Professional Documents
Culture Documents
Asumsi Dasar Paradigma Interpretive
Asumsi Dasar Paradigma Interpretive
POSITIVISME
Zaman kebangkitan Eropah pula telah menyaksikan beberapa tokoh pemikir barat yang
lain muncul meneruskan aspirasi Comte. Antara mereka ialah Durkheim yang popular dengan
metod induksinya; J.S. Mill yang telah mempopularkan teori Utilitarianisme, dan juga Herbet
Spencer yang telah menerbitkan idea 'Survival of the Fittest' iaitu cedokan daripada idea
Evolusi Darwin untuk dijadikan sandaran kepada sains sosial (Social Darwinism).
Positivism menekankan konsep sains sosial bebas nilai. Menurut mereka falsafah
politik, ekonomi dan sosiologi hendaklah berteraskan nilai neutral dan tidak terkait atau
dicorakkan oleh realiti subjektif yang dihasilkan oleh budaya ataupun kepercayaan
keagamaan. Pendokong falsafah ini cuba meletakkan sains sosial setaraf dengan sains tulen
dengan tanggapan bahawa setiap fenomena sains sosial boleh difahami dengan ukuran
empirikal melalui konsep sebab-musababnya.
Falsafah positivisme ini walau bagaimanapun tidak lari dari kritikan. Leo Strauss
merupakan di antara mereka yang lantang mengkritik metod falsafah ini. Golongan cultural
relativism juga agak ketara di dalam melancarkan kritikan terhadap positivism. Begitu juga
dengan golongan Post Structuralist dan Post-Modernist. Di pihak sarjanawan Islam, sudah
tentunya pendekatan golongan positivist ini tidak selari dengan ruh Islam itu sendiri. Umer
Chapra ketika membicarakan isu ekonomi Islam dalam bukunya 'The Future of Economy'
telah membicarakan isu ini dan telah menegaskan perbezaan ketara di antara nuansa ekonomi
Islam berbanding eknomi konvensional di antaranya ialah berhubung falsafah positivisme
yang menjadi tonggak ideologi ekonomi konvensional (samada klasik (kapitalisme) mahupun
sosialisme).
2
Agak lucu, tatkala di bumi barat isu 'racism' dan juga 'facism' adalah taboo, di Israel
ianya menjadi halal. Malah mitos 'tanah yang dijanjikan Tuhan' oleh kaum Zionis juga
bagaikan diterima untuk menjadi justifikasi terhadap penjajahan dan penyembelihan rakyat
Palestin. Ke manakah hilangnya positivist dan falsafah mereka?
Bagi kalangan orang awam kata ’positif’ lebih dikaitkan sebagai ’baik’ dan ’berguna’
sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa dasar, kerana
sekiranya kita membuat kajian, misalnya, kamus saku Oxford, kita akan menemukan ’baik’
dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata positif. Dalam terma hukum, kita biasa
mendengar hukum positif yang sering diperlawankan dengan hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum yang lain. Hukum positif bererti hukum, dan juga hukuman, yang dibuat dan
dilaksanakan oleh manusia dan berdasar rasionalist. Disini, kata positif dimaknai secara
berbeza. Tetapi, erti ini, sekali lagi, tidak bertentangan dengan makna leksikal dari kata ini.
Dalam kamus saku Oxford, makna jelas adalahertikelimabagikatapositive.
Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali digunakan Auguste Comte,
berperanan penting dalam ”mengafirkan” filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan
keduanya dari unsur agama dan metafisis, yang dalam kes Comte bererti mengingkari hal-hal
non-inderawi. Hal ini, yang kemudian berkembang menjadi paradigma positivistik ini,
memasuki ke perkembangan saintifik, dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu humaniora.
3
KELAHIRANFALSAFAHPOSITIVISME
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah falsafah yang meyakini bahwa satu-satunya
pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fizikal.
Pengetahuan sedemikian hanya boleh dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metod
saintifik yang ketat kerana spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas
dan sebagai pendekatan telah dikenali sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibn al-
Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir.
”Before men were conversant with the mutual interconnection of physical effects, nothing
was more natural than to suppose that these were produced byintelligent beings, invisible and
resembling ourselves. Everything that happened…had its god…
4
When the philosophers had recognised the absurdity of these fables…the idea struck them to
explain the causes of phenomena by way of abstract expressions like essences and faculties:
expressions which in fact explained nothing, and about which men reasoned as if they were
beings, new gods substituted for the old ones. Following these analogies, faculties were
proliferated in order to provide a cause for each effect.
It was only much later, through observation of the mechanical action which bodies have upon
one another, that men derived from this mechanics other hypotheses which mathematics was
able to develop and experiment to verify.”
Oleh Comte, skema Turgot disebut sebagai hukum mendasar (great fundamental law)
yang secara pasti mempengaruhi keseluruhan perkembangan intelektual manusia dalam
seluruh bidang pengetahuan. Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte.
Kata ini telah umum digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada bahagian kedua.
Namun Comte adalah orang yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme dalam
falsafah. Falsafah positivisme ini dibangun berdasarkan dua hal, iaitu falsafah kuno dan sains
modern. Dari falsafah kuno, Comte meminjam pengertian Aristoteles tentang falsafah, yaitu
konsep-konsep teoritis yang saling berkaitan satu sama lain.
Dari sains modern, Comte menggunakan idea positivisme ala Newton, yakni metod
falsafah yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan mengorganisasikan
realiti yang jelas. Sebagaimana diakui Comte sendiri, ada kemiripan antara antara falsafah
positivisme(philosophie positive) dan falsafah alam (natural philosophy) di Inggeris.
Pemilihan terhadap falsafah positivisme sebagai nama bagi sistem pemikiran yang
dibangunnya kerana falsafah positivism hanya mencuba untuk menganalisis kesan dari sebab-
sebab sebuah fenomena dan menghubungkannya antara satu sama lain .
5
PEMAHAMAN PARADIGMATIK
Ada berbagai cara pandang atau paradigma yang dapat digunakan oleh seseorang
(peneliti) di dalam menjalani suatu proses kehidupan (mengkaji suatu persoalan ilmu).
Penggunaan paradigma tertentu akan menghasilkan tindakan (simpulan temuan) tertentu pula,
yang tindakan (simpulan temuan) itu akan sangat berbeda jika menggunakan paradigma yang
lain. Dalam konteks kehidupan, paradigma merupakan seperangkat kepercayaan atau
keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-harinya.
Paradigma bersifat filosofi dan bahkan dalam beberapa keadaan dapat menyangkut dimensi
keimanan. Bagaimana seseorang menjalankan praktik bisnisnya, tentu dilandasi oleh cara
pandangnya atas bisnis itu sendiri. Jika bisnis diyakini sebagai “sarana pencarian keuntungan
semata”, maka bisnis tersebut akan dijalankan dengan cara apapun untuk mencapai
keuntungan tersebut. Dia tidak akan peduli dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan
bisnisnya, maupun kerusakan sosial masyarakat akibat produk dari bisnisnya. Dalam hal ini
cara pandang materialisme menjadikannya hanya berorientasi keuntungan sebagai satu-
satunya idea bisnis. Tentu ini akan berbeda dengan tindakan seseorang yang menyakini
bahwa bisnis adalah ibadah, dan itu merupakan manifestasi dari ketaqwaan dirinya. Dalam
situasi demikian dia akan menempatkan keridhoan Tuhan sebagai motivasi dirinya dalam
berbisnis, sehingga dia menjalankan bisnis dengan selalu memperhatikan kaidah normatif
dalam agama dan masyarakat. Meskipun menjadi hal yang sangat penting untuk
kelangsungan bisnis dan kehidupannya, baginya keuntungan merupakan bagian dari hasil
kerja kerasnya sehingga bukan satu-satunya orientasi dalam bisnisnya. Keuntungan yang
melimpah juga merupakan berkah Tuhan karena kerja kerasnya dan juga karena baiknya dia
dalam menjalankan bisnis.
Asumsi epistemologi2 dari dimensi obyektif, akan menghasilkan sifat ilmu sosial
yang positivistik. Asumsi epistemologi posivistik menyatakan bahwa dunia sosial merupakan
suatu keteraturan dan berbagai unsur di dalamnya berhubungan secara kausal di antara
mereka. Dengan pandangan keteraturan dan keterhubungan kausal ini maka suatu fenomena
sosial dapat dijelaskan dan diprediksi sebagaimana suatu fenomena alam.
1
Tentang cara pandang peneliti terhadap realitas yang diteliti.
2
Tentang bagaimana seseorang memahami dunia sosial.
7
Asumsi hakikat manusia (human nature)3 obyektifisme bersifat deteminis, bahwa manusia
dan aktifitasnya tergantung dan hanya ditentukan oleh situasi dan lingkungan dalam mana dia
berada. Sebaliknya dalam subyektifisme, asumsi hakikat manusia bersifat voluntaris.
Manusia itu berkehendak bebas, otonom dan aktif mencipta.
Dalam asumsi metodologis4 dimensi obyektif yang bersifat nomotetis, pencarian ilmu
dilakukan dengan menekankan pada tehnik riset dan protokol yang sistematis. Riset berfokus
pada proses pengujian hipotesis yang berkesesuaian dengan prinsip ilmiah yang ketat
(rigour). Sementara itu dalam dimensi subyektif yang bersifat ideografis, pencarian ilmu
didasarkan pada pandangan bahwa seseorang hanya dapat memahami dunia sosial dengan
mendapatkan first-hand knowledge dari subyek yang diinvestigasi.
Paradigma interpretif, yang dalam banyak hal juga disebut sebagai paradigma konstruktif,
menekankan bahwa penelitian pada dasarnya dilakukan untuk memahami realitas dunia apa
adanya. Suatu pemahaman atas sifat fundamental dunia sosial pada tingkatan pengalaman
subyektif. Pemahaman yang menekankan keberadaan tatanan sosial, konsensus, integrasi dan
kohesi sosial, solidaritas dan aktualitas.
Paradigma interpretif yang berakar dari tradisi pemikiran German ini mencakup suatu rentang
pemikiran filosofis dan sosiologis yang luas, namun memiliki karakteristik upaya yang sama
untuk memahami dan menjelaskan dunia sosial. Kesamaan tersebut terutama berpangkal dari
titik pandang bahwa aktor secara langsung terlibat dalam proses sosial. Dengan demikian
maka dalam mengkonstruksi ilmu sosial seharusnya tidak berfokus pada analisis struktur oleh
karena dunia sosial adalah realitas yang tidak independen dari kerangka pikiran manusia
sebagai aktor sosial. Aliran-aliran pemikiran yang termasuk dalam paradigma interpretif ini
adalah hermeneutika, solipsisme, fenomenologi, interaksionisme simbolik, dan
ethnometodologi (lihat Burrel & Morgan, 1979; 235-253), serta etnografi.
Cara pandang interpretif dalam berbagai aspeknya, secara umum selaras dengan cara pandang
non-positivisme. Secara lebih detail, beberapa cara pandang interpretif tersebut meliputi
(dengan perbandingan cara pandang positivisme):
3
Tentang sifat dan keberadaan manusia.
4
Tentang bagaimana peneliti menginvestigasi dan mendapatkan pengetahuan.
8
Dimensi Ontologis. Dimensi ini meliputi bagaimana cara pandang peneliti terhadap realitas
yang diteliti. Realitas adalah subyektif dan berganda sebagaimana yang diperlihatkan oleh
partisipan dalam studi.
Non-Positivisme Positivisme
Realitas adalah subyektif dan berganda Realitas adalah obyektif dan tunggal,
sebagaimana yang diperlihatkan oleh terlepas dari peneliti
partisipan dalam studi.
Dimensi Epistemologis. Dimensi ini meliputi cara pandang tentang bagaimana hubungan
peneliti dengan yang diteliti.
Non-Positivisme Positivisme
Peneliti berinteraksi dengan yang diteliti Peneliti independen dari yang diteliti
Dimensi Aksiologis. Dimensi ini meliputi cara pandang tentang peranan nilai-nilai.
Non-Positivisme Positivisme
Dimensi Retoris. Dimensi ini meliputi cara pandang atas bahasa penelitian.
9
Non-Positivisme Positivisme
- Informal - Formal
Dimensi Metodologis. Dimensi ini meliputi cara pandang atas dilakukannya proses
penelitian.
Non-Positivisme Positivisme
Selanjutnya setelah memahami berbagai dimensi paradigma suatu penelitian, ilmuwan juga
perlu memahami beberapa aspek yang dipertimbangkan dalam memilih paradigma tersebut.
Mengacu pada pemaparan penulis-penulis sebelumnya, hal tersebut misalnya meliputi:
digunakan
Kriteria Interpretif
Peranan Common- Kekuatan teori berasal dari kehidupan keseharian yang harus dapat
sense digunakan oleh warga masyarakat secara maksimal
Eksplanasi sejati Kesesuaian dari kehendak baik bagi mereka yang menyadari sedang
belajar
Kriteria kualitas Bersifat terpercaya dan asli serta dapat mengandung salah pengertian
Nilai dan etika Nilai merupakan bagian integral dalam interaksi social
Praktik akuntansi dalam suatu organisasi bukanlah aktifitas pragmatis yang didasari
oleh hanya satu pertimbangan saja. Banyak hal yang melatari dilakukannya praktik
organisasional tersebut, dan tidak jarang lokalitas sifat melingkupinya. Dengan orientasi
untuk memahami keunikan suatu praktik organisasi maka riset dapat dilakukan dengan
orientasi bagaimana first-hand knowledge didapatkan secara efektif dari subyek yang
diinvestigasi. Ini memungkinkan peneliti untuk tidak hanya mendasarkan pada suatu desain
yang telah ditentukan sebelumnya. Persoalan akuntansi dalam suatu organisasi seringkali
dianggap sebagai persoalan yang taken for granted, padahal ia bersifat multidimensional,
sehingga dalam hal ini misalnya dapat menyangkut baik aspek ideologi, budaya, sosial dan
bahkan agama. Berangkat dari ini maka riset seharusnyalah tidak hanya untuk mendapatkan
generalisasi atas konteks luar dari suatu fenomena akuntansi. Lebih dari itu adalah berusaha
mendapatkan pemahaman atas konteks dalam maupun konteks luar dari suatu fenomena
akuntansi.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa persoalan akuntansi sangat sarat dengan
persoalan kemanusian. Untuk ini pendekatan di dalam risetnya perlu memperhatikan
karakteristik ilmu kemanusiaan. Sifat ilmu kemanusiaan yang paling menonjol adalah
obyeknya berkaitan dengan manusia yang memiliki tindakan bermakna (meaningfull action)
(Budianto, 2002; 68). Oleh karena sifatnya yang demikian maka metode yang sangat
mendasar dalam ilmu kemanusiaan adalah metode pemahaman (verstehen) .
14
Pemahaman tentang asal usul dan objektif dari banyak pendekatan telah memunculkan dua
ilmu kelompok besar dalam pemikiran ilmu sosial . Dua kelompok besar yang telah muncul
adalah kelompok paradigma positivisme dan kelompok kedua adalah paradigma
interpretisme atau dikenali juga sebagai kumpulan anti-positivisme . Kedua-dua pemahaman
ini adalah antara pendekatan besar dan penting dalam bidang sains sosial . Oleh itu kedua-dua
pendekatan ini telah menjadi antara isu yang sering diperdebatkan dan mempunyai banyak
perbezaan antaranya adalah :-
POSITIVISME INTERPRETISME
Melihat penerangan dan teori realiti sosial Melihat teori sebagai diskripsi bagaimana
sebagai kenyataan yang berbentuk hukum , makna-makna yang diwujudkan dan
dihasilkan oleh lagik induktif . diteruskan .
Penerangan betul dan silap serta logik dan Betul kepada individu yang dikaji .
mempunyai hubungan dengan hukum
berdasarkan fakta .
Kegunaan ilmu sains adalah antara satu Interpretisme mengambil suatu orientasi
pengetahuan bersifat instrumental , yakinya praktikal , iaitu pengetahuan membantu kita
menbolehkan orang mengawal dan memahami dan berkongsi pengalaman dan
menguasai kejadian . dunia kehidupan yang dialami orang lain .
Bukti yang baik berdasarkan pengamatan Bukti yang baik adalah yang terkandung
yang tepat . dalam konteks sosial yang tertakhluk kepada
interaksi sosial .
Nilai dan sains –melihat sains bebas dari nilai Melihat nilai adalah sebahagian daripada
. kehidupan sosial yang harus diambil kira
sebagai fakta .
15
RUJUKAN