari matahari, daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Diduga
pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan
kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan
hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini.6,7
Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterigium ditandai dengan
degenerasi elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang
menutupi epitel. Hal ini disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu
berhubungan dengan dunia luar dan secara intensif kontak dengan ultraviolet dan
debu sehingga sering mengalami kekeringan yang mengakibatkan terjadinya
penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi sampai menjalar ke kornea. Selain
itu, pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
film menimbulkan fibroplastik baru. Tingginya insiden pterigium pada daerah
beriklim kering mendukung teori ini.7,8
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi
dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi
jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular,
sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan
bahwa perigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan
fenotif, pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum
dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal.
Lapisan fibroblas pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblas pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, di
mana matrix tersebut adalah matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan
yang rusak, penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas pterigium bereaksi
terhadap TGF-β (transforming growth factor-β) berbeda dengan jaringan
konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF-
α (tumor necrosis factor-α) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium
cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan
inflamasi.8,9
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium,
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat
dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi ditemukan
peningkatan area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus
selama fase awal pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat
pada pterigium dibanding dengan konjungtiva normal. Sitokin lokal dan sistemik,
SP (substance P), VEGF (Vascular endothelial growth Factor) dan SCF (Stem
Cell Factor) pada pterigium meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+
MNC. Hal ini menunjukkan pada pterigium terlibat pertumbuhan EPCs
(Endothelial Progenitor Cells) dan hipoksia okular yang merupakan faktor
pencetus neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum
tulang melalui produksi sitokin lokal dan sistemik.7,8
Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron
menunjukkan proliferasi fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium,
dengan epitel meluas ke stroma. Pemisahan sel-sel epitel pterigium menunjukkan
epitel dikelilingi sel-sel fibroblas yang aktif, karakteristik dari E-cadherin,
penumpukan β-catenin di intranuklear dan limphoid factor-1 meningkat pada
epitel pterigium. Sel epitel meluas ke stroma pada α-SMA/ vimentin dan
cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel mesencymal transition terlibat dalam
patogenesis pterigium. β-catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial
fibroblast) dibandingkan pada konjungtiva normal. β-catenin berperan penting
dalam patogenesis pterigium.10,11
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristikkeabu-abuan di pewarnaan H &E .
Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing
bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh
jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi
mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

Gambar 6. Histopatologi pada pterigium

2.2.5 Penegakkan Diagnosis Pterigium\


1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia
20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu
ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa
mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma
yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat
menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik.
Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.1,3
Pterigium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris,
karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan
sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal
karena daerah nasal konjungtiva secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. Selain secara
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung.
Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterigium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan
pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu
penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva
yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian
nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai
pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker’s line).
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien antara lain:
- mata sering berair dan tampak merah
- merasa seperti ada benda asing
- timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium
- padapterigium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan.
- dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah
fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di
daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus
sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan
penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea
astigmatisme pada tahap regresif.1,3,5,7
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata
(sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan
kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari
iritasi dan peradangan.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
 Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterigiumdengan dasarnya ke arah
kantus
 Apex (head), bagian atas pterigium
 Cap, bagian belakang pterigium
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterigium.
Pterigium terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :
- Progressif pterigium : memiliki gambaran tebal dan vascular dengan
beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterigium
- Regressif pterigium : dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi,
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang
mengarah ke kornea dan badan.
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
menurut Youngson ):
 Derajat I: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
 Derajat II: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari
2 mm melewati kornea
 Derajat III: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm)
 Derajat IV: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

Gambar 7. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati


kornea lebih dari 2mm, namun belum melewati pupil.

Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp :


1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas

2.2.6 Diagnosa Banding


Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan
pseudopterigium.
1. Pinguekula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang
terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan
insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim
sedang dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan.
Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguekula.

Gambar 8. Mata dengan pinguekula


2. Pseudopterigium
Pertumbuhannya mirip dengan pterigium karena membentuk sudut miring
atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang
timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan
pterigium, pseudopterigium merupakan akibat inflamasi permukaan okular
sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma
bedah atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada
limbus kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati
bagian bawah pseudopterigium pada limbus, sedangkan pada pterigium tak dapat
dilakukan. Pada pseudopterigium tidak didapat bagian head, cap dan body dan
pseudopterigium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang berbeda
dengan true pterigium.

Gambar 9. Mata dengan pseudopterigium

Tabel 1. Perbedaaan Pterigium, Pinguekula dan Pseudopterigium


Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan fibrovaskular Benjolan pada Perlengketan konjungtiba
konjungtiva bulbi konjungtiva bulbi bulbi dengan kornea yang
berbentuk segitiga cacat
Warna Putih kekuningan Putih-kuning Putih kekuningan
keabu-abuan
Letak Celah kelopak bagian Celah kelopak Pada daerah konjungtiva
nasal atau temporal mata terutama yang terdekat dengan
yang meluas ke arah bagian nasal proses kornea sebelumnya
kornea
♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di bawah
diselipkan diselipkan lesi karena tidak melekat
pada limbus
Puncak Ada pulau-pulau Tidak ada Tidak ada (tidak ada head,
Funchs (bercak cap, body)
kelabu)
Histopatologi Epitel ireguler dan Degenerasi hialin Perlengketan
degenerasi hialin jaringan
dalam stromanya submukosa
konjungtiva

2.2.7 Penatalaksanaan Pterigium


Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-
obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
pada pterigium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan
pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan.
Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang
masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes
mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari,
debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang
beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen
(lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi
vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat
perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan
bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu
gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan
untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk
mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan
bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai, namun tidak perlu
memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-
kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah
jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol
perdarahan.6,8
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple
surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan
tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft. Dimana pterigium
yang dibuang digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar
UV (misalnya konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata
atas). Konjungtiva normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki
kecenderungan unuk menyebabkan pterigium rekuren.12
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas
pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama
pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.
Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang
rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.10
Indikasi Operasi pterigium
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal
dan halus dari permukaan kornea.1
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89
persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sclera yang telah di eksisi pterigium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan
untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari
Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan
teknik ini.1
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan
sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk
pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah
keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian
bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera ,
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.
Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin
untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam
pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah
jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi
tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta.
Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk
MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah
eksisi pterigium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi.
Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya
intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterigium, meskipun tidak ada
data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari
radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan
ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap
penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian
tappering off sampai 6minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.6

Gambar 7. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterigium,


(b).Pterigium removed,(c).Leaving bare area,(d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place

2.2.8 Komplikasi Pterigium


Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada
rektus medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
 Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage
atau retinal detachment.
 Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada
sklera dan kornea
 Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira
50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion
graft.
 Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di
atas pterigium.11

2.2.9 Prognosis Pterigium


Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata
atau beta radiasi.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien
dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren
pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
pertama setelah operasi.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga
atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata
sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.

2.2.10 Pencegahan Pterigium


Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti
nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan
memakai kacamata pelindung sinar matahari.
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. MS
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Protesan
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : IRT
Alamat : TDM III
Tanggal Kunjungan Poli : 21 Desember 2016

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Timbul seperti selaput dalam mata kanan sehingga penglihatan kabur.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Timbul sesuatu seperti selaput dalam mata kanan diakui sudah sejak ± 1 tahun
yang lalu. Pasien mengakui penglihatan kabur baru dialami sekitar ± 7 bulan
terakhir. Pasien juga mengeluhkan nyeri yang hilang timbul, terutama saat
menggerakan mata untuk melihat, mata berair (+), gatal (+), keluhan mata kiri (-).
Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat memakai kacamata (-)
 Riwayat hipertensi (+)
 Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga:
 Riwayat kedua orang tua memakai kacamata (-)
 Riwayat pterigium pada keluarga disangkal
Riwayat Kebiasaan : merokok (-), alkohol (-)
Riwayat Pengobatan : belum pernah
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 150/100 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler, kuat angkat
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 36,2oC
Status Oftalmologikus
OD OS

Visus 5/20 5/5


PH 5/6, koreksi tetap
Kedudukan Bola Mata Ditengah

Gerakan Bola Mata

Segmen Anterior
Silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Konjungtiva tarsus Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
superior
Konjungtiva tarsus Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
inferior
Konjungtiva bulbi Terdapat jaringan fibrovaskular Jaringan fibrovaskular (-)
hingga ke pupil
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Dalam Dalam
Iris Kripta iris normal Kripta iris normal
Pupil Bulat, RC (+) Bulat, RC (+)
Lensa Jernih Jernih

Pemeriksaan Tonometri : Tidak dilakukan


Pemeriksaan Funduskopi : Tidak dilakukan

3.4 Diagnosis Kerja : Pterigium OD grade IV


3.5 Penatalaksanaan
- rencana operasi
- Cendo Lyters 6gtt1
- KIE hindari sinar ultraviolet
3.6 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB 4
PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Prof. W.Z. Johannes Kupang


dengan keluhan timbul sesuatu seperti selaput dalam mata kanan diakui sudah
sejak ± 1 tahun yang lalu. Pasien mengakui penglihatan kabur baru dialami sekitar
± 7 bulan terakhir. Pasien juga mengeluhkan nyeri yang hilang timbul, mata
berair (+), gatal (+), keluhan mata kiri (-).
Dari anamnesis didapatkan adanya gejala penglihatan kabur, timbul daging
seperti benda asing, mata berair serta nyeri yang hilang timbul. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan adanya gambaran jaringan fibrovaskular hingga ke pupil, serta
pada pemeriksaan visus didapatkan VOD 5/20, sedangkan VOS 5/5. Setelah
dikoreksi dengan pemeriksaan refraksi, VOD tidak mengalami kemajuan.
Pada teori pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Penduduk Indonesia memiliki
risiko tinggi terkena pterigium. Hal ini diduga berkaitan dengan paparan sinar
matahari berlebihan yang diterima oleh mata. Gejala klinis pterigium adalah mata
sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, timbul
astigmatisma akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium, pada pterigium
derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan dan dapat terjadi
diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata. Berdasarkan teori
serta gejala yang didapatkan pada pasien dan pemeriksaan fisik maka pasien ini
mengalami pterigium derajata 4.
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-
obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
pada pterigium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan
pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan yang
berat. Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien
yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu
tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar
matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda
radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen
(lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi
vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat
perbaikan pengobatan dihentikan.1 Pada pasien ini direncanakan untuk dilakukan
operasi karena pterigium sudah derajat 4 dan mengganggu fungsi penglihatan
pasien dan sambil menunggu pemeriksaan lengkap untuk persiapan operasi serta
menunggu jadwal operasi, pasien diberikan obat tetes mata (air mata buatan),
serta diedukasi untuk menghindari paparan sinar ultraviolet.Pasien diedukasi agar
menghindari paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata pelindung,
agar tidak memperburuk keadaan pterigium sambil menunggu operasi.
BAB 5
PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus pasien atas nama Ny.MS, usia 64 tahun
yang datang dengan keluhan timbul sesuatu seperti selaput dalam mata kanan
diakui sudah sejak ± 1 tahun yang lalu. Pasien mengakui penglihatan kabur baru
dialami sekitar ± 7 bulan terakhir. Pasien juga mengeluhkan nyeri yang hilang
timbul, mata berair (+), gatal (+), keluhan mata kiri (-). Pemeriksaan fisik
didapatkan adanya gambaran jaringan fibrovaskular hingga pupil. Dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis Pterigium OD grade IV. Pasien
direncanakan dilakukan operasi dan sambil menunggu pemeriksaan lengkap untuk
persiapan operasi serta menunggu jadwal operasi, pasien diberikan obat tetes mata
(air mata buatan), serta diedukasi untuk menghindari paparan sinar ultraviolet.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared
with subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive
primary pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu
Kedokteran, Volume 39, No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in
Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology. 2010; 86(12): 1341–1346. Avaiable at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
4. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum.
Edisi 14.Jakarta:Widya Medika,2013,hal 5-6.
5. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
6. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan
Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina
Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan, 2011. 14-17
7. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course
section 8 External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
8. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology – An Asian
Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2008. p:207-214.
9. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited
Publisher. 2007. p: 443-457
10. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan
Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
11. Jerome P Fisher. Pterygium. 2009. available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
12. Pterygium and Pingueculum available at:

http://www.baysideeyes.com.au/eye-specialists/pterygium.htm

You might also like