Professional Documents
Culture Documents
Mulyadi) 299
Naskah Diterima: 8 Mei 2018 Naskah Direvisi: 25 Juli 2018 Naskah Disetujui: 10 September 2018
Abstrak
Di Kota Bandung, hampir semua mal memiliki bioskop, dan sebaliknya, tidak ada bioskop
di luar mal. Artikel ini akan memaparkan konsekuensi dari keberadaan bioskop di mal. Artikel ini
disusun berdasarkan observasi lapangan dan studi pustaka, yang kemudian ditafsirkan secara
hermeneutika dengan pendekatan teori kritis. Observasi lapangan dilakukan di dua bioskop
terbesar di Kota Bandung yakni CGV Cinemas Mal Paris van Java dan Ciwalk XXI Mal
Cihampelas Walk. Fenomena bioskop di mal menunjukkan bahwa kehidupan urban menyebabkan
komodifikasi ruang dan pengalaman. Berbelanja di mal dan menonton film di bioskop mal
mengarahkan warga urban untuk melakukan konsumsi, serta memaksimalkan keuntungan yang
didapat oleh mal dan bioskop.
Kata kunci: mal, bioskop, penonton, ruang, pengalaman.
Abstract
In Bandung city, virtually all shopping malls list movie theaters among their venue.
Conversely, there is no movie theater located out of shopping mall. This article explains
consequences of movie theater in shopping malls. This article is written based on field observation
and literature study, which then was interpreted hermeneutically, using critical theory approach.
Field observations were conducted at two biggest movie theaters in Bandung’s shopping malls,
which are CGV Cinemas in Paris van Java Mall and Ciwalk XXI in Cihampelas Walk Mall. This
phenomenon indicates that urban life causes commodification on space and experience. Both the
act of shopping and watching movies in shopping malls lead urban people to a consumptive
lifestyle while maximizing the revenues of both shopping malls and movie theaters.
Keywords: shopping mall, movie theater, audience, space, experience.
bertajuk The K-Mart Audience at the Mall mempertahankan hal-hal yang bernilai
Movies dimuat dalam jurnal Film History (Barker, 2014: 53). Saat ini teori kritis
vol. 6, no. 4 (1994). Tulisan The K-Mart tidak lagi hanya identik dengan Mazhab
Audience at the Mall Movies meneliti Frankfurt, melainkan menjadi terminologi
sejarah sinema dunia yakni bagaimana yang dipakai secara luas, yakni sebagai
bioskop yang mulanya berupa bangunan analisis tekstual dan budaya yang
mandiri dan hanya terdiri atas sebuah didasarkan pada pemikiran kunci dari
ruang pemutaran (studio/teater/auditorium) Teori Kritis Mazhab Frankfurt (Barker,
kemudian berubah menjadi kompleks 2014: 54).
sinema (sinepleks) yang terdiri atas
beberapa ruang pemutaran B. METODE PENELITIAN
(studio/teater/auditorium), serta berada di Artikel ini disusun dengan metode
pusat perbelanjaan. Industri perfilman studi kepustakaan dan observasi lapangan.
Hollywood dan dinamika sosial di Analisis dalam artikel ini menggunakan
Amerika Serikat menjadi faktor yang hermeneutika. Hermeneutika adalah ilmu
memelopori perubahan format bioskop di menafsir makna (Maulana, 2002: 43).
dunia. Kedua, tulisan berjudul Les Terminologi hermeneutika berasal dari
Flaneurs du Mal(l): Cinema and the bahasa Yunani, hermeneuin yang berarti
Postmodern Condition yang merupakan menafsir. Pada mulanya hermeneutika
salah satu bab dalam Window Shopping: digunakan untuk menafsir teks kitab suci,
Cinema and Postmodernism karya Anne namun pada perkembangannya
Friedberg (1993). Friedberg (1991: 423) hermeneutika akhirnya digunakan untuk
memaparkan bahwa layar bioskop analog menafsirkan segala jenis “teks”, termasuk
dengan jendela pajang pada toko-toko di realitas hidup keseharian (Maulana, 2002:
mal. Mal adalah konsekuensi logis dari 49).
keberadaan bioskop (Friedberg, 1991: Tesis ini akan mengaplikasikan
425). Friedberg (1991: 424) Hermeneutika versi Hans-Georg Gadamer.
menggarisbawahi fenomena tersebut Dalam hermeneutika versi Hans Georg
dengan ungkapan “the mall is a theatre”. Gadamer, dikotomi rigid antara subjek dan
Artikel ini akan menunjukkan objek tidak ada lagi: subjek mempengaruhi
konsekuensi dari keberadaan bioskop di objek, dan objek mempengaruhi subjek
mal. Sebagai catatan, artikel ini (Maulana, 2002: 49). Dalam melakukan
menggunakan pendekatan teori kritis. penafsiran, objektivitas tidak dapat dicapai
Teori kritis adalah corak pemikiran yang sebab setiap penafsir memiliki pengalaman
diinisiasi oleh para pemikir dari Mazhab dan kerangka pikiran yang berbeda dalam
Frankfurt. Mazhab Frankfurt adalah memahami suatu realitas (Maulana, 2002:
sebuah lembaga penelitian yang didirikan 49). Gadamer menyebutkan istilah
di Frankfurt, Jerman, pada tahun 1923 “lingkaran hermeneutis” untuk
(Barker, 2014: 53). Beberapa pemikir menjelaskan teorinya (Maulana, 2002: 49).
utama dari Mazhab Frankfurt adalah Terjadi interaksi dua arah, atau dengan
Theodore Adorno, Max Horkheimer, dan kata lain, terjadi dialog yang memperkaya
Herbert Marcuse (Barker, 2014: 53). pemikiran. Dengan demikian, tercipta
Mazhab Frankfurt menggunakan suatu makna baru yang disebut Gadamer
pendekatan interdisipliner, antara lain dengan istilah peleburan/fusi horizon.
marxisme, filsafat kritis, dan psikoanalisis, Hermeneutika Gadamer menuntut adanya
untuk mengkritik kapitalisme, khususnya koherensi antara keseluruhan teks dengan
industri budaya (Barker, 2014: 53). bagian-bagiannya (Wattimena, 2009).
Mazhab Frankfurt mengembangkan tradisi Proses pemaknaan atas sesuatu merupakan
filsafat Jerman yakni kritik yang berupaya proses yang berlangsung tiada akhir
untuk memperbaiki, sekaligus juga (Wattimena, 2009).
302 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 299 - 314
auditorium untuk menyebut ruangan Premiere antara lain, loket tiket dan kafe
menonton. Velvet Class adalah auditorium yang terpisah dari penonton regular,
yang memungkinkan penonton tempat duduk penonton berupa sofa yang
menyaksikan film dari atas ranjang yang sandaran tubuh dan kakinya dapat diatur,
dilengkapi dengan selimut, dan bukannya serta ketersediaan meja dan selimut.
kursi seperti umumnya ruangan bioskop. Jumlah kursi dalam sebuah studio The
Penonton dari auditorium Velvet Class Premiere juga lebih sedikit ketimbang
dapat memanggil pegawai CGV Cinemas studio regular. Serupa dengan CGV
melalui bel untuk memesan makanan atau Cinemas Paris van Java, Ciwalk XXI juga
minuman. Sementara 4DX adalah dilengkapi dengan kafe dan ruang tunggu
auditorium yang memungkinkan penonton eksekutif.
mengalami sensasi empat dimensi dari
tayangan yang ditontonnya, seperti
kemunculan angin, cahaya yang
menyerupai kilat, air, serta kursi penonton
yang dapat bergerak. CGV Cinemas Paris
van Java juga dilengkapi dengan
keberadaan toko roti dan kafe Tous les
Jours, serta ruang tunggu eksekutif.
“We’re Unique in Everyway” dan “Cut poster-poster film yang tengah atau akan
Away the Old Framework”. diputarkan. Sementara itu, jadwal
Berbeda dari CGV Cinemas, pemutaran dan promosi film yang
Cineplex 21 menampilkan citra bioskop ditujukan kepada publik dilakukan melalui
yang elegan dan eksklusif. Citra eksklusif iklan pada media cetak (umumnya di surat
tercermin dari keberadaan dinding dan kabar), media elektronik, dan media sosial.
pintu kaca yang membatasi area mal Selain itu terdapat pula situs resmi bioskop
dengan area bioskop. Sementara kesan yang dapat diakses oleh publik. Situs resmi
elegan tercermin dari lantai marmer, Cineplex 21 (2018a) dan CGV Cinemas
karpet, serta pencahayaan dan ornamen (2018a) menampilkan tidak hanya promosi
ruangan yang menggunakan warna hangat film dan jadwal pemutaran bioskop,
seperti krem dan coklat. Citra tersebut melainkan juga memungkinkan penonton
ditegaskan pula dengan seragam pekerja untuk membeli tiket dan memilih tempat
Cineplex 21 yang berwarna hitam bergaya duduk secara daring.
elegan, menyerupai seragam pramugari. Salah satu faktor signifikan dari
Pekerja perempuan Cineplex 21, baik yang keberadaan bioskop adalah teknologi.
bertugas di area tiket, penjaga di studio, Penguasaan terhadap teknologi menjadi
hingga petugas kebersihan diwajibkan pembeda antarbioskop, sekaligus pula
menggulung rambutnya. menjadi keunggulan yang dijual masing-
Sebagaimana kekhasan jaringan masing bioskop kepada calon penonton.
Cineplex 21, bioskop Ciwalk XXI Teknologi mengacu pada fasilitas yang
menawarkan variasi film Indonesia dan terdapat pada ruangan menonton film
Hollywood kepada calon penonton. (studio/teater/auditorium) dan pada
Cineplex 21 juga memutarkan film keseluruhan area bioskop. Contoh fasilitas
Hongkong, namun dalam jumlah minim. dalam ruangan menonton adalah teknologi
Misalnya, pada akhir bulan Januari 2018, suara Dolby Atmos. Pada Ciwalk XXI,
Ciwalk XXI memutarkan film Hongkong penggunaan teknologi di toilet
Bleeding Steel yang dibintangi oleh Jackie mengejawantah pada keberadaan keran dan
Chan. Sementara itu, CGV Cinemas dispenser sabun dengan sensor otomatis.
memiliki variasi tawaran film yang lebih Pada CGV Cinemas Paris van Java, ekspos
luas di samping film Indonesia dan film pada teknologi tercermin dari keberadaan
Hollywood, seperti film Thailand, film mesin-mesin tiket swalayan (self-
Korea Selatan, film Jepang, dan animasi ticketing), layar-layar datar LED penampil
Jepang. CGV Cinemas Paris van Java dan menu makanan minuman, serta layar besar
Ciwalk XXI juga memilliki kesamaan film (megatron) yang menampilkan cuplikan
yang ditawarkan. Misalnya, pada pekan film terbaru. Di Ciwalk XXI terdapat pula
pertama Februari 2018 film Dilan 1990 fasilitas khusus yang tidak dapat ditemui di
dan Maze Runner menjadi dua film yang CGV Cinemas Paris van Java, yakni arena
tidak hanya mendominasi CGV Cinemas videogame yang disebut XXI Games.
Paris van Java dan Ciwalk XXI, melainkan Selain teknologi yang berada pada area
juga tiap-tiap bioskop di Kota Bandung. bioskop, bioskop juga didukung oleh
Film Dilan 1990 bahkan diputar di tiga terknologi informasi yang menghubungkan
auditorium CGV Cinemas Paris van Java pihak bioskop dengan calon penonton di
(CGVCinemas, 2018b). luar area mal. Misalnya, laman situs resmi
Aspek promosi dan jadwal bioskop memungkinkan penonton melihat
pemutaran bioskop menjadi faktor penting jadwal pemutaran film melalui, dan
untuk mempertemukan antara film dan melakukan pemesanan tiket secara daring.
penonton. Neon box dan layar datar LED Teknologi juga merupakan faktor
yang berada di area bioskop mal signifikan dalam keberlangsungan mal.
menampilkan jadwal pemutaran dan Misalnya pada sistem parkir,
Bioskop di Mal..... (Gorivana Ageza, Aquarini Priyatna, R.M. Mulyadi) 305
konsumen suatu mal, maka semakin adalah contoh dari merek-merek global.
mutakhir teknologi yang dimiliki dan Terdapat keseragaman dalam aspek
ditawarkannya kepada penonton. keruangan dan produk merek-merek global
Teknologi yang terdapat di bioskop tersebut. Sebagai perusahaan dengan
memberikan keuntungan kepada penonton jangkauan nasional, Cineplex 21 juga
dan bioskop sendiri. Di satu pihak, menerapkan sistem standarisasi. Prinsip
penonton diberikan kemudahan. Misalnya, tersebut nampak dari keserupaan tampilan
dengan keberadaan mesin tiket, pembeli ruangan dan film yang ditawarkan oleh
tidak perlu mengantre panjang pada loket berbagai cabang bioskop Cineplex 21 se-
konvensional. Sensor otomatis pada sabun Indonesia. Standarisasi memungkinkan
dan keran membuat pengguna lebih mal dan bioskop memperkecil pengeluaran
higienis, serta berkontribusi pada modal, memperbesar keuntungan kapital,
penghematan air. Di lain pihak, bioskop menjangkau pasar yang luas, serta mudah
pun diuntungkan dari teknologi tersebut: diidentifikasi di mana pun keberadaannya.
meminimalisasi jumlah pekerja di loket Prinsip no-thing bekerja secara
tiket konvensional, serta mengurangi biaya simultan dengan prinsip some-thing, yakni
penggunaan sabun dan air. Contoh lain variasi di tingkat detil. Prinsip something
dari pemanfaatan teknologi adalah sistem terkait dengan glokalisme (global-lokal-
pembelian tiket daring. Bioskop isme), yakni manifestasi globalisasi di
diuntungkan karena pengurangan jumlah tingkat lokal. Prinsip some-thing
antrean pembeli tiket di loket, serta memungkinkan perusahaan multinasional
memungkinkan bioskop mendapatkan seperti CGV Cinemas menjual produk
pembayaran lebih cepat daripada lokal seperti pisang goreng.
pembelian di loket konvensional. Sebagaimana yang sudah dipaparkan
Penguasaan terhadap teknologi memiliki pada subjudul sebelumnya bahwa bioskop
andil terhadap tutupnya bioskop non- Ciwalk XXI dan CGV Cinemas Paris van
jaringan dan bioskop di luar mal di Java berupaya menghadirkan suasana alam
Bandung. Bioskop yang tidak dilengkapi yang asri ke dalam lingkungan bioskop.
dengan teknologi mutakhir sulit untuk Friedberg (1991: 424) menjelaskan kondisi
bersaing mendapatkan penonton. ini dengan mengatakan bahwa mal
Perkara ruang, fasilitas, dan menghadirkan ilusi luar-ruangan (outdoor)
teknologi kemudian terkait dengan prinsip untuk membuat pengunjung merasa betah
standarisasi. George Ritzer mengatakan dan nyaman. Sementara itu, Lefebvre
bahwa mal adalah pengejawantahan dari menyatakan bahwa kota mencerabut
prinsip no-thing (2004). Nothing dalam kehidupan keseharian manusia untuk
pemikiran Ritzer berarti “generally kemudian dikomodifikasi. Bertolak dari
centrally conceived and controlled social kedua pemikiran tersebut, maka
forms that are comparatively devoid of keberadaan area hijau pada mal dan
distinctive substantive content” (2004: xi). bioskop di mal adalah contoh komodifikasi
Prinsip tersebut membuat mal di berbagai yang diakibatkan oleh perubahan dari
tempat di dunia memiliki keserupaan ruang hidup manusia: ruang hidup alamiah
bentuk, serta diisi oleh merek-merek dan asri berubah menjadi kota.
internasional yang serupa. Dengan kata Dengan mengikuti pendapat
lain, pada tingkat general hanya terdapat Lefebvre (1991: 26) “(social) space is a
keserupaan, dan tidak terdapat (social) product”, dapat diargumentasikan
keistimewaan. Mal Paris van Java dan bahwa jika ruang adalah kapital dan
CGV Cinemas adalah contoh dari prinsip produk, maka penambahan berbagai
tersebut. CGV Cinemas dan toko-toko fasilitas, teknologi, standarisasi, dan ilusi
yang terdapat di mal Paris van Java seperti luar-ruangan pada ruang pada bioskop di
Zara, H&M, Stradivarius, dan Mango mal menunjukkan bagaimana kapital perlu
Bioskop di Mal..... (Gorivana Ageza, Aquarini Priyatna, R.M. Mulyadi) 309
4. Surat Kabar
Redana, B. (2016). “Welcome You All”.
Kompas, 10 Januari 2016.